Sinopsis Novel
Merantau Ke Deli Karya HAMKA – Selamat pagi,
selamat berjumpa lagi dengan blog MJ Brigaseli.
Pada kesempatan kali ini saya akan membahas sinopsis novel Merantau Ke Deli
karya HAMKA.
Novel ini menceritakan tentang Leman, seorang perantauan Minangkabau yang
mengadu nasib di tanah Deli sebagai pedagang kaki lima. Dalam novel ini kembali
sang Buya mengambil tokoh dari latar budaya yang sangat diakrabinya, maklumlah
karena Buya Hamka adalah orang Minang alias urang awak. Pertemuan Leman
dengan Poniem, seorang perempuan Jawa, berawal dari aktivitas biasa, antara
penjual dan pembeli, karena memang Leman berjualan di dekat perkebunan tempat
Poniem bekerja sebagai kuli kontrak. Leman yang masih single merasa
tertarik kepada Poniem yang digambarkan sebagai perempuan lumayan cantik. Tapi
hasrat Leman untuk menjalin hubungan serius sampai tahap rumah tangga bukannya
tanpa halangan. Poniem adalah isteri simpanan atau piaraan mandor besar
perkebunan. Tapi justru itu yang menjadi senjata Leman untuk meraih simpati
dari Poniem.
“Jadi engkau tidak dinikahinya?”
“Belum, saya belum dinikahinya”
“Jadi bagaimana pertimbangan Poniem, tinggal di luar
nikah dengan seorang lelaki yang umurnya lebih tua daripada engkau?”
Keadaan Poniem yang hidup luar nikah membuat rayuan-rayuan Leman diselingi
alasan logis kenapa Poniem harus meninggalkan kedudukannya sebagai seorang
isteri ”piaraan”. Tidak mudah memang bagi Leman untuk meyakinkan Poniem utuk
meninggalkan mandor besar, sebab banyak pengalaman wanita-wanita seperti Poniem
yang tertipu. Awalnya diajak kawin secara sah di hadapan penghulu, tapi setelah
barang-barang emas si wanita habis, ia ditinggalkan begitu saja. Walaupun pada
akhirnya hasrat Leman untuk menikah dengan Poniem terwujud, namun itu bukan
berarti mereka berdua tidak mengalami berbagai macam ujian.
Ujian pertama adalah ketika mereka harus melarikan diri ke Medan untuk
menikah secara resmi di hadapan penghulu. Tentu di samping itu juga untuk
menghindarkan diri dari kejaran suami kumpul kebonya Poniem, sebab ia membawa
seluruh barang emas yang telah diberikan kepadanya, kendati pada akhirnya
mereka berdua kembali lagi ke Deli setelah mendengar kabar bahwa mandor besar
telah pulang ke tanah Jawa. Di Deli itulah mereka memulai hidup baru dengan
cara berdagang kecil-kecilan, dimana perdagangan mereka meraih sukses berkat
modal yang diberikan Poniem melalui gadaian barang emasnya.
Lima tahun dalam usia perkawinan mereka tiada ujian-ujian berarti yang
menimpa keduanya. Bahkan mereka termasuk pasangan yang berbahagia. Hubungan
keduanya aman-aman saja. Secara ekonomi mereka sangatlah berkecukupan, bahkan
bisa dikategorikan sebagai orang kaya yang sukses di perantauan. Namun sayang,
keluarga mereka tidak dianugrahi buah hati. Ini jugalah yang menghambarkan
hubungan mereka berdua. Kabar kesuksesan Leman yang sukses di perantauan
setelah beristrikan seorang Jawa yang setia dan pekerja keras akhirnya tersiar
luas juga di kampung Leman di ranah Minang. Dapatlah ditebak juga pada
akhirnya, banyak orang kampung Leman berduyun-duyun ke Deli sekadar mengadu
nasib dengan cara menumpang Leman. Ada yang datang mengaku sebagai kemenakannya
atau Leman adalah mamaknya, Leman adalah saudara jauhnya, dan Leman adalah
saudara sesukunya, dan bermacam pengakuan-pengakuan lain yang menjengkelkannya.
Sebab, ketika dulu ia masih miskin, yang hanya berdagang kecil-kecilan, tak ada
siapapun yang menganggap ia sebagai saudara. Namun situasi ini disambut baik
oleh Poniem, sebab ia baru tahu kalau suaminya punya kaum dan sanak famili.
Bukan orang yang terbuangkan.
Babak selanjutnya yang sangat menarik adalah ketika Leman dihimbau supaya
pulang kampung oleh ninik mamak kampung halamannya. Memang sudah masanya lah
Leman untuk pulang kampung. Orang yang sukses di perantauan, khususnya bagi
perantau Minang, ada semacam “hutang” yang harus dilunasi kepada kampung. Hidup
Minangkabau ditopang oleh adat dan lembaga, seorang anak Minangkabau yang
sukses tidak sah rasanya jika hutang kepada kampung itu tidak dibayar. Ini
berlaku bagi semua, tak terkecuali bagi Leman. Setelah menimbang-nimbang
akhirnya Leman memutuskan memenuhi himbauan ninik mamaknya. Urusan bisnis dan
kedainya ia serahkan sepenuhnya kepada anak semangnya yang setia dan berdedikasi,
Suyono, seorang Jawa.
Hari-hari pertama mereka berdua di kampung Leman teramat menyenangkan,
terlebih Leman telah menjadi semacam panutan bagi muda-mudi di kampungnya. Ini
tentunya juga berlaku bagi Poniem. Ia bisa mengenal kampung halaman suaminya
dengan lebih baik, lebih-lebih lagi ia sendiri disambut begitu baiknya oleh
pihak keluarga suaminya. Namun itu tidaklah berlangsung lama bagi keduanya.
Sebab, dalam adat Minang, di Rumah Gadang tidak ada kamar bagi anak laki-laki,
hanya perempun yang ada hak untuk itu. Anak laki-laki jika ia sudah menikah
maka ia akan tinggal di Rumah Gadang milik keluarga isterinya. Rumah Gadang di
dalam keluarga Leman telah terisi oleh saudara-saudaranya yang perempuan dan
telah bersuami. Ini sangat menyusahkan Leman, jika ia menikah dengan orang
Minang, apalagi sekampung, tentu ia bisa tinggal di Rumah Gadang keluarga sang
isteri. Tapi sekarang ia beristrikan seorang Jawa, lantas mau dikemanakan
Poniem. Itulah barangkali sebabnya tak lama-lama Leman berada di kampungnya.
Di malam terakhir sebelum mereka kembali ke Deli, Leman dipanggil oleh
seorang tetua kampung. Serius benar pembicaraan mereka pada malam itu: soal
adat. Sebagaimana yang telah dikatakan tadi, setiap anak Minangkabau mempunyai
hutang kepada adat lembaga kampung. Hutang itu bukanlah uang dan emas, tapi
hutang malu. Seorang anak Minangkabau yang kawin dengan orang di luar orang
Minang, dianggap belum lengkap kedudukannya sebagai anak Minang. Secara adat
Leman belumlah berhak menyandang gelar Sutan sebagai perlambang
seseorang yang telah beristri. Sebab itulah dia disarankan untuk menikah sekali
lagi dengan orang yang senegeri dengannya. Dengan itu, hutang Leman kepada
negeri terlunasi. Sebab dia kini telah mendirikan adat dan lembaga, sah sebagai
anak Minangkabau sejati. Pepatah setinggi-tinginya bangau terbang, ke
kubangan jua akhirnya memang lekat di hati Leman. Di dalam situasi sebagai
orang berada sekarang memang memungkinkannya untuk kawin dengan orang
sekampung, terlebih lagi para tetua itu sendiri yang mencarikannya, seseorang
yang cantik, muda, tentunya perawan lagi.
Sesampainya di Deli, anjuran untuk kawin lagi dengan perempuan yang
sekampung dari ninik mamaknya benar-benar menyita pertimbangan-pertimbangan
Leman. Kalau dia menerima anjuran itu, lantas bagaimana dengan Poniem, akankah
Poniem bersedia dimadu? Bukankah itu sebagai bentuk penghianatannya kepada
janji-janjinya dahulu? Kalau dia menolak, bukankah dia orang yang berada dalam
lingkaran adat dan lembaga, yang harus menjunjung dan mendirikannya dengan
baik, sehingga dia sah sebagai seorang anak Minangkabau. Lagi pula, bukankah
tidak selamanya badan akan terpancang di perantauan, dan toh, pada akhirnya dia
akan kembali juga ke tanah kelahirannya. Pada taraf ini Leman benar-benar
mengalami pergolakan jiwa yang hebat yang tidak bisa ia putuskan begitu saja.
Banyak masukan-masukan dari teman-teman—yang rata-rata juga berasal dari
Minangkabau menasehatinya bahwa perkataan ninik mamaknya memang benar, ia harus
kawin lagi dengan perempuan yang sekampung. Kendati ada juga masukan-masukan
berbeda dari teman sesama Minang yang telah lama mengubah pandangannya tentang
adat, yaitu Bagindo Kayo. Menurut senior seperantauan Leman itu, sebelum
memutuskan apakah akan kawin lagi atau tidak, Leman harus mengubah pandangannya
tentang perantauan, adat, dan kampung halaman dahulu. Sebab ini penting,
begitulah kira-kira kata bagindo Kayo. Jika Leman bertekad menganggap tanah
rantaunya adalah tanah hidup matinya, janganlah kiranya Leman kawin lagi,
tentang adat dan lembaga di kampung, biarkanlah. Namun, jika Leman merasa bahwa
dia harus menggapai dirinya sebagai orang yang beradat dan berlembaga, ada
baiknya dia untuk kawin lagi. Sebab, dengan kawin lagi dengan orang senegeri
dengannya, Leman akan mempunyai keturunan yang bergaris kepada Minangkabau.
Fase kebimbangan Leman ini sangat penting, sebagaimana yang kita ketahui,
Minangkabau mengambil sistem Matrilineal, yaitu kesukuan seseorang dipakai dari
pihak sang ibu. Kalau pun ada Leman punya anak dengan Poniem, anak itu tidak
dipandang sebagai seorang Minangkabau. Otomatis anak tersebut tidak bermamak.
Kita tentu tahu, dalam masyarakat Minangkabau yang komunal, seorang mamak
(paman si anak dari pihak ibu tentunya) tidak hanya memikul tanggung jawab
kepada anak-anaknya, tapi juga memikul beban tanggung jawab kepada
kemenakan-kemenakan dari saudara perempuannya. Sehingga di Minang muncul
semacam kredo anak dipangku kemenakan dibimbing. Pandangan inilah yang
pada akhirnya melekat di hati dan pikiran Leman: kawin lagi.
Mengenai ninik mamak kampung Leman, sang pengarang, Buya Hamka, tampaknya
menyindir secara halus pandangan kesukuan Minangkabau, kendati beliau sendiri
adalah seorang anak Minangkabau sejati. Kita bisa melihat, bagaimana para ninik
mamak itu tampak gembira karena mengetahui Leman dan Poniem belum memiliki
anak. Tentu dengan itu mereka akan mudah memasuki dan mempengaruhi Leman supaya
kawin lagi dengan wanita sekampung. Dalam pikiran mereka, sangatlah disayangkan
jika Leman yang sukses dan kaya di perantauan itu kawin dengan orang yang bukan
sekampung. Sebab, jika Leman nanti telah meninggal tentu harta kekayaannya
tidak akan mengalir ke tanah kelahirannya.
Tidaklah mudah bagi seorang suami memberitahukan bahwa ia akan kawin lagi.
Ini berlaku bagi semua laki-laki, tak terkecuali Leman. Walaupun pemberitahuan
itu disambut dengan tangisan dan kesedihan yang medalam oleh Poniem. Namun apa
mau dikata surat ke kampung yang mengabarkan bahwa Leman setuju untuk kawin
lagi telah dikirim. Dan, ia hanya menunggu kedatangan calon istri keduanya
saja. Walaupun Poniem rela dan setuju Leman kawin lagi, namun ia juga berharap
sang suami nanti akan tetap mencintai dan tidak mencampakkannya, mengingat
Poniem adalah sebatang kara di Deli, dan teramat jauh dari tanah kelahirannya.
Kehidupan Leman sebelum dan sesudah beristri dua teramat berbeda. Memang
pada awal perkawinannya dengan istri keduanya yang bernama Mariatun itu tampak tiada
masalah, karena kedua istrinya berada di rumah terpisah. Itu pun tidak lama,
saat Leman memutuskan untuk menyerumahkan Mariatun dengan Poniem, karena alasan
perdagangan yang sedang merosot, barulah riak-riak kecil sampai riak-riak besar
persaingan kedua istrinya terlihat. Riak pertama, masalah siapa yang tinggal di
kamar lantai atas dan bawah saja sudah mengundang nuansa kecemburuan. Memang
Poniem diminta pendapatnya, tapi Leman memutuskan bahwa Mariatun yang tinggal
di kamar atas dan Poniem di bawah. Kedua, sikap Mariatun yang tidak simpatik,
kalau dalam hal memasak Poniem yang super sibuk berkelindan di dapur, tapi
giliran menanting hasil masakan ke meja makan, si Mariatunlah yang ambil bagian
sambil senyum simpul kepada sang suami yang telah menunggu. Ketiga, masalah
siapa yang berhak menunggui kasir kedai mereka. Dalam hal ini si Mariatun
tampaknya sangat agresif. Ia paham benar kedudukannya. Sebagai sitri muda,
sekampung dan dihantar oleh ninik mamak lagi, sudah barang tentu ia akan
mendapat tempat di hati Leman. Dalam pandangannya, madunya, si Poniem tidak
lebih dari seorang perempuan yang menumpang di rumah suaminya. Sedangkan bagi
Poniem, si Mariatun tak lebih dari perempuan yang tak tahu diri yang “dibeli”
oleh duit suaminya. Baginya, Mariatun buta dan tak sadar jika kemajuan bisnis
suaminya, Leman, berawal dari barang emasnya. Pada tahap ini perseteruan kedua
istri Leman berada pada tahap kritis, karena sudah tersentuh area SARA jika
boleh dikatakan demikian.
“Suka hatiku atas harta benda suamiku. Aku diantar ke
sini oleh ninik mamakku, engkau babu di sini. Aku akan menolong suamiku
berniaga, kami orang sekampung, sehalaman, bukan macam kau!”
Tapi siapa sangka, justru kata itu yang sedang ditunggu-tunggu Poniem
sebagai serangan balik.
“Engkau hinakan perempuan Jawa? Mana engkau bisa
hidup, mana tanganmu bisa berlilit emas kalau bukan orang Jawa ini, anak
sombong! Engkau katakan engkau senegeri dengan suamimu. Ya begitulah perempuan
Padang; mata duitan. Dulu ketika suamiku itu melarat di rantau ini, haram
kalian hendak ingat kepadanya atau meminta pulang. Seorangpun haram perempuan
Padang yang sudi kepadanya, dia seakan-akan terbuang…”
Itulah episode yang sangat kritis bagi keduanya. Walaupun dalam novel itu
digambarkan Mariatun benar-benar mati kutu. Tapi simpati Leman kian tercurah
kepadanya. Sebaliknya Poniem secara perlahan mulai merasa terasingkan dari
suaminya sendiri. Lebih-lebih lagi lingkungan kedai Leman juga banyak dihuni
oleh orang Minang, tentu ini menjadi senjata bagi Mariatun untuk
menjelekkan-jelekkan Poniem yang telah berkata keterlaluan menghina adat
Minangkabau.
Perseteruan kedua istri Leman ibarat bisul besar yang tinggal menunggu
pecahnya saja. Sampai tibanya sebuah momen yang kelak akan mengubah arah
kehidupan mereka semuanya. Suatu hari ketika kedai mereka menerima pasokan
batik baru dari Pekalongan, Mariatun yang dengan seenaknya langsung mengambil
sehelai kain yang baru dibuka dari kotak tersebut padahal fakturnya belum lagi
diperiksa. Leman bukannya tidak memperingatkan bahwa itu adalah barang
dagangan, lebih-lebih lagi barang itu belum diperiksa dengan benar fakturnya.
Tapi Mariatun cuek saja. Melihat gelagat itu, Poniem tidak terima, dengan
seenaknya juga dia mengambil satu helai kain dari dalam kotak tersebut. Leman
marah dan langsung merebut kain tersebut dari Poniem dan mengembalikannya ke
dalam kotak. Poniem lagi-lagi jelas tidak bisa terima, secepat kilat dia
berlari mengejar Mariatun yang sedang naik ke kamar atas untuk menyimpan kain
yang ia ambil barusan. Hasilnya dapat ditebak, tarik menarik akan kain yang
baru diambil itu terjadilah sudah yang berakhir dengan pergumulan keduanya.
Situasi ini jelas mengundang murka Leman. Dengan kasar dilerainya keduanya. Hal
ini tidak menyenangkan Poniem karena cara melerai Leman yang sungguh tidak adil
kepadanya dengan cara menedang kaki dan pinggangnya. Untuk ketiga kalinya
Poniem tidak terima dengan perlakuan seperti itu, sehingga berujung perang
mulut dengan suaminya, Leman. Tapi, itulah akhir dari hubungan mereka, sebab
segera pada saat itu Leman langsung menjatuhkan talak tiga sekali kepada Poniem
“Kau boleh pergi dari sini! Kau orang Jawa! Boleh
turutkan orang Jawa, boleh kembali ke kebun…, Mulai sekarang saya jatuhkan
talak tiga sekali. Pergilah!”
Itulah episode akhir dari hubungan mereka sebagai suami istri. Bagi Poniem,
tak terkatakan bagaimana perasaannya. Begitu juga bagi Leman tak tergambarkan
bagaimana kosongnya pikiran dia mengingat perkataan yang telah terucap. Talak
tiga sekali. Ketika akan meninggalkan kedai dan rumah mereka, Poniem tidak
menuntut harta perdagangan mereka dihitung walau jelas ada haknya di dalamnya.
Ia hanya mengambil sehelai kain batik yang dipersengeketakannya dengan Mariatun
tadi sebagai kenang-kenangan pergaulan mereka. Belum sadar lagi Leman dari
bermenungnya, anak semang sekaligus rekannya, Suyono, minta pamit juga. Rupanya
kata-kata “Jawa” yang diucapkan Leman kepada Poniem tadi juga mengena di
hatinya. Tak heranlah, sebagai orang Jawa, Suyono merasa harus berpamit diri
menyusul Poniem yang terbuangkan. Saat itu barulah Leman sadar akan hilangnya
dua pangkal keberuntungannya selama ini. Pertama, istri yang setia, kedua anak
semang sekaligus rekan yang juga sangat setia. Tinggallah Leman mengucap dan
menyesalkan apa yang telah terucap.
Sejak perceraian itu, tidaklah lama Leman berbenam dalam kesedihan dan
penyesalan, sebab Mariatun mengandung. Bukankah itu yang telah lama yang ia
nanti-nantikan, seorang anak. Dengan adanya anak, lengkaplah sebuah keluarga.
Untuk beberapa waktu setelah kelahiran anak mereka terasa aman-aman saja, hanya
saja Leman merasakan perdagangannya mulai merosot. Untung yang diperoleh tidak
sebesar dulu lagi. Hal ini diperparah dengan adanya kabar di kampung yang
meminta Leman untuk membangun sebuah rumah berikut sepetak sawah, sebab kini ia
telah memiliki anak, anak perempuan lagi, yang dalam pandangan adat lebih
tinggi derajatnya dari laki-laki. Leman menyanggupi permintaan tersebut, namun
sayang, Leman tidak kira-kira mengirimkan uang ke kampung, ia memakai uang yang
seharusnya untuk modal perdagangan. Tidak sampai di situ saja, karena Mariatun
sudah agak lama di rantau, pihak keluarga menyarankan untuk pulang, menjenguk
keluarga di kampunglah pastinya. Leman kembali setuju. Namun sangat
disayangkan, Leman kembali tidak kira-kira menggunakan uang untuk ongkos
pulang. Tentu ongkos yang dimaksud disini bukan semata ongkos bis atau kereta
api. Leman membeli bermacam oleh-oleh yang mahal, barang emas istrinya
ditambah, ia tidak mau hilang gengsi kalau kejumawaan pulang kampungnya kali
ini dengan Mariatun kalah dengan waktu pulang kampung dengan Poniem tempo dulu.
Sikap Leman yang tidak kira-kira itu pada akhirnya membuahkan kebangkrutan bagi
usahanya nanti di tanah Deli.
Sedangkan kehidupan Poniem setelah perceraiannya dengan Leman terasa begitu
menyesakkan baginya. Walaupun menyimpan rasa sakit hati, tapi ia tidak bisa
menampik bahwa Lemanlah yang telah mengenalkannya kepada kehidupan yang lebih
baik. Melalui Leman dia bisa lepas dari tangan mandor besar. Melalui Leman dia
bisa menjadi dirinya seseorang yang lebih baik. Diikuti oleh Suyono, orang satu
negeri dengannya, sama-sama dari Jawa, mereka berangkat ke kota Medan. Di
sanalah kehidupan baru mereka dimulai dari awal. Mereka bekerja keras dan
saling memahami satu sama lain layaknya kakak beradik. Namun hubungan mereka
pada akhirnya beranjak ke tahap pernikahan. Memang pernikahan mereka tidaklah
dilandasi oleh rasa-rasa cinta gejolak orang muda, tapi lebih kepada keinsafan
mereka yang sama-sama pernah mengarungi kehidupan yang serba keras. Tapi,
itulah awal peruntungan mereka, usaha mereka yang dirintis lagi dari awal
ternyata membuahkan hasil yang gemilang.
Berbeda dengan Poniem dan Suyono, kehidupan Leman dan Mariatun justru
sebaliknya. Secara ekonomi mereka sedang terpuruk. Dulu Leman yang punya kedai
kini tidak lagi, dan harus kembali lagi ke situasi semula berjualan
kecil-kecilan di kali lima dengan mengendarai kereta angin. Leman sadar betul,
kalau dulu dengan Poniem—yang sewaktu-waktu harta emas sebagai ganti penyimpan
uang bisa digadaikan sebagai tambahan modal, kini tidak lagi. Keluarganya
memang punya rumah dan tanah di kampung yang telah ia beli, tapi itu jelas tak
bisa digadai, maka sampailah Leman kini berada pada tahap yang menyedihkan.
Sehingga pada akhirnya dia memutuskan untuk kembali ke kampung saja.
Poniem dan Suyono, yang telah sukses, pada akhirnya memutuskan untuk
mencari rumah di tempat lama mereka, Deli, karena kota Medan bukanlah tempat
yang tenang untuk menghabiskan hari-hari tua. Suyono, pada akhirnya berangkat
ke Deli mencari tanah dan rumah yang mereka idam-idamkan. Tak disangka di Deli
ia bertemu dengan Leman yang kini telah jatuh miskin. Banyaklah obrolan yang
mengalir dari keduanya. Leman yang dengan prihatin bagaimana jurang kemiskinan
di rantau kini menggerogotinya. Suyono pun begitu, bagaimana susahnya
perekonomian pada saat ini. Memang banyak yang mereka bicarakan, tapi satu yang
Leman tidak tahu, bahwa Suyono telah kawin dengan Poniem. Sedangkan Suyono
entah karena segan atau apa, tidak memberitahu statusnya dengan Poniem. Maka
sampailah pada permintaan Leman yang ingin dipertemukan dengan Poniem, sekedar
minta maaf sebelum ia kembali ke kampung halamannya. Dan Suyono pun
mengabulkannya.
Babak akhir dari novel ini adalah acara maaf-memaafkan antara Leman dan
Poniem. Poniem dan Suyono yang telah menghuni rumah barunya di Deli menerima
kedatangan Leman dengan tangan terbuka. Saat itulah segala dendam mereka
hapuskan, luka terobati. “Kenekatan” Leman yang meminta maaf kepada bekas
istrinya memang sungguh ksatria, maaf yang diberikan Poniem sungguh begitu
mulia. Tapi khusus bagi Leman, kenekatannya itu sendiri membawa malu yang tidak
kepalang tanggung baginya pada akhirnya. Memang minta maaf adalah perbuatan
mulia, tapi bagaimana minta maaf kepada janda sendiri, di rumahnya sendiri
lagi! Dari sudut pandang lain, ini tentu perbuatan yang hina, apalagi setelah
ia tahu Poniem telah bersuamikan Suyono. Tidak cukup itu saja rasa malu yang
harus ditanggung Leman, ketika tawaran tulus untuk mengajak kongsi dagang
datang dari Suyono dan Poniem. Tentu Leman harus mengesampingkan tawaran itu,
walau setulus apapun tawaran itu. Orang yang telah dia hinakan kini menawarkan
rasa baik menawarkannya modal dagang. Tak dapat ia terima tawaran itu, tahu dia
apa itu rasa harga diri, kendati harus makan tanah di kampungnya, asal tidak
menerima uluran modal mereka.
Novel ini ditutup dengan babak perpisahan yang mengharu biru antara
Poniem-Suyono dengan Leman-Mariatun. Dendam dan rasa sakit hati yang mengendap
di hati mereka telah lepas di hati mereka pada waktu perpisahan itu.
0 Response to "Sinopsis Novel Merantau Ke Deli Karya HAMKA"
Posting Komentar