Kumpulan
Puisi Widji Thukul - Thukul, yang
bernama asli Widji Widodo, lahir di
Surakarta, Jawa Tengah, 26 Agustus 1963, seorang penyair
kerakyatan dari Solo. Ia adalah salah satu dari 13 korban penculikan yang
terjadi pada periode 1996-1998, yang hingga kini tidak diketahui kepastian
keberadaannya.
Puisi-puisi Widji Thukul sangat melekat terutama di kalangan aktivis gerakan
pro-demokrasi yang senantiasa digemakan dalam berbagai aksi untuk membangun
semangat.
Puisi-puisi Widji Thukul yang semula terhimpun dalam lima kumpulan buku puisi, kini
telah disatukan ke dalam buku: Aku
Ingin Jadi Peluru. Buku ini diterbitkan oleh Penerbit TERA,
Magelang. Buku ini berisi 136 puisi yang dibagi atas lima buku atau lima
kumpulan puisi. Buku 1: Lingkungan Kita Si Mulut Besar berisi 46 puisi. Buku 2: Ketika
Rakyat Pergi berisi 17 puisi. Buku 3: Darman dan Lain-lain berisi 16 puisi.
Buku 4: Puisi Pelo berisi 29 puisi. Dan Buku 5: Baju Loak Sobek Pundaknya
berisi 28 puisi.
Dalam catatan penerbit, Buku 5 merupakan kumpulan sajak-sajak yang
ditulis Widji
Thukul ketika ia berada di masa pelarian.
Yayak Iskra, seorang aktivis yang banyak membuat lagu anak/rakyat merdeka
dan dikenal pula dengan gambar-gambarnya, membuat seri gambar berisi puisi-puisi
untuk mengenang Widji Thukul.
SATU MIMPI SATU BARISAN
di lembang ada kawan sofyan
jualan bakso kini karena dipecat perusahaan
karena mogok karena ingin perbaikan
karena upah ya karena upah
di ciroyom ada kawan sodiyah
si lakinya terbaring di amben kontrakan
buruh pabrik teh
terbaring pucet dihantam tipes
ya dihantam tipes
juga ada neni
kawan bariyah
bekas buruh pabrik kaos kaki
kini jadi buruh di perusahaan lagi
dia dipecat ya dia dipecat
kesalahannya : karena menolak
diperlakukan sewenang-wenang
di cimahi ada kawan udin buruh sablon
kemarin kami datang dia bilang
umpama dironsen pasti nampak
isi dadaku ini pasti rusak
karena amoniak ya amoniak
di cigugur ada kawan siti
punya cerita harus lembur sampai pagi
pulang lunglai lemes ngantuk letih
membungkuk 24 jam
ya 24 jam
di majalaya ada kawan eman
buruh pabrik handuk dulu
kini luntang lantung cari kerjaan
bini hamil tiga bulan
kesalahan : karena tak sudi
terus diperah seperti sapi
dimana-mana ada sofyan ada sodiyah ada bariyah
tak bisa dibungkam kodim
tak bisa dibungkam popor senapan
di mana-mana ada neni ada udin ada siti
di mana-mana ada eman
di bandung – solo – jakarta – tangerang
tak bisa dibungkam kodim
tak bisa dibungkam popor senapan
satu mimpi
satu barisan
Bandung, 21 mei 1992
SEHARI SAJA KAWAN
Satu kawan bawa tiga kawan
Masing-masing nggandeng lima kawan
Sudah berapa kita punya kawan
Satukawan bawa tiga kawan
Masing-masing bawa lima kawan
Kalau kita satu pabrik bayangkan kawan
Kalau kita satu hati kawan
Satu tuntutan bersatu suara
Satu pabrik satu kekuatan
Kita tak mimpi kawan!
Kalau satu pabrik bersatu hati
Mogok dengan seratus poster
Tiga hari tiga malam
Kenapa tidak kawan
Kalau satu pabrik satu serikat buruh
Bersatu hati
Mogok bersama sepuluh daerah
Sehari saja kawan
Sehari saja kawan
Sehari saja kawan
Kalau kita yang berjuta-juta
Bersatu hati mogok
Maka kapas tetap terwujud kapas
Karena mesin pintal akan mati
Kapas akan tetap berwujud kapas
Tidak akan berwujud menjadi kain
Serupa pelangi pabrik akan lumpuh mati
Juga jalan-jalan
Anak-anak tak pergi sekolah
Karena tak ada bis
Langit pun akan sunyi
Karena mesin pesawat terbang tak berputar
Karena lapangan terbang lumpuh mati
Sehari saja kawan
Kalau kita mogok kerja
Dan menyanyi dalam satu barisan
Sehari saja kawan
Kapitalis pasti kelabakan!!
12 November 1994
Satu kawan bawa tiga kawan
Masing-masing nggandeng lima kawan
Sudah berapa kita punya kawan
Satukawan bawa tiga kawan
Masing-masing bawa lima kawan
Kalau kita satu pabrik bayangkan kawan
Kalau kita satu hati kawan
Satu tuntutan bersatu suara
Satu pabrik satu kekuatan
Kita tak mimpi kawan!
Kalau satu pabrik bersatu hati
Mogok dengan seratus poster
Tiga hari tiga malam
Kenapa tidak kawan
Kalau satu pabrik satu serikat buruh
Bersatu hati
Mogok bersama sepuluh daerah
Sehari saja kawan
Sehari saja kawan
Sehari saja kawan
Kalau kita yang berjuta-juta
Bersatu hati mogok
Maka kapas tetap terwujud kapas
Karena mesin pintal akan mati
Kapas akan tetap berwujud kapas
Tidak akan berwujud menjadi kain
Serupa pelangi pabrik akan lumpuh mati
Juga jalan-jalan
Anak-anak tak pergi sekolah
Karena tak ada bis
Langit pun akan sunyi
Karena mesin pesawat terbang tak berputar
Karena lapangan terbang lumpuh mati
Sehari saja kawan
Kalau kita mogok kerja
Dan menyanyi dalam satu barisan
Sehari saja kawan
Kapitalis pasti kelabakan!!
12 November 1994
TEKA TEKI YANG GANJIL
Pada malam itu kami berkumpul dan berbicara,
Dari mulut kami tidak keluar hal-hal yang besar..
Masing-masing berbicara tentang keinginannya
ang sederhana dan masuk akal
Ada yang sudah lama sekali ingin bikin dapur
di rumah kontraknya
Dan itu mengingatkan yang lain
bahwa mereka juga belum punya panci, kompor
gelas minum dan wajan penggoreng
Mereka jadi ingat bahwa mereka pernah
ingin membeli barang-barang itu
tetapi keinginan itu dengan cepat terkubur
oleh keletihan kami,
Dan upah kami dalam waktu singkat telah berubah
menjadi odol-shampo-sewa rumah
dan bon-bon di warung yang harus kami lunasi
Ternyata banyak di antara kami yang masih susah
menikmati teh hangat
Karena kami masih pusing bagaimana mengatur
letak tempat tidur dan gantungan pakaian
Ada yang sudah lama ingin mempunyai kamar mandisendiri
Dari situ pembicaraan meloncat ke soal harga semen
dan juga cat tembok yang harganya tak pernah turun,
Kami juga berbicara tentang kampanye pemilihan umum
yang sudah berlalu
Tiga partai politik yang ada kami simpulkan
Tak ada hubungannya sama sekali dengan kami: buruh
Mereka hanya memanfaatkan suara kami
demi kedudukan mereka
Kami tertawa karena menyadari
Bertahun-tahun kami dikibuli
dan diperlakukan seperti kerbau
Akhirnya kami bertanya
Mengapa sedemikian sulitnya buruh membeli sekalengcat,
padahal tiap hari ia bekerja tak kurang dari 8 jam
Mengapa sedemikian sulitnya bagi buruh
untuk menyekolahkan anak-anaknya
Padahal mereka tiap hari menghasilkan
berton-ton barang
Lalu salah seorang di antara kami berdiri
Memandang kami satu-persatu kemudian bertanya:
‘Adakah barang-barang yang kalian pakai
yang tidak dibikin oleh buruh?’
Pertanyaan itu mendorong kami untuk mengamati
barang-barang yang ada di sekitar kami:
neon, televisi, radio, baju, buku…
Sejak itu kami selalu merasa seperti
sedang menghadapi teka-teki yang ganjil
Dan teka-teki itu selalu muncul
ketika kami berbicara tentang panci-kompor-
gelas minum-wajan penggoreng
Juga di saat kami menghitung upah kami
yang dalam waktu singkat telah berubah
menjadi odol-shampo-sewa rumah
dan bon-bon di warung yang harus kami lunasi
Kami selalu heran dan bertanya-tanya
Kekuatan macam apakah yang telah menghisap
tenaga dan hasil kerja kami?
Kalangan, Solo, 21 September 1993
BURUH-BURUH
di batas desa
pagi - pagi
dijemput truk
dihitung seperti pesakitan
diangkut ke pabrik
begitu seterusnya
mesin terus berputar
pabrik harus berproduksi
pulang malam
badan loyo
nasi dingin
bagaimana kalau anak sakit
bagaimana obat
bagaimana dokter
bagaimana rumah sakit
bagaimana uang
bagaimana gaji
bagaimana pabrik? mogok?
pecat! mesin tak boleh berhenti
maka mengalirlah tenaga murah
mbak ayu kakang dari desa
disedot
sampai pucat
di batas desa
pagi - pagi
dijemput truk
dihitung seperti pesakitan
diangkut ke pabrik
begitu seterusnya
mesin terus berputar
pabrik harus berproduksi
pulang malam
badan loyo
nasi dingin
bagaimana kalau anak sakit
bagaimana obat
bagaimana dokter
bagaimana rumah sakit
bagaimana uang
bagaimana gaji
bagaimana pabrik? mogok?
pecat! mesin tak boleh berhenti
maka mengalirlah tenaga murah
mbak ayu kakang dari desa
disedot
sampai pucat
SUTI
Suti tidak kerja lagi
pucat ia duduk dekat amben-nya
Suti di rumah saja
tidak ke pabrik tidak ke mana-mana
Suti tidak ke rumah sakit
batuknya memburu
dahaknya berdarah
tak ada biaya
Suti kusut-masai
di benaknya menggelegar suara mesin
kuyu matanya membayangkan
buruh-buruh yang berangkat pagi
pulang petang
hidup pas-pasan
gaji kurang
dicekik kebutuhan
Suti meraba wajahnya sendiri
tubuhnya makin susut saja
makin kurus menonjol tulang pipinya
loyo tenaganya
bertahun-tahun dihisap kerja
Suti batuk-batuk lagi
ia ingat kawannya
Sri yang mati
karena rusak paru-parunya
Suti meludah
dan lagi-lagi darah
Suti memejamkan mata
suara mesin kembali menggemuruh
bayangan kawannya bermunculan
Suti menggelengkan kepala
tahu mereka dibayar murah
Suti meludah
dan lagi-lagi darah
Suti merenungi resep dokter
tak ada uang
tak ada obat
solo, 27 Februari 1988
Suti tidak kerja lagi
pucat ia duduk dekat amben-nya
Suti di rumah saja
tidak ke pabrik tidak ke mana-mana
Suti tidak ke rumah sakit
batuknya memburu
dahaknya berdarah
tak ada biaya
Suti kusut-masai
di benaknya menggelegar suara mesin
kuyu matanya membayangkan
buruh-buruh yang berangkat pagi
pulang petang
hidup pas-pasan
gaji kurang
dicekik kebutuhan
Suti meraba wajahnya sendiri
tubuhnya makin susut saja
makin kurus menonjol tulang pipinya
loyo tenaganya
bertahun-tahun dihisap kerja
Suti batuk-batuk lagi
ia ingat kawannya
Sri yang mati
karena rusak paru-parunya
Suti meludah
dan lagi-lagi darah
Suti memejamkan mata
suara mesin kembali menggemuruh
bayangan kawannya bermunculan
Suti menggelengkan kepala
tahu mereka dibayar murah
Suti meludah
dan lagi-lagi darah
Suti merenungi resep dokter
tak ada uang
tak ada obat
solo, 27 Februari 1988
SUKMAKU MERDEKA
Tidak tergantung kepada Departemen Tenaga Kerja
Semakin hari semakin nyata nasib di tanganku
Tidak diubah oleh siapapun
Tidak juga akan dirubah oleh Tuhan Pemilik Surga
Apakah ini menyakitkan? entahlah !
Aku tak menyumpahi rahim ibuku lagi
Sebab pasti malam tidak akan berubah menjadi pagi
Hanya dengan memaki-maki
Waktu yang diisi keluh akan berisi keluh
Waktu yang berkeringat karena kerja akan melahirkan
Serdadu-serdadu kebijaksanaan
Biar perang meletus kapan saja
Itu bukan apa-apa
Masalah nomer satu adalah hari ini
Jangan mati sebelum dimampus takdir
Sebelum malam mengucap selamat malam
Sebelum kubur mengucapkan selamat datang
Aku mengucap kepada hidup yang jelata
M E R D E K A ! !
NONTON HARGA
ayo keluar keliling kota
tak perlu ongkos tak perlu biaya
masuk toko perbelanjaan tingkat lima
tak beli tak apa
lihat-lihat saja
kalau pingin durian
apel-pisang-rambutan-anggur
ayo..
kita bisa mencium baunya
mengumbar hidung cuma-cuma
tak perlu ongkos tak perlu biaya
di kota kita
buah macam apa
asal mana saja
ada
kalau pingin lihat orang cantik
di kota kita banyak gedung bioskop
kita bisa nonton posternya
atau ke diskotik
di depan pintu
kau boleh mengumbar telinga cuma-cuma
mendengarkan detak musik
denting botol
lengking dan tawa
bisa juga kau nikmati
aroma minyak wangi luar negeri
cuma-cuma
aromanya saja
ayo..
kita keliling kota
hari ini ada peresmian hotel baru
berbintang lima
dibuka pejabat tinggi
dihadiri artis-artis ternama ibukota
lihat
mobil para tamu berderet-deret
satu kilometer panjangnya
kota kita memang makin megah dan kaya
tapi hari sudah malam
ayo kita pulang
ke rumah kontrakan
sebelum kehabisan kendaraan
ayo kita pulang
ke rumah kontrakan
tidur berderet-deret
seperti ikan tangkapan
siap dijual di pelelangan
besok pagi
kita ke pabrik
kembali bekerja
sarapan nasi bungkus
ngutang
seperti biasa
18 November 1996
LEUWIGAJAH MASIH HAUS
leuwigajah tak mau berhenti
dari pagi sampai pagi
bis-bis-mobil pengangkut tenaga murah
bikin gemetar jalan-jalan
dan debu-debu tebal membumbung
mesin-mesin tak mau berhenti
membangunkan buruh tak berkamar-mandi
tanpa jendela tanpa cahaya matahari
jejer berjejer alas tikar
lantai dinding dingin lembab pengap
mulut lidah-lidah penghuni rumah kontrak
terus bercerita buruk
lembur paksa sampai pagi
tubuh mengelupas-jari jempol putus - upah rendah
mogok - pecat
seperti nyabuti bulu ketiak
tubuh-tubuh muda
terus mengalir ke leuwigajah
seperti buah-buah disedot vitaminnya
mesin-mesin terus menggilas
memerah tenaga murah
satu kali duapuluhempat jam
masuk - absen - tombol ditekan
dan truk-truk pengangkut produksi
meluncur terus ke pasar
leuwigajah tak mau berhenti
dari pagi sampai pagi
asap crobong terus kotor
selokan air limbah berwarna
mesin-mesin tak mau berhenti
terus minta darah tenaga muda
leuwigajah makin panas
berputar dan terus menguras
Bandung 21 Mei 1992
leuwigajah tak mau berhenti
dari pagi sampai pagi
bis-bis-mobil pengangkut tenaga murah
bikin gemetar jalan-jalan
dan debu-debu tebal membumbung
mesin-mesin tak mau berhenti
membangunkan buruh tak berkamar-mandi
tanpa jendela tanpa cahaya matahari
jejer berjejer alas tikar
lantai dinding dingin lembab pengap
mulut lidah-lidah penghuni rumah kontrak
terus bercerita buruk
lembur paksa sampai pagi
tubuh mengelupas-jari jempol putus - upah rendah
mogok - pecat
seperti nyabuti bulu ketiak
tubuh-tubuh muda
terus mengalir ke leuwigajah
seperti buah-buah disedot vitaminnya
mesin-mesin terus menggilas
memerah tenaga murah
satu kali duapuluhempat jam
masuk - absen - tombol ditekan
dan truk-truk pengangkut produksi
meluncur terus ke pasar
leuwigajah tak mau berhenti
dari pagi sampai pagi
asap crobong terus kotor
selokan air limbah berwarna
mesin-mesin tak mau berhenti
terus minta darah tenaga muda
leuwigajah makin panas
berputar dan terus menguras
Bandung 21 Mei 1992
SEORANG BURUH MASUK TOKO
masuk toko
yang pertama kurasa adalah cahaya
yang terang benderang
tak seperti jalan-jalan sempit
di kampungku yang gelap
sorot mata para penjaga
dan lampu-lampu yang mengitariku
seperti sengaja hendak menunjukkan
dari mana asalku
aku melihat kakiku – jari-jarinya bergerak
aku melihat sandal jepitku
aku menoleh ke kiri ke kanan – bau-bau harum
aku menatap betis-betis dan sepatu
bulu tubuhku berdiri merasakan desir
kipas angin
yang berputar-putar halus lembut
badanku makin mingkup
aku melihat barang-barang yang dipajang
aku menghitung-hitung
aku menghitung upahku
aku menghitung harga tenagaku
yang menggerakkan mesin-mesin di pabrik
aku melihat harga-harga kebutuhan
di etalase
aku melihat bayanganku
makin letih
dan terus dihisap
masuk toko
yang pertama kurasa adalah cahaya
yang terang benderang
tak seperti jalan-jalan sempit
di kampungku yang gelap
sorot mata para penjaga
dan lampu-lampu yang mengitariku
seperti sengaja hendak menunjukkan
dari mana asalku
aku melihat kakiku – jari-jarinya bergerak
aku melihat sandal jepitku
aku menoleh ke kiri ke kanan – bau-bau harum
aku menatap betis-betis dan sepatu
bulu tubuhku berdiri merasakan desir
kipas angin
yang berputar-putar halus lembut
badanku makin mingkup
aku melihat barang-barang yang dipajang
aku menghitung-hitung
aku menghitung upahku
aku menghitung harga tenagaku
yang menggerakkan mesin-mesin di pabrik
aku melihat harga-harga kebutuhan
di etalase
aku melihat bayanganku
makin letih
dan terus dihisap
EDAN
Sudah dengan cerita mursilah?
Edan…!!!!
Edan…!!!!
Dia dituduh maling karena mengumpulkan serpihan kain
Dia sambung-sambung jadi mukena
untuk sembahyang
Padahal mukena tak dibawa pulang
Padahal mukena dia taroh di tempat kerja
Edan…!!!
Padahal mukena tak dibawa pulang
Padahal mukena dia taroh di tempat kerja
Edan…!!!
Sudah diperas dituduh maling pula
Sudah dengan cerita santi?
Edan…!!!
Edan…!!!
Karena istirahat gaji dipotong
Edan…!!!
Edan…!!!
Karena main kartu lima kawannya
langsung dipecat majikan
Padahal tak pakai wang
Padahal pas waktu luang
Edan…!!!
Kita mah bukan sekrup
Padahal tak pakai wang
Padahal pas waktu luang
Edan…!!!
Kita mah bukan sekrup
Bandung, 21 Mei 1992
PULANGLAH NANG
pulanglah
nang
jangan
dolanan sama si kuncung
si
kuncung memang nakal
nanti
bajumu kotor lagi
disirami
air selokan
pulanglah
nang
nanti
kamu manangis lagi
jangan
dolanan sama anaknya pak kerto
si
bejo memang mbeling
kukunya
hitam panjang-panjang
kalau
makan tidak cuci tangan
nanti
kamu ketularan cacingan
pulanglah
nang
kamu
kan punya mobil-mobilan
kapal
terbang bikinan taiwan
senapan
atom bikinan jepang
kamu
kan punya robot yang bisa jalan sendiri
pulanglah
nang
nanti
kamu digebugi mamimu lagi
kamu
pasti belum tidur siang
pulanglah
nang
jangan
dolanan sama anaknya mbok sukiyem
mbok
sukiyem memang keterlaluan
si
slamet sudah besar tapi belum disekolahkan
pulanglah
nang
pasti
papimu marah lagi
kamu
pasti belum bikin PR
belajar
yang rajin
biar
nanti jadi dokter
Solo, September 1986
MONUMEN BAMBU RUNCING
monumen
bambu runcing
di
tengah kota
menuding
dan berteriak merdeka
di
kakinya tak jemu juga
pedagang
kaki lima berderet-deret
walau
berulang-ulang
dihalau
petugas ketertiban
Semarang, 1 Maret 1986
RIWAYAT
seperti
tanah lempung
pinggir
kampung
masa
laluku kuaduk-aduk
kubikin
bentuk-bentuk
patung
peringatan
berkali-kali
kuhancurkan
kubentuk
lagi
kuhancurkan
kubentuk
lagi
patungku
tak jadi-jadi
aku
ingin sempurna
patungku
tak jadi-jadi
lihat!
diriku
makin belepotan
dalam
penciptaan
Kalangan, Oktober 1987
SUARA DARI RUMAH-RUMAH MIRING
di
sini kamu bisa menikmati cicit tikus
di
dalam rumah miring ini
kami
mencium selokan dan sampan
bagi
kami setiap hari adalah kebisingan
di
sini kami berdesak-desakan dan berkeringat
bersama
tumpukan gombal-gombal
dan
piring-piring
di
sini kami bersetubuh dan melahirkan
anak-anak
kami
di
dalam rumah miring ini
kami
melihat matahari menyelinap
dari
atap ke atap
meloncati
selokan
seperti
pencuri
radio
dari segenap penjuru
tak
henti-hentinya membujuk kami
merampas
waktu kami dengan tawaran-tawaran
sandiwara
obat-obatan
dan
berita-berita yang meragukan
kami
bermimpi punya rumah untuk anak-anak
tapi
bersama hari-hari pengap yang menggelinding
kami
harus angkat kaki
karena
kami adalah gelandangan
Solo, Oktober 1987
CATATAN MALAM
anjing
nyalak
lampuku
padam
aku
nelentang
sendirian
kepala
di bantal
pikiran
menerawang
membayang
pernikahan
(pacarku
buruh harganya tak lebih dua ratus rupiah per jam)
kukibaskan
pikiran tadi dalam gelap makin pekat
aku
ini penyair miskin
tapi
kekasihku cinta
cinta
menuntun kami ke masa depan
Solo-Kalangan, 23 Februari 1988
NYANYIAN AKAR RUMPUT
jalan
raya dilebarkan
kami
terusir
mendirikan
kampung
digusur
kami
pindah-pindah
menempel
di tembok-tembok
dicabut
terbuang
kami
rumput
butuh
tanah
dengar!
Ayo
gabung ke kami
Biar
jadi mimpi buruk presiden!
Juli 1988
CATATAN
udara
AC asing di tubuhku
mataku
bingung melihat
deretan
buku-buku sastra
dan
buku-buku tebal intelektual terkemuka
tetapi
harganya
Ooo..
aku ternganga
musik
stereo mengitariku
penjaga
stand cantik-cantik
sandal
jepit dan ubin mengkilat
betapa
jauh jarak kami
uang
sepuluh ribu di sakuku
di
sini hanya dapat 2 buku
untuk
keluargaku cukup buat
makan
seminggu
gemerlap
toko-toko di kota
dan
kumuh kampungku
dua
dunia yang tak pernah bertemu
Solo, 1987-1988
UCAPKAN KATA-KATAMU
jika
kau tak sanggup lagi bertanya
kau
akan ditenggelamkan keputusan-keputusan
jika
kau tahan kata-katamu
mulutmu
tak bisa mengucapkan
apa
maumu terampas
kau
akan diperlakukan seperti batu
dibuang
dipungut
atau
dicabut seperti rumput
atau
menganga
diisi
apa saja menerima
tak
bisa ambil bagian
jka
kau tak berani lagi bertanya
kita
akan jadi korban keputusan-keputusan
jangan
kau penjarakan ucapanmu
jika
kau menghamba pada ketakutan
kita
akan memperpanjang barisan perbudakan
kemasan-kentingan-sorogenen
SAJAK BAPAK TUA
bapak
tua
kulitnya
coklat dibakar matahari kota
jidatnya
berlipat-lipat seperti sobekan luka
pipinya
gosong disapu angin panas
tenaganya
dikuras
di
jalan raya siang tadi
sekarang
bapak mendengkur
dan
ketika bayangan esok pagi datang
di
dalam kepalaku
bis
tingkat itu tiba-tiba berubah
jadi
ikan kakap raksasa
becak-becak
jadi ikan teri
yang
tak berdaya
Solo, Juni 1987
SAJAK BAGONG
bagong
namanya
tantanglah
berkelahi
kepalamu
pasti dikepruk batu
bawalah
whisky
bahumu
pasti ditepuk-tepuk gembira
ajaklah
omong
tapi
jangan khotbah
ia
akan kentut
bagong
namanya
malam
begadang
subuh
tidur bangun siang
sore
parkir untuk makan
awas
jangan ngebut di depan matanya
engkau
bisa dipukuli
lalu
ditinggal pergi
ya,
ya.. bagong namanya
pemilu
kemarin besar jasanya
bagong
ya bangong
tapi
bagong sudah mati
pada
suatu pagi
mayatnya
ditemukan orang
di
tepi rel kereta api
setahun
yang lalu
ya,
ya.. setahun yang lalu
SAJAK IBU
ibu
pernah mengusirku minggat dari rumah
tetapi
menangis ketika aku susah
ibu
tak bisa memejamkan mata
bila
adikku tak bisa tidur karena lapar
ibu
akan marah besar
bila
kami merebut jatah makan
yang
bukan hak kami
ibuku
memberi pelajaran keadilan
dengan
kasih sayang
ketabahan
ibuku
mengubah
rasa sayur murah
jadi
sedap
ibu
menangis ketika aku mendapat susah
ibu
menangis ketika aku bahagia
ibu
menangis ketika adikku mencuri sepeda
ibu
menangis ketika adikku keluar penjara
ibu
adalah hati yang rela menerima
selalu
disakiti oleh anak-anaknya
penuh
maaf dan ampun
kasih
sayang ibu
adalah
kilau sinar kegaiban tuhan
membangkitkan
haru insan
dengan
kebajikan
ibu
mengenalkan aku kepada tuhan
Solo, 1986
SAJAK KEPADA BUNG DADI
ini
tanahmu juga
rumah-rumah
yang berdesakan
manusia
dan nestapa
kampung
halaman gadis-gadis muda
buruh-buruh
berangkat pagi pulang sore
dengan
gaji tak pantas
kampung
orang-orang kecil
yang
dibikin bingung
oleh
surat-surat izin dan kebijaksanaan
dibikin
tunduk mengangguk
bungkuk
ini
tanah airmu
di
sini kita bukan turis
Solo-Sorogenen, malam pemilu 1987
CATATAN 88
saban
malam
dendam
dipendam
protes
diam-diam
dibungkus
gurauan
saban
malam
menyanyi
menyabarkan diri
bau
tembakau dan keringat di badan
campur
aduk dengan kegelisahan
saban
malam
mencoba
bertahan menghadapi kebosanan
menegakkan
diri dengan harapan-harapan
dan
senyum rawan
saban
malam
rencana-rencana
menumpuk jadi kuburan
Solo-Sorogenen, 1 September 1988
JALAN SLAMET RIYADI SOLO
dulu
kanan dan kiri jalan ini
pohon-pohon
asam besar melulu
saban
lebaran dengan teman sekampung
jalan
berombongan
ke
taman sriwedari nonton gajah
banyak
yang berubah kini
ada
holland bakery
ada
diskotik ada taksi
gajahnya
juga sudah dipindah
loteng-loteng
arsitektur cina
kepangkas
jadi gedung tegak lurus
hanya
kereta api itu
masih
hitam legam
dan
terus mengerang
memberi
peringatan pak-pak becak
yang
nekat potong jalan
“hei
hati hati
cepat
menepi ada polisi
banmu
digembos lagi nanti!”
Solo, Mei-Juni 1991
BATAS PANGGUNG
kepada
para pelaku
ini
adalah daerah kekuasaan kami
jangan
lewati batas ini
jangan
campuri apa yang terjadi di sini
karena
kalian penonton
kalian
adalah orang luar
jangan
rubah cerita yang telah kami susun
jangan
belokkan jalan cerita yang telah kami rencanakan
karena
kalian adalah penonton
kalian
adalah orang luar
kalian
harus diam
panggung
seluas ini hanya untuk kami
apa
yang terjadi d sini
jangan
ditawar-tawar lagi
panggung
seluas ini hanya untuk kami
jangan
coba bawa pertanyaan-pertanyaan berbahaya
ke
dalam permainan ini
panggung
seluas ini hanya untuk kami
kalian
harus bayar kami
untuk
membiayai apa yang kami kerjakan di sini
biarkan
kami menjalankan kekuasaan kami
tontonlah
tempatmu
di situ
Solo, 21 November 1991
CERITAKANLAH INI KEPADA SIAPA PUN
panas
campur debu
terbawa
angin ke mana-mana
koran
hari ini memberitakan
kedungombo
menyusut kekeringan
korban
pembangunan dam
muncul
kembali ke permukaan
tanah-tanah
bengkah
pohon-pohon
besar malang-melintang
makam-makam
bangkit dari ingatan
mereka
yang dulu diam
kali
ini
cerita
itu siapa akan membantah
dasar
waduk ini dulu dusun rumah-rumah
waktu
juga yang menyingkap
retorika
penguasa
walau
senjata ditodongkan kepadamu
walau
sepatu di atas kepalamu
di
atas kepalaku
di
atas kepala kita
ceritakanlah
ini kepada siapa pun
sebab
cerita ini belum tamat
Solo, 30 Agustus 1991
TETANGGA SEBELAHKU
tetangga
sebelahku
pintar
bikin suling bambu
dan
memainkan banyak lagu
tetangga
sebelahku
kerap
pinjam gitar
nyanyi
sama anak-anaknya
kuping
sebelahnya rusak
dipopor
senapan
tetangga
sebelahku
hidup
bagai dalam benteng
melongok-longok
selalu
membaca
bahaya
tetangga
sebelahku
diteror
masa lalu
Kalangan-Solo, November 1991
HUJAN
mendung
hitam tebal
masukkan
itu jemuran
dan
bantal-bantal
periksa
lagi genting-genting
barangkali
bocornya pindah
udara
gerah
ruangan
gelap
listrik
tak nyala
mana
anak kita?
hujan
akan lebat lagi nampaknya
semoga
tanpa angin keras
burung-burung
parkit itu
masih
berkicau juga dalam kandangnya
burung-burung
parkit itu
apakah
juga pingin punya rumah sendiri
seperti
kami?
Kalangan-Solo, 25 November 1991
LINGKUNGAN KITA SI MULUT BESAR
lingkungan
kita si mulut besar
dihuni
lintah-lintah
yang
kenyang menghisap darah keringat tetangga
dan
anjing-anjing yang taat beribadah
menyingkiri
para panganggur
yang
mabuk minuman murahan
lingkungan
kita si mulut besar
raksasa
yang membisu
yang
anak-anaknya terus dirampok
dan
dihibur film-film kartun amerika
perempuannya
disetor
ke
mesin-mesin industri
yang
membayar murah
lingkungan
kita si mulut besar
sakit
perut dan terus berak
mencret
oli dan logam
busa
dan plastik
dan
zat-zat pewarna yang merangsang
menggerogoti
tenggorokan bocah-bocah
yang
mengulum es
limapuluh
perak
Kampung Kalangan-Solo, Desember 1991
MEGATRUH SOLIDARITAS
akulah
bocah cilik itu
kini
aku datang kepada dirimu
akan
kuceritakan masa kanak-kanakmu
akulah
bocah cilik itu
yang
tak berani pulang
karena
mencuri uang simbok
untuk
beli benang layang-layang
akulah
bocah cilik itu
yang
menjual gelang simbok
dan
ludes dalam permainan dadu
akulah
bocah cilik kurus itu
yang
tak pernah menang bila berkelahi
yang
selalu menangis bila bermain sepak-sepong
aku
adalah salah seorang dari bocah-bocah kucel
yang
mengoreki tumpukan sampah
mencari
sisa kacang atom
dan
sisa moto buangan pabrik
akulah
bocah bengal itu
yang
kelayapan di tengah arena sekaten
nyrobot
brondong dan celengan
dan
menangis di tengah jalan
karena
tak bisa pulang
akulah
bocah cilik itu
yang
ramai-ramai rebutan kulit durian
dan
digigit anjing ketika nonton telepisi
di
rumah Bah Sabun
ya
engkaulah bocah cilik itu
sekarang
umurku dua puluh empat
ya
akulah bocah cilik itu
sekarang
aku datang kepada dirimu
karena
kudengar kabar
seorang
kawan kita mati terkapar
mati
ditembak mayatnya dibuang
kepalanya
koyak
darahnya
mengental
dalam
selokan
Solo, 31 Januari 1987
CATATAN SURAM
kucing
hitam jalan pelan
meloncat
turun dari atap
tiga
orang muncul dalam gelap
sembunyi
menggenggam besi
kucing
hitam jalan pelan-pelan
diikuti
bayang-bayang
ketika
sampai di mulut gang
tiga
orang menggeram
melepaskan
pukulan
bulan
disaput awan meremang
saksikan
perayaan kemiskinan
daging
kucing pindah
ke
perut orang!
Solo, 1987
GUMAM SEHARI-HARI
di
ujung sana ada pabrik roti
kami
beli yang remah-remah
karena
murah
di
ujung sana ada tempat penyembelihan sapi
dan
kami kebagian bau
kotoran
air selokan dan tai
di
ujung sana ada perusahaan daging abon
setiap
pagi kami beli kuahnya
dimasak
campur sayur
di
pinggir jalan
berdiri
toko-toko baru
dan
macam-macam bangunan
kampung
kami di belakangnya
riuh
dan berjubel
seperti
kutu kere kumal
terus
berbiak!
membengkak
tak tercegah!
Jagalan, Kalangan Solo, 29 Januari 1989
CATATAN HARI INI
aku
nganggur lagi
semalam
ibu tidur di kursi
jam
dua lebih aku menulis puisi
aku
duduk menghadap meja
ibu
kelap-kelip matanya ngitung utang
jam
enam sore:
bapak
pulang kerja
setelah
makan sepiring
lalu
mandi tanpa sabun
tadi
siang ibu tanya padaku:
kapan
ada uang?
jam
setengah tujuh malam
aku
berangkat latihan teater
apakah
seni bisa memperbaiki hidup?
Solo, Juni 1986
REPORTASE DARI PUSKESMAS
barangkali
karena ikan laut yang kumakan ya
barangkali
ikan laut. seminggu ini
tubuhku
gatal-gatal ya.. gatal-gatal
karena
itu dengan lima ratus rupiah aku daftarkan
diri
ke loket, ternyata cuma seratus lima puluh
murah
sekali oo.. murah sekali! lalu aku menunggu
berdiri.
bukan aku saja. tapi berpuluh-puluh
bayi
digendong. orang-orang batuk
kursi-kursi
tak cukup maka berdirilah aku.
“sakit
apa pak?”
aku
bertanya kepada seorang bapak berkaos lorek
kurus.
bersandal jepit dan yang kemudian mengaku
sebagai
penjual kaos celana pakaian rombeng di pasar johar.
“batuk-pilek-pusing-sesek
nafas
wah!
campur jadi satu nak!”
bayangkan
tiga hari menggigil panas tak tidur
ceritanya
kepadaku. mendengar cerita lelaki itu
seorang
ibu (40 th) menjerit gembira:
“ya
ampun rupanya bukan aku saja!”
di
ruang tunggu berjejal yang sakit pagi itu
sakit
gigi mules mencret demam semua bersatu.
jadi
satu. menunggu.
o
ya pagi itu seorang tukang kayu sudah tiga hari
tak
kerja. kakinya merah bengkak gemetar
“menginjak
paku!” katanya, meringis.
puskesmas
itu demokratis sekali, pikirku
sakit
gigi, sakit mata, mencret, kurapan, demam
tak
bisa tidur, semua disuntik dengan obat yang sama.
ini
namanya sama rasa sama rasa.
ini
namanya setiap warga negara mendapatkan haknya
semua
yang sakit diberi obat yang sama!
Semarang, 1986
SAJAK KOTA
kota
macam apa yang kita bangun
mimpi
siapa yang ditanam
di
benak rakyat
siapa
yang merencanakan
lampu-lampu
menyibak
jalan
raya dilicinkan
di
aspal oleh uang rakyat
motor-motor
mulus meluncur
merek-merek
iklan
di
atap gedung
menyala
berjejer-jejer
toko
roti
toko
sepatu
berjejer-jejer
salon-salon
kecantikan
siapa
merencanakan nasib rakyat?
Pemandangan
aku
pangling betul
pada
ini jalan jendral Sudirman
balaikota
makin berubah
sampai
Slamet Riyadi-Gladag
reklame
rokok berkibar-kibar
spanduk
show band
pameran
rumah murah
(tapi
harganya jutaan!)
kehingaran
jalan raya
menyolok
mata
Jendral
Sudirman
dihiasi
slogan-slogan pembangunan
tapi
kantor pos belum berubah
bank-bank
dan gereja makin megah
di
pojok Ronggowarsito
ada
aturan baru
becak
dilarang terus
(bis
kota turah-turah penumpang!)
Solo, Desember 1987
AKU LEBIH SUKA DAGELAN
di
radio aku mendengar berita
katanya
partisipasi politik rakyat kita sangat menggembirakan
tapi
kudengar dari mulut seorang kawanku
dia
diinterogasi dipanggil gurunya
karena
ikut kampanye PDI
dan
di kampungku ibu RT
tak
mau menegor sapa warganya
hanya
karena ia Golkar
ada
juga yang saling bertengkar
padahal
rumah mereka bersebelahan
penyebabnya
hanya karena mereka berbeda tanda gambar
ada
juga kontestan yang nyogok
tukang-tukang
becak
akibatnya
dalam kampanye banyak
yang
mencak-mencak
di
radio aku mendengar berita-berita
tapi
aku jadi muak karena isinya
kebohongan
yang tak mengatakan kenyataan
untunglah
warta berita segera bubar
acara
yang kutunggu-tunggu datang: dagelan!
Solo, 1987
SAJAK SETUMBU NASI SEPANCI SAYUR
setumbu
nasi
sepanci
sayur kobis
renungan
hari ini
berjongkok
di dapur
angan
terbuka seperti layar bioskop
bising
mesin
bis
kota merdeka berlaga di jalan raya
becak-becak
berpeluh melawan jalan raya
siapa
pengatur jalan kaki
siapa
pemerintah kaki lima
begitu
patuh mereka diusir pergi
begitu
berani mereka datang kembali
gemuruh
kota menggaru benakku
berjongkok
di dapur
kompor
kering
kayu
tempat piring-piring
gedung-gedung
beranak pinak
Nyanyian
Abang Becak
jika
harga minyak mundhak
simbok
semakin ajeg berkelahi sama bapak
harga
minyak mundhak lombok-lombok akan mundhak
sandang
pangan akan mundhak
maka
terpaksa tukang-tukang lebon
lintah
darat bank plecit tukang kredit harus dilayani
siapa
tidak marah bila kebutuhan hidup semakin mendesak
seribu
lima ratus uang belanja tertinggi dari bapak untuk simbok
siapa
bisa mencukupi
sedangkan
kebutuhan hidup semakin mendesak
maka
simbok pun mencak-mencak:
“pak-pak
anak kita kebacut metu papat lho!”
bayaran
sekolahnya anak-anak nunggak lho!”
si
Penceng muntah ngising, perutku malah sudah
isi
lagi dan suk Selasa Pon ana sumbangan maneh
si
Sebloh dadi manten!”
jika
BBM kembali menginjak
namun
juga masih disebut langkah-langkah kebijaksanaan
maka
aku tidak akan lagi memohon pembangunan
nasib
kepadamu
duh pangeran duh gusti
sebab
nasib adalah permainan kekuasaan
lampu
butuh menyala, menyala butuh minyak
perut
butuh kenyang, kenyang butuh diisi
namun
bapak cuma abang becak!
maka
apabila becak pusaka keluarga pulang tanpa membawa uang
simbok
akan kembali mengajak berkelahi bapak.
Solo, 1984
JALAN
aspal
leleh tengah hari
silau
aku oleh sinar matahari
gedung-gedung
baru berdiri
arsitektur
lama satu-satu hilang
dimakan
pembangunan
jalan
kiri kanan dilebarkan
becak-becak
melompong di pinggiran
yang
jalan kaki
yang
digenjot
yang
jalan bensin
semua
ingin jalan
Solo, 22 November 1990
PASAR MALAM SRIWEDARI
beli
karcis di loket
pengemis
tua muda anak-anak
mengulurkan
tangan
masuk
arena corong-corong berteriak
udara
terang benderang tapi sesak
di
stand perusahaan rokok besar
perempuan
montok menawarkan dagangannya
di
stand jamu tradisionil
kere-kere
di depan video berjongkok
nonton
silat mandarin
di
dalam gedung wayang wong
penonton
lima belas orang
ada
pedagang kaki lima
yang
liar tak berizin
setiap
saat bisa diusir keamanan
Solo, 28 Mei 1986
SAJAK TIKAR PLASTIK-TIKAR PANDAN
tikar
plastik tikar pandan
kita
duduk berhadapan
tikar
plastik tikar pandan
lambang
dua kekuatan
tikar
plastik bikinan pabrik
tikar
pandan dianyam tangan
tikar
plastik makin mendesak
tikar
pandan bertahan
kalian
duduk di mana?
Solo, April 1988
LUMUT
dalam
gang pikiranku menggumam
seperti
kemarin saja
kini
los rumah yang dulu kami tempati
jadi
bangunan berpagar tembok tinggi
aku
jalan lagi
melewati
rumah yang pernah disewa
Riyanto
buruh kawan sekerjaku
ke
mana lagi dia sekeluarga
rumah
itu kini gantian di sewa
keluarga
mbak Nina
kampung
ini tak memiliki tanah lapang lagi
tanah-tanah
kosong sudah dibeli orang
dalam
gang
setengah
gelap setengah terang
aku
menemukan perumpamaan:
kita
ini lumut
menempel
di tembok-tembok bangunan
berkembang
di pingir-pinggir selokan
di
musim kemarau kering
diterjang
banjir
tetap
hidup
kalau
keadaan berubah
perumpamaan
boleh berubah
menurutmu
sendiri
kita
ini siapa?
Kalangan Solo, 8 Februari 1991
TANAH
tanah
mestinya di bagi-bagi
jika
cuma segelintir orang
yang
menguasai
bagaimana
hari esok kamu tani
tanah
mestinya ditanami
sebab
hidup tidak hanya hari ini
jika
sawah diratakan
rimbun
semak pohon dirubuhkan
apa
yang kita harap
dari
cerobong asap besi
hari
ini aku mimpi buruk lagi
seekor
burung kecil menanti induknya
di
dalam sarangnya yang gemeretak
dimakan
sapi
Solo, 1989
SAJAK TAPI SAYANG
kembang
dari pinggir jalan
kembang
yang tumbuh di tembok
tembok
selokan
kupindah
kutanam di halaman depan
anakku
senang bojoku senang
tapi
sayang
bojoku
ingin nanam lombok
anakku
ingin kolam ikan
tapi
sayang
setelah
sewa rumah habis
kami
harus pergi
terus
cari sewa lagi
terus
cari sewa lagi
alamat
rumah kami punya
tapi
sayang
kamu
butuh tanah
Solo, 25 januari 1991
GUNUNGBATU
gunungbatu
desa
yang melahirkan laki-laki
kuli-kuli
perkebunan
seharian
memikul kerja
setiap
pagi makin bungkuk
dijaga
mandor dan traktor
delapan
ratus gaji sehari
di
rumah ditunggu
mulut
perut anak istri
gunungbatu
desa
yang melahirkan laki-laki
pencuri-pencuri
menembak
binatang di hutan lindung
mengambil
telur penyu
di
pantai terlarang
demi
piring nasi
kehidupan
sehari-hari
gunungbatu
desa
terpencil jawa barat
dipagari
hutan
dibatasi
pantai-pantai cantik
ujung
genteng, cibuaya, pangumbahan
sulit
transportasi
-jakarta
dekat-
sulit
komunikasi
sejarah
gunungbatu
sejarah
kuli-kuli
sejak
kolonial
sampai
republik merdeka
sejarah
gunungbatu
sejarah
kuli-kuli
gunungbatu
masih
di tanah air ini
November 1987
SUTI
Suti
tidak kerja lagi
pucat
ia duduk dekat amben-nya
Suti
di rumah saja
tidak
ke pabrik tidak ke mana-mana
Suti
tidak ke rumah sakit
batuknya
memburu
dahaknya
berdarah
tak
ada biaya
Suti
kusut-masai
di
benaknya menggelegar suara mesin
kuyu
matanya membayangkan
buruh-buruh
yang berangkat pagi
pulang
petang
hidup
pas-pasan
gaji
kurang
dicekik
kebutuhan
Suti
meraba wajahnya sendiri
tubuhnya
makin susut saja
makin
kurus menonjol tulang pipinya
loyo
tenaganya
bertahun-tahun
dihisap kerja
Suti
batuk-batuk lagi
ia
ingat kawannya
Sri
yang mati
karena
rusak paru-parunya
Suti
meludah
dan
lagi-lagi darah
Suti
memejamkan mata
suara
mesin kembali menggemuruh
bayangan
kawannya bermunculan
Suti
menggelengkan kepala
tahu
mereka dibayar murah
Suti
meludah
dan
lagi-lagi darah
Suti
merenungi resep dokter
tak
ada uang
tak
ada obat
Solo, 27 Februari 1988
APA YANG BERHARGA DARI PUISIKU
apa
yang berharga dari puisiku
kalau
adikku tak berangkat sekolah
karena
belum membayar SPP
apa
yang berharga dari puisiku
kalau
becak bapakku tiba-tiba rusak
jika
nasi harus dibeli dengan uang
jika
kami harus makan
dan
jika yang dimakan tidak ada?
apa
yang berharga dari puisiku
kalau
bapak bertengkar dengan ibu
ibu
menyalahkan bapak
padahal
becak-becak terdesak oleh bis kota
kalau
bis kota lebih murah siapa yang salah?
apa
yang berharga dari puisiku
kalau
ibu dijiret utang
kalau
tetangga dijiret utang?
apa
yang berharga dari puisiku
kalau
kami terdesak mendirikan rumah
di
tanah-tanah pinggir selokan
sementara
harga tanah semakin mahal
kami
tak mampu membeli
salah
siapa kalau kami tak mampu beli tanah?
apa
yang berharga dari puisiku
kalau
orang sakit mati di rumah
karena
rumah sakit yang mahal
apa
yang berharga dari puisiku
kalau
yang kutulis makan waktu berbulan-bulan
apa
yang bisa kuberikan dalam kemiskinan yang menjiret kami?
apa
yang telah kuberikan
kalau
penonton baca puisi memberi keplokan
apa
yang telah kuberikan
apa
yang telah kuberikan?
Semarang, 6 Maret 1986
MENDONGKEL ORANG-ORANG PINTAR
kudongkel
keluar
orang-orang
pintar
dari
dalam kepalaku
aku
tak tergetar lagi
oleh
mulut-mulut orang pintar
yang
bersemangat ketika berbicara
dunia
bergerak bukan karena omongan
para
pembicara dalam ruang seminar
yang
ucapannya dimuat
di
halaman surat kabar
mungkin
pembaca terkagum-kagum
tapi
dunia tak bergerak
setelah
surat kabar itu dilipat
Kampung halaman Solo, 8 September 1993
KOTA INI MILIK KALIAN
di
belakang gedung-gedung tinggi
kalian
boleh tinggal
kalian
bebas tidur di mana-mana kapan saja
kalian
bebas bangun sewaktu kalian mau
jika
kedinginan karena gerimis atau hujan
kalian
bisa mencari hangat
di
sana ada restoran
kalian
bisa tidur dekat kompor penggorengan
bakmi
ayam dan babi
denting
garpu dan sepatu mengkilap
di
samping sedan-sedan dan mobil-mobil bikinan jepang
kalian
bisa mandi kapan saja
sungai
itu milik kalian
kalian
bisa cuci badan dengan limbah-limbah industri
apa
belum cukup terang benderang itu
lampu
merkuri taman
apa
belum cukup nyaman tidur di bawah langit kawan
kota
ini milik kalian
kecuali
gedung-gedung tembok pagar besi itu; jangan!
GENTONG KOSONG
parit
susut
tanah
kerontang
langit
mengkilau perak
matahari
menggosongkan pipi
gentong
kosong
beras
segelas cuma
masak
apa kita hari ini?
pakis-pakis
hijau
bawang
putih dan garam
kepadamu
kami berterimakasih
atas
jawabanmu
pada
sang lapar hari ini
gentong
kosong
airmu
kering
ciduk
jatuh bergelontang
minum
apa hari ini?
sungai-sungai
pinggir hutan
yang
menolong di panas terik
dan
kalian pucuk-pucuk muda daun pohon karet
yang
mendidih bersama ikan teri di panci
jadilah
tenaga hidup kami hari ini
dengan
iris-irisan ubi keladi
yang
digoreng dengan minyak
persediaan
terakhir kami
gentong
kosong
botol
kosong
marilah
bernyanyi
merayakan
hidup ini
6 Januari 1997
KUCING, IKAN ASIN DAN AKU
seekor
kucing kurus
menggondol
ikan asin
laukku
untuk siang ini
aku
meloncat
kuraih
pisau
biar
kubacok dia
biar
mampus!
ia
tak lari
tapi
mendongak
menatapku
tajam
mendadak
lunglai
tanganku
-aku
melihat diriku sendiri
lalu
kami berbagi
kuberi
ia kepalanya
(batal
nyawa melayang)
aku
hidup
ia
hidup
kami
sama-sama makan
14 Oktober 1996
NONTON HARGA
ayo
keluar keliling kota
tak
perlu ongkos tak perlu biaya
masuk
toko perbelanjaan tingkat lima
tak
beli tak apa
lihat-lihat
saja
kalau
pingin durian
apel-pisang-rambutan-anggur
ayo..
kita
bisa mencium baunya
mengumbar
hidung cuma-cuma
tak
perlu ongkos tak perlu biaya
di
kota kita
buah
macam apa
asal
mana saja
ada
kalau
pingin lihat orang cantik
di
kota kita banyak gedung bioskop
kita
bisa nonton posternya
atau
ke diskotik
di
depan pintu
kau
boleh mengumbar telinga cuma-cuma
mendengarkan
detak musik
denting
botol
lengking
dan tawa
bisa
juga kau nikmati
aroma
minyak wangi luar negeri
cuma-cuma
aromanya
saja
ayo..
kita
keliling kota
hari
ini ada peresmian hotel baru
berbintang
lima
dibuka
pejabat tinggi
dihadiri
artis-artis ternama ibukota
lihat
mobil
para tamu berderet-deret
satu
kilometer panjangnya
kota
kita memang makin megah dan kaya
tapi
hari sudah malam
ayo
kita pulang
ke
rumah kontrakan
sebelum
kehabisan kendaraan
ayo
kita pulang
ke
rumah kontrakan
tidur
berderet-deret
seperti
ikan tangkapan
siap
dijual di pelelangan
besok
pagi
kita
ke pabrik
kembali
bekerja
sarapan
nasi bungkus
ngutang
seperti
biasa
18 November 1996
DERITA SUDAH NAIK SELEHER
kaulempar
aku dalam gelap
hingga
hidupku menjadi gelap
kausiksa
aku sangat keras
hingga
aku makin mengeras
kau
paksa aku terus menunduk
tapi
keputusan tambah tegak
darah
sudah kau teteskan
dari
bibirku
luka
sudah kau bilurkan
ke
sekujur tubuhku
cahaya
sudah kau rampas
dari
biji mataku
derita
sudah naik seleher
kau
menindas
sampai
di
luar batas
17 November 1996
PUISI SIKAP
maunya
mulutmu bicara terus
tapi
telingamu tak mau mendengar
maumu
aku ini jadi pendengar terus
bisu
kamu
memang punya tank
tapi
salah besar kamu
kalau
karena itu
aku
lantas manut
andai
benar
ada
kehidupan lagi nanti
setelah
kehidupan ini
maka
akan kuceritakan kepada semua mahkluk
bahwa
sepanjang umurku dulu
telah
kuletakkan rasa takut itu di tumitku
dan
kuhabiskan hidupku
untuk
menentangmu
hei
penguasa zalim
24 Januari 1997
HARI INI AKU AKAN BERSIUL-SIUL
pada
hari coblosan nanti
aku
akan masuk ke dapur
akan
kujumlah gelas dan sendokku
apakah
jumlahnya bertambah
setelah
pemilu bubar?
pemilu
oo.. pilu pilu
bila
hari coblosan tiba nanti
aku
tak akan pergi kemana-mana
aku
ingin di rumah saja
mengisi
jambangan
atau
mananak nasi
pemilu
oo.. pilu pilu
nanti
akan kuceritakan kepadamu
apakah
jadi penuh karung beras
minyak
tanah
gula
atau
bumbu masak
setelah
suaramu dihitung
dan
pesta demokrasi dinyatakan selesai
nanti
akan kuceritakan kepadamu
pemilu
oo.. pilu pilu
bila
tiba harinya
hari
coblosan
aku
tak akan ikut berbondong-bondong
ke
tempat pemungutan suara
aku
tidak akan datang
aku
tidak akan menyerahkan suaraku
aku
tidak akan ikutan masuk
ke
dalam kotak suara itu
pemilu
oo.. pilu pilu
aku
akan bersiul-siul
memproklamasikan
kemerdekaanku
aku
akan mandi
dan
bernyanyi sekeras-kerasnya
pemilu
oo.. pilu pilu
hari
itu aku akan mengibarkan hakku
tinggi
tinggi
akan
kurayakan dengan nasi hangat
sambel
bawang dan ikan asin
pemilu
oo.. pilu pilu
sambel
bawang dan ikan asin
10 November 1996
MERONTOKKAN PIDATO
bermingu-minggu
ratusan jam
aku
dipaksa
akrab
dengan sudut-sudut kamar
lobang-lobang
udara
lalat
semut dan kecoa
tapi
catatlah
mereka
gagal memaksaku
aku
tak akan mengakui kesalahanku
karena
berpikir merdeka bukanlah kesalahan
bukan
dosa bukan aib bukan cacat
yang
harus disembunyikan
kubaca
koran
kucari
apa yang tidak tertulis
kutonton
televisi
kulihat
apa yang tidak diperlihatkan
kukibas-kibaskan
pidatomu itu
dalam
kepalaku hingga rontok
maka
terang benderanglah
:ucapan
penguasa selalu dibenarkan
laras
senapan!
tapi
dengarlah
aku
tak akan minta ampun
pada
kemerdekaan ini
11 September 1996
PUISI MENOLAK PATUH
walau
penguasa menyatakan keadaan darurat
dan
memberlakukan jam malam
kegembiraanku
tak akan berubah
seperti
kupu-kupu
sayapnya
tetap indah
meski
air kali keruh
pertarungan
para jendral
tak
ada sangkut pautnya
dengan
kebahagiaanku
seperti
cuaca yang kacau
hujan
angin kencang serta terik panas
tidak
akan mempersempit atau memperluas langit
lapar
tetap lapar
tentara
di jalan-jalan raya
pidato
kenegaraan atau siaran pemerintah
tentang
kenaikkan pendapatan rakyat
tidak
akan mengubah lapar
dan
terbitnya kata-kata dalam diriku
tak
bisa dicegah
bagaimana
kau akan membungkamku?
penjara
sekalipun
tak
bakal mampu
mendidikku
jadi patuh
17 Januari 1997
AKU MASIH UTUH DAN KATA-KATA BELUM BINASA
aku
bukan artis pembuat berita
tapi
aku memang selalu kabar buruk buat
penguasa
puisiku
bukan puisi
tapi
kata-kata gelap
yang
berkeringat dan berdesakan
mencari
jalan
ia
tak mati-mati
meski
bola mataku diganti
ia
tak mati-mati
meski
bercerai dengan rumah
ditusuk-tusuk
sepi
ia
tak mati-mati
telah
kubayar yang dia minta
umur-tenaga-luka
kata-kata
itu selalu menagih
padaku
ia selalu berkata
kau
masih hidup
aku
memang masih utuh
dan
kata-kata belum binasa
18 Juni 1997
PERINGATAN
Jika rakyat
pergi
Ketika penguasa pidato
Kita harus hati-hati
Barangkali mereka putus asa
Ketika penguasa pidato
Kita harus hati-hati
Barangkali mereka putus asa
Kalau rakyat
bersembunyi
Dan berbisik-bisik
Ketika membicarakan masalahnya sendiri
Penguasa harus waspada dan belajar mendengar
Dan berbisik-bisik
Ketika membicarakan masalahnya sendiri
Penguasa harus waspada dan belajar mendengar
Bila rakyat
berani mengeluh
Itu artinya sudah gawat
Dan bila omongan penguasa
Tidak boleh dibantah
Kebenaran pasti terancam
Itu artinya sudah gawat
Dan bila omongan penguasa
Tidak boleh dibantah
Kebenaran pasti terancam
Apabila usul
ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: lawan!.
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: lawan!.
1986
SAJAK SUARA
sesungguhnya
suara itu tak bisa diredam
mulut bisa dibungkam
namun siapa mampu menghentikan nyanyian bimbang
dan pertanyaan-pertanyaan dari lidah jiwaku
suara-suara itu tak bisa dipenjarakan
di sana bersemayam kemerdekaan
apabila engkau memaksa diamaku
siapkan untukmu: pemberontakan!
mulut bisa dibungkam
namun siapa mampu menghentikan nyanyian bimbang
dan pertanyaan-pertanyaan dari lidah jiwaku
suara-suara itu tak bisa dipenjarakan
di sana bersemayam kemerdekaan
apabila engkau memaksa diamaku
siapkan untukmu: pemberontakan!
sesungguhnya
suara itu bukan perampok
yang ingin merayah hartamu
ia ingin bicara
mengapa kau kokang senjata
dan gemetar ketika suara-suara itu
menuntut keadilan?
sesungguhnya suara itu akan menjadi kata
ialah yang mengajari aku bertanya
dan pada akhirnya tidak bisa tidak
engkau harus menjawabnya
apabila engkau tetap bertahan
aku akan memburumu seperti kutukan
yang ingin merayah hartamu
ia ingin bicara
mengapa kau kokang senjata
dan gemetar ketika suara-suara itu
menuntut keadilan?
sesungguhnya suara itu akan menjadi kata
ialah yang mengajari aku bertanya
dan pada akhirnya tidak bisa tidak
engkau harus menjawabnya
apabila engkau tetap bertahan
aku akan memburumu seperti kutukan
BUNGA DAN TEMBOK
Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak
Kau hendaki tumbuh
Engkau lebih suka membangun
Rumah dan merampas tanah
Kami adalah bunga yang tak
Kau hendaki tumbuh
Engkau lebih suka membangun
Rumah dan merampas tanah
Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak
Kau kehendaki adanya
Engkau lebih suka membangun
Jalan raya dan pagar besi
Kami adalah bunga yang tak
Kau kehendaki adanya
Engkau lebih suka membangun
Jalan raya dan pagar besi
Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang
Dirontokkan di bumi kami sendiri
Kami adalah bunga yang
Dirontokkan di bumi kami sendiri
Jika kami bunga
Engkau adalah tembok itu
Tapi di tubuh tembok itu
Telah kami sebar biji-biji
Suatu saat kami akan tumbuh bersama
Dengan keyakinan: engkau harus hancur!
Engkau adalah tembok itu
Tapi di tubuh tembok itu
Telah kami sebar biji-biji
Suatu saat kami akan tumbuh bersama
Dengan keyakinan: engkau harus hancur!
Dalam keyakinan
kami
Di manapun – tirani harus tumbang!
Di manapun – tirani harus tumbang!
TENTANG SEBUAH GERAKAN
.
Tadinya
aku pingin bilang
aku
butuh rumah
tapi
lantas kuganti
dengan
kalimat
SETIAP
ORANG BUTUH TANAH
ingat:
Setiap orang
.
aku
berpikir
tentang
sebuah gerakan
tapi
mana mungkin
aku
nuntut sendirian
.
aku
bukan orang suci
yang
bisa hidup dari sekepal nasi
dan
air sekendi
aku
butuh celana dan baju
untuk
menutup kemaluanku
.
aku
berpikir
tentang
sebuah gerakan
tapi
mana mungkin
kalau
diam
Dari berbagai sumber.
0 Response to "Kumpulan Puisi Widji Thukul"
Posting Komentar