Kumpulan Puisi Taufiq Ismail - Taufiq
Ismail lahir di Bukittinggi, 25 Juni 1935. Taufiq Ismail
adalah seorang sastrawan senior Indonesia yang dibesarkan di Pekalongan dalam
keluarga guru dan wartawan. Karena pengaruh lingkungan, profesi sebagai guru
dan wartawan itu pun juga pernah dilakoninya.
Taufiq dilahirkan di Bukittinggi dan menghabiskan masa SD di Yogyakarta,
kemudian masa SMP kembali ke Bukittingi. Setelah itu ia melanjutkan SMA di
Bogor, dan dengan pilihan sendiri Taufiq memilih jurusan kedokteran hewan di
bangku kuliah karena ia ingin memiliki bisnis peternakan untuk menafkahi
cita-cita kesusastraannya.
Meskipun berhasil menamatkan kuliahnya, akan tetapi Taufiq gagal untuk
memiliki sebuah usaha ternak yang pernah ia rencanakan. Pendidikan singkat lain
yang Taufiq tempuh adalah American Field Service International School,
International Writing Program di University of Iowa, dan di Faculty of Languange
and Literature, Mesir.
Sejak kecil, Taufiq sudah suka membaca dan bercita-cita jadi sastrawan ketika
masih SMA. Sajak pertamanya bahkan berhasil dimuat di majalah Mimbar Indonesia
dan Kisah. Sampai saat ini, Taufiq telah menghasilkan puluhan sajak dan puisi,
serta beberapa karya terjemahan. Karya-karya Taufiq pun telah diterjemahkan ke
berbagai bahasa, misalnya Arab, Inggris, Jepang, Jerman, dan Perancis.
Sebagai penyair, Taufiq telah membacakan puisinya di berbagai tempat, baik
di luar negeri maupun di dalam negeri. Dalam setiap peristiwa yang bersejarah
di Indonesia Taufiq selalu tampil dengan membacakan puisi-puisinya, seperti
jatuhnya Rezim Soeharto, peristiwa Trisakti, dan peristiwa Pengeboman Bali. Ia
bahkan sempat menulis puisi ketika kasus video Ariel Peterpan, Luna Maya, dan
Cut Tari beredar. Dibidang musik, Taufik juga mahir menciptakan lagu. Ia
bersama Bimbo, Chrisye, Ian Antono, dan Ucok Harahap menjalin kerjasama di
bidang musik tahun 1974.
Karena menandatangani Manifes Kebudayaan, yang dinyatakan terlarang oleh
Presiden Soekarno, ia sempat batal dikirim untuk studi lanjutan ke Universitas
Kentucky dan Florida. Hal itu menyebabkan Taufiq dipecat sebagai pegawai negeri
pada tahun 1964. Namun bagaimanapun, kenyataan tersebut tidak membuatnya putus
asa dan berhenti berkarya.
DENGAN PUISI AKU
Dengan puisi aku bernyanyi
Sampai senja umurku nanti
Dengan puisi aku bercinta
Berbaur cakrawala
Dengan puisi aku mengenang
Keabadian Yang Akan Datang
Dengan puisi aku menangis
Jarum waktu bila kejam mengiris
Dengan puisi aku mengutuk
Napas jaman yang busuk
Dengan puisi aku berdoa
Perkenankanlah kiranya
Sampai senja umurku nanti
Dengan puisi aku bercinta
Berbaur cakrawala
Dengan puisi aku mengenang
Keabadian Yang Akan Datang
Dengan puisi aku menangis
Jarum waktu bila kejam mengiris
Dengan puisi aku mengutuk
Napas jaman yang busuk
Dengan puisi aku berdoa
Perkenankanlah kiranya
SEBUAH JAKET BERLUMUR DARAH
Sebuah jaket berlumur darah
Kami semua telah menatapmu
Telah pergi duka yang agung
Dalam kepedihan bertahun-tahun.
Sebuah sungai membatasi kita
Di bawah terik matahari Jakarta
Antara kebebasan dan penindasan
Berlapis senjata dan sangkur baja
Akan mundurkah kita sekarang
Seraya mengucapkan ’Selamat tinggal perjuangan’
Berikara setia kepada tirani
Dan mengenakan baju kebesaran sang pelayan?.
Spanduk kumal itu, ya spanduk itu
Kami semua telah menatapmu
Dan di atas bangunan-bangunan
Menunduk bendera setengah tiang.
Pesan itu telah sampai kemana-mana
Melalui kendaraan yang melintas
Abang-abang beca, kuli-kuli pelabuhan
Teriakan-teriakan di atas bis kota, pawai-pawai perkasa
Prosesi jenazah ke pemakaman
Mereka berkata
Semuanya berkata
Lanjutkan Perjuangan.
SYAIR ORANG LAPAR
Lapar menyerang desaku
Kentang dipanggang kemarau
Surat orang kampungku
Kuguratkan kertas
Risau
Lapar lautan pidato
Ranah dipanggang kemarau
Ketika berduyun mengemis
Kesinikan hatimu
Kuiris
Lapar di Gunungkidul
Mayat dipanggang kemarau
Berjajar masuk kubur
Kauulang jua
Kalau.
KARANGAN BUNGA
Tiga anak kecil
Dalam langkah malu-malu
Datang ke salemba
Sore itu.
Ini dari kami bertiga
Pita hitam pada karangan bunga
Sebab kami ikut berduka
Bagi kakak yang ditembak mati
Siang tadi.
SALEMBA
Alma Mater, janganlah bersedih
Bila arakan ini bergerak pelahan
Menuju pemakaman
Siang ini.
Anakmu yang berani
Telah tersungkur ke bumi
Ketika melawan tirani.
MEMANG SELALU DEMIKIAN, HADI
Setiap perjuangan selalu melahirkan
Sejumlah pengkhianat dan para penjilat
Jangan kau gusar, Hadi.
Setiap perjuangan selalu menghadapkan kita
Pada kaum yang bimbang menghadapi gelombang
Jangan kau kecewa, Hadi.
Setiap perjuangan yang akan menang
Selalu mendatangkan pahlawan jadi-jadian
Dan para jagoan kesiangan.
Memang demikianlah halnya, Hadi.
NASEHAT-NASEHAT KECIL ORANG TUA
PADA ANAKNYA BERANGKAT DEWASA
Jika adalah yang harus kaulakukan
Ialah menyampaikan kebenaran
Jika adalah yang tidak bisa dijual-belikan
Ialah yang bernama keyakinan
Jika adalah yang harus kau tumbangkan
Ialah segala pohon-pohon kezaliman
Jika adalah orang yang harus kauagungkan
Ialah hanya Rasul Tuhan
Jika adalah kesempatan memilih mati
Ialah syahid di jalan Ilahi.
KITA
ADALAH PEMILIK SAH REPUBLIK INI
Tidak ada pilihan lain
Kita harus
Berjalan terus
Karena berhenti atau mundur
Berarti hancur
Apakah akan kita jual keyakinan kita
Dalam pengabdian tanpa harga
Akan maukah kita duduk satu meja
Dengan para pembunuh tahun yang lalu
Dalam setiap kalimat yang berakhiran
“Duli Tuanku ?”
Kita harus
Berjalan terus
Karena berhenti atau mundur
Berarti hancur
Apakah akan kita jual keyakinan kita
Dalam pengabdian tanpa harga
Akan maukah kita duduk satu meja
Dengan para pembunuh tahun yang lalu
Dalam setiap kalimat yang berakhiran
“Duli Tuanku ?”
Tidak ada lagi pilihan lain
Kita harus
Berjalan terus
Kita adalah manusia bermata sayu, yang di tepi jalan
Mengacungkan tangan untuk oplet dan bus yang penuh
Kita adalah berpuluh juta yang bertahun hidup sengsara
Dipukul banjir, gunung api, kutuk dan hama
Dan bertanya-tanya inikah yang namanya merdeka
Kita yang tidak punya kepentingan dengan seribu slogan
Dan seribu pengeras suara yang hampa suara
Tidak ada lagi pilihan lain
Kita harus
Berjalan terus.
Kita harus
Berjalan terus
Kita adalah manusia bermata sayu, yang di tepi jalan
Mengacungkan tangan untuk oplet dan bus yang penuh
Kita adalah berpuluh juta yang bertahun hidup sengsara
Dipukul banjir, gunung api, kutuk dan hama
Dan bertanya-tanya inikah yang namanya merdeka
Kita yang tidak punya kepentingan dengan seribu slogan
Dan seribu pengeras suara yang hampa suara
Tidak ada lagi pilihan lain
Kita harus
Berjalan terus.
1966
MEMBACA
TANDA-TANDA
Ada sesuatu yang rasanya mulai lepas
dari tangan
dan meluncur lewat sela-sela jari kita
dari tangan
dan meluncur lewat sela-sela jari kita
Ada sesuatu yang mulanya
tak begitu jelas
tapi kini kita mulai merindukannya
tak begitu jelas
tapi kini kita mulai merindukannya
Kita saksikan udara
abu-abu warnanya
Kita saksikan air danau
yang semakin surut jadinya
Burung-burung kecil
tak lagi berkicau pagi hari
abu-abu warnanya
Kita saksikan air danau
yang semakin surut jadinya
Burung-burung kecil
tak lagi berkicau pagi hari
Hutan kehilangan ranting
Ranting kehilangan daun
Daun kehilangan dahan
Dahan kehilangan
hutan
Ranting kehilangan daun
Daun kehilangan dahan
Dahan kehilangan
hutan
Kita saksikan zat asam
didesak asam arang
dan karbon dioksid itu
menggilas paru-paru
didesak asam arang
dan karbon dioksid itu
menggilas paru-paru
Kita saksikan
Gunung memompa abu
Abu membawa batu
Batu membawa lindu
Lindu membawa longsor
Longsor membawa air
Air membawa banjir
Banjir membawa air
Gunung memompa abu
Abu membawa batu
Batu membawa lindu
Lindu membawa longsor
Longsor membawa air
Air membawa banjir
Banjir membawa air
air
mata
mata
Kita telah saksikan seribu
tanda-tanda
Bisakah kita membaca tanda-tanda?
Bisakah kita membaca tanda-tanda?
Allah
Kami telah membaca gempa
Kami telah disapu banjir
Kami telah dihalau api dan hama
Kami telah dihujani abu dan batu
Kami telah membaca gempa
Kami telah disapu banjir
Kami telah dihalau api dan hama
Kami telah dihujani abu dan batu
Allah
Ampuni dosa-dosa kami
Ampuni dosa-dosa kami
Beri kami kearifan membaca
Seribu tanda-tanda
Seribu tanda-tanda
Karena ada sesuatu yang rasanya
mulai lepas dari tangan
dan meluncur lewat sela-sela jari
mulai lepas dari tangan
dan meluncur lewat sela-sela jari
Karena ada sesuatu yang mulanya
tak begitu jelas
tapi kini kami
mulai
merindukannya.
tak begitu jelas
tapi kini kami
mulai
merindukannya.
1982
PUISI
KEMBALIKAN INDONESIA PADAKU
Hari depan Indonesia adalah dua
ratus juta mulut yang menganga,
Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 wat,
sebagian berwarna putih dan sebagian hitam,
yang menyala bergantian,
Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong siang malam
dengan bolayang bentuknya seperti telur angsa,
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam
karena seratus juta penduduknya,
Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 wat,
sebagian berwarna putih dan sebagian hitam,
yang menyala bergantian,
Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong siang malam
dengan bolayang bentuknya seperti telur angsa,
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam
karena seratus juta penduduknya,
Kembalikan
Indonesia
padaku
Indonesia
padaku
Hari depan Indonesia adalah satu
juta orang main pingpong siang malam
dengan bola telur angsa di bawah sinar lampu 15 wat,
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang pelan-pelan tenggelam
lantaran berat bebannya kemudian angsa-angsa berenang-renang di atasnya,
Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga,
dan di dalam mulut itu ada bola-bola lampu 15 wat,
sebagian putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian,
Hari depan Indonesia adalah angsa-angsa putih yang berenang-renang
sambil main pingpong di atas pulau Jawa yang tenggelam
dan membawa seratus juta bola lampu 15 wat ke dasar lautan,
dengan bola telur angsa di bawah sinar lampu 15 wat,
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang pelan-pelan tenggelam
lantaran berat bebannya kemudian angsa-angsa berenang-renang di atasnya,
Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga,
dan di dalam mulut itu ada bola-bola lampu 15 wat,
sebagian putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian,
Hari depan Indonesia adalah angsa-angsa putih yang berenang-renang
sambil main pingpong di atas pulau Jawa yang tenggelam
dan membawa seratus juta bola lampu 15 wat ke dasar lautan,
Kembalikan
Indonesia
padaku
Indonesia
padaku
Hari depan Indonesia adalah
pertandingan pingpong siang malam
dengan bola yang bentuknya seperti telur angsa,
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam
karena seratus juta penduduknya,
Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 wat,
sebagian berwarna putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian,
dengan bola yang bentuknya seperti telur angsa,
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam
karena seratus juta penduduknya,
Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 wat,
sebagian berwarna putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian,
Kembalikan
Indonesia
padaku
Indonesia
padaku
Paris, 1971
DOA
Tuhan
kami
Telah
nista kami dalam dosa bersama
Bertahun-tahun
membangun kultus ini
Dalam
pikiran yang ganda
Dan
menutupi hati nurani
Ampunilah
kami
Ampunilah
Amin
Tuhan
kami
Telah
terlalu mudah kami
Menggunakan
AsmaMu
Bertahun
di negeri ini
Semoga
Kau rela menerima kembali
Kami
dalam barisanMu
Ampunilah
kami
Ampunilah
Amin
1966
LARUT
MALAM SUARA SEBUAH TRUK
Sebuah
Lasykar truk
Masuk
kota Salatiga
Mereka
menyanyikan lagu
'Sudah
Bebas Negeri Kita'
Di jalan
Tuntang seorang anak kecil
Empat
tahun terjaga :
'Ibu,
akan pulangkah Bapa,
dan
membawakan pestol buat saya ?'
1963
BAGAIMANA
KALAU
Bagaimana
kalau dulu bukan khuldi yang dimakan Adam,
tapi buah
alpukat,
Bagaimana
kalau bumi bukan bulat tapi segi empat,
Bagaimana
kalau lagu Indonesia Raya kita rubah,
dan
kepada Koes Plus kita beri mandat,
Bagaimana
kalau ibukota Amerika Hanoi,
dan
ibukota Indonesia Monaco,
Bagaimana
kalau malam nanti jam sebelas,
salju
turun di Gunung Sahari,
Bagaimana
kalau bisa dibuktikan bahwa Ali Murtopo, Ali Sadikin
dan Ali
Wardhana ternyata pengarang-pengarang lagu pop,
Bagaimana
kalau hutang-hutang Indonesia
dibayar
dengan pementasan Rendra,
Bagaimana
kalau segala yang kita angankan terjadi,
dan
segala yang terjadi pernah kita rancangkan,
Bagaimana
kalau akustik dunia jadi sedemikian sempurnanya sehingga di
kamar
tidur kau dengar deru bom Vietnam, gemersik sejuta kaki
pengungsi,
gemuruh banjir dan gempa bumi sera suara-suara
percintaan
anak muda, juga bunyi industri presisi dan
margasatwa
Afrika,
Bagaimana
kalau pemerintah diizinkan protes dan rakyat kecil
mempertimbangkan
protes itu,
Bagaimana
kalau kesenian dihentikan saja sampai di sini dan kita
pelihara
ternak sebagai pengganti
Bagaimana
kalau sampai waktunya
kita
tidak perlu bertanya bagaimana lagi.
1971
BAYI
LAHIR BULAN MEI 1998
Dengarkan
itu ada bayi mengea di rumah tetangga
Suaranya
keras, menangis berhiba-hiba
Begitu
lahir ditating tangan bidannya
Belum
kering darah dan air ketubannya
Langsung
dia memikul hutang di bahunya
Rupiah
sepuluh juta
Kalau dia
jadi petani di desa
Dia akan
mensubsidi harga beras orang kota
Kalau dia
jadi orang kota
Dia akan
mensubsidi bisnis pengusaha kaya
Kalau dia
bayar pajak
Pajak itu
mungkin jadi peluru runcing
Ke
pangkal aortanya dibidikkan mendesing
Cobalah
nasihati bayi ini dengan penataran juga
Mulutmu
belum selesai bicara
Kau pasti
dikencinginya.
1998
OKTOBER
HITAM
(1)
Atap-atap
gunung Dan daratan
Meratap
Ke mega gemulung Mata yang duka
Menatap
Sepanjang pagi murung Angin yang nestapa
Berdesah
Awan pun mendung Di musim pengap
Yang
gelisah Menitiklah gerimis Karena berjuta
Telah
menangis Tujuh lelaki Telah mati Pagi itu
(2)
Kaki kami
lamban menyongsongmu, Kenyataan Begitu keras kau gedor-gedor pintu negeri kami
Yang terkantuk-kantuk dalam kefanaan panjang Dan terendam mimpi demagogi
Cakar
kekhianatan Telah mencengkeram urat leher Menebas jalan napas
(3)
Pohon-pohon
cemara Pohon asam Pohon randu sepanjang jalan Pohon pina di hutan-hutan Pohon
kamboja di pekuburan
Menundukkan
Daun-daunnya
Dan
margasatwa Kawanan unggas Burung kepodang Balam dan elang
Berbisik-bisik
Tiada henti Menyebut namaMu
(4)
Darah
Ade, anak perempuan mungil itu Menetes sepanjang tongkat ayahnya Yang
bertelekan di kuburan Menahan berat beban cobaan Tapi tetap tegak bertahan
Sembilu
telah mengiris Langit Menyayat-nyayat mega Menurunkan gerimis Semua berbisik
Tiada henti Menyebut namaMu Kami pun terjaga dalam Oktober yang hitam Bangkit
dan kabut ilusi Tahun-tahun meleleh, tangan ‘kan menegak keadilan Dalam deram
tak tertahan-tahan!
(5)
Awan pun
jadi mendung Di pagi musim yang pengap Ketika arakan jenazah Bergerak pelahan
Di atas
kendaraan baja Di bawah awan nestapa Dipagar air mata Kulihat pagi jadi mendung
Kulihat cuaca mengundang gerimis Di negeri yang berkabung Dalam duka mengiris
Fajar
kelabu Fajar kelam Pagi pembunuhan Pagi yang hitam
Tujuh
lelaki Telah mati Dikhianati.
1965
GUGUR
DALAM PENCEGATAN
TAHUN
EMPATPULUH-DELAPAN
Demikian
cerita kakek penjaga
Tentang
pengunjung lelaki setengah baya
Berkemeja
dril lusuh, dari luar kota
Matanya
memandang jauh, tubuh amat kurusnya
Datang ke
musium perjuangan
Pada
suatu sore yang sepi
Ketika
hujan rinai tetes-tetes di jendela
Dan angin
mengibarkan tirai serta pucuk-pucuk cemara
Lelaki
itu menulis kesannya di buku-tamu
Buku
tahun-keenam, halaman seratus-delapan
Dan sebelum
dia pergi
Menyalami
dulu kakek Aki
Dengan
tangannya yang dingin aneh
Setelah
ke tugu nama-nama dia menoleh
Lalu
keluarlah dia, agak terseret berjalan
Ke tengah
gerimis di pekarangan
Tetapi
sebelum ke pagar halaman
Lelaki
itu tiba-tiba menghilang
DARI
CATATAN SEORANG DEMONSTRAN
Inilah
peperangan
Tanpa
jenderal, tanpa senapan
Pada
hari-hari yang mendung
Bahkan
tanpa harapan
Di
sinilah keberanian diuji
Kebenaran
dicoba dihancurkn
Pada
hari-hari berkabung
Di depan
menghadang ribuan lawan
1966
DARI IBU
SEORANG DEMONSTRAN
"Ibu
telah merelakan kalian
Untuk
berangkat demonstrasi
Karena
kalian pergi menyempurnakan
Kemerdekaan
negeri ini"
Ya, ibu
tahu, mereka tidak menggunakan gada
Atau gas
airmata
Tapi
langsung peluru tajam
Tapi
itulah yang dihadapi
Ayah
kalian almarhum
Delapan
belas tahun yang lalu
Pergilah
pergi, setiap pagi
Setelah
dahi dan pipi kalian
Ibu ciumi
Mungkin
ini pelukan penghabisan
(Ibu itu
menyeka sudut matanya)
Tapi
ingatlah, sekali lagi
Jika
logam itu memang memuat nama kalian
(Ibu itu
tersedu sedan)
Ibu
relakan
Tapi
jangan di saat terakhir
Kau
teriakkan kebencian
Atau
dendam kesumat
Pada
seseorang
Walapun
betapa zalimnya
Orang itu
Niatkanlah
menegakkan kalimah Allah
Di atas
bumi kita ini
Sebelum
kalian melangkah setiap pagi
Sunyi dari
dendam dan kebencian
Kemudian
lafazkan kesaksian pada Tuhan
Serta
rasul kita yang tercinta
pergilah
pergi
Iwan, Ida
dan Hadi
Pergilah
pergi
Pagi ini
(Mereka
telah berpamitan dengan ibu dicinta
Beberapa
saat tangannya meraba rambut mereka
Dan
berangkatlah mereka bertiga
Tanpa
menoleh lagi, tanpa kata-kata)
1966
JALAN
SEGARA
Di
sinilah penembakan
Kepengecutan
Dilakukan
Ketika
pawai bergerak
Dalam
panas matahari
Dan pelor
pembayar pajak
Negeri
ini
Ditembuskan
ke pungung
Anak-anaknya
sendiri
1966
1946 : LARUT MALAM SUARA SEBUAH TRUK
Sebuah Lasykar truk
Masuk kota Salatiga
Mereka menyanyikan lagu
'Sudah Bebas Negeri Kita'
Di jalan Tuntang seorang anak kecil
Empat tahun terjaga :
'Ibu, akan pulangkah Bapa,
dan membawakan pestol buat saya ?'
Sebuah Lasykar truk
Masuk kota Salatiga
Mereka menyanyikan lagu
'Sudah Bebas Negeri Kita'
Di jalan Tuntang seorang anak kecil
Empat tahun terjaga :
'Ibu, akan pulangkah Bapa,
dan membawakan pestol buat saya ?'
BAGAIMANA KALAU
Bagaimana kalau dulu bukan khuldi yang dimakan Adam,
tapi buah alpukat,
Bagaimana kalau bumi bukan bulat tapi segi empat,
Bagaimana kalau lagu Indonesia Raya kita rubah,
dan kepada Koes Plus kita beri mandat,
Bagaimana kalau ibukota Amerika Hanoi,
dan ibukota Indonesia Monaco,
Bagaimana kalau malam nanti jam sebelas,
salju turun di Gunung Sahari,
Bagaimana kalau bisa dibuktikan bahwa Ali Murtopo, Ali Sadikin
dan Ali Wardhana ternyata pengarang-pengarang lagu pop,
Bagaimana kalau hutang-hutang Indonesia
dibayar dengan pementasan Rendra,
Bagaimana kalau segala yang kita angankan terjadi,
dan segala yang terjadi pernah kita rancangkan,
Bagaimana kalau akustik dunia jadi sedemikian sempurnanya sehingga di
kamar tidur kau dengar deru bom Vietnam, gemersik sejuta kaki
pengungsi, gemuruh banjir dan gempa bumi sera suara-suara
percintaan anak muda, juga bunyi industri presisi dan
margasatwa Afrika,
Bagaimana kalau pemerintah diizinkan protes dan rakyat kecil
mempertimbangkan protes itu,
Bagaimana kalau kesenian dihentikan saja sampai di sini dan kita
pelihara ternak sebagai pengganti
Bagaimana kalau sampai waktunya
kita tidak perlu bertanya bagaimana lagi.
1971
BUKU TAMU MUSIUM PERJUANGAN
Pada tahun keenam
Setelah di kota kami didirikan
Sebuah Musium Perjuangan
Datanglah seorang lelaki setengah baya
Berkunjung dari luar kota
Pada sore bulan November berhujan
dan menulis kesannya di buku tamu
Buku tahun keenam, halaman seratus-delapan
Bertahun-tahun aku rindu
Untuk berkunjung kemari
Dari tempatku jauh sekali
Bukan sekedar mengenang kembali
Hari tembak-menembak dan malam penyergapan
Di daerah ini
Bukan sekedar menatap lukisan-lukisan
Dan potret-potret para pahlawan
Mengusap-usap karaben tua
Baby mortir buatan sendiri
Atau menghitung-hitung satyalencana
Dan selalu mempercakapkannya
Alangkah sukarnya bagiku
Dari tempatku kini, yang begitu jauh
Untuk datang seperti saat ini
Dengan jasad berbasah-basah
Dalam gerimis bulan November
Datang sore ini, menghayati musium yang lengang
Sendiri
Menghidupkan diriku kembali
Dalam pikiran-pikiran waktu gerilya
Di waktu kebebasan adalah impian keabadian
Dan belum berpikir oleh kita masalah kebendaan
Penggelapan dan salahguna pengatasnamaan
Begitulah aku berjalan pelan-pelan
Dalam musium ini yang lengang
Dari lemari kaca tempat naskah-naskah berharga
Kesangkutan ikat-ikat kepala, sangkur-sangkur
berbendera
Maket pertempuran
Dan penyergapan di jalan
Kuraba mitraliur Jepang, dari baja hitam
Jajaran bisu pestol Bulldog, pestol Colt
PENGOEMOEMAN REPOEBLIK yang mulai berdebu
Gambar lasykar yang kurus-kurus
Dan kuberi tabik khidmat dan diam
Pada gambar Pak Dirman
Mendekati tangga turun, aku menoleh kembali
Ke ruangan yang sepi dan dalam
Jendela musium dipukul angin dan hujan
Kain pintu dan tingkap bergetaran
Di pucuk-pucuk cemara halaman
Tahun demi tahun mengalir pelan-pelan
Deru konvoi menjalari lembah
Regu di bukit atas, menahan nafas
Di depan tugu dalam musium ini
Menjelang pintu keluar ke tingkat bawah
Aku berdiri dan menatap nama-nama
Dipahat di sana dalam keping-keping alumina
Mereka yang telah tewas
Dalam perang kemerdekaan
Dan setinggi pundak jendela
Kubaca namaku disana.....
JAWABAN DARI POS TERDEPAN
Kami telah menerima surat saudara
Dan sangat paham akan isinya
Tetapi tentang pasal penyerahan
Itu adalah suatu penghinaan
Konvoi sejam lamanya menderu
Di kota. Api kavaleri memancar-mancar
Di roda-rantai dan aspal
Angin meniup dalam panas dan abu
Abu baja. Nyala yang menggeletar-geletar
Sepanjang suara
Kami yang bertahan
Beberapa ratus meter jauhnya
Bukanlah serdadu-serdadu bayaran
Atau terpaksa berperang karena pemerintahan
Kebebasan manusia di atas buminya
Adalah penyebab hadir pasukan ini
Dan pasukan-pasukan lainnya
Impian akan harga kemerdekaan manusia
mengumpulkan seorang tukang cukur, penanam-penanam sayur
gembala-gembala, (semua buta huruf) kecuali dua anak SMT
sopir taksi dan seorang mahasiswa kedokteran
dalam pasukan
di pos terdepan ini
Terik dan lengang dipandang tak bertuan
Abu naik perlahan dari bumi
Bumi yang telah diungsikan
Guruh dari jauh, konvoi menderu
Suara panser dan tank-tank kecil
Mengacukan senjata-senjata baru
Kami tidak punya batalion paratroop
Cadangan sulfa, apalagi mustang dan lapis-baja
Kami hanya memiliki karaben-karaben tua
Bahkan bambu pedesaan, ujungnya diruncingkan
Pasukan ini tak bicara dalam bahasa akademi militer
Tidak juga memiliki pengalaman perang dunia
Tetapi untuk kecintaan akan kebebasan manusia
Di atas buminya
Pasukan ini sudah menetapkan harganya
Sebentar lagi malampun akan turun
membawa kesepian ajal adalam gurun
Tidakkah engkau bisa menempatkan diri
sebentar, di tempat kami
Memikirkan bahwa ibumu tua diungsikan
tersaruk-saruk berjalan kaki
Setelah rumah-rumah di kampungmu dibakari
setelah adik kandungmu ditembak mati
Adakah demi lain, yang mengatasi
demi kemanusiaan ?
Adakah ?
Di seberang sini berjaga pengawalan
Tanpa gardu dan kemah, berbaju lusuh dalam semak
Dialah yang terdepan dengan sepucuk Lee & Field
Dialah huruf pertama dari Republik
KALIAN CETAK KAMI JADI BANGSA PENGEMIS,
LALU KALIAN PAKSA KAMI
MASUK MASA PENJAJAHAN BARU,
Kata Si Toni
Kami generasi yang sangat kurang rasa percaya diri
Gara-gara pewarisan nilai, sangat dipaksa-tekankan
Kalian bersengaja menjerumuskan kami-kami
Sejak lahir sampai dewasa ini
Jadi sangat tepergantung pada budaya
Meminjam uang ke mancanegara
Sudah satu keturunan jangka waktunya
Hutang selalu dibayar dengan hutang baru pula
Lubang itu digali lubang itu juga ditimbuni
Lubang itu, alamak, kok makin besar jadi
Kalian paksa-tekankan budaya berhutang ini
Sehingga apa bedanya dengan mengemis lagi
Karena rendah diri pada bangsa-bangsa dunia
Kita gadaikan sikap bersahaja kita
Karena malu dianggap bangsa miskin tak berharta
Kita pinjam uang mereka membeli benda mereka
Harta kita mahal tak terkira, harga diri kita
Digantung di etalase kantor Pegadaian Dunia
Menekur terbungkuk kita berikan kepala kita bersama
Kepada Amerika, Jepang, Eropa dan Australia
Mereka negara multi-kolonialis dengan elegansi ekonomi
Dan ramai-ramailah mereka pesta kenduri
Sambil kepala kita dimakan begini
Kita diajarinya pula tata negara dan ilmu budi pekerti
Dalam upacara masuk masa penjajahan lagi
Penjajahnya banyak gerakannya penuh harmoni
Mereka mengerkah kepala kita bersama-sama
Menggigit dan mengunyah teratur berirama
Sedih, sedih, tak terasa jadi bangsa merdeka lagi
Dicengkeram kuku negara multi-kolonialis ini
Bagai ikan kekurangan air dan zat asam
Beratus juta kita menggelepar menggelinjang
Kita terperangkap terjaring di jala raksasa hutang
Kita menjebakkan diri ke dalam krangkeng budaya
Meminjam kepeng ke mancanegara
Dari membuat peniti dua senti
Sampai membangun kilang gas bumi
Dibenarkan serangkai teori penuh sofistikasi
Kalian memberi contoh hidup boros berasas gengsi
Dan fanatisme mengimpor barang luar negeri
Gaya hidup imitasi, hedonistis dan materialistis
Kalian cetak kami jadi Bangsa Pengemis
Ketika menadahkan tangan serasa menjual jiwa
Tertancap dalam berbekas, selepas tiga dasawarsa
Jadilah kami generasi sangat kurang rasa percaya
Pada kekuatan diri sendiri dan kayanya sumber alami
Kalian lah yang membuat kami jadi begini
Sepatutnya kalian kami giring ke lapangan sepi
Lalu tiga puluh ribu kali, kami cambuk dengan puisi ini
1998
KETIKA SEBAGAI KAKEK DI TAHUN 2040,
KAU MENJAWAB PERTANYAAN CUCUMU
Cucu kau tahu, kau menginap di DPR bulan Mei itu
Bersama beberapa ribu kawanmu
Marah, serak berteriak dan mengepalkan tinju
Bersama-sama membuka sejarah halaman satu
Lalu mengguratkan baris pertama bab yang baru
Seraya mencat spanduk dengan teks yang seru
Terpicu oleh kawan-kawan yang ditembus peluru
Dikejar masuk kampus, terguling di tanah berdebu
Dihajar dusta dan fakta dalam berita selalu
Sampai kini sejak kau lahir dahulu
Inilah pengakuan generasi kami, katamu
Hasil penataan dan penataran yang kaku
Pandangan berbeda tak pernah diaku
Daun-daun hijau dan langit biru, katamu
Daun-daun kuning dan langit kuning, kata orang-orang itu
Kekayaan alam untuk bangsaku, katamu
Kekayaan alam untuk nafsuku, kata orang-orang itu
Karena tak mau nasib rakyat selalu jadi mata dadu
Yang diguncang-guncang genggaman orang-orang itu
Dan nomor yang keluar telah ditentukan lebih dulu
Maka kami bergeraklah kini, katamu
Berjalan kaki, berdiri di atap bis yang melaju
Kemeja basah keringat, ujian semester lupakan dulu
Memasang ikat kepala, mengibar-ngibarkan benderamu
Tanpa ada pimpinan di puncak struktur yang satu
Tanpa dukungan jelas dari yang memegang bedil itu
Sudahlah, ayo kita bergerak saja dulu
Kita percayakan nasib pada Yang Satu Itu.
1998
KAU MENJAWAB PERTANYAAN CUCUMU
Cucu kau tahu, kau menginap di DPR bulan Mei itu
Bersama beberapa ribu kawanmu
Marah, serak berteriak dan mengepalkan tinju
Bersama-sama membuka sejarah halaman satu
Lalu mengguratkan baris pertama bab yang baru
Seraya mencat spanduk dengan teks yang seru
Terpicu oleh kawan-kawan yang ditembus peluru
Dikejar masuk kampus, terguling di tanah berdebu
Dihajar dusta dan fakta dalam berita selalu
Sampai kini sejak kau lahir dahulu
Inilah pengakuan generasi kami, katamu
Hasil penataan dan penataran yang kaku
Pandangan berbeda tak pernah diaku
Daun-daun hijau dan langit biru, katamu
Daun-daun kuning dan langit kuning, kata orang-orang itu
Kekayaan alam untuk bangsaku, katamu
Kekayaan alam untuk nafsuku, kata orang-orang itu
Karena tak mau nasib rakyat selalu jadi mata dadu
Yang diguncang-guncang genggaman orang-orang itu
Dan nomor yang keluar telah ditentukan lebih dulu
Maka kami bergeraklah kini, katamu
Berjalan kaki, berdiri di atap bis yang melaju
Kemeja basah keringat, ujian semester lupakan dulu
Memasang ikat kepala, mengibar-ngibarkan benderamu
Tanpa ada pimpinan di puncak struktur yang satu
Tanpa dukungan jelas dari yang memegang bedil itu
Sudahlah, ayo kita bergerak saja dulu
Kita percayakan nasib pada Yang Satu Itu.
1998
MENCARI SEBUAH MESJID
Aku diberitahu tentang sebuah masjid
yang tiang-tiangnya pepohonan di hutan
fondasinya batu karang dan pualam pilihan
atapnya menjulang tempat tersangkutnya awan
dan kubahnya tembus pandang, berkilauan
digosok topan kutub utara dan selatan
Aku rindu dan mengembara mencarinya
Aku diberitahu tentang sepenuh dindingnya yang transparan
dihiasi dengan ukiran kaligrafi Quran
dengan warna platina dan keemasan
berbentuk daun-daunan sangat beraturan
serta sarang lebah demikian geometriknya
ranting dan tunas jalin berjalin
bergaris-garis gambar putaran angin
Aku rindu dan mengembara mencarinya
Aku diberitahu tentang masjid yang menara-menaranya
menyentuh lapisan ozon
dan menyeru azan tak habis-habisnya
membuat lingkaran mengikat pinggang dunia
kemudian nadanya yang lepas-lepas
disulam malaikat menjadi renda-renda benang emas
yang memperindah ratusan juta sajadah
di setiap rumah tempatnya singgah
Aku rindu dan mengembara mencarinya
Aku diberitahu tentang sebuah masjid yang letaknya di mana
bila waktu azan lohor engkau masuk ke dalamnya
engkau berjalan sampai waktu asar
tak bisa kau capai saf pertama
sehingga bila engkau tak mau kehilangan waktu
bershalatlah di mana saja
di lantai masjid ini, yang luas luar biasa
Aku rindu dan mengembara mencarinya
Aku diberitahu tentang ruangan di sisi mihrabnya
yaitu sebuah perpustakaan tak terkata besarnya
dan orang-orang dengan tenang membaca di dalamnya
di bawah gantungan lampu-lampu kristal terbuat dari berlian
yang menyimpan cahaya matahari
kau lihat bermilyar huruf dan kata masuk beraturan
ke susunan syaraf pusat manusia dan jadi ilmu yang berguna
di sebuah pustaka yang bukunya berjuta-juta
terletak di sebelah menyebelah mihrab masjid kita
Aku rindu dan mengembara mencarinya
Aku diberitahu tentang masjid yang beranda dan ruang dalamnya
tempat orang-orang bersila bersama
dan bermusyawarah tentang dunia dengan hati terbuka
dan pendapat bisa berlainan namun tanpa pertikaian
dan kalau pun ada pertikaian bisalah itu diuraikan
dalam simpul persaudaraan yang sejati
dalam hangat sajadah yang itu juga
terbentang di sebuah masjid yang mana
Tumpas aku dalam rindu
Mengembara mencarinya
Di manakah dia gerangan letaknya ?
Pada suatu hari aku mengikuti matahari
ketika di puncak tergelincir dia sempat
lewat seperempat kuadran turun ke barat
dan terdengar merdunya azan di pegunungan
dan aku pun melayangkan pandangan
mencari masjid itu ke kiri dan ke kanan
ketika seorang tak kukenal membawa sebuah gulungan
dia berkata :
"Inilah dia masjid yang dalam pencarian tuan"
dia menunjuk ke tanah ladang itu
dan di atas lahan pertanian dia bentangkan
secarik tikar pandan
kemudian dituntunnya aku ke sebuah pancuran
airnya bening dan dingin mengalir beraturan
tanpa kata dia berwudhu duluan
aku pun di bawah air itu menampungkan tangan
ketika kuusap mukaku, kali ketiga secara perlahan
hangat air terasa, bukan dingin kiranya
demikianlah air pancuran
bercampur dengan air mataku
yang bercucuran.
Jeddah, 30 Januari 1988
YANG SELALU TERAPUNG
DI ATAS GELOMBANG
Seseorang dianggap tak bersalah,
sampai dia dibuktikan hukum bersalah.
Di negeri kami, ungkapan ini terdengar begitu indah.
Kini simaklah sebuah kisah,
Seorang pegawai tinggi,
gajinya sebulan satu setengah juta rupiah,
Di garasinya ada Honda metalik,Volvo hitam,
BMW abu-abu, Porsche biru dan Mercedes merah.
Anaknya sekolah di Leiden, Montpelier dan Savannah.
Rumahnya bertebaran di Menteng, Kebayoran dan
Macam Macam Indah,
Setiap semester ganjil,
isteri terangnya belanja di Hongkong dan Singapura.
Setiap semester genap,
isteri gelap liburan di Eropa dan Afrika,
Anak-anaknya pegang dua pabrik,
tiga apotik dan empat biro jasa.
Saudara sepupu dan kemenakannya
punya lima toko onderdil,
enam biro iklan dan tujuh pusat belanja,
Ketika rupiah anjlok terperosok,
kepleset macet dan hancur jadi bubur,
dia ketawa terbahak- bahak
karena depositonya dalam dolar Amerika semua.
Sesudah matahari dua kali tenggelam di langit barat,
jumlah rupiahnya melesat sepuluh kali lipat,
Krisis makin menjadi-jadi, di mana-mana orang antri,
maka seratus kantong plastik hitam dia bagi-bagi.
Isinya masing-masing lima genggam beras,
empat cangkir minyak goreng dan tiga bungkus mi cepat-jadi.
Peristiwa murah hati ini diliput dua menit di kotak televisi,
dan masuk berita koran Jakarta halaman lima pagi-pagi sekali,
Gelombang mau datang, datanglah gelombang,
setiap air bah pasang dia senantiasa
terapung di atas banjir bandang.
Banyak orang tenggelam tak mampu timbul lagi,
lalu dia berkata begini,
"Yah, masing-masing kita rejekinya kan sendiri-sendiri,"
Seperti bandul jam tua yang bergoyang kau lihatlah:
kekayaan misterius mau diperiksa,
kekayaan tidak jadi diperiksa,
kekayaan mau diperiksa,
kekayaan tidak diperiksa,
kekayaan harus diperiksa,
kekayaan tidak jadi diperiksa.
Bandul jam tua Westminster,
tahun empat puluh satu diproduksi,
capek bergoyang begini, sampai dia berhenti sendiri,
Kemudian ide baru datang lagi,
isi formulir harta benda sendiri,
harus terus terang tapi,
dikirimkan pagi-pagi tertutup rapi,
karena ini soal sangat pribadi,
Selepas itu suasana hening sepi lagi,
cuma ada bunyi burung perkutut sekali-sekali,
Seseorang dianggap tak bersalah,
sampai dia dibuktikan hukum bersalah.
Di negeri kami, ungkapan ini terdengar begitu indah.
Bagaimana membuktikan bersalah,
kalau kulit tak dapat dijamah.
Menyentuh tak bisa dari jauh,
memegang tak dapat dari dekat,
Karena ilmu kiat,
orde datang dan orde berangkat,
dia akan tetap saja selamat,
Kini lihat,
di patio rumahnya dengan arsitektur Mediterania,
seraya menghirup teh nasgitel
dia duduk menerima telepon
dari isterinya yang sedang tur di Venezia,
sesudah menilai tiga proposal,
dua diskusi panel dan sebuah rencana rapat kerja,
Sementara itu disimaknya lagu favorit My Way,
senandung lama Frank Sinatra
yang kemarin baru meninggal dunia,
ditingkah lagu burung perkutut sepuluh juta
dari sangkar tergantung di atas sana
dan tak habis-habisnya
di layar kaca jinggel bola Piala Dunia,
Go, go, go, ale ale ale...
1998
TUHAN SEMBILAN SENTI
Indonesia
adalah sorga luar biasa ramah bagi perokok, tapi tempat siksa tak tertahankan
bagi orang yang tak merokok.
Di
sawah petani merokok,
di pabrik pekerja merokok,
di kantor pegawai merokok,
di kabinet menteri merokok,
di reses parlemen anggota DPR merokok,
di Mahkamah Agung yang bergaun toga merokok,
hansip-bintara-perwira nongkrong merokok,
di perkebunan pemetik buah kopi merokok,
di perahu nelayan penjaring ikan merokok,
di pabrik petasan pemilik modalnya merokok,
di pekuburan sebelum masuk kubur orang merokok.
di pabrik pekerja merokok,
di kantor pegawai merokok,
di kabinet menteri merokok,
di reses parlemen anggota DPR merokok,
di Mahkamah Agung yang bergaun toga merokok,
hansip-bintara-perwira nongkrong merokok,
di perkebunan pemetik buah kopi merokok,
di perahu nelayan penjaring ikan merokok,
di pabrik petasan pemilik modalnya merokok,
di pekuburan sebelum masuk kubur orang merokok.
Indonesia
adalah semacam firdaus-jannatu-na’im sangat ramah bagi perokok, tapi tempat
siksa kubur hidup-hidup bagi orang yang tak merokok.
Di
balik pagar SMU murid-murid mencuri-curi merokok,
di ruang kepala sekolah…ada guru merokok,
di kampus mahasiswa merokok,
di ruang kuliah dosen merokok,
di rapat POMG orang tua murid merokok,
di perpustakaan kecamatan ada siswa bertanya apakah ada buku tuntunan cara merokok.
di ruang kepala sekolah…ada guru merokok,
di kampus mahasiswa merokok,
di ruang kuliah dosen merokok,
di rapat POMG orang tua murid merokok,
di perpustakaan kecamatan ada siswa bertanya apakah ada buku tuntunan cara merokok.
Di
angkot Kijang penumpang merokok,
di bis kota sumpek yang berdiri yang duduk orang bertanding merokok,
di loket penjualan karcis orang merokok,
di kereta api penuh sesak orang festival merokok,
di kapal penyeberangan antar pulau penumpang merokok,
di andong Yogya kusirnya merokok,
sampai kabarnya kuda andong minta diajari pula merokok.
di bis kota sumpek yang berdiri yang duduk orang bertanding merokok,
di loket penjualan karcis orang merokok,
di kereta api penuh sesak orang festival merokok,
di kapal penyeberangan antar pulau penumpang merokok,
di andong Yogya kusirnya merokok,
sampai kabarnya kuda andong minta diajari pula merokok.
Negeri
kita ini sungguh nirwana kayangan para dewa-dewa bagi perokok, tapi tempat
cobaan sangat berat bagi orang yang tak merokok.
Rokok
telah menjadi dewa, berhala, tuhan baru, diam-diam menguasai kita.
Di
pasar orang merokok,
di warung Tegal pengunjung merokok,
di restoran, di toko buku orang merokok,
di kafe di diskotik para pengunjung merokok.
di warung Tegal pengunjung merokok,
di restoran, di toko buku orang merokok,
di kafe di diskotik para pengunjung merokok.
Bercakap-cakap
kita jarak setengah meter tak tertahankan asap rokok,
bayangkan isteri-isteri yang bertahun-tahun menderita di kamar tidur
ketika melayani para suami yang bau mulut dan hidungnya mirip asbak rokok.
bayangkan isteri-isteri yang bertahun-tahun menderita di kamar tidur
ketika melayani para suami yang bau mulut dan hidungnya mirip asbak rokok.
Duduk
kita di tepi tempat tidur ketika dua orang bergumul saling menularkan HIV-AIDS
sesamanya, tapi kita tidak ketularan penyakitnya. Duduk kita disebelah orang
yang dengan cueknya mengepulkan asap rokok di kantor atau di stop-an bus, kita
ketularan penyakitnya. Nikotin lebih jahat penularannya ketimbang HIV-AIDS.
Indonesia
adalah sorga kultur pengembangbiakan nikotin paling subur di dunia, dan kita
yang tak langsung menghirup sekali pun asap tembakau itu, bisa ketularan kena.
Di
puskesmas pedesaan orang kampung merokok,
di apotik yang antri obat merokok,
di panti pijat tamu-tamu disilahkan merokok,
di ruang tunggu dokter pasien merokok,
dan ada juga dokter-dokter merokok.
di apotik yang antri obat merokok,
di panti pijat tamu-tamu disilahkan merokok,
di ruang tunggu dokter pasien merokok,
dan ada juga dokter-dokter merokok.
Istirahat
main tenis orang merokok,
di pinggir lapangan voli orang merokok,
menyandang raket badminton orang merokok,
pemain bola PSSI sembunyi-sembunyi merokok,
panitia pertandingan balap mobil, pertandingan bulutangkis, turnamen sepakbola mengemisngemis mencium kaki sponsor perusahaan rokok.
di pinggir lapangan voli orang merokok,
menyandang raket badminton orang merokok,
pemain bola PSSI sembunyi-sembunyi merokok,
panitia pertandingan balap mobil, pertandingan bulutangkis, turnamen sepakbola mengemisngemis mencium kaki sponsor perusahaan rokok.
Di
kamar kecil 12 meter kubik, sambil ‘ek-’ek orang goblok merokok,
di dalam lift gedung 15 tingkat dengan tak acuh orang goblok merokok,
di ruang sidang ber-AC penuh, dengan cueknya, pakai dasi, orang-orang goblok merokok.
di dalam lift gedung 15 tingkat dengan tak acuh orang goblok merokok,
di ruang sidang ber-AC penuh, dengan cueknya, pakai dasi, orang-orang goblok merokok.
Indonesia
adalah semacam firdaus-jannatu-na’im sangat ramah bagi orang perokok, tapi
tempat siksa kubur hidup-hidup bagi orang yang tak merokok.
Rokok
telah menjadi dewa, berhala, tuhan baru, diam-diam menguasai kita.
Di
sebuah ruang sidang ber-AC penuh, duduk sejumlah ulama terhormat merujuk kitab
kuning dan mempersiapkan sejumlah fatwa.
Mereka
ulama ahli hisap.
Haasaba, yuhaasibu, hisaaban.
Bukan ahli hisab ilmu falak,
tapi ahli hisap rokok.
Haasaba, yuhaasibu, hisaaban.
Bukan ahli hisab ilmu falak,
tapi ahli hisap rokok.
Di
antara jari telunjuk dan jari tengah mereka terselip berhala-berhala kecil,
sembilan senti panjangnya, putih warnanya, kemana-mana dibawa dengan setia,
satu kantong dengan kalung tasbih 99 butirnya.
Mengintip
kita dari balik jendela ruang sidang, tampak kebanyakan mereka memegang rokok
dengan tangan kanan, cuma sedikit yang memegang dengan tangan kiri.
Inikah gerangan pertanda yang terbanyak kelompok ashabul yamiin dan yang sedikit golongan ashabus syimaal?
Inikah gerangan pertanda yang terbanyak kelompok ashabul yamiin dan yang sedikit golongan ashabus syimaal?
Asap
rokok mereka mengepul-ngepul di ruangan AC penuh itu.
Mamnu’ut tadkhiin, ya ustadz. Laa tasyrabud dukhaan, ya ustadz.
Kyai, ini ruangan ber-AC penuh.
Haadzihi al ghurfati malii’atun bi mukayyafi al hawwa’i.
Kalau tak tahan, di luar itu sajalah merokok.
Mamnu’ut tadkhiin, ya ustadz. Laa tasyrabud dukhaan, ya ustadz.
Kyai, ini ruangan ber-AC penuh.
Haadzihi al ghurfati malii’atun bi mukayyafi al hawwa’i.
Kalau tak tahan, di luar itu sajalah merokok.
Laa
taqtuluu anfusakum. Min fadhlik, ya ustadz.
25 penyakit ada dalam khamr. Khamr diharamkan.
15 penyakit ada dalam daging khinzir (babi). Daging khinzir diharamkan.
4000 zat kimia beracun ada pada sebatang rokok. Patutnya rokok diapakan?
25 penyakit ada dalam khamr. Khamr diharamkan.
15 penyakit ada dalam daging khinzir (babi). Daging khinzir diharamkan.
4000 zat kimia beracun ada pada sebatang rokok. Patutnya rokok diapakan?
Tak
perlu dijawab sekarang, ya ustadz. Wa yuharrimu ‘alayhimul khabaaith.
Mohon ini direnungkan tenang-tenang, karena pada zaman Rasulullah dahulu, sudah ada alkohol, sudah ada babi, tapi belum ada rokok.
Mohon ini direnungkan tenang-tenang, karena pada zaman Rasulullah dahulu, sudah ada alkohol, sudah ada babi, tapi belum ada rokok.
Jadi
ini PR untuk para ulama.
Tapi jangan karena ustadz ketagihan rokok, lantas hukumnya jadi dimakruh-makruhkan, jangan.
Tapi jangan karena ustadz ketagihan rokok, lantas hukumnya jadi dimakruh-makruhkan, jangan.
Para
ulama ahli hisap itu terkejut mendengar perbandingan ini.
Banyak yang diam-diam membunuh tuhan-tuhan kecil yang kepalanya berapi itu, yaitu ujung rokok mereka.
Banyak yang diam-diam membunuh tuhan-tuhan kecil yang kepalanya berapi itu, yaitu ujung rokok mereka.
Kini
mereka berfikir. Biarkan mereka berfikir.
Asap rokok di ruangan ber-AC itu makin pengap, dan ada yang mulai terbatuk-batuk.
Asap rokok di ruangan ber-AC itu makin pengap, dan ada yang mulai terbatuk-batuk.
Pada
saat sajak ini dibacakan malam hari ini, sejak tadi pagi sudah 120 orang di
Indonesia mati karena penyakit rokok. Korban penyakit rokok lebih dahsyat
ketimbang korban kecelakaan lalu lintas.
Lebih
gawat ketimbang bencana banjir, gempa bumi dan longsor, cuma setingkat di bawah
korban narkoba.
Pada
saat sajak ini dibacakan, berhala-berhala kecil itu sangat berkuasa di negara
kita,
jutaan jumlahnya, bersembunyi di dalam kantong baju dan celana, dibungkus dalam kertas berwarni dan berwarna, diiklankan dengan indah dan cerdasnya.
jutaan jumlahnya, bersembunyi di dalam kantong baju dan celana, dibungkus dalam kertas berwarni dan berwarna, diiklankan dengan indah dan cerdasnya.
Tidak
perlu wudhu atau tayammum menyucikan diri, tidak perlu ruku’ dan sujud untuk
taqarrub pada tuhan-tuhan ini, karena orang akan khusyuk dan fana dalam nikmat
lewat upacara menyalakan api dan sesajen asap tuhan-tuhan ini.
Rabbana,
beri kami kekuatan menghadapi berhala-berhala ini.
KETIKA BURUNG MERPATI SORE MELAYANG
Langit
akhlak telah roboh di atas negeri
Karena akhlak roboh, hukum tak tegak berdiri
Karena hukum tak tegak, semua jadi begini
Negeriku sesak adegan tipu-menipu
Bergerak ke kiri, dengan maling kebentur aku
Bergerak ke kanan, dengan perampok ketabrak aku
Bergerak ke belakang, dengan pencopet kesandung aku
Bergerak ke depan, dengan penipu ketanggor aku
Bergerak ke atas, di kaki pemeras tergilas aku
Karena akhlak roboh, hukum tak tegak berdiri
Karena hukum tak tegak, semua jadi begini
Negeriku sesak adegan tipu-menipu
Bergerak ke kiri, dengan maling kebentur aku
Bergerak ke kanan, dengan perampok ketabrak aku
Bergerak ke belakang, dengan pencopet kesandung aku
Bergerak ke depan, dengan penipu ketanggor aku
Bergerak ke atas, di kaki pemeras tergilas aku
Kapal
laut bertenggelaman, kapal udara berjatuhan
Gempa bumi, banjir, tanah longsor dan orang kelaparan
Kemarau panjang, kebakaran hutan berbulan-bulan
Jutaan hektar jadi jerebu abu-abu berkepulan
Bumiku demam berat, menggigilkan air lautan
Gempa bumi, banjir, tanah longsor dan orang kelaparan
Kemarau panjang, kebakaran hutan berbulan-bulan
Jutaan hektar jadi jerebu abu-abu berkepulan
Bumiku demam berat, menggigilkan air lautan
Beribu
pencari nafkah dengan kapal dipulangkan
Penyakit kelamin meruyak tak tersembuhkan
Penyakit nyamuk membunuh bagai ejekan
Berjuta belalang menyerang lahan pertanian
Bumiku demam berat, menggigilkan air lautan
Penyakit kelamin meruyak tak tersembuhkan
Penyakit nyamuk membunuh bagai ejekan
Berjuta belalang menyerang lahan pertanian
Bumiku demam berat, menggigilkan air lautan
Lalu
berceceran darah, berkepulan asap dan berkobaran api
Empat syuhada melesat ke langit dari bumi Trisakti
Gemuruh langkah, simaklah, di seluruh negeri
Beribu bangunan roboh, dijarah dalam huru-hara ini
Dengar jeritan beratus orang berlarian dikunyah api
Mereka hangus-arang, siapa dapat mengenal lagi
Bumiku sakit berat, dengarlah angin menangis sendiri
Empat syuhada melesat ke langit dari bumi Trisakti
Gemuruh langkah, simaklah, di seluruh negeri
Beribu bangunan roboh, dijarah dalam huru-hara ini
Dengar jeritan beratus orang berlarian dikunyah api
Mereka hangus-arang, siapa dapat mengenal lagi
Bumiku sakit berat, dengarlah angin menangis sendiri
Kukenangkan
tahun?47 lama aku jalan di Ambarawa dan Salatiga
Balik kujalani Clash I di Jawa, Clash II di Bukittinggi
Kuingat-ingat pemboman Sekutu dan Belanda seantero negeri
Seluruh korban empat tahun revolusi
Dengan Mei? 98 jauh beda, jauh kalah ngeri
Aku termangu mengenang ini
Bumiku sakit berat, dengarlah angin menangis sendiri
Balik kujalani Clash I di Jawa, Clash II di Bukittinggi
Kuingat-ingat pemboman Sekutu dan Belanda seantero negeri
Seluruh korban empat tahun revolusi
Dengan Mei? 98 jauh beda, jauh kalah ngeri
Aku termangu mengenang ini
Bumiku sakit berat, dengarlah angin menangis sendiri
Ada
burung merpati sore melayang
Adakah desingnya kau dengar sekarang
Ke daun telingaku, jari Tuhan memberi jentikan
Ke ulu hatiku, ngilu tertikam cobaan
Di aorta jantungku, musibah bersimbah darah
Di cabang tangkai paru-paruku, kutuk mencekik nafasku
Tapi apakah sah sudah, ini murkaMu?
Adakah desingnya kau dengar sekarang
Ke daun telingaku, jari Tuhan memberi jentikan
Ke ulu hatiku, ngilu tertikam cobaan
Di aorta jantungku, musibah bersimbah darah
Di cabang tangkai paru-paruku, kutuk mencekik nafasku
Tapi apakah sah sudah, ini murkaMu?
Ada
burung merpati sore melayang
Adakah desingnya kau dengar sekarang
Adakah desingnya kau dengar sekarang
1998
TAKUT ‘66, TAKUT ‘98
Mahasiswa
takut pada dosen
Dosen
takut pada dekan
Dekan
takut pada rektor
Rektor
takut pada menteri
Menteri
takut pada presiden
Presiden
takut pada mahasiswa.
1998
12 MEI, 1998
Mengenang elang Mulya, Hery Hertanto,
Hendriawan Lesmana dan Hafidhin Royan
Empat
syuhada berangkat pada suatu malam, gerimis air mata
tertahan
di hari keesokan, telinga kami lekapkan ke tanah kuburan
dan
simaklah itu sedu-sedan,
Mereka
anak muda pengembara tiada sendiri, mengukir reformasi
karena
jemu deformasi, dengarkan saban hari langkah sahabat-
sahabatmu
beribu menderu-deru,
Kartu
mahasiswa telah disimpan dan tas kuliah turun dari bahu.
Mestinya
kalian jadi insinyur dan ekonom abad dua puluh satu,
Tapi
malaikat telah mencatat indeks prestasi kalian tertinggi di
Trisakti
bahkan di seluruh negeri, karena kalian berani
mengukir
alfabet pertama dari gelombang ini dengan
darah
arteri sendiri,
Merah
putih yang setengah tiang ini, merunduk di bawah garang
matahari,
tak mampu mengibarkan diri karena angin lama
bersembunyi,
Tapi
perluru logam telah kami patahkan dalam doa bersama, dan
kalian
pahlawan bersih dari dendam, karena jalan masih
jauh
dan kita perlukan peta dari tuhan.
1998
TENTANG JOKI JAM SEMBILAN PAGI
Beras
berkata kepada saya, bahwa kacang kedele dan kelapa sawit, ayam daging, sapi
inseminasi, ikan laut, dan ikan daratan, semua dalam keadaan segar bugar tidak
kurang suatu apa. Dia tidak menyebut mengenai apa yang dihasilkan hutan yang
lama terbakar dan saya lupa pula menanyakannya,
Mesin
giling menelponku baru-baru ini, bilang bahwa industri elektronika, komponen
cip, kimia dasar, seluloid, otomotif, telekomunikasi, alat-alat berat, kereta
api, kapal laut an kapal terbang dalam situasi menyenangkan dan sehat-sehat.
Dia tidak berkisah tentang orang-orang yang berhasil menggerek lobang-lobang
besar di bawah lantai bank dan rasanya aku sudah tahu jalan ceritanya,
Aspal
bertanya kepada saya apa hubungan semua ini dengan kesenian. Seorang anak kecil
yang jadi joki jam sembilan pagi di jalan Thamrin cepat menjawab, “oom aspal,
kesenian itu bagian dari kebudayaan, ekonomi bagian dari kebudayaan,
sehinggamengacungkan jari di tepi jalan seperti saya ini juga bentuk seni, agar
saya dapat uang seribu sebagai joki untuk mendapat ekonomi.”
“Anak
bijak, siap gerangan namamu?” tanya saya.
“Ronggowarsito,”
jawabnya segera
“Ah,
kamu,” kata saya. Dia bersiul-siul.
“Siapa
namamu?”
“Ronggowarsito,”
jawabnya pelan. Dia bersiul-siul, lalu mengumam lagu.*)
MALU (AKU) JADI ORANG INDONESIA
I
Ketika di Pekalongan, SMA kelas tiga
Ketika di Pekalongan, SMA kelas tiga
Ke
Wisconsin aku dapat beasiswa
Sembilan
belas lima enam itulah tahunnya
Aku
gembira jadi anak revolusi Indonesia
Negeriku baru enam tahun terhormat diakui dunia
Terasa
hebat merebut merdeka dari Belanda
Sahabatku
sekelas, Thomas Stone namanya,
Whitefish
Bay kampung asalnya
Kagum
dia pada revolusi Indonesia
Dia mengarang tentang pertempuran Surabaya
Jelas
Bung Tomo sebagai tokoh utama
Dan
kecil-kecilan aku nara-sumbernya
Dadaku
busung jadi anak Indonesia
Tom Stone akhirnya masuk West Point Academy
Dan
mendapat Ph.D. dari Rice University
Dia
sudah pensiun perwira tinggi dari U.S. Army
Dulu
dadaku tegap bila aku berdiri
Mengapa
sering benar aku merunduk kini
II
Langit langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak
Hukum
tak tegak, doyong berderak-derak
Berjalan
aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak,
Berjalan
aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza
Berjalan
aku di Dam, Champs Elysees dan Mesopotamia
Di
sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata
Dan
kubenamkan topi baret di kepala
Malu aku jadi orang Indonesia.
III
Di negeriku, selingkuh birokrasi peringkatnya di dunia nomor
III
Di negeriku, selingkuh birokrasi peringkatnya di dunia nomor
satu,
Di negeriku, sekongkol bisnis dan birokrasi berterang-terang
curang
susah dicari tandingan,
Di negeriku anak lelaki anak perempuan, kemenakan, sepupu
dan
cucu dimanja kuasa ayah, paman dan kakek secara
hancur-hancuran
seujung kuku tak perlu malu,
Di negeriku komisi pembelian alat-alat besar, alat-alat ringan,
senjata,
pesawat tempur, kapal selam, kedele, terigu dan
peuyeum
dipotong birokrasi lebih separuh masuk
kantung
jas safari,
Di kedutaan besar anak presiden, anak menteri, anak jenderal,
anak
sekjen dan anak dirjen dilayani seperti presiden,
menteri,
jenderal, sekjen, dan dirjen sejati, agar
orangtua
mereka bersenang hati,
Di negeriku penghitungan suara pemilihan umum sangat-
sangat-sangat-sangat-sangat
jelas penipuan besar-
besaran
tanpa seujung rambut pun bersalah perasaan,
Di negeriku khotbah, surat kabar, majalah, buku dan
sandiwara
yang opininya bersilang tak habis dan tak
putus
dilarang-larang,
Di negeriku dibakar pasar pedagang jelata supaya berdiri pusat
belanja
modal raksasa,
Di negeriku Udin dan Marsinah jadi syahid dan syahidah,
ciumlah
harum aroma mereka punya jenazah, sekarang
saja
sementara mereka kalah, kelak perencana dan
pembunuh
itu di dasar neraka oleh satpam akhirat akan
diinjak
dan dilunyah lumat-lumat,
Di negeriku keputusan pengadilan secara agak rahasia dan tidak
rahasia
dapat ditawar dalam bentuk jual-beli, kabarnya
dengan
sepotong SK suatu hari akan masuk Bursa Efek
Jakarta
secara resmi,
Di negeriku rasa aman tak ada karena dua puluh pungutan, lima
belas
ini-itu tekanan dan sepuluh macam ancaman,
Di negeriku telepon banyak disadap, mata-mata kelebihan kerja,
fotokopi
gosip dan fitnah bertebar disebar-sebar,
Di negeriku sepakbola sudah naik tingkat jadi pertunjukan teror
penonton
antarkota cuma karena sebagian sangat kecil
bangsa
kita tak pernah bersedia menerima skor
pertandingan
yang disetujui bersama,
Di negeriku rupanya sudah diputuskan kita tak terlibat Piala
Dunia
demi keamanan antarbangsa, lagi pula Piala
Dunia
itu cuma urusan negara-negara kecil karena Cina,
India,
Rusia dan kita tak turut serta, sehingga cukuplah
Indonesia
jadi penonton lewat satelit saja,
Di negeriku ada pembunuhan, penculikan dan penyiksaan rakyat
terang-terangan
di Aceh, Tanjung Priuk, Lampung, Haur
Koneng,
Nipah, Santa Cruz, Irian dan Banyuwangi, ada pula
pembantahan
terang-terangan yang merupakan dusta
terang-terangan
di bawah cahaya surya terang-terangan,
dan
matahari tidak pernah dipanggil ke pengadilan sebagai
saksi
terang-terangan,
Di negeriku budi pekerti mulia di dalam kitab masih ada, tapi dalam
kehidupan
sehari-hari bagai jarum hilang menyelam di
tumpukan
jerami selepas menuai padi.
IV
Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak
IV
Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak
Hukum
tak tegak, doyong berderak-derak
Berjalan
aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak,
Berjalan
aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza
Berjalan
aku di Dam, Champs Elysees dan Mesopotamia
Di
sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata
Dan
kubenamkan topi baret di kepala
Malu
aku jadi orang Indonesia.
1998
DOA ORANG KUBANGAN
di
hilir pemandian masih saja Kau sediakan logam mulia sebagai pancuran dan bejana
platina bergagang emas tempat kami membasuh getah membilas dahak menguliti
lendir mengikis selaput nanah menyadap barah ludah yang bertetesan berguguran
berserakan di genangan yang jadi kubangan menggerakkan cairan isi lambung
bertukak insisi pada hepar dijerat lemak dengan aroma yang menggilas dedaunan
jadi kuning kering berguguran dan bermilyar insekta bunuh diri bersama
kami pun sejadi-jadi mandi, serasa untuk terakhir kali
setiap kerak lumpur gugur penyesalan macam cengkeram dengan sembilu seribu
ada kultus dinyanyikan ada kultus berbayang-bayang ada pula tiada mana kentara beda lumpur selutut atau luluk bepercikan telah ke tangan dan muka
dan bejana ini kami tating bersama ada hangat air dari mata dan telapak kaki bergerak ke hulu terasa sejuk penuh di atas lantai pualam pemandian dengan air pancuran hening bening bercucuran.
1998
SAJADAH PANJANG
Ada
sajadah panjang terbentang
Dari kaki buaian
Sampai ke tepi kuburan hamba
Kuburan hamba bila mati
Ada sajadah panjang terbentang
Hamba tunduk dan sujud
Di atas sajadah yang panjang ini
Diselingi sekedar interupsi
Mencari rezeki, mencari ilmu
Mengukur jalanan seharian
Begitu terdengar suara azan
Kembali tersungkur hamba
Ada sajadah panjang terbentang
Hamba tunduk dan rukuk
Hamba sujud dan tak lepas kening hamba
Mengingat Dikau
Sepenuhnya.
Dari kaki buaian
Sampai ke tepi kuburan hamba
Kuburan hamba bila mati
Ada sajadah panjang terbentang
Hamba tunduk dan sujud
Di atas sajadah yang panjang ini
Diselingi sekedar interupsi
Mencari rezeki, mencari ilmu
Mengukur jalanan seharian
Begitu terdengar suara azan
Kembali tersungkur hamba
Ada sajadah panjang terbentang
Hamba tunduk dan rukuk
Hamba sujud dan tak lepas kening hamba
Mengingat Dikau
Sepenuhnya.
1984
(dinyanyikan Himpunan Musik Bimbo)
(dinyanyikan Himpunan Musik Bimbo)
PEGAWAI NEGERI
Setiap
kami menyaksikan berbagai penghargaan diberikan
Di istana negara, dalam macam-macam upacara
Satu saja yang tak tampak di layar kaca
Penyerahan medali dan selempang warni-warna pada
Pegawai Negeri
Paling Jujur
Tahun Ini
Wakil dari mereka yang tak pernah kecukupan dalam rezeki
Wakil dari mereka yang sudah luluh dalam keluh
Anak-anak berlahiran juga, nafkah selalu payah
Dalam pemilihan umum selalu diancam macam-macam
Tak pandai ngobyek, tak disertakan dalam proyek
Dalam kalkulasi hidup mana pernah bisa cukup
Tapi ajaib tak sampai terdengar bergeletakan kelaparan
Ada saja jalan keluar yang meringankan beban
Anak-anak pun tahu diri orang tua pegawai negeri
Susah payah sekolah dan kuliah, dan kok ya jadi
Insinyur, dokter, pengacara, S-dua dan Pi-Eic-Di
Lumayanlah, walau tak sangat banyak barangkali
Apabila di dunia ada tujuh macam keajaiban
Maka fenomena pegawai negeri sini mesti yang ke delapan
Menurut teori mutakhir administrasi dan metoda renumerasi
Mestinya di awal karier dulu dari dunia sudah permisi
Memang ada yang terlibat proyek dan bersiram komisi
Tapi itu ‘kan jumlahnya terbatas sekali, yakni
Mereka yang berkerumun di sekitar keran pembangunan
Selebihnya hidup rutin ya begitu itu
Dan pastilah ada juga yang jujur secara sejati
Yang membuat lentur tegang-kakunya prosedur
Bukan mempersukar-sukar, justru memudahkan urusan
Yang betul-betul melayani rakyat, bukan budak kekuasaan
Yang susah payah istikomah di dalam kehalalan rezeki
Yang menahankan pedihnya susah nafkah
Yang masih saja bisa bertahan dilanda arus materi
Mereka tak tampak oleh mata kami
Mereka bukan tipe mengeluh-mengadu ke sana ke mari
Mungkin karena maqamnya sudah mirip orang sufi
Siapa tahu mereka lah sebenar penyangga struktur ini
Yang begitu lapuk rayap dan roboh sudah mesti
Tapi sampai sekarang masih juga berdiri
Mereka sungguh kami hormati
Terutama para guru yang begitu sabar menyebar ilmu
Dan semua yang berdedikasi sejati di struktur birokrasi
Masih tetap bertahan diterjang gelombang hidup serba materi
Kalian tidak nampak, karena memang merundukkan diri.
Di istana negara, dalam macam-macam upacara
Satu saja yang tak tampak di layar kaca
Penyerahan medali dan selempang warni-warna pada
Pegawai Negeri
Paling Jujur
Tahun Ini
Wakil dari mereka yang tak pernah kecukupan dalam rezeki
Wakil dari mereka yang sudah luluh dalam keluh
Anak-anak berlahiran juga, nafkah selalu payah
Dalam pemilihan umum selalu diancam macam-macam
Tak pandai ngobyek, tak disertakan dalam proyek
Dalam kalkulasi hidup mana pernah bisa cukup
Tapi ajaib tak sampai terdengar bergeletakan kelaparan
Ada saja jalan keluar yang meringankan beban
Anak-anak pun tahu diri orang tua pegawai negeri
Susah payah sekolah dan kuliah, dan kok ya jadi
Insinyur, dokter, pengacara, S-dua dan Pi-Eic-Di
Lumayanlah, walau tak sangat banyak barangkali
Apabila di dunia ada tujuh macam keajaiban
Maka fenomena pegawai negeri sini mesti yang ke delapan
Menurut teori mutakhir administrasi dan metoda renumerasi
Mestinya di awal karier dulu dari dunia sudah permisi
Memang ada yang terlibat proyek dan bersiram komisi
Tapi itu ‘kan jumlahnya terbatas sekali, yakni
Mereka yang berkerumun di sekitar keran pembangunan
Selebihnya hidup rutin ya begitu itu
Dan pastilah ada juga yang jujur secara sejati
Yang membuat lentur tegang-kakunya prosedur
Bukan mempersukar-sukar, justru memudahkan urusan
Yang betul-betul melayani rakyat, bukan budak kekuasaan
Yang susah payah istikomah di dalam kehalalan rezeki
Yang menahankan pedihnya susah nafkah
Yang masih saja bisa bertahan dilanda arus materi
Mereka tak tampak oleh mata kami
Mereka bukan tipe mengeluh-mengadu ke sana ke mari
Mungkin karena maqamnya sudah mirip orang sufi
Siapa tahu mereka lah sebenar penyangga struktur ini
Yang begitu lapuk rayap dan roboh sudah mesti
Tapi sampai sekarang masih juga berdiri
Mereka sungguh kami hormati
Terutama para guru yang begitu sabar menyebar ilmu
Dan semua yang berdedikasi sejati di struktur birokrasi
Masih tetap bertahan diterjang gelombang hidup serba materi
Kalian tidak nampak, karena memang merundukkan diri.
1998
LONCENG TINJU
Setiap
kali lonceng berkleneng
Tanda
putaran dimulai
Setiap
kali mereka bangkit
Dan
mengepalkan tinju
Setiap
teriakan histeria
Bergemuruh
suaranya
Aku
kelu
Dan
merasa di pojok
Sendirian
Setiap
lonceng berklenengan
Dan
tinju mulai berlayangan
Meremuk
kepala lawan
Terkilas
dalam ingatan
Nenekku
dulu berkata
“Jangan
kamu mengadu ayam”
Dan
bila aku menuntut ilmu
Di
Kedokteran Hewan
Guruku
menasihatkan
“Jangan
kamu mengadu hewan”
Kini
lagi, bel itu berklenengan
Aku
tersudut, bisu
Dan
makin merasa
Sendirian
1987
LONDON, ABAD SEMBILAN BELAS
1
Pada ronde ke-99 yang berdarah-darah
Petinju Simon Byrne selesai sudah
Dia mati memuaskan penontonnya
Tinju maut Si Tuli James Burke
Diacung-acungkan wasit
Para penonton berteriak gembira
Polisi Inggeris datang bertugas
Peraturan langsung menjerat kedua tangannya
Tapi anehnya dia dibebaskan, tak lama
Inilah ejekan pada undang-undang
Walau pun ada manusia masih terlarang
Putusan pengadilan bisa diperjual-belikan
2
Lalu tengoklah berbondong-bondong penonton
Naik kereta api dari Setasiun Jambatan London
Menuju tempat rahasia, 25 mil jauhnya
Inilah pertandingan pertama antarbangsa
Tom Sayers juara Britania
Diadu John Heenan jagoan Amerika
Sastrawan Dickens dan Thackeray menonton juga
Sesudah 42 putaran adu manusia
Keduanya berdarah-darah, lebam, habis daya
Tak berketentuan wasit apa keputusannya
Para penonton berteriak dalam histeria
Mengacung-acungkan tinju ke udara
Polisi melakukan interupsi
Para juri dipisuhi, wasit dimaki-maki
Penonton-penonton tak puas jadi buas
Mereka lalu bertinju sesama mereka
Mereka bergigitan seperti serigala
Melolong bagai gorila
Pertunjukan jadi lengkap
Dan lumayan biadab
3
Itulah adegan abad sembilan belas
Asal-usul adu manusia yang kita tidak tahu
Tapi ujungnya kita tiru-tiru
Sebagai bangsa minder apa saja dari Eropa dan Amerika
Seperti kawanan bebek diturut dan ditirukan saja
Sudah jelas ini adu manusia mereka bilang olahraga
Seperti kambing mengembik kita setuju pula
Inilah budaya tanpa pikir kita jiplak begitu saja
Dari abad 19 orang masuk ke abad 20
Di awal abad, adu manusia di sana dilarang undang-undang
Tapi pemilik modal si orang kaya membeli undang-undang
Disobek dicincang itu dokumen undang-undang
Sebagai sampah hukum masuk keranjang
Adu manusia jadi tidak lagi terlarang
Lengkaplah bagian biadab budaya barat
Yang garang, bringasan dan tamak pada uang
Menjalar ke negeri sini, ditiru dan diulang-ulang
Sudahlah minder, ditambah gebleg, kita tak kepalang
4
Pada hari ini akhir abad dua puluh
Kakiku satu sudah masuk abad dua puluh satu
Kita ketemu
Kau ajak aku balik ke abad sembilan belas
Lho tapi, kita ‘kan mau menembus abad 21
Kenapa kau bujuk aku balik ke abad 19 lagi
Mana aku mau
Tapi kau berkeras balik kanan juga
Kau tetap mau ditipu, adu manusia itu olahraga
Kau menanam bibit kekerasan dan kebringasan
Sudah berapa puluh tahun jangka waktunya
Kau sudah panen lama kau mana tahu itu
Bibitmu tumbuh, menyebar dan membesar
Karena kau rabun mana bisa itu kau baca
Ke masyarakatmu tak pernah kau berkaca
Dan kau berkeras balik kanan juga
Kau tak tahu sudah kusiapkan tali rafia biru
Diam-diam kuikat kedua pergelangan tanganmu
Kuseret kau masuk abad 21
Masih saja kau berteriak tak tahu malu
“Tidak mau! Tidak mau!”
Tengoklah anak-anak yang berpikir itu
Mereka terheran-heran melihat kamu.
Pada ronde ke-99 yang berdarah-darah
Petinju Simon Byrne selesai sudah
Dia mati memuaskan penontonnya
Tinju maut Si Tuli James Burke
Diacung-acungkan wasit
Para penonton berteriak gembira
Polisi Inggeris datang bertugas
Peraturan langsung menjerat kedua tangannya
Tapi anehnya dia dibebaskan, tak lama
Inilah ejekan pada undang-undang
Walau pun ada manusia masih terlarang
Putusan pengadilan bisa diperjual-belikan
2
Lalu tengoklah berbondong-bondong penonton
Naik kereta api dari Setasiun Jambatan London
Menuju tempat rahasia, 25 mil jauhnya
Inilah pertandingan pertama antarbangsa
Tom Sayers juara Britania
Diadu John Heenan jagoan Amerika
Sastrawan Dickens dan Thackeray menonton juga
Sesudah 42 putaran adu manusia
Keduanya berdarah-darah, lebam, habis daya
Tak berketentuan wasit apa keputusannya
Para penonton berteriak dalam histeria
Mengacung-acungkan tinju ke udara
Polisi melakukan interupsi
Para juri dipisuhi, wasit dimaki-maki
Penonton-penonton tak puas jadi buas
Mereka lalu bertinju sesama mereka
Mereka bergigitan seperti serigala
Melolong bagai gorila
Pertunjukan jadi lengkap
Dan lumayan biadab
3
Itulah adegan abad sembilan belas
Asal-usul adu manusia yang kita tidak tahu
Tapi ujungnya kita tiru-tiru
Sebagai bangsa minder apa saja dari Eropa dan Amerika
Seperti kawanan bebek diturut dan ditirukan saja
Sudah jelas ini adu manusia mereka bilang olahraga
Seperti kambing mengembik kita setuju pula
Inilah budaya tanpa pikir kita jiplak begitu saja
Dari abad 19 orang masuk ke abad 20
Di awal abad, adu manusia di sana dilarang undang-undang
Tapi pemilik modal si orang kaya membeli undang-undang
Disobek dicincang itu dokumen undang-undang
Sebagai sampah hukum masuk keranjang
Adu manusia jadi tidak lagi terlarang
Lengkaplah bagian biadab budaya barat
Yang garang, bringasan dan tamak pada uang
Menjalar ke negeri sini, ditiru dan diulang-ulang
Sudahlah minder, ditambah gebleg, kita tak kepalang
4
Pada hari ini akhir abad dua puluh
Kakiku satu sudah masuk abad dua puluh satu
Kita ketemu
Kau ajak aku balik ke abad sembilan belas
Lho tapi, kita ‘kan mau menembus abad 21
Kenapa kau bujuk aku balik ke abad 19 lagi
Mana aku mau
Tapi kau berkeras balik kanan juga
Kau tetap mau ditipu, adu manusia itu olahraga
Kau menanam bibit kekerasan dan kebringasan
Sudah berapa puluh tahun jangka waktunya
Kau sudah panen lama kau mana tahu itu
Bibitmu tumbuh, menyebar dan membesar
Karena kau rabun mana bisa itu kau baca
Ke masyarakatmu tak pernah kau berkaca
Dan kau berkeras balik kanan juga
Kau tak tahu sudah kusiapkan tali rafia biru
Diam-diam kuikat kedua pergelangan tanganmu
Kuseret kau masuk abad 21
Masih saja kau berteriak tak tahu malu
“Tidak mau! Tidak mau!”
Tengoklah anak-anak yang berpikir itu
Mereka terheran-heran melihat kamu.
1989
PELAJARAN TATABAHASA DAN MENGARANG
“Murid-murid,
pada hari Senin ini
Marilah kita belajar tatabahasa
Dan juga sekaligus berlatih mengarang
Bukalah buku pelajaran kalian
Halaman enam puluh sembilan
“Ini ada kalimat menarik hati, berbunyi
‘Mengeritik itu boleh, asal membangun’
Nah anak-anak, renungkanlah makna ungkapan itu
Kemudian buat kalimat baru dengan kata-katamu sendiri.”
Demikianlah kelas itu sepuluh menit dimasuki sunyi
Murid-murid itu termenung sendiri-sendiri
Ada yang memutar-mutar pensil dan bolpoin
Ada yang meletakkan ibu jari di dahi
Ada yang salah tingkah, duduk gelisah
Memikirkan sejumlah kata yang bisa serasi
Menjawab pertanyaan Pak Guru ini
“Ayo siapa yang sudah siap?”
Maka tak ada seorang mengacungkan tangan
Kalau tidak menunduk sembunyi dari incaran guru
Murid-murid itu saling berpandangan saja
Akhirnya ada seorang disuruh maju ke depan
Dan dia pun memberi jawaban
“Mengeritik itu boleh, asal membangun
Membangun itu boleh, asal mengeritik
Mengeritik itu tidak boleh, asal tidak membangun
Membangun itu tidak asal, mengeritik itu boleh tidak
Membangun mengeritik itu boleh asal
Mengeritik membangun itu asal boleh
Mengeritik itu membangun
Membangun itu mengeritik
Asal boleh mengeritik, boleh itu asal
Asal boleh membangun, asal itu boleh
Asal boleh itu mengeritik boleh asal
Itu boleh asal membangun asal boleh
Boleh itu asal
Asal itu boleh
Boleh boleh
Asal asal
Itu itu
Itu.”
“Nah anak-anak, itulah karya temanmu
Sudah kalian dengarkan ‘kan
Apa komentar kamu tentang karyanya tadi?”
Kelas itu tiga menit dimasuki sunyi
Tak seorang mengangkat tangan
Kalau tidak menunduk di muka guru
Murid-murid itu cuma berpandang-pandangan
Tapi tiba-tiba mereka bersama menyanyi:
“Mengeritik itu membangun boleh asal
Membangun itu mengeritik asal boleh
Bangun bangun membangun kritik mengeritik
Mengeritik membangun asal mengeritik
“Dang ding dung ding dang ding dung
Ding dang ding dung
Dang ding dung ding dang ding dang
Ding dang ding dung.”
“Anak-anak, bapak bilang tadi
Mengarang itu harus dengan kata-kata sendiri
Tapi tadi tidak ada kosa kata lain sama sekali
Kalian cuma mengulang bolak-balik yang itu-itu juga
Itu kelemahan kalian yang pertama
Dan kelemahan kalian yang kedua
Kalian anemi referensi dan melarat bahan perbandingan
Itu karena malas baca buku apalagi karya sastra.”
“Wahai Pak Guru, jangan kami disalahkan apalagi dicerca
Bila kami tak mampu mengembangkan kosa kata
Selama ini kami ‘kan diajar menghafal dan menghafal saja
Mana ada dididik mengembangkan logika
Mana ada diajar berargumentasi dengan pendapat berbeda
Dan mengenai masalah membaca buku dan karya sastra
Pak Guru sudah tahu lama sekali
Mata kami rabun novel, rabun cerpen, rabun drama dan rabun puisi
Tapi mata kami ‘kan nyalang bila menonton televisi.”
Marilah kita belajar tatabahasa
Dan juga sekaligus berlatih mengarang
Bukalah buku pelajaran kalian
Halaman enam puluh sembilan
“Ini ada kalimat menarik hati, berbunyi
‘Mengeritik itu boleh, asal membangun’
Nah anak-anak, renungkanlah makna ungkapan itu
Kemudian buat kalimat baru dengan kata-katamu sendiri.”
Demikianlah kelas itu sepuluh menit dimasuki sunyi
Murid-murid itu termenung sendiri-sendiri
Ada yang memutar-mutar pensil dan bolpoin
Ada yang meletakkan ibu jari di dahi
Ada yang salah tingkah, duduk gelisah
Memikirkan sejumlah kata yang bisa serasi
Menjawab pertanyaan Pak Guru ini
“Ayo siapa yang sudah siap?”
Maka tak ada seorang mengacungkan tangan
Kalau tidak menunduk sembunyi dari incaran guru
Murid-murid itu saling berpandangan saja
Akhirnya ada seorang disuruh maju ke depan
Dan dia pun memberi jawaban
“Mengeritik itu boleh, asal membangun
Membangun itu boleh, asal mengeritik
Mengeritik itu tidak boleh, asal tidak membangun
Membangun itu tidak asal, mengeritik itu boleh tidak
Membangun mengeritik itu boleh asal
Mengeritik membangun itu asal boleh
Mengeritik itu membangun
Membangun itu mengeritik
Asal boleh mengeritik, boleh itu asal
Asal boleh membangun, asal itu boleh
Asal boleh itu mengeritik boleh asal
Itu boleh asal membangun asal boleh
Boleh itu asal
Asal itu boleh
Boleh boleh
Asal asal
Itu itu
Itu.”
“Nah anak-anak, itulah karya temanmu
Sudah kalian dengarkan ‘kan
Apa komentar kamu tentang karyanya tadi?”
Kelas itu tiga menit dimasuki sunyi
Tak seorang mengangkat tangan
Kalau tidak menunduk di muka guru
Murid-murid itu cuma berpandang-pandangan
Tapi tiba-tiba mereka bersama menyanyi:
“Mengeritik itu membangun boleh asal
Membangun itu mengeritik asal boleh
Bangun bangun membangun kritik mengeritik
Mengeritik membangun asal mengeritik
“Dang ding dung ding dang ding dung
Ding dang ding dung
Dang ding dung ding dang ding dang
Ding dang ding dung.”
“Anak-anak, bapak bilang tadi
Mengarang itu harus dengan kata-kata sendiri
Tapi tadi tidak ada kosa kata lain sama sekali
Kalian cuma mengulang bolak-balik yang itu-itu juga
Itu kelemahan kalian yang pertama
Dan kelemahan kalian yang kedua
Kalian anemi referensi dan melarat bahan perbandingan
Itu karena malas baca buku apalagi karya sastra.”
“Wahai Pak Guru, jangan kami disalahkan apalagi dicerca
Bila kami tak mampu mengembangkan kosa kata
Selama ini kami ‘kan diajar menghafal dan menghafal saja
Mana ada dididik mengembangkan logika
Mana ada diajar berargumentasi dengan pendapat berbeda
Dan mengenai masalah membaca buku dan karya sastra
Pak Guru sudah tahu lama sekali
Mata kami rabun novel, rabun cerpen, rabun drama dan rabun puisi
Tapi mata kami ‘kan nyalang bila menonton televisi.”
1997
PALESTINA, BAGAIMANA AKU MELUPAKANMU
Ketika
rumah-rumahmu diruntuhkan bulldozer dengan suara gemuruh
menderu, serasa pasir dan batu bata dinding kamar tidurku
bertebaran di pekaranganku, meneteskan peluh merah dan
mengepulkan debu yang berdarah.
menderu, serasa pasir dan batu bata dinding kamar tidurku
bertebaran di pekaranganku, meneteskan peluh merah dan
mengepulkan debu yang berdarah.
Ketika
luasan perkebunan jerukmu dan pepohonan apelmu dilipat-lipat
sebesar saputangan lalu di Tel Aviv dimasukkan dalam fail lemari
kantor agraria, serasa kebun kelapa dan pohon manggaku di kawasan
khatulistiwa, yang dirampas mereka.
sebesar saputangan lalu di Tel Aviv dimasukkan dalam fail lemari
kantor agraria, serasa kebun kelapa dan pohon manggaku di kawasan
khatulistiwa, yang dirampas mereka.
Ketika
kiblat pertama mereka gerek dan keroaki bagai kelakuan reptilia bawah
tanah dan sepatu sepatu serdadu menginjaki tumpuan kening kita
semua, serasa runtuh lantai papan surau tempat aku waktu kecil
belajar tajwid Al-Qur’an 40 tahun silam, di bawahnya ada kolam ikan
yang air gunungnya bening kebiru-biruan kini ditetesi
tanah dan sepatu sepatu serdadu menginjaki tumpuan kening kita
semua, serasa runtuh lantai papan surau tempat aku waktu kecil
belajar tajwid Al-Qur’an 40 tahun silam, di bawahnya ada kolam ikan
yang air gunungnya bening kebiru-biruan kini ditetesi
air
mataku,
Palestina, bagaimana bisa aku melupakanmu,
mataku,
Palestina, bagaimana bisa aku melupakanmu,
Ketika
anak-anak kecil di Gaza belasan tahun bilangan umur mereka,
menjawab laras baja dengan timpukan batu cuma, lalu dipatahi
pergelangan tangan dan lengannya, siapakah yang tak menjerit serasa
anak-anak kami Indonesia jua yang dizalimi mereka – tapi saksikan
tulang muda mereka yang patah akan bertaut dan mengulurkan
rantai amat panjangnya, pembelit leher lawan mereka, penyeret
tubuh si zalim ke neraka.
menjawab laras baja dengan timpukan batu cuma, lalu dipatahi
pergelangan tangan dan lengannya, siapakah yang tak menjerit serasa
anak-anak kami Indonesia jua yang dizalimi mereka – tapi saksikan
tulang muda mereka yang patah akan bertaut dan mengulurkan
rantai amat panjangnya, pembelit leher lawan mereka, penyeret
tubuh si zalim ke neraka.
Ketika
kusimak puisi-puisi Fadwa Tuqan, Samir Al-Qassem, Harun Hashim
Rashid, Jabra Ibrahim Jabra, Nizar Qabbani dan seterusnya yang
dibacakan di Pusat Kesenian Jakarta, jantung kami semua berdegup
dua kali lebih gencar lalu tersayat oleh sembilu bambu deritamu,
darah kamipun memancar ke atas lalu meneteskan guratan kaligrafi
Rashid, Jabra Ibrahim Jabra, Nizar Qabbani dan seterusnya yang
dibacakan di Pusat Kesenian Jakarta, jantung kami semua berdegup
dua kali lebih gencar lalu tersayat oleh sembilu bambu deritamu,
darah kamipun memancar ke atas lalu meneteskan guratan kaligrafi
‘Allahu Akbar!’
dan
‘Bebaskan Palestina!’
Ketika pabrik
tak bernama 1000 ton sepekan memproduksi dusta,
menebarkannya ke media cetak dan elektronika, mengoyaki
tenda-tenda pengungsi di padang pasir belantara,
membangkangi resolusi-resolusi majelis terhormat di dunia,
membantai di Shabra dan Shatila, mengintai Yasser Arafat,
Ahmad Yassin dan semua pejuang negeri anda, aku pun
berseru pada khatib dan imam shalat Jum’at sedunia: doakan
kolektif dengan kuat seluruh dan setiap pejuang yang
menapak jalanNya, yang ditembaki dan kini dalam penjara,
lalu dengan kukuh kita bacalah
menebarkannya ke media cetak dan elektronika, mengoyaki
tenda-tenda pengungsi di padang pasir belantara,
membangkangi resolusi-resolusi majelis terhormat di dunia,
membantai di Shabra dan Shatila, mengintai Yasser Arafat,
Ahmad Yassin dan semua pejuang negeri anda, aku pun
berseru pada khatib dan imam shalat Jum’at sedunia: doakan
kolektif dengan kuat seluruh dan setiap pejuang yang
menapak jalanNya, yang ditembaki dan kini dalam penjara,
lalu dengan kukuh kita bacalah
‘la quwwatta illa bi-Llah!’
Palestina,
bagaimana bisa aku melupakanmu
Tanahku jauh, bila diukur kilometernya, beribu-ribu
Tapi azan Masjidil Aqsha yang merdu
Serasa terngiang-ngiang di telingaku.
Tanahku jauh, bila diukur kilometernya, beribu-ribu
Tapi azan Masjidil Aqsha yang merdu
Serasa terngiang-ngiang di telingaku.
1989
AIR KOPI MENYIRAM HUTAN
Tiga
juta hektar
Halaman surat kabar
Telah dirayapi api
Terbit pagi ini
Panjang empat jari
Dua kolom tegaklurus
Dibongkar dari pik-ap
Subuh dari percetakan
Ditumpuk tepi jalan
Dibereskan agen koran
Sebelum matahari dimunculkan
Dilempar ke pekarangan
Dipungut oleh pelayan
Ditaruh di mejamakan
Ditengok secara sambilan
Dasi tengah diluruskan
Rambut isteri kekusutan
Empat anak bersliweran
Pagi penuh kesibukan
Selai di ujung tangan
Roti dalam panggangan
Ketika tangan bersilangan
Kopi tumpah di bacaan
Menyiram tigajutahektar koran
Dua kolom kepanjangan
Apipadam menutup hutan
Koranbasah dilipat empat
Keranjang plastik anyaman
Tempat dia dibuangkan
Tepat pagi itu
Jam setengah delapan.
Halaman surat kabar
Telah dirayapi api
Terbit pagi ini
Panjang empat jari
Dua kolom tegaklurus
Dibongkar dari pik-ap
Subuh dari percetakan
Ditumpuk tepi jalan
Dibereskan agen koran
Sebelum matahari dimunculkan
Dilempar ke pekarangan
Dipungut oleh pelayan
Ditaruh di mejamakan
Ditengok secara sambilan
Dasi tengah diluruskan
Rambut isteri kekusutan
Empat anak bersliweran
Pagi penuh kesibukan
Selai di ujung tangan
Roti dalam panggangan
Ketika tangan bersilangan
Kopi tumpah di bacaan
Menyiram tigajutahektar koran
Dua kolom kepanjangan
Apipadam menutup hutan
Koranbasah dilipat empat
Keranjang plastik anyaman
Tempat dia dibuangkan
Tepat pagi itu
Jam setengah delapan.
1988
BERI DAKU SUMBA
di Uzbekistan, ada padang terbuka dan berdebu
aneh, aku jadi ingat pada Umbu
aneh, aku jadi ingat pada Umbu
Rinduku pada Sumba adalah rindu padang-padang terbuka
Di mana matahari membusur api di atas sana
Rinduku pada Sumba adalah rindu peternak perjaka
Bilamana peluh dan tenaga tanpa dihitung harga
Tanah rumput, topi rumput dan jerami bekas rumput
Kleneng genta, ringkik kuda dan teriakan gembala
Berdirilah di pesisir, matahari ‘kan terbit dari laut
Dan angin zat asam panas dikipas dari sana
Beri daku sepotong daging bakar, lenguh kerbau dan sapi malam hari
Beri daku sepucuk gitar, bossa nova dan tiga ekor kuda
Beri daku cuaca tropika, kering tanpa hujan ratusan hari
Beri daku ranah tanpa pagar, luas tak terkata, namanya Sumba
Rinduku pada Sumba adalah rindu seribu ekor kuda
Yang turun menggemuruh di kaki bukit-bukit yang jauh
Sementara langit bagai kain tenunan tangan, gelap coklat tua
Dan bola api, merah padam, membenam di ufuk teduh
Rinduku pada Sumba adalah rindu padang-padang terbuka
Di mana matahari bagai bola api, cuaca kering dan ternak melenguh
Rinduku pada Sumba adalah rindu seribu ekor kuda
Yang turun menggemuruh di kaki bukit-bukit yang jauh.
1970
SYAIR UNTUK SEORANG PETANI DARI WAIMITAL, PULAU SERAM, YANG PADA
HARI INI PULANG KE ALMAMATERNYA
I
Dia mahasiswa tingkat terakhir
ketika di tahun 1964 pergi ke pulau Seram
untuk tugas membina masyarakat tani di sana.
Dia menghilang
15 tahun lamanya.
Orangtuanya di Langsa
memintanya pulang.
IPB memanggilnya
untuk merampungkan studinya,
tapi semua
sia-sia.
II
Dia di Waimital jadi petani
Dia menyemai benih padi
Orang-orang menyemai benih padi
Dia membenamkan pupuk di bumi
Orang-orang membenamkan pupuk di bumi
Dia menggariskan strategi irigasi
Dia menakar klimatologi hujan
Orang-orang menampung curah hujan
Dia membesarkan anak cengkeh
Orang kampung panen raya kebun cengkeh
Dia mengukur cuaca musim kemarau
Orang-orang jadi waspada makna bencana kemarau
Dia meransum gizi sapi Bali
Orang-orang menggemukkan sapi Bali
Dia memasang fondasi tiang lokal sekolah
Orang-orang memasang dinding dan atapnya
Dia mengukir alfabet dan mengamplas angka-angka
Anak desa jadi membaca dan menyerap matematika
Dia merobohkan kolom gaji dan karir birokrasi
Kasim Arifin, di Waimital
Jadi petani.
III
Dia berkaus oblong
Dia bersandal jepit
Dia berjalan kaki
20 kilometer sehari
Sesudah meriksa padi
Dan tata palawija
Sawah dan ladang
Orang-orang desa
Dia melintas hutan
Dia menyeberang sungai
Terasa kelepak elang
Bunyi serangga siang
Sengangar tengah hari
Cericit tikus bumi
Teduh pohonan rimba
Siang makan sagu
Air sungai jernih
Minum dan wudhukmu
Bayang-bayang miring
Siul burung tekukur
Bunga alang-alang
Luka-luka kaki
Angin sore-sore
Mandi gebyar-gebyur
Simak suara azan
Jamaah menggesek bumi
Anak petani diajarnya
Logika dan matematika
Lampu petromaks bergoyang
Angin malam menggoyang
Kasim merebah badan
Di pelupuh bambu
Tidur tidak berkasur.
IV
Dia berdiri memandang ladang-ladang
Yang ditebas dari hutan rimba
Di kakinya terjepit sepasang sandal
Yang dipakainya sepanjang Waimital
Ada bukit-bukit yang dulu lama kering
Awan tergantung di atasnya
Mengacungkan tinju kemarau yang panjang
Ada bukit-bukit yang kini basah
Dengan wana sapuan yang indah
Sepanjang mata memandang
Dan perladangan yang sangat panjang
Kini telah gembur, air pun berpacu-pacu
Dengan sepotong tongkat besar, tiga tahun lamanya
Bersama puluhan transmigran
Ditusuk-tusuknya tanah kering kerontang
Dan air pun berpacu-pacu
Delapan kilometer panjangnya
Tanpa mesin-mesin, tiada anggaran belanja
Mengairi tanah 300 hektar luasnya
Kulihat potret dirimu, Sim, berdiri di situ
Muhammad Kasim Arifin, di sana,
Berdiri memandang ladang-ladang
Yang telah dikupasnya dari hutan rimba
Kini sekawanan sapi Bali mengibas-ngibaskan ekor
Di padang rumput itu
Rumput gajah yang gemuk-gemuk
Sayur-sayuran yang subur-subur
Awan tergantung di atas pulau Seram
Dikepung lautan biru yang amat cantiknya
Dari pulau itu, dia telah pulang
Dia yang dikabarkan hilang
Lima belas tahun lamanya
Di Waimital Kasim mencetak harapan
Di kota kita mencetak keluhan
(Aku jadi ingat masa kita diplonco
Dua puluh dua tahun yang lalu)
Dan kemarin, di tepi kali Ciliwung aku berkaca
Kulihat mukaku yang keruh dan leherku yang berdasi
Kuludahi bayanganku di air itu karena rasa maluku
Ketika aku mengingatmu, Sim
Di Waimital engkau mencetak harapan
Di kota, kami …
Padahal awan yang tergantung di atas Waimital, adalah
Awan yang tergantung di atas kota juga
Kau kini telah pulang
Kami memelukmu.
Dia mahasiswa tingkat terakhir
ketika di tahun 1964 pergi ke pulau Seram
untuk tugas membina masyarakat tani di sana.
Dia menghilang
15 tahun lamanya.
Orangtuanya di Langsa
memintanya pulang.
IPB memanggilnya
untuk merampungkan studinya,
tapi semua
sia-sia.
II
Dia di Waimital jadi petani
Dia menyemai benih padi
Orang-orang menyemai benih padi
Dia membenamkan pupuk di bumi
Orang-orang membenamkan pupuk di bumi
Dia menggariskan strategi irigasi
Dia menakar klimatologi hujan
Orang-orang menampung curah hujan
Dia membesarkan anak cengkeh
Orang kampung panen raya kebun cengkeh
Dia mengukur cuaca musim kemarau
Orang-orang jadi waspada makna bencana kemarau
Dia meransum gizi sapi Bali
Orang-orang menggemukkan sapi Bali
Dia memasang fondasi tiang lokal sekolah
Orang-orang memasang dinding dan atapnya
Dia mengukir alfabet dan mengamplas angka-angka
Anak desa jadi membaca dan menyerap matematika
Dia merobohkan kolom gaji dan karir birokrasi
Kasim Arifin, di Waimital
Jadi petani.
III
Dia berkaus oblong
Dia bersandal jepit
Dia berjalan kaki
20 kilometer sehari
Sesudah meriksa padi
Dan tata palawija
Sawah dan ladang
Orang-orang desa
Dia melintas hutan
Dia menyeberang sungai
Terasa kelepak elang
Bunyi serangga siang
Sengangar tengah hari
Cericit tikus bumi
Teduh pohonan rimba
Siang makan sagu
Air sungai jernih
Minum dan wudhukmu
Bayang-bayang miring
Siul burung tekukur
Bunga alang-alang
Luka-luka kaki
Angin sore-sore
Mandi gebyar-gebyur
Simak suara azan
Jamaah menggesek bumi
Anak petani diajarnya
Logika dan matematika
Lampu petromaks bergoyang
Angin malam menggoyang
Kasim merebah badan
Di pelupuh bambu
Tidur tidak berkasur.
IV
Dia berdiri memandang ladang-ladang
Yang ditebas dari hutan rimba
Di kakinya terjepit sepasang sandal
Yang dipakainya sepanjang Waimital
Ada bukit-bukit yang dulu lama kering
Awan tergantung di atasnya
Mengacungkan tinju kemarau yang panjang
Ada bukit-bukit yang kini basah
Dengan wana sapuan yang indah
Sepanjang mata memandang
Dan perladangan yang sangat panjang
Kini telah gembur, air pun berpacu-pacu
Dengan sepotong tongkat besar, tiga tahun lamanya
Bersama puluhan transmigran
Ditusuk-tusuknya tanah kering kerontang
Dan air pun berpacu-pacu
Delapan kilometer panjangnya
Tanpa mesin-mesin, tiada anggaran belanja
Mengairi tanah 300 hektar luasnya
Kulihat potret dirimu, Sim, berdiri di situ
Muhammad Kasim Arifin, di sana,
Berdiri memandang ladang-ladang
Yang telah dikupasnya dari hutan rimba
Kini sekawanan sapi Bali mengibas-ngibaskan ekor
Di padang rumput itu
Rumput gajah yang gemuk-gemuk
Sayur-sayuran yang subur-subur
Awan tergantung di atas pulau Seram
Dikepung lautan biru yang amat cantiknya
Dari pulau itu, dia telah pulang
Dia yang dikabarkan hilang
Lima belas tahun lamanya
Di Waimital Kasim mencetak harapan
Di kota kita mencetak keluhan
(Aku jadi ingat masa kita diplonco
Dua puluh dua tahun yang lalu)
Dan kemarin, di tepi kali Ciliwung aku berkaca
Kulihat mukaku yang keruh dan leherku yang berdasi
Kuludahi bayanganku di air itu karena rasa maluku
Ketika aku mengingatmu, Sim
Di Waimital engkau mencetak harapan
Di kota, kami …
Padahal awan yang tergantung di atas Waimital, adalah
Awan yang tergantung di atas kota juga
Kau kini telah pulang
Kami memelukmu.
1979
SEJARUM PENITI, SEPUNGGUNG GUNUNG
Puisi
punya kepentingan besar terhadap bertrilyun daunan yang terpasang
tepat
dan rimbun pada pepohonan
pada
bermilyar pepohonan yang terpancang rapi
di
permukaan bukit, pegunungan, lembah dan dataran pantai
Yang
dialiri beratus juta kilometer kubik
air
berbentuk padat,cair dan gas
dalam
gerakan dinamik yang kau tak habis kagumi ruwetnya:
tegak
lurus dari atas ke bawah, tegak lurus dari bawah ke atas
miring
terjal miring landai,
beringsut
dari kiri ke kanan, bergulir dari kanan ke kiri
menembus
permukaan daun, meluncuri serat-serat kayu
mendaki
akar, menaiki elevator serambut
yang
tersusun rapi dalam batang kayu
menguap
gaib lewat noktah-noktah jendela mikroskopis
lalu
bergabung dalam substansi gas-gas yang tak dapat
kau
sentuh, kau cium, kau tatap, beribu-ribu klasifikasinya
semua
tersusun dalam komposisi yang begitu rumit
tapi
demikian teraturnya, yang memungkinkan kau
menengadah
ke atas sana, dan tersiuk berkata
waduh
biru
bersih
betul
langit
itu
dan
tengoklah serpihan-serpihan bulu domba berserak di angkasa
dengarlah
angin telah berganti baju jadi musik gesek instrumental
yang
melatarbelakangi semua ini, dan kulihat kau menitikkan
dua
tetes
cairan
dari
kedua sudut kelopak mata kau itu.
Puisi
punya kepentingan besar terhadap air yang tersedia
dalam
berbagai ukuran bejana bumi
mengalir
melalui bermacam format saluran tanah
dihuni
oleh perenang-perenang sejati yang berukuran
mulai
dari
sejarum
peniti sampai sepunggung gunung
dengan
warna-warni panorama bawah laut
yang
luar biasa menakjubkan
bayangan
dan penafsiran dari angkasa penuh cahaya
yang
menaunginya
yang
di atasnya mengapung dan mengepak
berjuta
penerbang bersayap dengan gerakan matematis
bercumbu
dengan angin dan bercakap-cakap dengan cuaca.
Puisi
punya kepentingan besar terhadap unggas-unggas itu
yang
ketika mengapung di atas sana
hinggap
di dahan atau mengais tanah
berdialog
dengan seluruh makhluk penghuni bumi
melata
dia merangkak dia berjalan dua kaki dia
menyusupi
rumput dia menyelami tanah dia
dan
paru-paru mereka berdenyut, jantung mereka berdetak
susunan
syaraf mereka memberi sinyal-sinyal cendekia
dalam
sirkulasi zat asam yang siklusnya ruwet
tapi
dapat dijelaskan lewat bahasa apa pun
dan
susunan angka-angka apa pun
sehingga
dapat kita raba
peradaban
dan
budaya.
Puisi
mencatatnya semua, menyampaikannya kembali
dengan
sentuhan yang indah dan penuh keterharuan
mengulangi
ini lewat daurnya sendiri-sendiri
berabad
lamanya beriringan
denyut
zikir tiada putusnya tegak lurus ke arah
Asal
Ini
Semua.
Puisi
dengan penuh rasa khawatir, curiga dan cemburu
menyaksikan
dedaunan, pepohonan, unggas, ikan,
cuaca,
zat asam, susunan syaraf, sungai, danau, lautan
bercakap
serak dan gagu dengan sesamanya
bagi
kawanan makhluk yang telah dilucuti kesempurnaannya
dalam
harmoni yang dulu tiada tertandingi.
Huruf-huruf
kapital telah mengeja keserakahan,
mengejek
kemiskinan, mencetak kekerasan, melestarikan penindasan,
menyebarkan
kejahilan, semua dalam bentuk baru
yang
tanpa bandingan sepanjang umur sejarah,
menerjemahkannya
ke setiap bahasa
lengkap
dengan petunjuk pelaksanaannya
secara
kolektif melakukan penghancuran peradaban
mula-mula
dalam kecepatan perlahan, dan kini
dalam
percepatan yang seperti tiada dapat tertahankan.
Puisi
menangisinya, mencatatnya
dengan
huruf-huruf sedih, sesak nafas, geram dan naik darah.
Puisi
menepuk bahu dan mencoba mengingatkan.
1990
PANTUN TERANG BULAN DI MIDWEST
Sebuah
bulan sempurna
Bersinar
agak merah
Lingkarannya
di sana
Awan
menggaris bawah
Sungai Mississippi
Sungai Mississippi
Lebar
dan keruh
Bunyi-bunyi
sepi
Amat
gemuruh
Ladang-ladang jagung
Ladang-ladang jagung
Rawa-rawa
dukana
Serangga
mendengung
Sampaikah
suara
Cuaca musim gugur
Cuaca musim gugur
Bukit
membisu
Asap
yang hancur
Biru
abu-abu
Danau yang di sana
Danau yang di sana
Seribu
burung belibis
Lereng
pohon pina
Angin
pun gerimis
1971
BUNGA ALANG - ALANG
Bunga
alang-alang
Di tebing kemarau
Menggelombang
Mengantar
Di tebing kemarau
Menggelombang
Mengantar
Bisik
cemara
Dalam getar
Di jalan setapak
Engkau berjalan
Dalam getar
Di jalan setapak
Engkau berjalan
Sendiri
Ketika pepohon damar
Menjajari
Bintang pagi
Sesudah topan
Membarut
Warna jingga
Ketika pepohon damar
Menjajari
Bintang pagi
Sesudah topan
Membarut
Warna jingga
Dan
seribu kalong
Bergayut
Di puncak randu
Bergayut
Di puncak randu
Di
bawah bungur
Kaupungut
Kaupungut
Bunga
rindu
Sementara awan
Menyapu-nyapu
Sementara awan
Menyapu-nyapu
Flamboyan
Kemarau pun
Berangkat
Dengan kaki tergesa
Dalam angin
Yang menerbangkan
Serbuk bunga.
Kemarau pun
Berangkat
Dengan kaki tergesa
Dalam angin
Yang menerbangkan
Serbuk bunga.
1963
DI TELUK IKAN PUTIH
Di
Teluk Ikan Putih, telah terjangkar jasmaniku di pelabuhannya
Pada
kapal-kapal yang masuk dan tertambat sehari-hari
Anak-anak
camar bertebar atas arus melancar
Dan
perbukitan dandan perlente pina-pina berduri
Di Teluk Ikan Putih menutup siang musim semi panjang
Di Teluk Ikan Putih menutup siang musim semi panjang
Pada
langitnya keruh asap, bayang bangunan dan baja
Di
perut kota bangkitlah malam sambil melenggang
Dan
dermaganya hening lelap, berlelehan keristal kaca
Selamat jalan, malam-malam putih berhujan kapas
Selamat jalan, malam-malam putih berhujan kapas
Lewati
perairan alim dengan pipinya dingin
Masih
ada yang berlinangan di sela gugusan karang
Ngenangkan
musim mengandung belati dalam angin
Jabatlah
teluk kami, persinggahan di tahun datang.
1957
LAGU UNGGAS LAGU IKAN
Katak
rawa-rawa
Menyanyi
sendiri
Pii
Wii
Serangga
pepohonan
Daun
bermerahan
Angsa menggelepar
Dan
berbunyi
Pii
Wii
Ikan
danau jauh
Jerami
yang luruh
Langit mengental
Paya-paya
kristal
Unggas
sembunyi
Hutan
pun mati
Bunyi
yang sunyi
Pii
Wii
Wii
1971
ADAKAH SUARA CEMARA
Ati
Adakah
suara cemara
Mendesing
menderu padamu
Adakah
melintas sepintas
Gemersik
daunan lepas
Deretan bukit-bukit biru
Deretan bukit-bukit biru
Menyeru
lagu itu
Gugusan
mega
Ialah
hiasan kencana
Adakah suara cemara
Adakah suara cemara
Mendesing
menderu padamu
Adakah
lautan ladang jagung
Mengombakkan
suara itu.
1972
TAMAN DI TENGAH PULAU KARANG
Di
tengah Manhattan menjelang musim gugur
Dalam
kepungan rimba baja, pucuknya dalam awan
Engkau
terlalu bersendiri dengan danau kecilmu
Dan
perlahan melepas hijau daunan
Bebangku panjang dan hitam, lusuh dan retak
Bebangku panjang dan hitam, lusuh dan retak
Seorang
lelaki tua duduk menyebar
Remah
roti. Sementara itu berkelepak
Burung-burung
merpati
Di lingir Manhattan bergelegar pengorek karang
Di lingir Manhattan bergelegar pengorek karang
Merpati
pun kaget beterbangan
Suara
mekanik dan racun rimba baja
Menjajarkan
pohon-pohon duka
Musim panas terengah melepas napas
Musim panas terengah melepas napas
Pepohonan
meratapinya dengan geletar ranting
Orang
tua itu berkemas dan tersaruk pergi
Badai
pun memutar daunan dalam kerucut
Makin
meninggi.
1963
MUSIM GUGUR TELAH TURUN DI RUSIA
Seekor
burung raksasa pada suatu malam cuaca mengembangkan sayap-nya yang perkasa
mengibas-ngibaskannya gemuruh dan lena maka rontoklah bulu beledru di langit
tua dan biru gugur dan gugur melayang dan berbaur
Musim gugur telah turun di Rusia
Berjuta bintik kapas warna putih angsa pada suatu malam cuaca naik mengambang bersama dan menggeliatlah dia menggelepar menyerakkan warna dan aroma
Musim panas melayang di atas Rusia
Dengan malasnya burung itu terbang sayapnya mengibaskan angin agak dingin daun-daun beriozka jadi berganti warna burung raksasa tiba di atas kutub utara dia berkaca sekilas di laut terus melayang ke bagian bumi yang lain seraya membagi-bagikan angin yang agak dingin
Musim gugur telah turun di Rusia.
1970
TREM BERKLENENGAN DI KOTA SAN FRANCISCO
Pagimu
yang cerah, San Francisco, sampai padaku di atas bukit itu, lautmu bagai bubur
agar-agar, uap air di langitmu mencecerkan serbuk kabut seperti tepung nilon
dan terjela-jela sepanjang jembatan raksasamu tepat seperti kartu pos bergambar
yang pernah kubeli di kedai Hindustan duapuluh empat tahun yang silam di
Geylang Road ketika aku masih bercelana pendek dan asyik menghafalkan nama-nama
hebat dengan huruf-huruf c, v, x, dan y pada pelajaran ilmu bumi di Sekolah
Rakyat partikelir.
Matahari terlalu gembira menyinari bukit-bukitmu. Bukit-bukit yang ditumbuhi rumah-rumah Eropah, Meksiko, Habsyi dan Cina, bercat putih beratap merah tua dengan bunga-bungaan yang mekar karena persekutuan akrab dengan musim semi bagai tak kunjung habisnya. Debu segan padamu. Kotoran mekanika dan asam arang kauserahkan sepenuhnya pada Los Angeles si buruk muka. Dia cemburu padamu.
Pasar buah dan rempah-rempah. Trem berklenengan dan meluncur gila pada penurunan bukit-bukit sama-kaki yang sempit. Sebuah peti cat meledak di udara dan warna-warna pun dibagi-bagi pada deretan bangunan dinding trem kota, tulang jembatan, atap, pintu dan jendela. Angin mengeringkannya dan mengaduknya dengan aroma daun-daun perladangan jeruk serta uap perairan dermaga lalu dikibas-kibaskan oleh sayap kawanan burung camar mengatasi muara lautan.
Percintaan bulan dengan lekuk-lekuk tubuhmu semacam percintaan anak-anak muda yang garang kemudian dilukiskan oleh pelukis-pelukis kubistis. Emas yang diburu-buru abad yang lalu dilambangkan dalam cahaya natrium, amat geometris, lewat tingkap-tingkap dan pipa-pipa kaca, simetris dan tidak simetris. Kapal-kapal angkat jangkar.
Di ujung meja panjang terbuat dari kayu mahoni pada suatu bar dekat Market Street seorang tua berambut putih berkumis putih berjanggut putih duduk di atas kursi plastik yang bentuknya seperti bom waktu. “Aku tidak dengar Amerika menyanyi lagi” ujarnya. Pelayan bar memberinya segelas bir.
Amerika tidak menyanyi lagi.
Amerika
mengerang.
Di atas bar kayu mahoni berlapis formika hampir biru muda, padang-padang Texas dilipat ke tengah, New York berhamburan ke dalam Grand Canyon, Niagara mengental, California tergulung-gulung. Walt Whitman memeras Amerika bagai sehelai karbon bekas, dan si tua itu menuangkan bir Milwaukee berbusa ke atasnya.
Amerika mengeluarkan bunyi kerupuk kentang kering.
Yang
dikunyah lambat-lambat.
Camar-camar teluk San Francisco melayang di atas kedai-kedai bunga tulip, menelisik jaringan kawat trem-trem yang berkenengan dan buang air tepat di atas kantor asuransi.
Selamat jalan c
Selamat
jalan v
Selamat
jalan x
Selamat
jalan y
Selamat
jalan.
1972
SEORANG KULI TUA DI SETASIUN YOKOHAMA
Seorang
kuli tua di setasiun Yokohama
Ketika
ekspres tengah hari masuk dari ibukota
Berdiri
agak terbungkuk di depan peron
Handuk
kecil di lehernya
Beratus penumpang turun sepanjang ruangan
Beratus penumpang turun sepanjang ruangan
Menari
dalam kilau jendela kereta
Ia
pun menjamah koporku setelah menatapku
Agak
lama
Hari itu musim panas di bulan Agustus
Hari itu musim panas di bulan Agustus
Udara
sangat lembab dan angin tak bertiup
Menyeka
dahi ditolaknya lembaran uang
‘Aku
dulu di Semarang’
Dengan hormat diucapkannya selamat jalan
Dengan hormat diucapkannya selamat jalan
Ia
pun kembali ke setasiun berbata-bata
Berkaus
dan bersepatu putih
Tiba-tiba
wajahnya sangat tua
Di kapal kenapa kuingat kakak sepupuku
Di kapal kenapa kuingat kakak sepupuku
Opsir
Peta di Jatingaleh berlucut senjata
Terbunuh
dalam pertempuran lima hari
Dua
belas tahun yang lalu
Hari itu musim panas di bulan Agustus
Hari itu musim panas di bulan Agustus
Ketika
ekspres tengah hari masuk dari ibukota
Seorang
kuli di setasiun Yokohama
Tiba-tiba
wajahnya sangat tua.
1963
PENGKHIANATAN
Siapa
lagi sekarang akan ditangkap. Menanti
Mungkin
sebentar lagi mereka akan datang mengetuk pintu
Mendorong
masuk dan menjerembabkan nasib
Di
ambang waktu. Dengan berbagai tuduhan
Barangkali
agen mereka ada di antara kita
Dengan
pestol Browning di pinggang dalam
Kita
tak pernah pasti tahu
Mengapa
engkau pucat sekali?
Intip
cermin di atas lemari
Di
luar angin pepohonan damar masih berseru
Atau
jip-kah itu yang menderu?
Cek
sekali lagi: sudahkah semua dokumen dibakar
Bersihkan
sisa abu di lubang kloset
Granat
dan sten di dinding-papan
Hapalkan
nama-nama palsu kalian
Sudjono!
Hentikan goyangan kakimu
Merokoklah.
Merokok di kolong kalau tak tahan
Udara
terlalu pekap di sini, dalam temaram
Kita
makin berpeluh tapi jari kenapa menggigil
Udara
panas bergetah dengan bau ikan sardin
Seorang
bangkit pelan, mengintip di balik gorden
Tiba-tiba aku berteriak, melolong-lolong
Tjok
dan Momo menerkamku tak berbunyi
Dan
menyumbat mulutku
Aku
berontak, lepas dalam geliat liar
Tapi
badan mereka bagai sapi Bali
Lenganku
dikunci mereka ke punggung. Badanku
Dibengkok-busurkan
Keluh
serak dari mulutku
‘Lepaskan
dia. Dan kau diam’
Kata Budi
‘Kau terlalu tegang’
Diapun menuding ke sudut kamar
Aku terhuyung ke sana, dua langkah
Dan tiga langkah surut kembali
Dalam gerakan terpincang, kataku serak:
‘Budi, aku telah berkhianat’
Seluruh kamar tegang dan pekat
Halilintar meledak dalam ruangan
Mata mereka nanap, duka perjuangan semakin berat
Angin pepohonan damar menebas tajam bagai kelewang
‘Budi, aku sudah berkhianat’
Kata Budi
‘Kau terlalu tegang’
Diapun menuding ke sudut kamar
Aku terhuyung ke sana, dua langkah
Dan tiga langkah surut kembali
Dalam gerakan terpincang, kataku serak:
‘Budi, aku telah berkhianat’
Seluruh kamar tegang dan pekat
Halilintar meledak dalam ruangan
Mata mereka nanap, duka perjuangan semakin berat
Angin pepohonan damar menebas tajam bagai kelewang
‘Budi, aku sudah berkhianat’
Aku
melihat berkeliling. Mereka diam aneh
Lenganku
mula mengulur, lalu bergantungan
Dengan
gelisah aku berputar melihat kawan-kawan
Mataku
merah dan liar serigala
Meneriakkan
‘Aku pengkhianat!’
Dan
aku tersedu, tertengkurap di tengah kamar
Mereka
semua diam. Sudjono mematikan rokoknya
Aku
menangis seperti anak lima tahun
Yang
kehilangan baling-baling kertasnya
‘Tembaklah
aku. Mereka sudah tahu semuanya
Sebentar
lagi mereka datang
Aku
tak tahan Budi, tembaklah aku di sini’
Budi memberi tanda. Senjata-senjata dibongkar dari dinding
Dengan perkasa mereka siap berangkat dalam formasi rahasia
Mereka akan menyelinap lewat gang belakang
Sepanjang urat-urat kota memperjuangkan kemerdekaan
Di sela rapatnya rumah-rumah, meneruskan gerakan di bawah tanah
Budi melucuti belatiku dan pada Momo memberi perintah
Menggamit
Tjok dan Maliki dengan tangan perunggu
Perlahan
yang lain berangkat satu-satu
Setiap
orang memerlukan menoleh padaku sebentar
Di
lantai, aku menekuri jubin sebelah meja
Dan
Momo yang akan menjalankan perintah komandan
Berdiri
dengan belatiku telanjang di tangan.
1963
TENTANG SERSAN NURCHOLIS
Seorang
sersan
Kakinya
hilang
Sepuluh
tahun yang lalu
Setiap siang
Setiap siang
Terdengar
siulnya
Di
bengkel arloji
Sekali datang
Sekali datang
Teman-temannya
Sudah
orang resmi
Dengan senyum ditolaknya
Dengan senyum ditolaknya
Kartu-anggota
Bekas
pejuang
Sersan Nurcholis
Sersan Nurcholis
Kakinya
hilang
Di
zaman revolusi
Setiap siang
Setiap siang
Terdengar
siulnya
Di
bengkel arloji
1958
ODA PADA VAN GOGH
Pohon
sipres. Kafe tua
Di
ujung jalan
Sepi.
Sepi jua
Langit berombak
Langit berombak
Bulan
di sana
Sepi.
Sepi namanya.
1964
POTRET DI BERANDA
Di
beranda rumah nenekku, di desa Baruh
Potretku
telah tergantung 26 tahun lamanya
Bersama
gambar-gambar sulaman ibuku
Dibuatnya
tatkala masih perawan
Di dapur rumah nenekku, nenekku renta
Di dapur rumah nenekku, nenekku renta
Tergolek
drum tua pemasak kerupuk kulit
Di
atasnya sepasang tanduk hitam berdebu
Kerbau
bajak kesayangan kakekku
Kerupuk kulit telah mengirim ibuku
Kerupuk kulit telah mengirim ibuku
Sekolah
ke kota, jadi guru
Padi,
lobak dan kentang ditanam kakekku
Yang
disulap subur dalam hidayat
Dijunjung
dan dipikul ke pasar
Dalam
dingin dataran tinggi
Karena
ibuku yang mau jadi guru
Dan ibuku bertemu ayahku
Dan ibuku bertemu ayahku
Yang
dikirim nenekku ke surau menyabit ilmu
Dengan
ikan kolam, bawang dan wortel
Di
ujung cangkul kakekku kukuh
Yang
kembang dan berisi dalam rahmat
Terbungkuk-bungkuk
dijunjung di hari pekan
Karena
ayahku mau jadi guru
Maka lahirlah kami berenam
Maka lahirlah kami berenam
Dalam
rahman
Dalam
kesayangan
Dalam
kesukaran
Di
beranda rumah nenekku, di desa Baruh
Potretku
telah tergantung 26 tahun lamanya
Bersama
gambar-gambar buatan ibuku
Disulamnya
tatkala masih perawan.
1963
ALMAMATER
Di
depan gerbangmu tua pada hari ini
Kami
menyilangkan tangan ke dada kiri
Tegak
tengadah menatap bangunanmu
Genteng
hitam dan dinding kusam. Berlumut waktu
Untuk
kali penghabisan
Marilah kita kenangkan tahun-tahun dahulu
Marilah kita kenangkan tahun-tahun dahulu
Hari-hari
kuliah di ruang fisika
Mengantuk
pada pagi cericit burung gereja
Praktikum.
Padang percobaan. Praktek daerah
Corong
anastesi dan kilau skalpel di kamar bedah
Suara-suara
menjalar sepanjang gang
Suara
pasien yang pertama kali kujamah
Di aula ini, aula yang semakin kecil
Di aula ini, aula yang semakin kecil
Kita
beragitasi, berpesta dan berkencan
Melupakan
sengitnya ujian, tekanan gurubesar
Melepaskannya
pada hari-hari perpeloncoan
Pada
filem dan musik yang murahan
Ya, kita sesekali butuh juga konser yang baik
Ya, kita sesekali butuh juga konser yang baik
Drama
Sophocles, Chekov atau ‘Jas Panjang Pesanan’
Memperdebatkan
politik, Tuhan dan para negarawan
Tentang
filsafat, perempuan serta peperangan
Bayang
benua abad dahulu lewat abad yang kini
Di manakah kau sekarang berdiri? Di abad ini
Di manakah kau sekarang berdiri? Di abad ini
Dan
bersyukurlah karena lewat gerbangmu tua
Kau
telah dilantik jadi warga Republik Berpikir Bebas
Setelah
bertahun diuji kesetiaan dan keberanianmu
Dalam
berpikir dan menyatakan kebebasan suara hati
Berpijak
di tanah air nusantara
Dan
menggarap tahun-tahun kemerdekaan
Dengan
penuh kecintaan
Dan
kami bersyukur pada Tuhan
Yang
telah melebarkan gerbang tua ini
Dan
kami bersyukur pada ibu bapa
Yang
sepanjang malam
Selalu
berdoa tulus dan terbungkuk membiayai kami
Dorongan
kekasih sepenuh hati
Dan
kami berhutang pada manusia
Yang
telah menjadi guru-guru kami
Yang
membayar pajak selama ini
Serta
menjaga sepeda-sepeda kami
Pada
hari ini di depan gerbangmu tua
Kami
kenangkan cemara halamanmu dalam bau formalin
Mikroskop.
Kamar obat. Perpustakaan
Gulungan
layar di kampung nelayan
Nyanyi
pohon-pohon perkebunan
Angin
hijau di padang-padang peternakan
Deru
kemarau di padang-padang penggembalaan
Dalam
mimpi teknologi, kami kini dipanggil
Untuk
menggarap tahun-tahun kemerdekaan
Dan
mencintai manusianya
Mencintai
kebebasannya.
1963
PEKALONGAN LIMA SORE
Kleneng
bel beca
Debu
aspal panggang
Sangar
jalan pelabuhan
Terik
kota pesisir
Tik-tik
persneling Raleigh
Bungkus
sarung palekat
Sungai
kuning coklat
Nyanyi
rumah yatim
Pejaja
es lilin
Riuh
Kampung Arab
Jembatan
loji karatan
Genteng
rumah pegadaian
Keringat
pasar sepi
Kumis
Raj Kapoor
Sengangar
lilin batik
Deru
pabrik tenun
Bal-balan
Bong Cina
Harum
tauto
Tjarlam
Sirup
kopyor dingin
Gorengan
kuali tahu
Percikan
minyak kelapa
Sisa
bungkus megono
Panas
teh melati
Tik-tok
kuda dokar
Dengung
DKW Hummel
Peluit
sepur bomel
Klakson
Debu Revolusi.
1961
ADALAH BEL KECIL DI JENDELA
Sebuah
bel kecil tergantung di jendela
Di
bulan Juni
Berkelining
sepi
Daun asam dan cericit burung gereja
Daun asam dan cericit burung gereja
Keletak
kuda andong-andong Yogya
Kota
tua membentang dalam debu
Sepanjang
gang ditaburnya sunyi itu
Sebuah bel kecil tergantung di jendela
Sebuah bel kecil tergantung di jendela
Di
bulan Juli
Berke-
li-
ning
Sepi.
Sepi.
1965
DARI CATATAN SEORANG DEMONSTRAN
Inilah
peperangan
Tanpa
jenderal, tanpa senapan
Pada
hari-hari yang mendung
Bahkan
tanpa harapan
Di sinilah keberanian diuji
Di sinilah keberanian diuji
Kebenaran
dicoba dihancurkan
Pada
hari-hari berkabung
Di
depan menghadang ribuan lawan.
1966
DEPAN SEKRETARIAT NEGARA
Setelah
korban diusung
Tergesa-gesa
Ke
luar jalanan
Kami semua menyanyi
Kami semua menyanyi
‘Gugur
Bunga’
Perlahan-lahan
Perajurit ini
Perajurit ini
Membuka
baretnya
Airmata
tak tertahan
Di puncak Gayatri
Di puncak Gayatri
Menunduklah
bendera
Di
belakangnya segumpal awan.
1966
SEORANG TUKANG RAMBUTAN PADA ISTRINYA
“Tadi
siang ada yang mati,
Dan
yang mengantar banyak sekali
Ya.
Mahasiswa-mahasiswa itu. Anak-anak sekolah
Yang
dulu berteriak: dua ratus, dua ratus!
Sampai
bensin juga turun harganya
Sampai
kita bisa naik bis pasar yang murah pula
Mereka
kehausan dalam panas bukan main
Terbakar
muka di atas truk terbuka
Saya
lemparkan sepuluh ikat rambutan kita, bu
Biarlah
sepuluh ikat juga
Memang
sudah rezeki mereka
Mereka
berteriak-teriak kegirangan dan berebutan
Seperti
anak-anak kecil
“Hidup
tukang rambutan! Hidup tukang rambutan!”
Dan
menyoraki saya. Betul bu, menyoraki saya
Dan
ada yang turun dari truk, bu
Mengejar
dan menyalami saya
“Hidup
pak rambutan!” sorak mereka
Saya
dipanggul dan diarak-arak sebentar
“Hidup
pak rambutan!” sorak mereka
“Terima
kasih, pak, terima kasih!
Bapak
setuju kami, bukan?”
Saya
mengangguk-angguk. Tak bisa bicara
“Doakan
perjuangan kami, pak,”
Mereka
naik truk kembali
Masih
meneriakkan terima kasih mereka
“Hidup
pak rambutan! Hidup rakyat!”
Saya
tersedu, bu. Saya tersedu
Belum
pernah seumur hidup
Orang
berterima-kasih begitu jujurnya
Pada
orang kecil seperti kita.
1966
ARITHMATIK SEDERHANA
Menyimak Adham Arsyad
Selama ini kita selalu
Ragu-ragu
Dan berkata:
Dua tambah dua
Mudah-mudahan sama dengan empat.
Selama ini kita selalu
Ragu-ragu
Dan berkata:
Dua tambah dua
Mudah-mudahan sama dengan empat.
1966
BENTENG
Sesudah
siang panas yang meletihkan
Sehabis
tembakan-tembakan yang tak bisa kita balas
Dan
kita kembali ke kampus ini berlindung
Bersandar
dan berbaring, ada yang merenung
Di lantai bungkus nasi bertebaran
Di lantai bungkus nasi bertebaran
Dari
para dermawan tidak dikenal
Kulit
duku dan pecahan kulit rambutan
Lewatlah
di samping Kontingen Bandung
Ada
yang berjaket Bogor. Mereka dari mana-mana
Semuanya
kumal, semuanya tak bicara
Tapi
kita tidak akan terpatahkan
Oleh
seribu senjata dan seribu tiran
Tak sempat lagi kita pikirkan
Tak sempat lagi kita pikirkan
Keperluan-keperluan
kecil seharian
Studi,
kamar-tumpangan dan percintaan
Kita
tak tahu apa yang akan terjadi sebentar malam
Kita
mesti siap saban waktu, siap saban jam.
1966
DARI IBU SEORANG DEMONSTRAN
“Ibu
telah merelakan kalian
Untuk
berangkat demonstrasi
Karena
kalian pergi menyempurnakan
Kemerdekaan
negeri ini
Ya, ibu tahu, mereka tidak menggunakan gada
Ya, ibu tahu, mereka tidak menggunakan gada
Atau
gas airmata
Tapi
langsung peluru tajam
Tapi
itulah yang dihadapi
Ayah
kalian almarhum
Delapan
belas tahun yang lalu
Pergilah pergi, setiap pagi
Pergilah pergi, setiap pagi
Setelah
dahi dan pipi kalian
Ibu
ciumi
Mungkin
ini pelukan penghabisan
(Ibu
itu menyeka sudut matanya)
Tapi ingatlah, sekali lagi
Tapi ingatlah, sekali lagi
Jika
logam itu memang memuat nama kalian
(Ibu
itu tersedu sesaat)
Ibu relakan
Ibu relakan
Tapi
jangan di saat terakhir
Kauteriakkan
kebencian
Atau
dendam kesumat
Pada
seseorang
Walaupun
betapa zalimnya
Orang
itu
Niatkanlah
menegakkan kalimah Allah
Di
atas bumi kita ini
Sebelum
kalian melangkah setiap pagi
Sunyi
dari dendam dan kebencian
Kemudian
lafazkan kesaksian pada Tuhan
Serta
Rasul kita yang tercinta
Pergilah pergi
Pergilah pergi
Iwan,
Ida dan Hadi
Pergilah
pergi
Pagi
ini.
(Mereka telah berpamitan dengan ibu dicinta
(Mereka telah berpamitan dengan ibu dicinta
Beberapa
saat tangannya meraba rambut mereka
Dan
berangkatlah mereka bertiga
Tanpa
menoleh lagi, tanpa kata-kata).
1966
BEBERAPA URUSAN KITA
Tentang
nasib angkatan ini
Itu
adalah urusan sejarah
Tapi
tentang menegakkan kebenaran
Itu
urusan kita
Apakah cuaca akan cemas di atas
Hingga selalu kita bernaung mendung
Apakah jantung kita masih berdegup kencang
Dan barisan kita selalu bukit-batu-karang?
Berjagalah terus. Berjagalah!
Siang kita bila berlucut laras senapan
Malam kita bila terancam penyergapan
Berjagalah terus. Berjagalah!
Mungkin kita tak akan melihat hari nanti
Mungkin tidak kau. Tidak aku. Siapa bisa tahu
Tapi itu urusan Tuhan
Masalah kemenangan, ketenteraman tanpa tiran
Tentang nasib angkatan ini
Apakah cuaca akan cemas di atas
Hingga selalu kita bernaung mendung
Apakah jantung kita masih berdegup kencang
Dan barisan kita selalu bukit-batu-karang?
Berjagalah terus. Berjagalah!
Siang kita bila berlucut laras senapan
Malam kita bila terancam penyergapan
Berjagalah terus. Berjagalah!
Mungkin kita tak akan melihat hari nanti
Mungkin tidak kau. Tidak aku. Siapa bisa tahu
Tapi itu urusan Tuhan
Masalah kemenangan, ketenteraman tanpa tiran
Tentang nasib angkatan ini
Itu
urusan sejarah
Tetapi
tentang menegakkan kebenaran
Itu
urusan kita.
1966
REFLEKSI SEORANG PEJUANG TUA
Tentara
rakyat telah melucuti Kebatilan
Setelah
mereka menyimak deru sejarah
Dalam
regu perkasa mulailah melangkah
Karena
perjuangan pada hari-hari ini
Adalah
perjuangan dari kalbu yang murni
Belum
pernah kesatuan terasa begini eratnya
Kecuali
dua puluh tahun yang lalu
Mahasiswa telah meninggalkan ruang-kuliahnya
Mahasiswa telah meninggalkan ruang-kuliahnya
Pelajar
muda berlarian ke jalan-jalan raya
Mereka
kembali menyeru-nyeru
Nama
kau, Kemerdekaan
Seperti
dua puluh tahun yang lalu
Spiral sejarah telah mengantarkan kita
Spiral sejarah telah mengantarkan kita
Pada
titik ini
Tak
ada seorang pun tiran
Sanggup
di tengah jalan mengangkat tangan
Dan
berseru: Berhenti!
Tidak ada. Dan kalau pun ada
Tidak ada. Dan kalau pun ada
Tidak
bisa
Karena perjuangan pada hari-hari ini
Karena perjuangan pada hari-hari ini
Adalah
perjuangan dimulai dari sunyi
Belum
pernah kesatuan terasa begini eratnya
Kecuali
duapuluh tahun yang lalu.
1966
0 Response to "Kumpulan Puisi Taufiq Ismail"
Posting Komentar