Kumpulan Puisi Sutan Takdir Alisjahbana (STA) – Sutan
Takdir Alisjahbana (STA) lahir di Natal, Sumatera Utara, 11 Februari 1908.
Beliau merupakan tokoh pembaharu, sastrawan, dan ahli tata Bahasa Indonesia.
STA masih
keturunan keluarga kerajaan. Ibunya, Puti Samiah adalah seorang Minangkabau
yang telah turun temurun menetap di Natal, Sumatera Utara. Puti Samiah
merupakan keturunan Rajo Putih, salah seorang raja Kesultanan Indrapura yang
mendirikan kerajaan Lingga Pura di Natal. Ayahnya, Raden Alisyahbana yang
bergelar Sutan Arbi, adalah seorang guru.
STA menikah
dengan tiga orang istri serta dikaruniai sembilan orang putra dan putri. Istri
pertamanya adalah Raden Ajeng Rohani Daha (menikah tahun 1929 dan wafat pada
tahun 1935) yang masih berkerabat dengan STA. Dari R.A Rohani Daha, STA
dikaruniai tiga orang anak yaitu Samiati Alisjahbana, Iskandar Alisjahbana, dan
Sofjan Alisjahbana. Tahun 1941, STA menikah dengan Raden Roro Sugiarti (wafat
tahun 1952) dan dikaruniai dua orang anak yaitu Mirta Alisjahbana dan Sri
Artaria Alisjahbana. Dengan istri terakhirnya, Dr. Margaret Axer (menikah 1953
dan wafat 1994), STA dikaruniai empat orang anak, yaitu Tamalia Alisjahbana,
Marita Alisjahbana, Marga Alisjahbana, dan Mario Alisjahbana. STA sangat
menghormati wanita, ia mengatakan bahwa wanita adalah motor penggerak dan
pendukung dibalik kesuksesan seorang laki-laki.
Setelah menamatkan sekolah HIS di Bengkulu
(1921), STA melanjutkan pendidikannya ke Kweekschool, Bukittinggi. Kemudian dia
meneruskan HKS di Bandung (1928), meraih Mr. dari Sekolah Tinggi di Jakarta
(1942), dan menerima Dr. Honoris Causa dari Universitas Indonesia (1979) dan
Universitas Sains Malaysia, Penang, Malaysia (1987).
Karirnya beraneka ragam dari bidang sastra,
bahasa, dan kesenian. STA pernah menjadi redaktur Panji Pustaka dan Balai
Pustaka (1930-1933). Kemudian mendirikan dan memimpin majalah Poedjangga Baroe
(1933-1942 dan 1948-1953), Pembina Bahasa Indonesia (1947-1952), dan
Konfrontasi (1954-1962). Pernah menjadi guru HKS di Palembang (1928-1929),
dosen Bahasa Indonesia, Sejarah, dan Kebudayaan di Universitas Indonesia
(1946-1948), guru besar Bahasa Indonesia, Filsafat Kesusastraan dan Kebudayaan
di Universitas Nasional, Jakarta (1950-1958), guru besar Tata Bahasa Indonesia
di Universitas Andalas, Padang (1956-1958), guru besar dan Ketua Departemen
Studi Melayu Universitas Malaya, Kuala Lumpur (1963-1968).
STA merupakan salah satu tokoh pembaharu
Indonesia yang berpandangan liberal. Berkat pemikirannya yang cenderung
pro-modernisasi sekaligus pro-Barat, STA sempat berpolemik dengan cendekiawan
Indonesia lainnya. STA sangat gelisah dengan pemikiran cendekiawan Indonesia
yang anti-materialisme, anti-modernisasi, dan anti-Barat. Menurutnya, bangsa
Indonesia haruslah mengejar ketertinggalannya dengan mencari materi,
memodernisasi pemikiran, dan belajar ilmu-ilmu Barat.
Dalam kedudukannya sebagai penulis ahli dan
kemudian ketua Komisi Bahasa selama pendudukan Jepang, STA melakukan
modernisasi Bahasa Indonesia sehingga dapat menjadi bahasa nasional yang
menjadi pemersatu bangsa. Ia yang pertama kali menulis Tata Bahasa Baru Bahasa
Indonesia (1936) dipandang dari segi Indonesia, yang mana masih dipakai sampai
sekarang. Serta Kamus Istilah yang berisi istilah-istilah baru yang dibutuhkan
oleh negara baru yang ingin mengejar modernisasi dalam berbagai bidang. Setelah
Kantor Bahasa tutup pada akhir Perang Dunia kedua, ia tetap mempengaruhi perkembangan
Bahasa Indonesia melalui majalah Pembina Bahasa yang diterbitkan dan
dipimpinnya. Sebelum kemerdekaan, STA adalah pencetus Kongres Bahasa Indonesia
pertama di Solo. Pada tahun 1970, STA menjadi Ketua Gerakan Pembina Bahasa
Indonesia dan inisiator Konferensi Pertama Bahasa-bahasa Asia tentang The
Modernization of The Languages in Asia (29 September-1 Oktober 1967).
Selain sebagai ahli tata Bahasa Indonesia, STA
juga merupakan seorang sastrawan yang banyak menulis novel. Beberapa
contoh novelnya yang terkenal yaitu Tak Putus Dirundung Malang (1929), Dian Tak
Kunjung Padam (1932), Layar Terkembang (1936), Anak Perawan di Sarang Penyamun
(1940), dan Grotta Azzura (1970 & 1971).
STA menghabiskan masa tuanya di rumah, di
Indonesia. Rumahnya sangat asri dan penuh dengan tanaman serta pepohonan. STA
membiarkan hewan-hewan ternaknya berkeliaran di halaman belakang rumahnya yang
luas, seperti angsa dan ayam. STA mengisi waktu luangnya dengan membaca dan
menulis, serta berenang di kolam renang yang dibuatkan oleh anak-anaknya untuk
menjaga kesehatan tubuh. STA meninggal di Jakarta, 17 Juli 1994 pada usia 86
tahun.
KEPADA KAUM MISTIK II
Berderis decis jelas tangkas
Tangan ringan tukang pangkas
Menggunting ujung rambutku
Jatuh gugur bercampur debu
Aku melihat Tuhanku Akbar
Ujung rambut di tanah terbabar
Teman, aku gila katamu?
Wahai, kasihan aku melihatmu
Mempunyai mata, tiada bermata
Dapat melihat, tak pandai melihat
Sebab beta melihat Tuhan di mana-mana
Di ujung kuku yang gugur digunting
Pada selapa kering yang gugur ke tanah
Pada matahari yang panas membakar
Tangan ringan tukang pangkas
Menggunting ujung rambutku
Jatuh gugur bercampur debu
Aku melihat Tuhanku Akbar
Ujung rambut di tanah terbabar
Teman, aku gila katamu?
Wahai, kasihan aku melihatmu
Mempunyai mata, tiada bermata
Dapat melihat, tak pandai melihat
Sebab beta melihat Tuhan di mana-mana
Di ujung kuku yang gugur digunting
Pada selapa kering yang gugur ke tanah
Pada matahari yang panas membakar
KEMBALI
Ketika beta terjaga di dini hari
Melihat alam sepermai ini,
Terasalah beta darah baru
Gembira berdebur di dalam kalbu.
Girang unggas bersuka ria,
Gemilang sekar bermegah warna.
Mega muda bermain di awang,
Kemilau embun menyambut terang.
Hidup, hiduplah jiwa,
Turut gembira turut mencipta
Dalam alam indah jelita.
Jalan waktu terhambat tiada,
Siang terkembang malamlah tiba:
Percuma dahlia tiada berbunga.
Melihat alam sepermai ini,
Terasalah beta darah baru
Gembira berdebur di dalam kalbu.
Girang unggas bersuka ria,
Gemilang sekar bermegah warna.
Mega muda bermain di awang,
Kemilau embun menyambut terang.
Hidup, hiduplah jiwa,
Turut gembira turut mencipta
Dalam alam indah jelita.
Jalan waktu terhambat tiada,
Siang terkembang malamlah tiba:
Percuma dahlia tiada berbunga.
SEMARAK ITU
Laksana unggun tinggi menyala
Engkau melintang di jalan kamas
Menyerbu menyerah jiwa remaja,
Tiada bertangguh tiada bersangsi.
Dalam panasmu aku bertangas,
Dalam sinarmu aku bercahaya.
Hari lalu tiada berasa,
Habis ria berganti bahagia.
Selama itu sudah dipuja,
Sekian waktu sudah dimanja
Tinggallah beta sebatang badan.
Alangkah hamba rasa sedunia:
Pujaan cinta semarak itu
Tiadakan lagi mungkin tersua
Engkau melintang di jalan kamas
Menyerbu menyerah jiwa remaja,
Tiada bertangguh tiada bersangsi.
Dalam panasmu aku bertangas,
Dalam sinarmu aku bercahaya.
Hari lalu tiada berasa,
Habis ria berganti bahagia.
Selama itu sudah dipuja,
Sekian waktu sudah dimanja
Tinggallah beta sebatang badan.
Alangkah hamba rasa sedunia:
Pujaan cinta semarak itu
Tiadakan lagi mungkin tersua
TIADA TERTAHAN
Tanah dipijak serasa air,
Dahan dipegang menjadi awang,
Pandangan ke depan mengabut tebal,
Menoleh belakang gulita semata.
Terbang diri ditiup angin,
Tiada berarah tiada bertuju,
Terhempas ke bumi tertepuk ke batu,
Kejam didera ganas disiksa.
Ya Allah, ya Tuhanku,
Benamkan beta ke laut dalam,
Bakar beta di api nyala.
Sangsi begini tiada tertanggung:
Di laut tidak di darat tidak,
Segala penjuru kabut mengepung.
Dahan dipegang menjadi awang,
Pandangan ke depan mengabut tebal,
Menoleh belakang gulita semata.
Terbang diri ditiup angin,
Tiada berarah tiada bertuju,
Terhempas ke bumi tertepuk ke batu,
Kejam didera ganas disiksa.
Ya Allah, ya Tuhanku,
Benamkan beta ke laut dalam,
Bakar beta di api nyala.
Sangsi begini tiada tertanggung:
Di laut tidak di darat tidak,
Segala penjuru kabut mengepung.
SESUDAH DIBAJAK
Aku merasa bajakMu menyayat,
Sedih seni mengiris kalbu.
Pedih pilu jiwa mengaduh,
Gemetar menggigil tulang seluruh.
Dalam duka semesra ini,
Beta papa, apalah daya?
Keluh hilang disawang lapang,
Aduh tenggelam dibisik angin.
Ya Allah, ya Rabbi,
Hancurkan, remukkan sesuka hati,
Sayat iris jangan sepala.
Umat daif sekedar bermohon:
Semai benih mulia raya
Dalam tanah sudah dibajak.
Sedih seni mengiris kalbu.
Pedih pilu jiwa mengaduh,
Gemetar menggigil tulang seluruh.
Dalam duka semesra ini,
Beta papa, apalah daya?
Keluh hilang disawang lapang,
Aduh tenggelam dibisik angin.
Ya Allah, ya Rabbi,
Hancurkan, remukkan sesuka hati,
Sayat iris jangan sepala.
Umat daif sekedar bermohon:
Semai benih mulia raya
Dalam tanah sudah dibajak.
API SUCI
Selama nafas masih mengalun,
Selama jantung masih memukul,
Wahai api, bakarlah jiwaku,
Biar mengaduh biar mengeluh.
Seperti baja merah membara
Dalam bakaran Nyala Raya,
Biar jiwa habis terlebur,
Dalam kobaran Nyala Raya.
Sesak mendesak rasa di kalbu,
Gelisah liar mata memandang,
Di mana duduk rasa dikejar.
Demikian rahmat tumpahkan selalu,
Nikmat rasa api menghangus,
Nyanyian semata bunyi jeritku.
Selama jantung masih memukul,
Wahai api, bakarlah jiwaku,
Biar mengaduh biar mengeluh.
Seperti baja merah membara
Dalam bakaran Nyala Raya,
Biar jiwa habis terlebur,
Dalam kobaran Nyala Raya.
Sesak mendesak rasa di kalbu,
Gelisah liar mata memandang,
Di mana duduk rasa dikejar.
Demikian rahmat tumpahkan selalu,
Nikmat rasa api menghangus,
Nyanyian semata bunyi jeritku.
BETALAH TAHU
Aku melihat mereka berjalan,
Rapat dekat sesak menyesak.
Mata bersinar kasih mesra,
Muka berkembang cinta berahi.
Suara merayu berbisik-bisik,
Cumbu pujuk kata semata.
Berlimpah bahagia kalbu remaja,
Seluruh dunia rasa terlupa.
Dalam gua batu jiwaku
Tersenyum beta laksana arca:
Kecaplah hidup muda belia,
Lezat nikmat sebanyak dapat,
Betalah tahu, betalah tahu:
Turun tabir sesal menjelma.
Rapat dekat sesak menyesak.
Mata bersinar kasih mesra,
Muka berkembang cinta berahi.
Suara merayu berbisik-bisik,
Cumbu pujuk kata semata.
Berlimpah bahagia kalbu remaja,
Seluruh dunia rasa terlupa.
Dalam gua batu jiwaku
Tersenyum beta laksana arca:
Kecaplah hidup muda belia,
Lezat nikmat sebanyak dapat,
Betalah tahu, betalah tahu:
Turun tabir sesal menjelma.
DALAM GELOMBANG
Alun bergulung naik meninggi,
Turun melembah jauh ke bawah.
Lidah ombak menyerak buih,
Surut kembali di air gemuruh.
Kami mengalun di samud’raMu,
Bersorak gembira tinggi membukit.
Sedih mengaduh jatuh ke bawah,
Silih berganti tiada berhenti.
Di dalam suka di dalam duka,
Waktu bahagia waktu merana,
Masa tertawa masa kecewa,
Kami berbuai dalam nafasMu,
Tiada kuasa tiada berdaya,
Turun naik dalam ’namaMu.
Turun melembah jauh ke bawah.
Lidah ombak menyerak buih,
Surut kembali di air gemuruh.
Kami mengalun di samud’raMu,
Bersorak gembira tinggi membukit.
Sedih mengaduh jatuh ke bawah,
Silih berganti tiada berhenti.
Di dalam suka di dalam duka,
Waktu bahagia waktu merana,
Masa tertawa masa kecewa,
Kami berbuai dalam nafasMu,
Tiada kuasa tiada berdaya,
Turun naik dalam ’namaMu.
RASA DIRI
Alam segala rasa menjauh,
Pikiran melayang tidak bertumpuh.
Segala umat kabur mengasing,
Terkatunglah diri terumbang-ambing.
Seluruh dunia penaka musuh,
Berkabut kacau rupa mengganjil,
Membiar aku berjuang sendiri,
Hilang hanyut tiada bertolong.
Sejauh pandang gelombang semesta,
Tiada pantai tiada daratan
Menghimbau beta tempat berlabuh.
Demikian Ani rasanya diri,
Sejak kamas engkau tinggalkan,
Tidak berkata tidak berpesan.
Pikiran melayang tidak bertumpuh.
Segala umat kabur mengasing,
Terkatunglah diri terumbang-ambing.
Seluruh dunia penaka musuh,
Berkabut kacau rupa mengganjil,
Membiar aku berjuang sendiri,
Hilang hanyut tiada bertolong.
Sejauh pandang gelombang semesta,
Tiada pantai tiada daratan
Menghimbau beta tempat berlabuh.
Demikian Ani rasanya diri,
Sejak kamas engkau tinggalkan,
Tidak berkata tidak berpesan.
KEPADA ANAKKU I
Tiada tahukah engkau sayang,
Bunda pergi melawat negeri
Belum seorang pulang kembali,
‘Ninggalkan kita sepi berempat?
Mengapa engkau gelak selalu,
Mengapa bergurau tiada ingat?
Pada muka tiada berkesan,
Pada bicara tiada bergetar
Tiada tahukah engkau sayang,
Tiada insyaf tiada ‘ngerti
Bunda pergi tiada kembali?
Mengapa bicara sebijak itu,
Mengapa tertawa gelak selalu?
Air mata pilu kutelan.
Bunda pergi melawat negeri
Belum seorang pulang kembali,
‘Ninggalkan kita sepi berempat?
Mengapa engkau gelak selalu,
Mengapa bergurau tiada ingat?
Pada muka tiada berkesan,
Pada bicara tiada bergetar
Tiada tahukah engkau sayang,
Tiada insyaf tiada ‘ngerti
Bunda pergi tiada kembali?
Mengapa bicara sebijak itu,
Mengapa tertawa gelak selalu?
Air mata pilu kutelan.
NIKMAT HIDUP
Api menyala di dalam kalbu,
Ganas membakar tiada beragak.
Hangus badan rasa seluruh,
Kepala penuh bersabung sinar.
Malam mata tiada terpicing,
Gelisah duduk sepanjang hari.
Rasa dicambuk rasa didera
Jiwa ’ngembara tiada sentosa.
Ya Allah, ya Tuhanku!
Biarlah api nyala di kalbu,
Biarlah badan hangus tertuju.
Api jangan Engkau padamkan,
Mata jangan Engkau picakan,
Jiwa jangan Engkau lelapkan.
Ganas membakar tiada beragak.
Hangus badan rasa seluruh,
Kepala penuh bersabung sinar.
Malam mata tiada terpicing,
Gelisah duduk sepanjang hari.
Rasa dicambuk rasa didera
Jiwa ’ngembara tiada sentosa.
Ya Allah, ya Tuhanku!
Biarlah api nyala di kalbu,
Biarlah badan hangus tertuju.
Api jangan Engkau padamkan,
Mata jangan Engkau picakan,
Jiwa jangan Engkau lelapkan.
AIR MATA
‘Ngalir, ‘ngalirlah air mata,
Aku tiada akan ‘nahanmu.
Apa gunanya aku halangi,
Engkau ‘ngalirkan penuh kalbuku
Seperti air jernih memancar
Dari celah gunung rimbun,
Seperti hujan sejuk gugur
Dari mega berat mengandung,
‘Ngalirlah wahai air mata,
Engkaupun mendapat hakmu
Dari Khalik yang satu.
‘Ngalir, ‘ngalirlah air mata,
Aku hendak merasa nikmat
Panasmu ngalir pada pipiku.
Aku tiada akan ‘nahanmu.
Apa gunanya aku halangi,
Engkau ‘ngalirkan penuh kalbuku
Seperti air jernih memancar
Dari celah gunung rimbun,
Seperti hujan sejuk gugur
Dari mega berat mengandung,
‘Ngalirlah wahai air mata,
Engkaupun mendapat hakmu
Dari Khalik yang satu.
‘Ngalir, ‘ngalirlah air mata,
Aku hendak merasa nikmat
Panasmu ngalir pada pipiku.
SEGALA, SEGALA
Ani, ya Aniku Ani,
Mengapa kamas engkau tinggalkan?
Lengang sepi rasanya rumah,
Lapang meruang tiada tentu.
Buka lemari pakaian berkata,
Di tempat tidur engkau berbaring,
Di atas kursi engkau duduk,
Pergi ke dapur engkau sibuk.
Segala kulihat segala membayang,
Segala kupegang segala mengenang.
Sekalian barang rasa mengingat,
Sebanyak itu cita melenyap.
Pilu sedih menyayat di kalbu,
Pelbagai rasa datang merasuk.
Mengapa kamas engkau tinggalkan?
Lengang sepi rasanya rumah,
Lapang meruang tiada tentu.
Buka lemari pakaian berkata,
Di tempat tidur engkau berbaring,
Di atas kursi engkau duduk,
Pergi ke dapur engkau sibuk.
Segala kulihat segala membayang,
Segala kupegang segala mengenang.
Sekalian barang rasa mengingat,
Sebanyak itu cita melenyap.
Pilu sedih menyayat di kalbu,
Pelbagai rasa datang merasuk.
APAKAH MAKNANYA
Ani, Aniku, di mana engkau?
Suaramu masih kudengar,
Rupamu masih kulihat,
Kemana melangkah engkau mengikut.
Ani, Ani, mari kemari!
Kamas hendak meninjau matamu,
Setia dalam melihat padaku,
Mana suaramu, mana gelakmu?
Ya Allah, ya Tuhanku,
‘Langkah lekas ‘Kau ambil,
‘Kau renggutkan dari sisiku.
Apakah dosa maka begini
Apa maknanya, apa gunanya,
Ganas demikian menimpa diri?
Suaramu masih kudengar,
Rupamu masih kulihat,
Kemana melangkah engkau mengikut.
Ani, Ani, mari kemari!
Kamas hendak meninjau matamu,
Setia dalam melihat padaku,
Mana suaramu, mana gelakmu?
Ya Allah, ya Tuhanku,
‘Langkah lekas ‘Kau ambil,
‘Kau renggutkan dari sisiku.
Apakah dosa maka begini
Apa maknanya, apa gunanya,
Ganas demikian menimpa diri?
TAK MENGERTI
Semuda itu lagi,
Sebanyak itu cita dikandung,
Sebesar itu harapan di dada,
Segembira itu menyambut hidup.
Mungkinkah kau Ni tiada lagi,
Berjalan pergi tiada kembali,
Merantau jauh tiada tentu
Negeri mana tempat berhenti?
Bunga mawar segar kembang,
Girang sorak dijunjung tangkai
Berderai gugur jatuh ke bumi
Sekonyong-konyong tiada tersangka.
Wahai Tuhanku maha tinggi,
Petunjuk beta tak mengerti.
Sebanyak itu cita dikandung,
Sebesar itu harapan di dada,
Segembira itu menyambut hidup.
Mungkinkah kau Ni tiada lagi,
Berjalan pergi tiada kembali,
Merantau jauh tiada tentu
Negeri mana tempat berhenti?
Bunga mawar segar kembang,
Girang sorak dijunjung tangkai
Berderai gugur jatuh ke bumi
Sekonyong-konyong tiada tersangka.
Wahai Tuhanku maha tinggi,
Petunjuk beta tak mengerti.
MENUJU KE LAUT
Angkatan baru
Kami telah meninggalkan engkau,
tasik yang tenang, tiada beriak,
diteduhi gunung yang rimbun
dari angin dan topan.
Sebab sekali kami terbangun
dari mimpi yang nikmat:
"Ombak ria berkejar-kejaran
di gelanggang biru bertepi langit.
Pasir rata berluang dikecup,
tebing curam ditantang diserang,
dalam bergurau bersama angin,
dalam berlomba bersama mega".
Sejak itu jiwa gelisah,
Selalu berjuang, tiada reda,
Ketenangan lama rasa beku,
gunung pelindung rasa pengalang
Berontak hati hendak bebas,
menyerang segala apa mengadang.
Gemuruh berderu kami jatuh,
terhempas berderai mutiara bercahaya,
Gegap gempita suara mengerang,
dahsyat bahna suara menang.
Keluh dan gelak silih berganti
pekik dan tempik sambut menyambut.
Tetapi betapa sukarnya jalan,
badan terhernpas, kepala tertumbuk,
hati hancur, pikiran kusut,
namun kembali tiadalah ingin,
keterangan lama tiada diratap.
Kami telah meninggalkan engkau,
tasik yang tenang tiada beriak,
diteduhi gunung yang rimbun
dari angin dan topan.
Sebab sekali kami terbangun
dari mimpi yang nikmat.
Kami telah meninggalkan engkau,
tasik yang tenang, tiada beriak,
diteduhi gunung yang rimbun
dari angin dan topan.
Sebab sekali kami terbangun
dari mimpi yang nikmat:
"Ombak ria berkejar-kejaran
di gelanggang biru bertepi langit.
Pasir rata berluang dikecup,
tebing curam ditantang diserang,
dalam bergurau bersama angin,
dalam berlomba bersama mega".
Sejak itu jiwa gelisah,
Selalu berjuang, tiada reda,
Ketenangan lama rasa beku,
gunung pelindung rasa pengalang
Berontak hati hendak bebas,
menyerang segala apa mengadang.
Gemuruh berderu kami jatuh,
terhempas berderai mutiara bercahaya,
Gegap gempita suara mengerang,
dahsyat bahna suara menang.
Keluh dan gelak silih berganti
pekik dan tempik sambut menyambut.
Tetapi betapa sukarnya jalan,
badan terhernpas, kepala tertumbuk,
hati hancur, pikiran kusut,
namun kembali tiadalah ingin,
keterangan lama tiada diratap.
Kami telah meninggalkan engkau,
tasik yang tenang tiada beriak,
diteduhi gunung yang rimbun
dari angin dan topan.
Sebab sekali kami terbangun
dari mimpi yang nikmat.
KERABAT KITA
Bunda,
masih kudengar petuamu bergetar
waktu ku tertegun di ambang pintu,
melepaskan diriku dari pelikmu :
"Hati-hati di rantau orang, anakku sayang,
Berkata di bawah-bawah, mandi di hilir-hilir,
Di mana bumi dipijak di sana langit dijunjung".
Telah lama aku mengembara :
jauh rantau kejelajah,
banyak selat dan sungai kuseberangi,
gunung dan gurun kuedari.
Beragam warna, bahasa dan budaya manusia,
teman aku bersantap, bercengkerama dan bercumbu,
lawan aku bertengkar dan berselisih.
Di runtuhan Harapan dan Pompeyi aku ziarah,
Dari menara Eifel dan Empire State Building
aku tafakur memandang semut manusia.
Di pembajaan Ruhr dan Nagasaki
aku bangga melihat kesanggupan umat
berpikir, mengatur dan berbuat.
Kuhanyutkan diriku dalam lautan manusia
di Time Square di New York dan di Piccadily di London.
Kuresapkan lagu kesepian pengendara unta
di gurun pasir dan batu Anatolia,
sega Islandia yang megah di padang salju yang putih.
Bunda,
Pulang dari rantau yang jauh
berita girang kubawa kepadamu,
resap renungan petua keramat,
sendu engkau bisikkan di ambang pintu :
Di mana-mana aku menjejakkan kaki,
aku berjejak di bumi yang satu.
Dan langit yang kunjung
di mana-mana langit kita yang esa.
Bunda,
Alangkah luasnya dan dahsyatnya kerabat kita
kaya budi kaya hati,
pusparagam ciptaan dan dambaan.
masih kudengar petuamu bergetar
waktu ku tertegun di ambang pintu,
melepaskan diriku dari pelikmu :
"Hati-hati di rantau orang, anakku sayang,
Berkata di bawah-bawah, mandi di hilir-hilir,
Di mana bumi dipijak di sana langit dijunjung".
Telah lama aku mengembara :
jauh rantau kejelajah,
banyak selat dan sungai kuseberangi,
gunung dan gurun kuedari.
Beragam warna, bahasa dan budaya manusia,
teman aku bersantap, bercengkerama dan bercumbu,
lawan aku bertengkar dan berselisih.
Di runtuhan Harapan dan Pompeyi aku ziarah,
Dari menara Eifel dan Empire State Building
aku tafakur memandang semut manusia.
Di pembajaan Ruhr dan Nagasaki
aku bangga melihat kesanggupan umat
berpikir, mengatur dan berbuat.
Kuhanyutkan diriku dalam lautan manusia
di Time Square di New York dan di Piccadily di London.
Kuresapkan lagu kesepian pengendara unta
di gurun pasir dan batu Anatolia,
sega Islandia yang megah di padang salju yang putih.
Bunda,
Pulang dari rantau yang jauh
berita girang kubawa kepadamu,
resap renungan petua keramat,
sendu engkau bisikkan di ambang pintu :
Di mana-mana aku menjejakkan kaki,
aku berjejak di bumi yang satu.
Dan langit yang kunjung
di mana-mana langit kita yang esa.
Bunda,
Alangkah luasnya dan dahsyatnya kerabat kita
kaya budi kaya hati,
pusparagam ciptaan dan dambaan.
AKU DAN TUHANKU
Tuhan, Kau lahirkan aku tak pernah kuminta
Dan aku tahu, sebelum aku Kau ciptakan
Berjuta tahun, tak berhingga lamanya
Engkau terus menerus mencipta berbagai ragam
Tuhan, pantaskah Engkau memberikan hidup sesingkat ini
Dari berjuta-juta tahun kemahakayaan-Mu
Setetes air dalam samudra tak bertepi
Alangkah kikirnya Engkau, dengan kemahakayaan-Mu
Dan Tuhanku, dalam hatikulah Engkau perkasa bersemayam
Bersyukur sepenuhnya akan kekayaan kemungkinan
Terus menerus limpah ruah Engkau curahkan
Meski kuinsyaf, kekecilan dekat dan kedaifanku
Di bawah kemahakuasaan-Mu, dalam kemahaluasan kerajaan-Mu
Dengan tenaga imajinasi Engkau limpahkan
Aku dapat mengikuti dan meniru permainan-Mu
Girang berkhayal dan mencipta berbagai ragam
Terpesona sendiri menikmati keindahan ciptaanku
Aahh, Tuhan
Dalam kepenuhan terliput kecerahan sinar cahaya-Mu
Menyerah kepada kebesaran dan kemuliaan kasih-mu
Aku, akan memakai kesanggupan dan kemungkinan
Sebanyak dan seluas itu Kau limpahkan kepadaku
Jauh mengatasi mahluk lain Kau cipatakan
Sebagai khalifah yang penuh menerima sinar cahaya-Mu
Dalam kemahaluasan kerajaan-Mu
Tak adalah pilihan, dari bersyukur dan bahagia, bekerja dan mencipta
Dengan kecerahan kesadaran dan kepenuhan jiwa
Tidak tanggung tidak alang kepalang
Ya Allah Ya Rabbi
Sekelumit hidup yang Engkau hadiahkan
dalam kebesaran dan kedalaman kasih-Mu, tiada berwatas
akan kukembangkan, semarak, semekar-mekarnya
sampai saat terakhir nafasku Kau relakan
Ketika Engkau memanggilku kembali kehadirat-Mu
Ke dalam kegaiban rahasia keabadian-Mu
Dimana aku menyerah tulus sepenuh hati
Kepada keagungan kekudusan-Mu,
Cahaya segala cahaya
Tuhan, Kau lahirkan aku tak pernah kuminta
Dan aku tahu, sebelum aku Kau ciptakan
Berjuta tahun, tak berhingga lamanya
Engkau terus menerus mencipta berbagai ragam
Tuhan, pantaskah Engkau memberikan hidup sesingkat ini
Dari berjuta-juta tahun kemahakayaan-Mu
Setetes air dalam samudra tak bertepi
Alangkah kikirnya Engkau, dengan kemahakayaan-Mu
Dan Tuhanku, dalam hatikulah Engkau perkasa bersemayam
Bersyukur sepenuhnya akan kekayaan kemungkinan
Terus menerus limpah ruah Engkau curahkan
Meski kuinsyaf, kekecilan dekat dan kedaifanku
Di bawah kemahakuasaan-Mu, dalam kemahaluasan kerajaan-Mu
Dengan tenaga imajinasi Engkau limpahkan
Aku dapat mengikuti dan meniru permainan-Mu
Girang berkhayal dan mencipta berbagai ragam
Terpesona sendiri menikmati keindahan ciptaanku
Aahh, Tuhan
Dalam kepenuhan terliput kecerahan sinar cahaya-Mu
Menyerah kepada kebesaran dan kemuliaan kasih-mu
Aku, akan memakai kesanggupan dan kemungkinan
Sebanyak dan seluas itu Kau limpahkan kepadaku
Jauh mengatasi mahluk lain Kau cipatakan
Sebagai khalifah yang penuh menerima sinar cahaya-Mu
Dalam kemahaluasan kerajaan-Mu
Tak adalah pilihan, dari bersyukur dan bahagia, bekerja dan mencipta
Dengan kecerahan kesadaran dan kepenuhan jiwa
Tidak tanggung tidak alang kepalang
Ya Allah Ya Rabbi
Sekelumit hidup yang Engkau hadiahkan
dalam kebesaran dan kedalaman kasih-Mu, tiada berwatas
akan kukembangkan, semarak, semekar-mekarnya
sampai saat terakhir nafasku Kau relakan
Ketika Engkau memanggilku kembali kehadirat-Mu
Ke dalam kegaiban rahasia keabadian-Mu
Dimana aku menyerah tulus sepenuh hati
Kepada keagungan kekudusan-Mu,
Cahaya segala cahaya
Dari berbagai
sumber.
0 Response to "Kumpulan Puisi Sutan Takdir Alisjahbana (STA)"
Posting Komentar