Kumpulan Puisi Sitor
Situmorang - Sastrawan angkatan
45 ini lahir di Harianboho, Samosir, Sumatera Utara 2 Oktober 1924. Sitor
sempat menetap di Paris. Pada 1981 menjadi dosen di Universitas Leiden,
Belanda, dan pensiun 10 tahun kemudian. Sejak 2001 ia kembali tinggal di
Indonesia.
Beragam karya sastra Sitor yang sudah diterbitkan, antara lain Surat
Kertas Hijau (1953), Dalam Sajak (1955), Wajah Tak Bernama (1955), Drama Jalan
Mutiara (1954), cerpen Pertempuran dan Salju di Paris (1956), dan terjemahan
karya dari John Wyndham, E Du Perron RS Maenocol, M Nijhoff. Karya sastra lain,
yang sudah diterbitkan, antara lain puisi Zaman Baru (1962), cerpen Pangeran
(1963), dan esai Sastra Revolusioner (1965).
KALIURANG
(TENGAH HARI)
Kembali
kita berhadapan
Dalam relung sepi ini
Dari seberang lembah mati
Bibirmu berkata lagi
Napasmu mengelus jiwaku
Tersingkap kabut Dataran
Dan kutahu di tepi selatan
Laut ‘manggil aku berlayar dari sini
Dalam relung sepi ini
Dari seberang lembah mati
Bibirmu berkata lagi
Napasmu mengelus jiwaku
Tersingkap kabut Dataran
Dan kutahu di tepi selatan
Laut ‘manggil aku berlayar dari sini
Tungguhlah
aku akan datang
Biar kelam datang kembali
Dengan angin malam aku bertolak
Ke negeri, kabut tidak mengabur pandang
Mati, berarti kita akan bersatu lagi.
Biar kelam datang kembali
Dengan angin malam aku bertolak
Ke negeri, kabut tidak mengabur pandang
Mati, berarti kita akan bersatu lagi.
PERHITUNGAN
Buat Rivai Apin
Sudah
lama tidak ada puncak dan lembah
Masa lempang-diam menyerah
dan kau tahu di ujung kuburan menunggu kesepian
Masa lempang-diam menyerah
dan kau tahu di ujung kuburan menunggu kesepian
Aku
belum juga rela berkemas
Manusia, mengapa malam bisa tiba-tiba menekan
dada?
Sedang rohnya masih mengembara di lorong-lorong
Manusia, mengapa malam bisa tiba-tiba menekan
dada?
Sedang rohnya masih mengembara di lorong-lorong
Keyakinan
dulu manusia bisa
hidup dan dicintai habis-habisan
Belum tahu setinggi untung bila bisa menggali
kuburan sendiri
hidup dan dicintai habis-habisan
Belum tahu setinggi untung bila bisa menggali
kuburan sendiri
Rebutlah
dunia sendiri
dan pisahkan segala yamg melekat lemah
Kita akan membubung ke langit menjadi bintang
jernih sonder debu
dan pisahkan segala yamg melekat lemah
Kita akan membubung ke langit menjadi bintang
jernih sonder debu
Detik
kata jadikan abad-abad
Abad-abad kita hidupi dalam sekilas bintang
Sesudah itu malam, biarlah malam
Abad-abad kita hidupi dalam sekilas bintang
Sesudah itu malam, biarlah malam
Bila
hidup menolak
Ia kita tinggalkan seperti anak
yang terpaksa puas dengan boneka
Mereka akan menari dan menyanyi terus
Tapi tak ada lagi kita
Sedang mereka rindu pada cinta garang
Mereka akan menari dan menyanyi terus
Tentang abad dan detik yang ‘lah terbenam
Bersama kita, tarian perawan janda ….
Ia kita tinggalkan seperti anak
yang terpaksa puas dengan boneka
Mereka akan menari dan menyanyi terus
Tapi tak ada lagi kita
Sedang mereka rindu pada cinta garang
Mereka akan menari dan menyanyi terus
Tentang abad dan detik yang ‘lah terbenam
Bersama kita, tarian perawan janda ….
LERENG
MERAPI
Kutahu
sudah, sebelum pergi dari sini
Aku Akan rindu balik pada semua ini
Sunyi yang kutakuti sekarang
Rona lereng gunung menguap
Pada cerita cemara berdesir
Sedu cinta penyair
Rindu pada elusan mimpi
Pencipta candi Prambanan
Mengalun kemari dari dataran ….
Dan sekarang aku mengerti
Juga di sunyi gunung
Jauh dari ombak menggulung
Dalam hati manusia sendiri
Ombak lautan rindu
Semakin nyaring menderu ….
Aku Akan rindu balik pada semua ini
Sunyi yang kutakuti sekarang
Rona lereng gunung menguap
Pada cerita cemara berdesir
Sedu cinta penyair
Rindu pada elusan mimpi
Pencipta candi Prambanan
Mengalun kemari dari dataran ….
Dan sekarang aku mengerti
Juga di sunyi gunung
Jauh dari ombak menggulung
Dalam hati manusia sendiri
Ombak lautan rindu
Semakin nyaring menderu ….
DIA DAN
AKU
Akankah
kita bercinta dalam kealpaan semesta?
- Bukankah udara penuh hampa ingin harga? -
Mari, Dik, dekatkan hatimu pada api ini
Tapi jangan sampai terbakar sekali
- Bukankah udara penuh hampa ingin harga? -
Mari, Dik, dekatkan hatimu pada api ini
Tapi jangan sampai terbakar sekali
Akankah
kita utamakan percakapan begini?
- Bukankah bumi penuh suara inginkan isi? -
Mari, Dik, dekatkan bibirmu pada bisikan hati
Tapi jangan sampai megap napas bernyanyi
- Bukankah bumi penuh suara inginkan isi? -
Mari, Dik, dekatkan bibirmu pada bisikan hati
Tapi jangan sampai megap napas bernyanyi
Bukankah
dada hamparkan warna
Di pelaminan musim silih berganti
Padamu jua kelupaan dan janji
Di pelaminan musim silih berganti
Padamu jua kelupaan dan janji
Akan
kepermainan rahasia
Permainan cumbu-dendam silih berganti
Kemasygulan tangkap dan lari
Permainan cumbu-dendam silih berganti
Kemasygulan tangkap dan lari
SURAT
KERTAS HIJAU
Segala
kedaraannya tersaji hijau muda
Melayang di lembaran surat musim bunga
Berita dari jauh
Sebelum kapal angkat sauh
Melayang di lembaran surat musim bunga
Berita dari jauh
Sebelum kapal angkat sauh
Segala
kemontokan menonjol di kata-kata
Menepis dalam kelakar sonder dusta
Harum anak dara
mengimbau dari seberang benua
Menepis dalam kelakar sonder dusta
Harum anak dara
mengimbau dari seberang benua
Mari,
Dik, tak lama hidup ini
Semusim dan semusim lagi
Burung pun berpulangan
Semusim dan semusim lagi
Burung pun berpulangan
Mari,
Dik, kekal bisa semua ini
Peluk goreskan di tempat ini
Sebelum kapal dirapatkan
Peluk goreskan di tempat ini
Sebelum kapal dirapatkan
AMOY-AIMEE
Terbakar
lumat-lumat
Menggapai juga lidah ingin
Api di pediangan
Menggapai juga lidah ingin
Api di pediangan
Terkapar
sonder surat
Mati juga malam dingin
Lahirnya hari keisengan
Mati juga malam dingin
Lahirnya hari keisengan
Mari,
cabikkan malam Amoy
Jika terlalu – ingin malam ini
Besok ada mentari sonder hati
Jika terlalu – ingin malam ini
Besok ada mentari sonder hati
Belum
apa-apa hampa begini
Jauh dalam terowongan nadi
Berperang bumi dan sepi
Jauh dalam terowongan nadi
Berperang bumi dan sepi
KEBUN
BINATANG
Kembang,
boneka dan kehidupan
Kembang, boneka dan kerinduan
Si adik ini ingin teman
Si anak ini punya ketakutan
Kembang, boneka dan kerinduan
Si adik ini ingin teman
Si anak ini punya ketakutan
Hari-hari
kemarin
Punya keinginan
Berumah ufuk, ombak menggulung
Punya keinginan
Berumah ufuk, ombak menggulung
Hari-hari
kandungan
Tolak keisengan
Ramai-ramai di kebun binatang
Tolak keisengan
Ramai-ramai di kebun binatang
Kembang,
boneka dan kehidupan
Kembang dan kerinduan
Si adik ini ingin teman
Boneka ini punya kesayuan
Kembang dan kerinduan
Si adik ini ingin teman
Boneka ini punya kesayuan
Hari-hari
datang
Hari kembang di kebun binatang
Hari bersenang
Pecah dalam balonan
Hari kembang di kebun binatang
Hari bersenang
Pecah dalam balonan
Kembang,
boneka dan kehidupan
Kembang dan kerinduan
Si adik ini ingin teman
Boneka ini punya kesayuan
Kembang dan kerinduan
Si adik ini ingin teman
Boneka ini punya kesayuan
MATAHARI
MINGGU
Di
hari Minggu di hari iseng
Di silau matahari jalan berliku
Kawan habis tujuan di tepi kota
Di silau matahari jalan berliku
Kawan habis tujuan di tepi kota
Di
hari Minggu di hari iseng
Bersandar pada dinding kota
Kawan terima kebuntuan batas
Bersandar pada dinding kota
Kawan terima kebuntuan batas
Di
hari panas tak berwarna
Seluruh damba dibawa jalan
Seluruh damba dibawa jalan
Di
hari Minggu di hari iseng
Bila pertemuan menambah damba
Melingkar di jantung kota
Ia merebah pada diri dan kepadatan hari
Tidak menolak tidak terima
Bila pertemuan menambah damba
Melingkar di jantung kota
Ia merebah pada diri dan kepadatan hari
Tidak menolak tidak terima
CHATHEDRALE
DE CHARTRES
Akan
bicarakah Ia di malam sepi
Kala salju jatuh dan burung putih-putih
Sekali-sekali ingin menyerah hati
Dalam lindungan sembahyang bersih
Kala salju jatuh dan burung putih-putih
Sekali-sekali ingin menyerah hati
Dalam lindungan sembahyang bersih
Ah,
Tuhan, tak bisa kita lagi bertemu
Dalam doa bersama kumpulan umat
Ini kubawa cinta di mata kekasih kelu
Tiada terpisah hidup dari kiamat
Dalam doa bersama kumpulan umat
Ini kubawa cinta di mata kekasih kelu
Tiada terpisah hidup dari kiamat
Menangis
ia tersedu di hari Paskah
Ketika kami ziarah di Chartres di gereja
Doanya kuyu di warna kaca basah
Kristus telah disalib manusia habis kata
Ketika kami ziarah di Chartres di gereja
Doanya kuyu di warna kaca basah
Kristus telah disalib manusia habis kata
Ketika
malam itu sebelum ayam berkokok
Dan penduduk Chartres meninggalkan kermis
tersedu is dalam daunan malam rontok
Mengembara ingatan di hujan gerimis
Dan penduduk Chartres meninggalkan kermis
tersedu is dalam daunan malam rontok
Mengembara ingatan di hujan gerimis
Pada
ibu, isteri, anak serta Isa
Hati tersibak antara zinah dan setia
Kasihku satu, Tuhannya satu
Hidup dan kiamat bersatu padu
Hati tersibak antara zinah dan setia
Kasihku satu, Tuhannya satu
Hidup dan kiamat bersatu padu
Demikianlah
kisah cinta kami
yang bermula di pekan kembang
Di pagi buta sekitar Notre Dame de Paris
Di musim bunga dan mata remang
Demikianlah kisah dari Pasah
ketika seluruh alam diburu resah
Oleh goda, zinah, cinta dan kota
Karena dia, aku dan isteri yang setia
yang bermula di pekan kembang
Di pagi buta sekitar Notre Dame de Paris
Di musim bunga dan mata remang
Demikianlah kisah dari Pasah
ketika seluruh alam diburu resah
Oleh goda, zinah, cinta dan kota
Karena dia, aku dan isteri yang setia
Maka
malam itu di ranjang penginapan
Terbawa kesucian nyanyi gereja kepercayaan
Bersatu kutuk nafsu dan rahmat Tuhan
Lambaian cinta setia dan pelukan perempuan
Terbawa kesucian nyanyi gereja kepercayaan
Bersatu kutuk nafsu dan rahmat Tuhan
Lambaian cinta setia dan pelukan perempuan
Demikianlah
Cerita Pasah
Ketika tanah basah
Air mata resah
Dan bunga-bunga merekah
Di bumi Perancis
Di bumi manis
Ketika Kristus disalibkan
Cerita Pasah
Ketika tanah basah
Air mata resah
Dan bunga-bunga merekah
Di bumi Perancis
Di bumi manis
Ketika Kristus disalibkan
THE TALE
OF TWO CONTINENTS
Satu
rasa dua kematian
Satu kasih dan dua kesetiaan
Antara benua dan benua
Tertunggu rindu samudra
Satu kasih dan dua kesetiaan
Antara benua dan benua
Tertunggu rindu samudra
Dua
kota satu kekosongan
Dua alamat satu kehilangan
Antara nyiur dan salju
Merentang ketakpedulian tuju
Dua alamat satu kehilangan
Antara nyiur dan salju
Merentang ketakpedulian tuju
Semoga
kasih tahu jalan kembali
Pada pintu yang membuka dinihari
Ke mana angin membawa diri
Pada pintu yang membuka dinihari
Ke mana angin membawa diri
Kekasih,
semoga kau
Dapat kepenuhan cinta dalam aku tiada
Terpecah dua benua, suatu kelupaan di sisik samudra
Dapat kepenuhan cinta dalam aku tiada
Terpecah dua benua, suatu kelupaan di sisik samudra
MATAHARI MINGGU
Di hari
Minggu di hari iseng
Di silau matahari jalan berliku
Kawan habis tujuan di tepi kota
Di hari Minggu di hari iseng
Bersandar pada dinding kota
Kawan terima kebuntuan batas
Di hari panas tak berwarna
Seluruh damba dibawa jalan
Di hari Minggu di hari iseng
Bila pertemuan menambah damba
Melingkar di jantung kota
Ia merebah pada diri dan kepadatan hari
Tidak menolak tidak terima
Di silau matahari jalan berliku
Kawan habis tujuan di tepi kota
Di hari Minggu di hari iseng
Bersandar pada dinding kota
Kawan terima kebuntuan batas
Di hari panas tak berwarna
Seluruh damba dibawa jalan
Di hari Minggu di hari iseng
Bila pertemuan menambah damba
Melingkar di jantung kota
Ia merebah pada diri dan kepadatan hari
Tidak menolak tidak terima
KEBUN BINATANG
Kembang,
boneka dan kehidupan
Kembang, boneka dan kerinduan
Si adik ini ingin teman
Si anak ini punya ketakutan
Hari-hari kemarin
Punya keinginan
Berumah ufuk, ombak menggulung
Hari-hari kandungan
Tolak keisengan
Ramai-ramai di kebun binatang
Kembang, boneka dan kehidupan
Kembang dan kerinduan
Si adik ini ingin teman
Boneka ini punya kesayuan
Hari-hari datang
Hari kembang di kebun binatang
Hari bersenang
Pecah dalam balonan
Kembang, boneka dan kehidupan
Kembang dan kerinduan
Si adik ini ingin teman
Boneka ini punya kesayuan
Kembang, boneka dan kerinduan
Si adik ini ingin teman
Si anak ini punya ketakutan
Hari-hari kemarin
Punya keinginan
Berumah ufuk, ombak menggulung
Hari-hari kandungan
Tolak keisengan
Ramai-ramai di kebun binatang
Kembang, boneka dan kehidupan
Kembang dan kerinduan
Si adik ini ingin teman
Boneka ini punya kesayuan
Hari-hari datang
Hari kembang di kebun binatang
Hari bersenang
Pecah dalam balonan
Kembang, boneka dan kehidupan
Kembang dan kerinduan
Si adik ini ingin teman
Boneka ini punya kesayuan
DUKA
kepada
Chairil Anwar
manakah lebih sedih?
nenek terhuyung tersenyum
jelma sepi abadi
takkan bertukar rupa
atau petualang muda sendiri?
gapaian rindu tersia-sia
tak sanggup hidup rukun
antara anak minta ditayang
sekali akan tiba juga
takkan ada gerbang membuka
hanya jalan merentang
sungguh sayang cinta sia-sia
manakah lebih sedih?
nenek terhuyung tersenyum
atau petualang mati muda
mengumur duka telah dinujum
manakah lebih sedih?
nenek terhuyung tersenyum
jelma sepi abadi
takkan bertukar rupa
atau petualang muda sendiri?
gapaian rindu tersia-sia
tak sanggup hidup rukun
antara anak minta ditayang
sekali akan tiba juga
takkan ada gerbang membuka
hanya jalan merentang
sungguh sayang cinta sia-sia
manakah lebih sedih?
nenek terhuyung tersenyum
atau petualang mati muda
mengumur duka telah dinujum
PARIS JANVIER
Di udara
dingin mengaum sejarah
Bening seperti es membatu di hati
Ada taman menari di siang hari
Yang luput dari tangkapan malam rebah
Di dasar sungai mengendap malam baru
Mengiang di telinga pekik pemburu
Antara senja dan malam
Merentang luka yang dalam
Inilah Paris, kota penyair
Gua segal;a yang terusir
Laut lupakan sesah
Dalam dekapan satu wajah
Terbawa dari segala mata angin
Berdiang pada cinta, terlalu ingin
Kelupaan sebuah kota
Di mana duka berwujud manusia
Dan bahagia pada manusia tak punya
1953
*clochard (bahasa Perancis): gelandangan
Bening seperti es membatu di hati
Ada taman menari di siang hari
Yang luput dari tangkapan malam rebah
Di dasar sungai mengendap malam baru
Mengiang di telinga pekik pemburu
Antara senja dan malam
Merentang luka yang dalam
Inilah Paris, kota penyair
Gua segal;a yang terusir
Laut lupakan sesah
Dalam dekapan satu wajah
Terbawa dari segala mata angin
Berdiang pada cinta, terlalu ingin
Kelupaan sebuah kota
Di mana duka berwujud manusia
Dan bahagia pada manusia tak punya
1953
*clochard (bahasa Perancis): gelandangan
KRISTUS DI MEDAN PERANG
Ia
menyeret diri dalam lumpur
mengutuk dan melihat langit gugur
Jenderal pemberontak segala zaman,
Kuasa mutlak terbayang di angan!
Tapi langit ditinggalkan merah,
pedang patah di sisi berdarah,
Tapi mimpi selalu menghadang,
Akan sampai di ujung: Menang!
Sekeliling hanya reruntuhan.
Jauh manusia serta ratapan,
Dan di hati tersimpan dalam:
Sekali 'kan dapat balas dendam!
Saat bumi olehnya diadili,
dirombak dan dihanguskan,
Seperti Cartago, habis dihancurkan,
dibajak lalu tandus digarami.
Tumpasnya hukum lama,
Menjelmanya hukum Baru,
Ia, yang takkan kenal ampun,
Penegak Kuasa seribu tahun!
1955
mengutuk dan melihat langit gugur
Jenderal pemberontak segala zaman,
Kuasa mutlak terbayang di angan!
Tapi langit ditinggalkan merah,
pedang patah di sisi berdarah,
Tapi mimpi selalu menghadang,
Akan sampai di ujung: Menang!
Sekeliling hanya reruntuhan.
Jauh manusia serta ratapan,
Dan di hati tersimpan dalam:
Sekali 'kan dapat balas dendam!
Saat bumi olehnya diadili,
dirombak dan dihanguskan,
Seperti Cartago, habis dihancurkan,
dibajak lalu tandus digarami.
Tumpasnya hukum lama,
Menjelmanya hukum Baru,
Ia, yang takkan kenal ampun,
Penegak Kuasa seribu tahun!
1955
LA RONDE
I
Senandung lupa pertemuan malam
Dengan dirinya, memisah di kamar
Meninggi musim hingga salju
Jatuh, hingga bertambah lapar
Dua kisah tak bertubuh
Rasuk-merasuk bau kehadirannya
"Sekira mati begini," bisik gelap
Di puncak nikmat, hingga ke subuh
Terbaring di dada malam. "Milikku seluruh,"
erang detik mengalir dalam ciuman,
kegemasan bibir meraba waktu
memadat jadi tubuh perempuan.
Meninggi musim hingga ke subuh
Jendela dibuka melihat salju jatuh
II
Adakah yang lebih indah
dari bibir padat merekah?
Adakah yang lebih manis
Dari gelap dibayang alis?
Di keningnya pelukis ragu:
Mencium atau menyelimuti bahu?
Tapi rambutnya menuntun tangan
Hingga pinggulnya, penuh saran
Lalu paha, pualam pahatan
Mendukung lengkung perut.
Berkisar di pusar, lalu surut
Agak ke bawah, ke pusat segala.
Hitam pekat, siap menerima.
Dugaan indah.
Ah, dada yang lembut menekan hati
Terimalah
kematangan mimpi lelaki!
III
Kau dewiku, penghibur malam hampa
Segala perbuatan siang yang sia-sia
Kebosanan abadi jadilah lupa
Dan badan hancur nikmat terasa!
Di matamu api ingin tak puas
Membakar tulang, hingga ke sumsum diperas.
Kuserahkan pada binatang malam hari,
Nafsumu, semakin buas dan menjadi.
Adakah candi pedupaan lebih mulia
Dari kesucian pualam tubuhmu?
Adakah lebih pemurah dari pangkuanmu
Dan panas rahmat dirangkul mulut dosa?
Padamu seluruh setia dan sembah
Sajak penyair dan mimpi indah!
Kelupaan sesaat, terlalu nikmat
Pada siksa ingin semakin melumat.
1955
Senandung lupa pertemuan malam
Dengan dirinya, memisah di kamar
Meninggi musim hingga salju
Jatuh, hingga bertambah lapar
Dua kisah tak bertubuh
Rasuk-merasuk bau kehadirannya
"Sekira mati begini," bisik gelap
Di puncak nikmat, hingga ke subuh
Terbaring di dada malam. "Milikku seluruh,"
erang detik mengalir dalam ciuman,
kegemasan bibir meraba waktu
memadat jadi tubuh perempuan.
Meninggi musim hingga ke subuh
Jendela dibuka melihat salju jatuh
II
Adakah yang lebih indah
dari bibir padat merekah?
Adakah yang lebih manis
Dari gelap dibayang alis?
Di keningnya pelukis ragu:
Mencium atau menyelimuti bahu?
Tapi rambutnya menuntun tangan
Hingga pinggulnya, penuh saran
Lalu paha, pualam pahatan
Mendukung lengkung perut.
Berkisar di pusar, lalu surut
Agak ke bawah, ke pusat segala.
Hitam pekat, siap menerima.
Dugaan indah.
Ah, dada yang lembut menekan hati
Terimalah
kematangan mimpi lelaki!
III
Kau dewiku, penghibur malam hampa
Segala perbuatan siang yang sia-sia
Kebosanan abadi jadilah lupa
Dan badan hancur nikmat terasa!
Di matamu api ingin tak puas
Membakar tulang, hingga ke sumsum diperas.
Kuserahkan pada binatang malam hari,
Nafsumu, semakin buas dan menjadi.
Adakah candi pedupaan lebih mulia
Dari kesucian pualam tubuhmu?
Adakah lebih pemurah dari pangkuanmu
Dan panas rahmat dirangkul mulut dosa?
Padamu seluruh setia dan sembah
Sajak penyair dan mimpi indah!
Kelupaan sesaat, terlalu nikmat
Pada siksa ingin semakin melumat.
1955
LAGU GADIS ITALI (PANTUN BERKAIT)
.............Buat
Silvana Maccari
Kerling danau di pagi hari
Lonceng gereja bukit Itali
Jika musimmu tiba nanti
Jemputlah abang di teluk Napoli
Kerling danau di pagi hari
Lonceng gereja bukit Itali
Sedari abang lalu pergi
Adik rindu setiap hari
Kerling danau di pagi hari
Lonceng gereja bukit Itali
Andai abang tak kembali
Adik menunggu sampai mati
Batu tandus di kebun anggur
Pasir teduh di bawah nyiur
Abang lenyap hatiku hancur
Mengejar bayang di salju gugur
1955
Kerling danau di pagi hari
Lonceng gereja bukit Itali
Jika musimmu tiba nanti
Jemputlah abang di teluk Napoli
Kerling danau di pagi hari
Lonceng gereja bukit Itali
Sedari abang lalu pergi
Adik rindu setiap hari
Kerling danau di pagi hari
Lonceng gereja bukit Itali
Andai abang tak kembali
Adik menunggu sampai mati
Batu tandus di kebun anggur
Pasir teduh di bawah nyiur
Abang lenyap hatiku hancur
Mengejar bayang di salju gugur
1955
MALAM LEBARAN
Bulan
di atas kuburan
1955
di atas kuburan
1955
MATINYA JUARA JUDI
Telah
berlaku agaknya
Hukum leluhur, tapi
Janganlah beri nama nanti
Pahlawanku mati apa
Di akhir kisah.
Dengarlah
Cerita orang tua-tua
Kusampaikan pada pembaca
Di seluruh negeri ia terkenal
Juara Judi tak ada bandingannya
Selalu menang dan
Dimenangkan
Segala ucapannya
Tak ada yang berani
Tiada yang mau membantah
Terlebih ketika minum arak
Di kedai-kedai
Selain Juara Judi
Ia pemburu pula
Kalau bukan harimau,
Babi atau rusalah mangsanya
Ulung dalam tari
Membuat ukiran indah sekali
Serta memetik kecapi ....
Dan bila marah berbahaya serapahnya
Tapi dari segala korban
Isterinya yang paling menderita
Dua anaknya
Satunya putera satunya puteri
Tapi tak satu jadi kesukaannya
Kata orang, “Mana ‘kan pula,
Anak lahir, bapaknya di tempat judi.”
Tibalah saat puteranya akan dikawinkan
Halnya dirundingkan
Si putera: Aku masih terlalu muda.
Si Bapak: Kawinlah sesukami, asal jangan
perempuan buta.
Si Ibu: Kawinlah, Nak, baik ada temanku.
Adik perempuannya
Tak sepatah pun berkata.
Hatinya terbelah antara Ibu penyabar
Dan si Bapak yang kejam
Namun dicintai sepenuhnya hati.
Si putera akhirnya kawin
dengan gadis pilihan ibunya
Si Bapak mendongkol sejak semula
Karena bukan pilihannya
Tahun berganti tahun
Musim berganti musim
Juara Judi semakin tua
Puterinya pun dewasa
namun tak kunjung jodoh
Pula menantu ternyata mandul
Cucu diharap tak juga datang.
“Mana hanya satu anak laki
Menantu pilihan ibunya ternyata ladang mati
Mampus kau semua.”
Demikian kutuk Juara
Di saat pulang dari gelanggang judi.
Puteranya tak peduli
Putuskan pergi merantau
bersama isteri
Berkata pada ibunya;
“Tak akan aku pulang
Jangan aku ditunggu
Atau Bapak mati dulu.”
Tinggallah ibunya sendirian
ditemani adiknya
Tak ada yang meminangnya
Orang takut menghadapi bapaknya
Yang kini jarang kembali
asyik berburu di hutan berhari-hari
Menghindar gelannggang judi
diburu kenangan pada putera satunya
di rantau jauh
Di desa suatu ketika
sSampai kabar
Menantu mandul meninggal di rantau
Si Ibu yang menerima kabar
Menghempas badan ke lantai:
“Demikianlah nasibku
Kelahiranku yang kasip
Ditinggalkan orang hidup
Ditinggalkan orang mati.”
Puterinya yang diam di sampingnya
merasa sebatang kara
Juara lama tak pulang-pulang
Pindah ke desa lain
Kawin lagi
Harapkan anak laki pengganti
Penyambung keturunan
Sebelum ia mati
Juara mendapat tiga anak
Dari isteri barunya
Semua perempuan
Tak ada laki
Suatu hari
ketika sakit berat
Pawang yang diundang
berkata:
“Adakan pesta korban
Undang isteri pertama
begitu pula puterinya
Mintalah pengampunan mereka
demi leluhur.”
Dengan berat hati
Juara kirim pesan
Agar isteri dan puterinya datang
Lalu ia menanti
Pesuruh pun pulang
Bawa berita meragukan:
Hati Juara dirundung bimbang
Isteri dan puteri
Mungkin datang, mungkin tidak
ban biar lupa gundahnya
Juara pergi berburu
di hari anak-isterinya
dikabarkan tiba
Ia berburu di lereng gunung di hutan
di luar desa
Sepanjang hari
sampai sorenya
Menjelang malam
Di kampung ternyata anak-isterinya tiba
Tapi Juara tak tahu
asyik berburu rusa
Malamnyaia digotong
berlumuran darah
Katanya diterkam harimau
“Tak dapat lagi ditolong
Ajal menuntut sudah” – kata orang desa
Lalu ia dibaringkan
di tengah rumahnya dulu
di mana anak isterinya telah menunggu
Yang menyambutnya dengan kagu ratap:
“Kembali sudah, kembali juara
Juaraku pulang dari berburu rusa ....”
Pahlawan kita lalu mati
di pangkuan isteri yang ditinggalkan
Demikianlah desa kami
kehilangan pahlawannya.
1955
Hukum leluhur, tapi
Janganlah beri nama nanti
Pahlawanku mati apa
Di akhir kisah.
Dengarlah
Cerita orang tua-tua
Kusampaikan pada pembaca
Di seluruh negeri ia terkenal
Juara Judi tak ada bandingannya
Selalu menang dan
Dimenangkan
Segala ucapannya
Tak ada yang berani
Tiada yang mau membantah
Terlebih ketika minum arak
Di kedai-kedai
Selain Juara Judi
Ia pemburu pula
Kalau bukan harimau,
Babi atau rusalah mangsanya
Ulung dalam tari
Membuat ukiran indah sekali
Serta memetik kecapi ....
Dan bila marah berbahaya serapahnya
Tapi dari segala korban
Isterinya yang paling menderita
Dua anaknya
Satunya putera satunya puteri
Tapi tak satu jadi kesukaannya
Kata orang, “Mana ‘kan pula,
Anak lahir, bapaknya di tempat judi.”
Tibalah saat puteranya akan dikawinkan
Halnya dirundingkan
Si putera: Aku masih terlalu muda.
Si Bapak: Kawinlah sesukami, asal jangan
perempuan buta.
Si Ibu: Kawinlah, Nak, baik ada temanku.
Adik perempuannya
Tak sepatah pun berkata.
Hatinya terbelah antara Ibu penyabar
Dan si Bapak yang kejam
Namun dicintai sepenuhnya hati.
Si putera akhirnya kawin
dengan gadis pilihan ibunya
Si Bapak mendongkol sejak semula
Karena bukan pilihannya
Tahun berganti tahun
Musim berganti musim
Juara Judi semakin tua
Puterinya pun dewasa
namun tak kunjung jodoh
Pula menantu ternyata mandul
Cucu diharap tak juga datang.
“Mana hanya satu anak laki
Menantu pilihan ibunya ternyata ladang mati
Mampus kau semua.”
Demikian kutuk Juara
Di saat pulang dari gelanggang judi.
Puteranya tak peduli
Putuskan pergi merantau
bersama isteri
Berkata pada ibunya;
“Tak akan aku pulang
Jangan aku ditunggu
Atau Bapak mati dulu.”
Tinggallah ibunya sendirian
ditemani adiknya
Tak ada yang meminangnya
Orang takut menghadapi bapaknya
Yang kini jarang kembali
asyik berburu di hutan berhari-hari
Menghindar gelannggang judi
diburu kenangan pada putera satunya
di rantau jauh
Di desa suatu ketika
sSampai kabar
Menantu mandul meninggal di rantau
Si Ibu yang menerima kabar
Menghempas badan ke lantai:
“Demikianlah nasibku
Kelahiranku yang kasip
Ditinggalkan orang hidup
Ditinggalkan orang mati.”
Puterinya yang diam di sampingnya
merasa sebatang kara
Juara lama tak pulang-pulang
Pindah ke desa lain
Kawin lagi
Harapkan anak laki pengganti
Penyambung keturunan
Sebelum ia mati
Juara mendapat tiga anak
Dari isteri barunya
Semua perempuan
Tak ada laki
Suatu hari
ketika sakit berat
Pawang yang diundang
berkata:
“Adakan pesta korban
Undang isteri pertama
begitu pula puterinya
Mintalah pengampunan mereka
demi leluhur.”
Dengan berat hati
Juara kirim pesan
Agar isteri dan puterinya datang
Lalu ia menanti
Pesuruh pun pulang
Bawa berita meragukan:
Hati Juara dirundung bimbang
Isteri dan puteri
Mungkin datang, mungkin tidak
ban biar lupa gundahnya
Juara pergi berburu
di hari anak-isterinya
dikabarkan tiba
Ia berburu di lereng gunung di hutan
di luar desa
Sepanjang hari
sampai sorenya
Menjelang malam
Di kampung ternyata anak-isterinya tiba
Tapi Juara tak tahu
asyik berburu rusa
Malamnyaia digotong
berlumuran darah
Katanya diterkam harimau
“Tak dapat lagi ditolong
Ajal menuntut sudah” – kata orang desa
Lalu ia dibaringkan
di tengah rumahnya dulu
di mana anak isterinya telah menunggu
Yang menyambutnya dengan kagu ratap:
“Kembali sudah, kembali juara
Juaraku pulang dari berburu rusa ....”
Pahlawan kita lalu mati
di pangkuan isteri yang ditinggalkan
Demikianlah desa kami
kehilangan pahlawannya.
1955
SI ANAK HILANG
Pada terik
tengah hari
Titik perahu timbul di danau
Ibu cemas ke pantai berlari
Menyambut anak lama ditunggu
Perahu titik menjadi nyata
Pandang berlinang air mata
Anak tiba dari rantau
Sebaik turun dipeluk ibu
Bapak duduk di pusat rumah
Seakan tak acuh menanti
Anak di sisi ibu gundah
- laki-laki layak menahan hati -
Anak disuruh duduk bercerita
Ayam disembelih nasi dimasak
Seluruh desa bertanya-tanya
Sudah beristri sudah beranak?
Si anak hilang kini kembali
Tak seorang dikenalnya lagi
Berapa kali panen sudah
Apa saja telah terjadi?
Seluruh desa bertanya-tanya
Sudah beranak sudah berapa?
Si anak hilang berdiam saja
Ia lebih hendak bertanya
Selesai makan ketika senja
Ibu menghampiri ingin disapa
Anak memandang ibu bertanya
Ingin tahu dingin Eropa
Anak diam mengenang lupa
Dingin Eropa musim kotanya
Ibu diam berhenti berkata
Tiada sesal hanya gembira
Malam tiba ibu tertidur
Bapak lama sudah mendengkur
Di pantai pasir berdesir gelombang
Tahu si anak tiada pulang
1955
Titik perahu timbul di danau
Ibu cemas ke pantai berlari
Menyambut anak lama ditunggu
Perahu titik menjadi nyata
Pandang berlinang air mata
Anak tiba dari rantau
Sebaik turun dipeluk ibu
Bapak duduk di pusat rumah
Seakan tak acuh menanti
Anak di sisi ibu gundah
- laki-laki layak menahan hati -
Anak disuruh duduk bercerita
Ayam disembelih nasi dimasak
Seluruh desa bertanya-tanya
Sudah beristri sudah beranak?
Si anak hilang kini kembali
Tak seorang dikenalnya lagi
Berapa kali panen sudah
Apa saja telah terjadi?
Seluruh desa bertanya-tanya
Sudah beranak sudah berapa?
Si anak hilang berdiam saja
Ia lebih hendak bertanya
Selesai makan ketika senja
Ibu menghampiri ingin disapa
Anak memandang ibu bertanya
Ingin tahu dingin Eropa
Anak diam mengenang lupa
Dingin Eropa musim kotanya
Ibu diam berhenti berkata
Tiada sesal hanya gembira
Malam tiba ibu tertidur
Bapak lama sudah mendengkur
Di pantai pasir berdesir gelombang
Tahu si anak tiada pulang
1955
PENDARATAN MALAM
Tentara
tak berbekal mendarat
Di malam disuburkan lapar
(Bila fajar bawa berita
kayu apung istirahat mereka)
Tentara tak berbekal mendarat
Di malam disuburkan lapar
Di malam disuburkan lapar
(Bila fajar bawa berita
kayu apung istirahat mereka)
Tentara tak berbekal mendarat
Di malam disuburkan lapar
JAKARTA, 17 AGUSTUS 45 DINIHARI
Sederhana
dan murni
Impian remaja
Hikmah kehidupan
berNusa
berBangsa
berBahasa
Kewajaran napas
dan degub jantung
Keserasian beralam
dan bertujuan
Lama didambakan
menjadi kenyataan
wajar, bebas
seperti embun
seperti sinar matahari
menerangi bumi
di hari pagi
Kemanusiaan
Indonesia Merdeka
17 Agustus 1945
Impian remaja
Hikmah kehidupan
berNusa
berBangsa
berBahasa
Kewajaran napas
dan degub jantung
Keserasian beralam
dan bertujuan
Lama didambakan
menjadi kenyataan
wajar, bebas
seperti embun
seperti sinar matahari
menerangi bumi
di hari pagi
Kemanusiaan
Indonesia Merdeka
17 Agustus 1945
BERITA PERJALANAN
Buat H.B.
Jassin
Kujelajah
bumi dan alis kekasih
Kuketok
dinding segala kota
Semua
menyisih
Keragaman
nikmat bebas
Serta
kerdilnya ikatan batas
Tersisa di
tangkapan hanya hampa
Saat
memuncak
Detik
menolak
Terbanting
diri pada kebuntuan
Hati
berontak
Batas
mengelak
Meruah
ingin dalam kekosongan
Jakarta,
A’dam, Paris, Genova satu nama
Salju
Alpina di Jibuti guruan Afrika
Sejak itu
sepakat kebuntuan
Jadi teman
seperjalanan kekosongan
Dalam
sajak mencari kepenuhan
Perang
antara kesetiaan dan pengembaraan
PARIS-YUILLET
Bois de
Boulogne Grand Lac
Antara
hari-hari pohon tak berdaun
Kita
terlena di bawah musim bunga
Hidup
seakan kita serahkan pada hari mengalun
Tertidur
di atas perahu kolam terlucut damba
Sungguh,
Lamartine bisa saudara
Jika
Rimbaud tak lari ke tepi Sahara
SAJAK
Kenapa
takkan percaya pada Tuhan?
Sama
sedihnya dengan sajak
Bersama
kita ia tak berpegangan
Kecuali
dalam duka tam au beranjak
Bila kita
mati
Iapun
didera sepi
Penyair
dalam diri meruntas rantai
Tahu
sekali lepas ‘kan turut hancur
Pisau
dtikam ke hulu mati
Bukan
untuk membela diri ̶ telah lulur
GAMBAR KOTA DULU
Depan
jendela gadis mengurai rambut
Ditimpa
sinar pagi menyepuh kota
Sungai di
bawah memantul sinar bulan muda
Di mata
selamanya yang masih kusut
Di cermin
tertera kejadian dalam
Nafsu
remaja yang berakhir di malam
Menyatu
dengan dendang pagi
Hari baru
yang menyusukan hati
Cinta
hidup yang tidak kepalang
Di dadanya
yang tak tahu diri telanjang
Meraih
diriku yang tak tahu pulang
Sebelum
semua pintu terpalang
Adakah
malammu sudah berhenti risau
Mencari
pacar
semenjak
semua telah lalu
kenangan
jad pudar?
Tapi kau
bukan merpati ̶ kutahu
Yang bisa
tenteram merindu
dalam
sangkar
Akupun
nanar.
Dari berbagai sumber.
0 Response to "Kumpulan Puisi Sitor Situmorang"
Posting Komentar