Kumpulan Puisi Rustam
Effendi - Rustam
Effendi
lahir pada tanggal 13 Mei 1903 di Padang, Sumatera Barat dan meninggal 24 Mei 1979 di Jakarta.
Pendidikannya: Latihan Perguruan di Bukittinggi dan Bandung. Dia bekerja
menjadi guru, tapi tak lama kemudian terjun ke lapangan kebudayaan dan politik.
Setelah adanya suatu peristiwa 1926-1927, dia meninggalkan Indonesia dan pergi
ke Belanda. Hingga setelah Perang Dunia II, dia bekerja di sana. Bahkan dia
pernah mewakili suatu partai politik dan duduk sebagai anggota parlemen.
Bukunya
yang sudah terbit: Bebasari (1924, sebuah drama bersajak; buku ini
dianggap sebagai drama pertama di dalam sejarah sastra Indonesia modern yang
pernah ditulis, bahkan dalam bentuk sajak) dan Percikan Permenungan
(1926, kumpulan puisi). Sejumlah puisinya ada dalam antologi
Pujangga Baru: Prosa dan Puisi (1963) susunan H.B. Jassin.
KEPADA YANG BERGURAU
O Engkau
cucu Adam
Yang bermain di taman bunga, berteduh di bawah bahgia.
Alangkah senang sentosamu,
Menyedapi buah yang lezat, bertangkai di Pohon Asmara
O Engkau Ratna alam,
Yang bertilam kesuma nyawa, disimbur Asmara juwita,
Soraikan gelak suaramu,
Dipeluki tangan yang lembut, dicium, di riba Permata.
O Engkau makhluk Tuhan,
Sepatah madah tolong dengarkan, tolong pikirkan,
Sekalipun tuan dalam bergurau.
Jauh bersunyi tolan
Seorang beta dalam berduka, tiap ketika,
Merindukan tanah dapat merdeka.
Yang bermain di taman bunga, berteduh di bawah bahgia.
Alangkah senang sentosamu,
Menyedapi buah yang lezat, bertangkai di Pohon Asmara
O Engkau Ratna alam,
Yang bertilam kesuma nyawa, disimbur Asmara juwita,
Soraikan gelak suaramu,
Dipeluki tangan yang lembut, dicium, di riba Permata.
O Engkau makhluk Tuhan,
Sepatah madah tolong dengarkan, tolong pikirkan,
Sekalipun tuan dalam bergurau.
Jauh bersunyi tolan
Seorang beta dalam berduka, tiap ketika,
Merindukan tanah dapat merdeka.
LAUTAN
Terdengar
derai ombak, bercerai,
Terhampar ke pantai, sorai terurai.
Mengaum deram, derum lautan,
Walaupun di dalam malam yang kelam.
Terbentang muka, alun tiada,
Tergenang segara, tida’ terduga
Menyanam air, dalam arusan,
Satupun ta’ mungkin, dapat menyilam.
Demikianlah konon lautan hidup,
Bersabung ombak sebelah ke luar,
Bercatur rasaian, senang dan sukar.
Bagaimanakah artinya rahasia hidup?
Apakah ujud manusia bernyawa?
Seorang pun tiada mungkin menduga.
Terhampar ke pantai, sorai terurai.
Mengaum deram, derum lautan,
Walaupun di dalam malam yang kelam.
Terbentang muka, alun tiada,
Tergenang segara, tida’ terduga
Menyanam air, dalam arusan,
Satupun ta’ mungkin, dapat menyilam.
Demikianlah konon lautan hidup,
Bersabung ombak sebelah ke luar,
Bercatur rasaian, senang dan sukar.
Bagaimanakah artinya rahasia hidup?
Apakah ujud manusia bernyawa?
Seorang pun tiada mungkin menduga.
MENGELUH I
Bukanlah
beta berpijak bunga,
Melalui hidup menuju makam
Setiap saat disimbur sukar,
Bermandi darah dicucurkan dendam.
Menangis mata melihat makhluk,
Berharta bukan berhak pun bukan
Inilah nasib negeri ‘nanda,
Memerah madu menguruskan badan.
Ba’mana beta bersuka cita,
Ratapan ra’yat riuhan gaduh,
Membobos masuk menyatu kalbuku.
Ba’mana boleh berkata beta,
Suara sebat sedanan rusuh,
Menghimpit madah, gubahan cintaku.
Melalui hidup menuju makam
Setiap saat disimbur sukar,
Bermandi darah dicucurkan dendam.
Menangis mata melihat makhluk,
Berharta bukan berhak pun bukan
Inilah nasib negeri ‘nanda,
Memerah madu menguruskan badan.
Ba’mana beta bersuka cita,
Ratapan ra’yat riuhan gaduh,
Membobos masuk menyatu kalbuku.
Ba’mana boleh berkata beta,
Suara sebat sedanan rusuh,
Menghimpit madah, gubahan cintaku.
MENGELUH II
Bilakah
bumi bertabur bunga,
Disebarkan tangan yang tiada terikat,
Dipetik jari, yang lemah lembut,
Ditandai sayap kemerdekaan ra’yat?
Bilakah lawang bersinar Bebas,
Ditinggalkan dera yang tiada berkata?
Bilakah susah yang beta benam,
Dihembus angin, kemerdekaan kita?
Di sanalah baru bermohon beta,
Supaya badanku berkubur bunga,
Bunga bingkisan, suara sa’irku.
Di situlah bersuka beta,
Pabila badanku bercerai nyawa,
Sebab menjemput Manikam bangsaku.
Disebarkan tangan yang tiada terikat,
Dipetik jari, yang lemah lembut,
Ditandai sayap kemerdekaan ra’yat?
Bilakah lawang bersinar Bebas,
Ditinggalkan dera yang tiada berkata?
Bilakah susah yang beta benam,
Dihembus angin, kemerdekaan kita?
Di sanalah baru bermohon beta,
Supaya badanku berkubur bunga,
Bunga bingkisan, suara sa’irku.
Di situlah bersuka beta,
Pabila badanku bercerai nyawa,
Sebab menjemput Manikam bangsaku.
MENCAHARI
Bersalut
ratna diselang emas berhari-hari,
Itulah kalung perjalanan hidupku,
Membenturkan kesenangan cahaya nubari,
Tiadalah pernah digetus pilu, rantaian mutu.
Menggeleng hati, menampik kata yang beta sebut,
Timbullah kurang, di untaian permata,
Merenggutkan gembiraku ke dalam selaput,
Menungan dada. Menurut beta, sepanjang data
Seperti sayap rajawali datang menyerang kalbu,
Menutup sinar persenyuman sejahtera,
Demikian kegelapan di dalam hatiku.
Seperti buta mencahari jalan, meraba-raba,
Begitu beta bergontaian seorangku,
Menuruti kebenaran tujuan bangsaku.
Itulah kalung perjalanan hidupku,
Membenturkan kesenangan cahaya nubari,
Tiadalah pernah digetus pilu, rantaian mutu.
Menggeleng hati, menampik kata yang beta sebut,
Timbullah kurang, di untaian permata,
Merenggutkan gembiraku ke dalam selaput,
Menungan dada. Menurut beta, sepanjang data
Seperti sayap rajawali datang menyerang kalbu,
Menutup sinar persenyuman sejahtera,
Demikian kegelapan di dalam hatiku.
Seperti buta mencahari jalan, meraba-raba,
Begitu beta bergontaian seorangku,
Menuruti kebenaran tujuan bangsaku.
TANAH AIR
Berpadang
katifah* hijau
berlembah, bekasan danau,
berlangit bertudung awan
bergunung berbukit, berpantai lautan.
O, tanah airku, yang indah sangat.
O, tanah airku yang beta cinta,
Di malam menjadi mimpi,
di siang merayan hati,
Terkurang madahan Sa'ir,
pelagukan ihtisym** asmara Kadir,
O, tanah airku yang beta cinta.
O, tanah airku yang sangat kaya,
bergoa penyimpan logam,
berkolam penerang malam,
bersungai berbatu ratna,
lautan menyimpan harta mutiara,
O, tanah airku yang sangat kaya.
O, tanah airku yang sangat subur,
bertikar bersawah padi,
berladang berkebun kopi,
Berharta di dalam hutan,
membual usaha bukan buatan,
O, tanah airku yang sangat subur.
* Permadani
** hormat
berlembah, bekasan danau,
berlangit bertudung awan
bergunung berbukit, berpantai lautan.
O, tanah airku, yang indah sangat.
O, tanah airku yang beta cinta,
Di malam menjadi mimpi,
di siang merayan hati,
Terkurang madahan Sa'ir,
pelagukan ihtisym** asmara Kadir,
O, tanah airku yang beta cinta.
O, tanah airku yang sangat kaya,
bergoa penyimpan logam,
berkolam penerang malam,
bersungai berbatu ratna,
lautan menyimpan harta mutiara,
O, tanah airku yang sangat kaya.
O, tanah airku yang sangat subur,
bertikar bersawah padi,
berladang berkebun kopi,
Berharta di dalam hutan,
membual usaha bukan buatan,
O, tanah airku yang sangat subur.
* Permadani
** hormat
CAHYA MERDEKA
Kepada
Tanah Airku
Sekali aku terbangun dalam cerkammu,
Dari dalam jurang yang gelap hitam
Kau renggut aku hingga akan jiwaku,
Kau angkat aku membubung
menatap wajah Suria Merdeka .....
Buta aku disorot nikmat sinar gemilang,
diseret hanyut gelora arusmu,
Kemudian kau lemparkan daku
ke pantai tindakan nyata !
Telah kau remuk aku
bersatu-padu dengan sinarmu
Ta' mungkin k aku 'kan surut lagi
sampai airmu lipur cahyamu dalam matiku .......
Akan mengembus angin
dari tepi kuburku ke tiap penjuru,
membawa nikmat cahya merdeka ......
Dan sujudlah aku
di hadirat Tuhanku menunggu
putusan akhirku di dunia baka !
Sekali aku terbangun dalam cerkammu,
Dari dalam jurang yang gelap hitam
Kau renggut aku hingga akan jiwaku,
Kau angkat aku membubung
menatap wajah Suria Merdeka .....
Buta aku disorot nikmat sinar gemilang,
diseret hanyut gelora arusmu,
Kemudian kau lemparkan daku
ke pantai tindakan nyata !
Telah kau remuk aku
bersatu-padu dengan sinarmu
Ta' mungkin k aku 'kan surut lagi
sampai airmu lipur cahyamu dalam matiku .......
Akan mengembus angin
dari tepi kuburku ke tiap penjuru,
membawa nikmat cahya merdeka ......
Dan sujudlah aku
di hadirat Tuhanku menunggu
putusan akhirku di dunia baka !
BUKAN BETA BIJAK BERPERI
Bukan Beta
Bijak Berperi,
Pandai menggubah
mahadan syair,
Bukan beta
budak negeri,
Musti menurut
undangan mair.
Sarat saraf
saya mungkiri,
Untai rangkaian
seloka lama,
Beta buang beta
singkiri,
Sebab laguku
menurut sukma.
Susah sungguh
saya sampaikan,
Degup-degupan
di dalam kalbu,
Lemah laun lagi
dengungan,
Matnya digamat
rasaian waktu.
Sering saya
susah sesaat,
Sebab madahan
tidak nak datang,
Sering saya
sulit menekat,
Sebab terkurang
lukisan memang.
Bukan beta
bijak berlagu,
Dapat melemah
bingkaian pantun,
Bukan beta
berbuat baru,
Hanya mendengar
bisikan alun.
(Percikan
Permenungan, 1926)
Dari berbagai
sumber.
0 Response to "Kumpulan Puisi Rustam Effendi"
Posting Komentar