Sinopsis Novel Di Bawah
Lindungan Ka’bah Karya HAMKA – Assalamualaikum, selamat pagi, selamat berjumpa lagi
dengan blog MJ Brigaseli. Pada kesempatan kali ini saya akan berbagi sinopsis
novel Di Bawah Lindungan Ka’bah karya HAMKA.
Novel Di Bawah Lindungan Ka’bah ditulis oleh HAMKA,
novel ini sangat cocok dibaca oleh semua kalangan, karena mengajak kita untuk
tidak membedakan pandangan dari segi harta duniawi, tapi dari kecintaan patuh pada perintah-Nya.
Novel ini menceritakan dua insan yang dilanda asmara dalam suasana tragis, yang
satu prihatin sejak kecil yang satunya lagi dilanda sakit yang parah, keduanya
meninggal hampir bersamaan pada tempat yang berbeda.
Novel kedua HAMKA (Haji Abdul
Malik Karim Amarullah) ini pertama kali di terbitkan Balai Pustaka (1983)
hingga cetakan VI. Setelah cetakan VII sampai cetakan terakhir ini diterbitkan
Bulan Bintang. “Dengan mengambil tempat bermainya sebagai cerita di negeri Arab
dan dengan memajukan falsafah keislaman, roman Di Bawah Lingkungan Ka’bah ini menjadi suatu roman yang bercorak dan beraliran keislaman.”
Demikian pendapat H.B. Jassin dalam bukunya Kesusastraan Indonesia Modern
dalam Kritik dan Esei 1 (Gramedia, 1985; hlm. 46 ). Walaupun dalam soal
kemurungan, Di Bawah Lindungan Ka’bah, masih terasa tak
berbeda jauh dalam karya pertamanya, Di Jemput Mamaknya (1930). Namun,
dalam napas keislamaan, Di Bawah Lindungan Ka’bah jauh lebih kuat. Di samping itu, latar tempat kejadian di Mekah itu,
ternyata juga sangat mendukung suasana murung dan kepedihan jiwa tokoh
utamanya, Hamid.
Jika dibandingkan dengan cerpen
panjang Al-Manfaluthi, Al-Yatim, novel Di bawah Lindungan Ka’bah pun, tampak –sedikit banyak-terpengaruh pula oleh karya pengarang
Mesir itu (lihat juga ulasan pada ringkasan Tenggelamnya
Kapal Van Der Wijck. Sungguh pun demikian, di dalamnya masih tampak jelas
kritik Hamka terhadap adat perkawinan serta sikap para orang tua, yang mengaku
islam, tetapi sebenarnya tidak berjiwa islam.
Untuk lebih jelasnya, inilah sinopsisnya.
Hamid adalah seorang anak yatim
dan miskin. Dia kemudian diangkat oleh keluarga Haji Jafar yang kaya-raya.
Hamid dianggap sebagai anak mereka sendiri, Mereka sangat menyayanginya sebab
Hamid sangat rajin, sopan, berbudi, serta taat beragama.
Hamid sangat menyayangi Zainab.
Begitu pula dengan Zainab. Ketika keduanya beranjak remaja, dalam hati
masing-masing mulai tumbuh perasaan lain. Suatu perasaan yang selama ini belum
pernah mereka rasakan. Hamid merasakan bahwa rasa kasih sayang yang muncul
terhadap Zainab melebihi rasa sayang kepada adik, seperti yang selama ini dia
rasakan. Zainab juga ternyata mempuanyai perasaan yang sama seperti perasaan
Hamid.
Hamid tidak berani mengutarakan
isi hatinya kepada Zainab sebab dia menyadari bahwa di antara mereka terdapat
jurang pemisah yang sangat dalam. Zainab merupakan anak orang terkaya dan
terpandang, sedangkan dia hanyalah berasal dari keluarga biasa dan miskin.
Tanpa memberi tahu siapa pun,
Hamid meninggalkan kampungnya menuju Siantar, Medan. Kepergiannya kali ini
bukan lagi untuk menuntut ilmu di sekolah, seperti yang ia lakukan beberapa
tahun yang lalu. Hamid, ibarat orang sudah “jatuh tertimpa tangga pula”.
Setelah Haji Jafar, orang yang selama ini banyak menolongnya, berpulang ke
rahmatullah, tak lama kemudian ibu kandung yang dicintainya menyusul pula ke alam
baka. Hamid kini tinggal sebatang kara. Ayahnya telah meninggal ketika ia
berusia empat tahun. Dalam kemalangannya itu, mamak Asiah dan anaknya, Zainab,
tetap menganggapnya sebagai keluarga sendiri. Oleh karena itu, Mak Asiah begitu
yakin terhadap Hamid untuk dapat membujuk Zainab agar mau dikawinkan dengan
saudara dari pihak mendiang suaminya. Dengan berat hati, Hamid mengutarakan
maksud itu walaupun yang sebenarnya, ia sangat mencintai Zainab. Namun, karena
Zainab anak orang kaya di kampung itu, ia tak berani mengutarakan rasa cintanya
itu.
Setibanya di Medan, Hamid sempat
menulis surat kepada Zainab. Isi surat itu mengandung arti yang sangat dalam
tentang perasaan hatinya. Namun, apa mau dikata, ibarat bumi dengan langit,
rasanya tak mungkin keduanya bersatu. Meninggalkan kampung halamanya berikut
orang yang dicintainya adalah salah satu jalan terbaik. Begitu menurut pikiran
Hamid.
Dari Medan, Hamid meneruskan
perjalanan ke Singapura dan akhirnya ia sampailah di tanah suci, Mekah. Di
Mekah ia tinggal dengan seorang Syekh, yang pekerjaanya menyewakan tempat bagi
orang-orang yang akan menunaikan ibadah haji.
Telah setahun Hamid tinggal di
kota suci itu. Pada musim haji, banyaklah orang datang dari berbagai penjuru.
Tanpa diduganya, teman sekampungnya, menyewa pula tempat Syekh itu. Orang yang
baru datang itu bernama Saleh, suami Rosna, yang hendak menuntut ilmu agama di
Mesir setelah ibadah haji selesai.
Dari pertemuan yang tak
disangka-sangka itu, ternyata banyak sekali berita dari kampung
halaman-terutama berita tentang Zainab-yang sejak ditinggalkan Hamid dan tidak
jadi dikawinkan dengan saudara ayahnya itu, kini sedang dalam keadaan
sakit-sakitan. Hamid sangat senang hatinya mendengar kabar itu, tetapi ia harus
menyelesaikan ibadah hajinya yang tinggal beberapa hari. Ia bermaksud segera
pulang ke kampung. Sementara itu Saleh, teman Hamid, segera mengirim surat
kepada istrinya. Surat Saleh diterima istrinya yang segera pula memberitahukannya kepada
Zainab. Alangkah senang hati Zainab mengetahui bahwa orang yang dicintainya
ternyata masih ada. Namun, penyakit yang diterima Zainab makin hari makin
parah. Dengan segala kekuatan tenaganya ia menulis surat untuk orang yang
dikasihinya.
Surat yang dikirim Zainab
diterima Hamid. Namun, rupanya isi surat itu sangat mempengaruhinya. Dua hari
setelah itu, bersamaan keberangkatan para jemaah haji ke Arafah guna mengerjakan
wukuf, kesehatan Hamid terganggu. Walaupun demikian, Hamid tetap menjalankan
perintah suci itu.
Sekembalinya Hamid dari Arafah,
suhu badanya semakin tinggi. Apalagi di Arafah, udaranya sangat panas. Hamid
tak mau menyentuh makanan sehingga badanya menjadi lemah. Pada saat yang sama,
surat dari Rosna diterima Saleh yang menerangkan bahwa Zainab telah wafat.
Kendati Hamid dalam keadaan lemah, ia mengetahui bahwa ada surat dari
kampunganya. Firasatnya begitu kuat pada berita surat yang disembunyikan Saleh. Hamid
menanyakan isi surat itu. Dengan berat hati Saleh menerangkan musibah kematian
Zainab. “O, jadi Zainab telah mendahului kita?” tanyanya pula.
Ketika akan berangkat ke Mina,
Hamid tak sadarkan diri. Temannya, Saleh, terpaksa mengupah orang Badui untuk
membawa Hamid ke Mina. Dari situ mereka menuju Masjidil Haram-kemudian
mengelilingi kabah sebanyak tujuh kali. Tepat di antara pintu ka’bah dan batu hitam, kedua
orang Badui itu diminta berhenti. Hamid mengulurkan tangannya, memegang kiswah
sambil
memanjatkan doa yang panjang: “Ya Rabbi, Ya tuhanku, Yang maha Pengasih dan
Penyayang!” Semakin lama suara Hamid semakin terdengar pelan. Sesaat kemudian,
Hamid menutup matanya untuk selama-lamanya.
Itulah tadi
sinopsis novel Di bawah Lindungan ka’bah karya HAMKA. Semoga bermanfaat dan
wassalamualaikum.
Dari berbagai
sumber.
0 Response to "Sinopsis Novel Di Bawah Lindungan Ka’bah Karya HAMKA"
Posting Komentar