Kumpulan Puisi Ramadhan KH - Assalamu’alaikum…
selamat pagi, selamat berjumpa lagi
dengan blog MJ Brigaseli. Pada kesempatan di pagi ini saya akan mencoba berbagi tentang
kumpulan puisi Ramadhan KH. Langsung saja ya….
Ramadhan
K.H.
yang nama lengkapnya adalah Ramadan
Karta Hadimadja (lahir di Bandung, 16 Maret
1927 – meninggal
di Cape Town,
Afrika Selatan, 16 Maret 2006 pada umur 79 tahun) adalah seorang penulis biografi
Indonesia. Ia meninggal setelah menderita kanker prostat selama ±3 bulan.
Kang Atun, panggilan akrab Ramadhan, adalah
anak ketujuh dari sepuluh bersaudara. Ayahnya, Raden Edjeh Kartahadimadja, adalah seorang Patih
Kabupaten Bandung
pada masa kekuasaan Hindia Belanda. Ia dilahirkan dari perkawinan ayahnya dengan Saidah. Aoh K.
Hadimadja (1911 – 1972) yang juga dikenal sebagai penyair dan novelis itu, adalah
kakak kandung seayah Ramadhan yang lahir dari rahim istri pertama ayahnya yakni
Raden Djuwariah binti Martalogawa. Ketika usia Ramadan masih belum genap tiga bulan,
ayahnya terpikat perempuan lain dan menceraikan Saidah yang langsung
dikembalikan ke kampung. Pengalaman tersebut membuat ia dekat dengan sosok ibu
dan menghayati derita kaum perempuan.
Ramadan pernah bekerja selama 13
tahun sebagai wartawan Antara. Lalu, dia minta berhenti karena tak tahan melihat
merajalelanya korupsi waktu itu. Dia tercatat sebagai mahasiswa ITB dan Akademi Dinas Luar Negeri di
Jakarta, kedua-duanya tidak tamat. Dia juga pernah bertugas sebagai Redaktur
Majalah Kisah, Redaktur Mingguan Siasat dan Redaktur Mingguan Siasat Baru.
Semasa hidupnya Ramadan terkenal
sebagai penulis yang kreatif dan produktif. Ia banyak menulis puisi, cerpen,
novel, biografi, dan menerjemahkan serta menyunting.
Kumpulan puisinya yang diterbitkan
dengan judul "Priangan Si Djelita" (1956), ditulis saat Ramadan
kembali ke Indonesia dari perjalanan di Eropa pada 1954. Kala itu, ia
menyaksikan tanah kelahirannya, Jawa Barat, sedang bergejolak akibat berbagai peristiwa separatis.
Kekacauan sosial politik itu mengilhaminya menulis puisi-puisi tersebut.
Sastrawan Sapardi Djoko
Damono,
menilai buku tersebut sebagai puncak prestasi Ramadan di dunia sastra
Indonesia. Menurut Sapardi, buku itu adalah salah satu buku kumpulan puisi
terbaik yang pernah diterbitkan di Indonesia. "Dia adalah segelintir,
kalau tidak satu-satunya, sastrawan yang membuat puisi dalam format tembang kinanti," papar Sapardi.
Pada tahun-tahun terakhir hidupnya
Ramadan tinggal di Capetown mengikuti istrinya, Salfrida Nasution, yang bertugas sebagai Konsul Jenderal
Republik Indonesia
di kota itu. Sebelumnya ia pernah tinggal di
Los Angeles, Paris, Jenewa, dan Bonn, menyertai istrinya yang terdahulu, Pruistin
Atmadjasaputra, juga
seorang diplomat, yang dikenal dengan panggilan "Tines". Tines, yang
dinikahinya pada 1958, mendahuluinya pada 10 April 1990 di Bonn, Jerman. Setelah ditinggal istrinya, pada
tahun1993 Ramadan menikah kembali dengan Salfrida, seorang sahabat
istrinya yang pernah menyumbangkan darahnya ketika Tines sakit.
Pada tahun 1965 Ramadan sempat ditahan selama 16 hari di Kamp Kebon Waru,
Bandung, bersama-sama dengan Dajat Hardjakusumah, ayah kelompok pemusik Bimbo yang saat itu menjabat pimpinan
Kantor Antara Cabang Bandung.
Keduanya ditahan karena dilaporkan
bertemu A. Karim DP dan Satyagraha, pimpinan PWI (Persatuan
Wartawan Indonesia)
Pusat yang masa itu dianggap berideologi kiri dan mendukung G-30-S. Oleh karena itu, mereka juga
dianggap pendukung G-30-S. Belakangan ia baru tahu bahwa mereka difitnah
kelompok lain dapat menguasai kantor Antara cabang Bandung. Sesudah enam belas
hari dalam tahanan, keduanya dibebaskan dan pimpinan pusat Antara
memindahkannya ke Jakarta. Ramadan langsung pindah ke Jakarta.
PEMBAKARAN
1
Pacar!
Coklat matamu subur,
Coklat darah tanah Cianjur.
Tapi pacar!
Yang meneteskan air hujan
di bawah alismu hitam,
hanya kedua molek tanganmu
dan aku dengan mesra dibalur madu.
Dan pacar!
Bulan perak telah bertukar bara api.
Dan aku dan aku lagi
yang mesti membalik tanah
seperti neteskan air hujan di mata kedua belah.
Pacar!
Yang lain tak ada.
Kau dan aku hanya.
2
Kalung melati kemenangan,
dibelitkan di leher jenjang,
tapi cuma bulan yang merayu,
kemarin dan hari ini tetap gerah merebah.
Dan tenggelamnya matahari
hanya malam menyepi,
kurban dinanti menyendiri
untuk di hari pagi.
Patahnya malam,
hanya berarti pengungsian
ditusuk di bagian yang paling lunak.
Dara!
Kalau mau ganti cerita,
jangan menanti turunnya hujan!
Dara!
Kalau mau ganti warna,
mesti ada pembakaran!
3
Penyair
kayu pertama
di tumpukan pembakaran.
Penyair
abu landasan
di tumpukan reruntuhan.
Dara!
Bimbang hanya
mencekik diri sendiri!
Dara!
Takut hanya
buat makhluk pengecut!
4
Siapa cinta anak,
jangan jual
tanah sejengkal.
Siapa cinta tanah air,
jangan lupakan
bunda meninggal.
Siapa ingat hari esok,
mesti sekarang
mulai menerjang.
5
Keris tempaan Dewi Cikundul,
diembunkan di bulan pagi.
Minumlah setetes darah sangkuriang,
satukan ketiga sungai di hari suci.
Keris tempaan Dewi Cikundul,
diraut di bulan pagi.
Kalau jumpa bukan yang dicari,
balikkan ketujuh gunung berapi.
6
Dara
sudah lari bersembunyi
sejak senja.
Kota ditikam menyendiri.
Tiada ranting kebahagiaan,
burung malam tiada terbang.
Tiada daun kebebasan,
juga sedapmalam ketakutan.
Bunda,
setengah darahku yang tinggal,
kukira mesti kuhabiskan seperti dulu;
sayang,
kalau gadis-gadis mesti jadi perawan tua,
sebab malam ketakutan
tak menemukannya dengan pria.
Bunda,
setengah darahku yang tinggal,
kukira mesti bercecer di jalanan;
sayang,
kalau dengan bulan tak bisa lagi bersua,
sebab malam ketakutan
tak mengizinkan untuk bercanda.
7
Juga belati di batu laut,
tak setajam
cianjuran di atas petikan pantun.
Dan untuk kebebasan jiwa
kuserahkan hidup dan bayi merah.
Bunda bilang dan ajarkan
Kesabaran membawa roh ke alam sorga.
Penyair paling setia m
engajak sekali waktu untuk bersikap.
Juga belati di batu laut,
tak setajam
cianjuran di atas petikan pantun.
Pacar!
Coklat matamu subur,
Coklat darah tanah Cianjur.
Tapi pacar!
Yang meneteskan air hujan
di bawah alismu hitam,
hanya kedua molek tanganmu
dan aku dengan mesra dibalur madu.
Dan pacar!
Bulan perak telah bertukar bara api.
Dan aku dan aku lagi
yang mesti membalik tanah
seperti neteskan air hujan di mata kedua belah.
Pacar!
Yang lain tak ada.
Kau dan aku hanya.
2
Kalung melati kemenangan,
dibelitkan di leher jenjang,
tapi cuma bulan yang merayu,
kemarin dan hari ini tetap gerah merebah.
Dan tenggelamnya matahari
hanya malam menyepi,
kurban dinanti menyendiri
untuk di hari pagi.
Patahnya malam,
hanya berarti pengungsian
ditusuk di bagian yang paling lunak.
Dara!
Kalau mau ganti cerita,
jangan menanti turunnya hujan!
Dara!
Kalau mau ganti warna,
mesti ada pembakaran!
3
Penyair
kayu pertama
di tumpukan pembakaran.
Penyair
abu landasan
di tumpukan reruntuhan.
Dara!
Bimbang hanya
mencekik diri sendiri!
Dara!
Takut hanya
buat makhluk pengecut!
4
Siapa cinta anak,
jangan jual
tanah sejengkal.
Siapa cinta tanah air,
jangan lupakan
bunda meninggal.
Siapa ingat hari esok,
mesti sekarang
mulai menerjang.
5
Keris tempaan Dewi Cikundul,
diembunkan di bulan pagi.
Minumlah setetes darah sangkuriang,
satukan ketiga sungai di hari suci.
Keris tempaan Dewi Cikundul,
diraut di bulan pagi.
Kalau jumpa bukan yang dicari,
balikkan ketujuh gunung berapi.
6
Dara
sudah lari bersembunyi
sejak senja.
Kota ditikam menyendiri.
Tiada ranting kebahagiaan,
burung malam tiada terbang.
Tiada daun kebebasan,
juga sedapmalam ketakutan.
Bunda,
setengah darahku yang tinggal,
kukira mesti kuhabiskan seperti dulu;
sayang,
kalau gadis-gadis mesti jadi perawan tua,
sebab malam ketakutan
tak menemukannya dengan pria.
Bunda,
setengah darahku yang tinggal,
kukira mesti bercecer di jalanan;
sayang,
kalau dengan bulan tak bisa lagi bersua,
sebab malam ketakutan
tak mengizinkan untuk bercanda.
7
Juga belati di batu laut,
tak setajam
cianjuran di atas petikan pantun.
Dan untuk kebebasan jiwa
kuserahkan hidup dan bayi merah.
Bunda bilang dan ajarkan
Kesabaran membawa roh ke alam sorga.
Penyair paling setia m
engajak sekali waktu untuk bersikap.
Juga belati di batu laut,
tak setajam
cianjuran di atas petikan pantun.
DENDANG SAYANG
1
Di Cikajang ada gunung,
lembah lengang nyobek hati,
bintang pahlawan di dada,
sepi di atas belati;
kembang rampe di kuburan,
selalu jauh kekasih.
Di Cikajang ada kurung,
menahan selangkah kaki,
bebas unggas di udara,
pelita di kampung mati;
fajar pijar, bulan perak,
takut mengungkung di hati.
Di Cikajang hanya burung,
bebas lepas terbang lari,
di bumi bayi turunnya,
besar di bawah mengungsi;
sepi di bumi priangan,
sepi menghadapi mati.
2
Sejoli ciuman sepanjang malam
di kepanasan tanah priangan.
Mengharap fajar menambah umur.
Siang mengulang kerja,
biar antara kejepitan hati.
Sejoli geletak antara semak,
mengulang takut menghadap maut,
serangga menyusup di lubang-lubang.
Masih tanya apa sampai bulan pagi
bertemu di pelukan paling akhir,
kepastian hanya dalam harap dan berharap.
Sejoli ciuman sepanjang malam
di kedinginan pantai selatan.
3
Bumi ini dibawa ke alam hijau
dan perang tiada
di atas tali-tali kayu berlubang.
Sumur segala derita,
bersamaan semua berpelukan.
Bumi ini dibawa ke alam hijau
dan perang tiada
di atas hati-hati dara berluka.
Sumur segala sayatan,
penampung tangis bertukaran.
4
Kemboja putih di senja hari,
Rama-rama hitam jatuh di pangkuan janda muda.
Kemerahan di ufuk barat,
Membawa menyusur dari pantai ke pantai.
"Tengok dataran tanah priangan, Gadisku manis".
Ayah dipaku di lima tempat, B
unda berlari dari tepi ke tepi,
Tiada menemu teratak lengang.
"Tengok dataran tanah priangan, Gadisku manis". D
an si dara tiada bisa berkata,
Pacar gugur tiada menemu kuburannya.
Dan si dara hanya bisa meraba,
Membelitkan kalung kenangannya.
5
Gadis dendang di ladang pisang,
belum tahu manis jantungnya.
Aduhai!
Gadis dendang di matahari,
hanya bisa tahu teriknya.
Aduhai!
6
Kijang
jadi buruan,
ladang.
kesepian.
(Malam hitam
gemetar. )
Kijang
minta pengurbanan,
tanda
kejantanan.
(Bulan perak
memudar. )
7
Aku tutup rapat pintu dan jendela
untuk tidak tahu lagi derita
dibawa angin dan cahaya.
Tapi kembang hitam dan awan hitam
terselip selalu di tali rebab menikam.
Dihitung pacar di jari,
di satu musim larat dinanti.
Tapi derita sepanjang cerita,
pacar yang tak bisa dihitung,
larat yang tumbuh sepanjang tahun.
Tangis dan air di kelopak mata,
kalau bukan untuk diriku,
diuntukkan buat pacarku.
Di Cikajang ada gunung,
lembah lengang nyobek hati,
bintang pahlawan di dada,
sepi di atas belati;
kembang rampe di kuburan,
selalu jauh kekasih.
Di Cikajang ada kurung,
menahan selangkah kaki,
bebas unggas di udara,
pelita di kampung mati;
fajar pijar, bulan perak,
takut mengungkung di hati.
Di Cikajang hanya burung,
bebas lepas terbang lari,
di bumi bayi turunnya,
besar di bawah mengungsi;
sepi di bumi priangan,
sepi menghadapi mati.
2
Sejoli ciuman sepanjang malam
di kepanasan tanah priangan.
Mengharap fajar menambah umur.
Siang mengulang kerja,
biar antara kejepitan hati.
Sejoli geletak antara semak,
mengulang takut menghadap maut,
serangga menyusup di lubang-lubang.
Masih tanya apa sampai bulan pagi
bertemu di pelukan paling akhir,
kepastian hanya dalam harap dan berharap.
Sejoli ciuman sepanjang malam
di kedinginan pantai selatan.
3
Bumi ini dibawa ke alam hijau
dan perang tiada
di atas tali-tali kayu berlubang.
Sumur segala derita,
bersamaan semua berpelukan.
Bumi ini dibawa ke alam hijau
dan perang tiada
di atas hati-hati dara berluka.
Sumur segala sayatan,
penampung tangis bertukaran.
4
Kemboja putih di senja hari,
Rama-rama hitam jatuh di pangkuan janda muda.
Kemerahan di ufuk barat,
Membawa menyusur dari pantai ke pantai.
"Tengok dataran tanah priangan, Gadisku manis".
Ayah dipaku di lima tempat, B
unda berlari dari tepi ke tepi,
Tiada menemu teratak lengang.
"Tengok dataran tanah priangan, Gadisku manis". D
an si dara tiada bisa berkata,
Pacar gugur tiada menemu kuburannya.
Dan si dara hanya bisa meraba,
Membelitkan kalung kenangannya.
5
Gadis dendang di ladang pisang,
belum tahu manis jantungnya.
Aduhai!
Gadis dendang di matahari,
hanya bisa tahu teriknya.
Aduhai!
6
Kijang
jadi buruan,
ladang.
kesepian.
(Malam hitam
gemetar. )
Kijang
minta pengurbanan,
tanda
kejantanan.
(Bulan perak
memudar. )
7
Aku tutup rapat pintu dan jendela
untuk tidak tahu lagi derita
dibawa angin dan cahaya.
Tapi kembang hitam dan awan hitam
terselip selalu di tali rebab menikam.
Dihitung pacar di jari,
di satu musim larat dinanti.
Tapi derita sepanjang cerita,
pacar yang tak bisa dihitung,
larat yang tumbuh sepanjang tahun.
Tangis dan air di kelopak mata,
kalau bukan untuk diriku,
diuntukkan buat pacarku.
TANAH KELAHIRAN
1
Seruling di pasir ipis,
merdu antara gundukan pohon pina,
tembang menggema di dua kaki,
burangrang - Tangkubanprahu.
Jamrut di pucuk-pucuk,
Jamrut di air tipis menurun
Membelit tangga di tanah merah
dikenal gadis-gadis dari bukit.
Nyanyikan kentang sudah digali,
kenakan kebaya merah ke pewayangan.
Jamrut di pucuk-pucuk,
Jamrut di hati gadis menurun.
2
Harum madu
di mawar merah,
mentari di tengah-tengah.
Berbelit jalan
ke gunung kapur,
antara Bandung dan Cianjur.
Dan mawar merah
gugur lagi,
sisanya bertebaran
di kekeringan hati.
Dan belit jalan
menghilang lagi,
sisanya menyiram
darah di nadi.
3
Kembang tanjung berserakan
di jalan abu menghitam,
ditusuk bintang di timur,
hati luka di pekuburan.
Mau pergi, Nak?
-Ya, Ma. Ke mana?
- Entah, turutkan jejak lama.
Tak singgah dulu, Nak?
- Ya, Ma,
singgah cucurkan air mata.
Kembang tanjung berserakan
dipungut gadis berdendang.
Gede mengungu di pagi hari,
bintang pudar, bulan pudar,
si anak tinggalkan pekuburan,
bersedih hati.
Kembang tanjung berserakan,
dan melayu di tali benang.
4
Berbelit membiru jalan
ke Gede dan Pangrango,
lewat musim penghujan.
Gadis-gadis menyongsong pagi
di pucuk-pucuk teh yang menggeliat,
di katil orang lain menanti.
Berbelit membiru jalan
ke Gede dan Pangrango,
lewat angin dari selatan.
Ujang-ujang menyongsong hari
memikul kentang ubi galian,
dengan belati orang lain menanti.
Berbelit membiru jalan
ke Gede dan Pangrango,
juga penyair dinanti tikaman orang.
5
Hijau tanahku,
hijau Tago,
dijaga gunung-gunung berombak
Dan mawar merah
disobek di tujuh arah,
dikira orang menyanyi,
lewat di kayu kecapi.
Hijau tanahku,
hijau Tago
dijaga gunung-gunung berombak.
Dan perawan sendirian,
disamun di tujuh jalan,
dikira orang menyanyi,
tangiskan lagu kinanti.
Hijau tanahku,
hijau Tago,
dijaga gunung-gunung berombak.
6
Seruling berkawan pantun
tangiskan derita orang priangan,
selendang merah, merah darah
menurun di cikapundung.
Bandung, dasar di danau
lari tertumbuk di bukit-bukit.
Seruling menyendiri di tepi-tepi
tangiskan keris hilang di sumur,
melati putih, putih hati,
hilang kekasih dikata gugur.
Bandung, dasar di danau,
derita memantul di kulit-kulit.
7
Setengah bulatan bumi
kusilang arah membusur,
Nyatanya
aku hanya pengembara
Seruling dan pantun
di malam gelap
menyeret pulang
turun di kali Citarum.
Dan aku kembali
ke pangkuan asal.
Bunda,
dan aku kembali
ke pelukan asal.
Kiranya
dengan tambah tua!
Seruling di pasir ipis,
merdu antara gundukan pohon pina,
tembang menggema di dua kaki,
burangrang - Tangkubanprahu.
Jamrut di pucuk-pucuk,
Jamrut di air tipis menurun
Membelit tangga di tanah merah
dikenal gadis-gadis dari bukit.
Nyanyikan kentang sudah digali,
kenakan kebaya merah ke pewayangan.
Jamrut di pucuk-pucuk,
Jamrut di hati gadis menurun.
2
Harum madu
di mawar merah,
mentari di tengah-tengah.
Berbelit jalan
ke gunung kapur,
antara Bandung dan Cianjur.
Dan mawar merah
gugur lagi,
sisanya bertebaran
di kekeringan hati.
Dan belit jalan
menghilang lagi,
sisanya menyiram
darah di nadi.
3
Kembang tanjung berserakan
di jalan abu menghitam,
ditusuk bintang di timur,
hati luka di pekuburan.
Mau pergi, Nak?
-Ya, Ma. Ke mana?
- Entah, turutkan jejak lama.
Tak singgah dulu, Nak?
- Ya, Ma,
singgah cucurkan air mata.
Kembang tanjung berserakan
dipungut gadis berdendang.
Gede mengungu di pagi hari,
bintang pudar, bulan pudar,
si anak tinggalkan pekuburan,
bersedih hati.
Kembang tanjung berserakan,
dan melayu di tali benang.
4
Berbelit membiru jalan
ke Gede dan Pangrango,
lewat musim penghujan.
Gadis-gadis menyongsong pagi
di pucuk-pucuk teh yang menggeliat,
di katil orang lain menanti.
Berbelit membiru jalan
ke Gede dan Pangrango,
lewat angin dari selatan.
Ujang-ujang menyongsong hari
memikul kentang ubi galian,
dengan belati orang lain menanti.
Berbelit membiru jalan
ke Gede dan Pangrango,
juga penyair dinanti tikaman orang.
5
Hijau tanahku,
hijau Tago,
dijaga gunung-gunung berombak
Dan mawar merah
disobek di tujuh arah,
dikira orang menyanyi,
lewat di kayu kecapi.
Hijau tanahku,
hijau Tago
dijaga gunung-gunung berombak.
Dan perawan sendirian,
disamun di tujuh jalan,
dikira orang menyanyi,
tangiskan lagu kinanti.
Hijau tanahku,
hijau Tago,
dijaga gunung-gunung berombak.
6
Seruling berkawan pantun
tangiskan derita orang priangan,
selendang merah, merah darah
menurun di cikapundung.
Bandung, dasar di danau
lari tertumbuk di bukit-bukit.
Seruling menyendiri di tepi-tepi
tangiskan keris hilang di sumur,
melati putih, putih hati,
hilang kekasih dikata gugur.
Bandung, dasar di danau,
derita memantul di kulit-kulit.
7
Setengah bulatan bumi
kusilang arah membusur,
Nyatanya
aku hanya pengembara
Seruling dan pantun
di malam gelap
menyeret pulang
turun di kali Citarum.
Dan aku kembali
ke pangkuan asal.
Bunda,
dan aku kembali
ke pelukan asal.
Kiranya
dengan tambah tua!
TANAH KELAHIRAN
2
Harum madu
Di mawar merah,
Mentari di tengah-tengah
Berbelit jalan
Ke gunung kapur
Antara Bandung dan Cianjur
Dan mawar merah
Gugur lagi,
Sisanya bertebaran
Di Kekeringan hati
Dan belit jalan
Menghilang lagi,
Sisanya menyiram
Darah di nadi
Di mawar merah,
Mentari di tengah-tengah
Berbelit jalan
Ke gunung kapur
Antara Bandung dan Cianjur
Dan mawar merah
Gugur lagi,
Sisanya bertebaran
Di Kekeringan hati
Dan belit jalan
Menghilang lagi,
Sisanya menyiram
Darah di nadi
NYANYIAN UNTUK
YANG DILUPAKAN
Tuhan yang menciptakan seni dan bumi,
air dan udara dan api
menciptakan semua kita yang ada,
selalu hormat dan cinta padamu.
Langit dan dedaunan gemelepar,
bulan danbintang hidup berkhitmat selalu
bagimu dan bagimu dan bagimu
Sebanyak daunan digantung di dahan pohonan
untuk memeriahkan istana yang asing dan tetap asing bagimu
meja bangket dan kemwahan dibuka,
berbatasan dengan lingkaran dunia yang pahit, duniamu.
Bulan dn bintang yang setia dan tetap setia padamu,
meredupkan lampu-lampu yang banyak dusta dan penipuan.
Namamu tergoreskan di setiap rangka tulang bangunan dan keuntungan
kendatipun tidak dicanangkan, malahan dilupakan.
Kaulah sebenarnya yang lahirkan kemerdekaan,
tanpa idamkan taman dan tugu kemerdekaan.
Kaulah sebenarnya yang bangkitkan pembebasan.
Butir padi, garam dan perlindungan
ladang daratan, air dan kekuatan,
adalah kepunyaan dan kelahiranmu.
Warisanmu adalah sungai, tanaman,
warisanmu adalah tiap tegukan dan santapan.
Kau adalah kapten barisan yang selalu ada di depan
untuk kemerdekaan dan kemanusiaan.
Kau adalah pertahanan utama yang selalu pantang menyerah
untuk pembebasan dan keagungan.
Pahlawan kemerdekaan, kaulah satu-satunya pahlawan kemerdekaan,
dan tiada yang lainyang lebih patut pakaikan mahlota kemerdekaan !
pejuang perdamaian, kaulah satu-satunya pejuang perdamaian,
dan tiada yang lain yang lebih patut kenakan bintang perdamaian.
Waktu pestol pertama meletus untuk kemerdekaan,
adalah pestol jantungmu yang ditembakkan.
Waktu bendera pertama berkibar untuk pembebasan,
adalah bendera semangatmu yang diacungkan.
Waktu kurban pertama diminta untuk keagungan,
adalah nyawamu yang pertama dikurbankan.
Kau adalah alas dan puncak semua pujian dan pujaan;
Sejak fajar sampai jadi sasaran penipuan dan pencekikan.
air dan udara dan api
menciptakan semua kita yang ada,
selalu hormat dan cinta padamu.
Langit dan dedaunan gemelepar,
bulan danbintang hidup berkhitmat selalu
bagimu dan bagimu dan bagimu
Sebanyak daunan digantung di dahan pohonan
untuk memeriahkan istana yang asing dan tetap asing bagimu
meja bangket dan kemwahan dibuka,
berbatasan dengan lingkaran dunia yang pahit, duniamu.
Bulan dn bintang yang setia dan tetap setia padamu,
meredupkan lampu-lampu yang banyak dusta dan penipuan.
Namamu tergoreskan di setiap rangka tulang bangunan dan keuntungan
kendatipun tidak dicanangkan, malahan dilupakan.
Kaulah sebenarnya yang lahirkan kemerdekaan,
tanpa idamkan taman dan tugu kemerdekaan.
Kaulah sebenarnya yang bangkitkan pembebasan.
Butir padi, garam dan perlindungan
ladang daratan, air dan kekuatan,
adalah kepunyaan dan kelahiranmu.
Warisanmu adalah sungai, tanaman,
warisanmu adalah tiap tegukan dan santapan.
Kau adalah kapten barisan yang selalu ada di depan
untuk kemerdekaan dan kemanusiaan.
Kau adalah pertahanan utama yang selalu pantang menyerah
untuk pembebasan dan keagungan.
Pahlawan kemerdekaan, kaulah satu-satunya pahlawan kemerdekaan,
dan tiada yang lainyang lebih patut pakaikan mahlota kemerdekaan !
pejuang perdamaian, kaulah satu-satunya pejuang perdamaian,
dan tiada yang lain yang lebih patut kenakan bintang perdamaian.
Waktu pestol pertama meletus untuk kemerdekaan,
adalah pestol jantungmu yang ditembakkan.
Waktu bendera pertama berkibar untuk pembebasan,
adalah bendera semangatmu yang diacungkan.
Waktu kurban pertama diminta untuk keagungan,
adalah nyawamu yang pertama dikurbankan.
Kau adalah alas dan puncak semua pujian dan pujaan;
Sejak fajar sampai jadi sasaran penipuan dan pencekikan.
Demikian
postingan pada pagi ini, semoga bisa bermanfaat bagi yang sedang mencari
kumpulan puisi Ramadhan KH. Wassalamu’alaikum….
Dari berbagai sumber.
0 Response to "Kumpulan Puisi Ramadhan KH"
Posting Komentar