Kumpulan
Puisi LK Ara - Assalamu’alaikum…
selamat pagi, selamat berjumpa lagi dengan blog MJ Brigaseli. Pada kesempatan
di pagi ini saya akan mencoba berbagi tentang kumpulan puisi LK Ara. Langsung
saja ya….
LK Ara lahir di Takengon,
Aceh, 12 November 1937. Pernah menjadi redaktur budaya Harian Mimbar Umum
(Medan), Pegawai Sekretariat Negara, terakhir bekerja di Balai Puataka hingga
pensiun (1963-1985). Bersama K. Usman, Rusman Setiasumarga dan M. Taslim Ali,
mendirikan Teater Balai Pustaka (1967). Memperkenalkan penyair Tradisional
Gayo, To’et, mentas di kota-kota besar Indonesia. Menulis puisi, cerita
anak-anak dan artikel seni dan sastra. Dipublikasikan di Koran dan majalah di
Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam.
Karyanya
yang sudah terbit antara lain; Angin Laut Tawar (Balai Pustaka,
1969), Namaku Bunga (Balai Pustaka, 1980), Kur Lak Lak (Balai
Pustaka, 1982), Pohon Pohon Sahabat Kita (Balai Pustaka, 1984), Catatan Pada
Daun (BP, 1986), Dalam Mawar (BP, 1988), Perjalanan Arafah (1994), Cerita
Rakyat dari Aceh I, II, (Grasindo, 1995), Belajar Berpuisi (Syaamil
Bandung), Berkenalan Dengan Sastrawan Indonesia dari Aceh (1997), Langit Senja
Negeri Timah (YN 2004), Seulawah; Antologi Sastra Aceh Sekilas Pintas (ed.
YN, 1995), Aceh Dalam Puisi (ed. Syaamil, 2003), Pangkal Pinang Berpantun
(ed. DKKP, YN, 2004), Pantun Melayu Bangka Selatan (ed. YN, 2004), Pucuk Pauh
(ed YN 2004), Syair Tsunami (ed. Balai Pustaka 2006), Puisi Didong Gayo
(Balai Pustaka 2006), Tanoh Gayo Dalam Puisi ( YMA, 2006), Ekspressi
Puitis Aceh Menghadapi Musibah (BRR 2006),
Puisinya dapat juga ditemukan dalam: Tonggak, (1995),
Horison Sastra Indonesia 1 (2002) ,Sajadah Kata (Syaamil, 2003).
Pernah mengikuti Simposium Sastra
Islam di Univ. Brunei Darussalam (1992), Festival Tradisi Lisan di TIM, Jakarta
(1993), Kongres Bahasa Melayu Dunia, Kuala Lumpur (1995), Pertemuan
Sastrawan Nusantara IX di Kayutanam, Sumatra Barat (1997), Pertemuan
Dunia Melayu Dunia Islam, Pangkalpinang, Bangka (2003), Pertemuan Dunia Melayu
Islam, Malaka, Malaysia (2004), Mengikuti Festival Kesenian Nasional (Sastra
Nusantara) di Mataram NTB (2007).
166
NAMAKU
166 namaku
Aku bukan angka
Bukan pepohonan dan rimba
166 namaku
Aku bukan angka
Bukan sungai dan segara
166 namaku
Aku bukan angka
Bukan besi dan baja
166 namaku
Aku bukan angka
Bukan langit dan angkasa
166 namaku
Aku bukan angka
Bukan angka
Tapi kuncup bunga
Yang disirami ibu-bapa
Kuncup bunga
Yang digayuti embun dinihari
Kuncup bunga
Yang diusap mentari pagi
Ya aku bukan angka
Tapi kuncup bunga
Yang ingin mekar
Ingin mengirim wangi sekitar
Jakarta, 1985
Aku bukan angka
Bukan pepohonan dan rimba
166 namaku
Aku bukan angka
Bukan sungai dan segara
166 namaku
Aku bukan angka
Bukan besi dan baja
166 namaku
Aku bukan angka
Bukan langit dan angkasa
166 namaku
Aku bukan angka
Bukan angka
Tapi kuncup bunga
Yang disirami ibu-bapa
Kuncup bunga
Yang digayuti embun dinihari
Kuncup bunga
Yang diusap mentari pagi
Ya aku bukan angka
Tapi kuncup bunga
Yang ingin mekar
Ingin mengirim wangi sekitar
Jakarta, 1985
SEDEKAH
Tujuh puluh bencana
Mengarah pada kita
Bagai mana menolaknya
Tujuh puluh sakit
Mendera kita
Bagaimana menyembuhkannya
Tujuh puluh pencuri
Mengganyang harta kita
Bagaimana mencegahnya
Tujuh puluh amarah Tuhan
Membakar kita
Bagaimana menghindarkannya
Bahkan membakar nadi kita
Bagaimana memadamkannya
Hampir kita lupa
Untuk itu semua
Ada satu cara
Sedarhana dan bersahaja
Mari kita bersedekah
Sedekah menolak bencana
Menyembuhkan sakit
Mencegah pencuri
Menghapus amarah Tuhan
Sedekah mencipta
Keakraban handai taulan
Sedekah mencipta
Suasana sejuk antara kita
Ia embun pagi
Menetes ke hati
Jakarta, 1985
Mengarah pada kita
Bagai mana menolaknya
Tujuh puluh sakit
Mendera kita
Bagaimana menyembuhkannya
Tujuh puluh pencuri
Mengganyang harta kita
Bagaimana mencegahnya
Tujuh puluh amarah Tuhan
Membakar kita
Bagaimana menghindarkannya
Bahkan membakar nadi kita
Bagaimana memadamkannya
Hampir kita lupa
Untuk itu semua
Ada satu cara
Sedarhana dan bersahaja
Mari kita bersedekah
Sedekah menolak bencana
Menyembuhkan sakit
Mencegah pencuri
Menghapus amarah Tuhan
Sedekah mencipta
Keakraban handai taulan
Sedekah mencipta
Suasana sejuk antara kita
Ia embun pagi
Menetes ke hati
Jakarta, 1985
DI
GERBANG KAMPUS ITU
Seorang setengah baya
Entah dari mana datangnya
Tiba-tiba berdiri
Di gerbang kampus itu
Ia tengadah ke langit
Lalu menjerit
Suaranya hilang entah kemana
Tapi tiba-tiba menetes kata
Dari bintang
Jatuh kebumi
Berserakan di bumi
Menjadi syair
Seorang setengah baya
Entah dari mana datangnya
Tiba-tiba terengah
Di gerbang kampus itu
Setelah ribuan kilometer berlari
Mencari
Lalu tertunduk
Menangis
Tangisnya kemudina hilang
Entah kemana
Tapi tiba-tiba menetes kata
Dari batu
Tergulir ke bumi
Menjadi puisi
Yang abadi
Seorang setengah baya
Entah dari mana datangnya
Kemudian pergi
Entah kemana
Di subuh hari
Ketika seorang mahasiswa
Membuka pintu gerbang kampus itu
Ia lihat kertas lusuh
Di sana tertulis
Tuhan, berkahi usaha mulia ini
Jakarta, 1986
Entah dari mana datangnya
Tiba-tiba berdiri
Di gerbang kampus itu
Ia tengadah ke langit
Lalu menjerit
Suaranya hilang entah kemana
Tapi tiba-tiba menetes kata
Dari bintang
Jatuh kebumi
Berserakan di bumi
Menjadi syair
Seorang setengah baya
Entah dari mana datangnya
Tiba-tiba terengah
Di gerbang kampus itu
Setelah ribuan kilometer berlari
Mencari
Lalu tertunduk
Menangis
Tangisnya kemudina hilang
Entah kemana
Tapi tiba-tiba menetes kata
Dari batu
Tergulir ke bumi
Menjadi puisi
Yang abadi
Seorang setengah baya
Entah dari mana datangnya
Kemudian pergi
Entah kemana
Di subuh hari
Ketika seorang mahasiswa
Membuka pintu gerbang kampus itu
Ia lihat kertas lusuh
Di sana tertulis
Tuhan, berkahi usaha mulia ini
Jakarta, 1986
TAK
ADA LAGI
Tak ada lagi yang ku
cari disini
Kecuali merasakan sinar bulan
Yang dingin oleh rindu
Tak ada lagi yang ku cari disini
Kecuali mendengar rintih angin
Di air danau
Tak ada lagi yang ku cari disini
Kecuali memandang kuburan tua
Tempat istirahat nenek moyang ku
Tak ada lagi yang ku cari disini
Kecuali menyaksikan embun turun
Membasuh wajah rakyatku
Tak ada lagi yang ku cari disini
Kecuali merasakan gema doa
Dari orang yang menderita
Doa yang membumbung ke langit
Bersatu dengan awan
Bersatu dengan matahari
Lalu turun kebumi
Mendatangi rumahmu
Memberi salam padamu
Masuk kehatimu
Bicara tentang keadilan
Tak ada lagi yang ku cari disini
Tak ada lagi
Kecuali bekas masa kanak-kanak
Yang tertutup debu
Tak ada lagi yang ku cari disini
Kecuali melihat bayang sejarah
Perlahan tenggelam
Tak tertulis
Tak ada lagi yang ku cari disini
Tak ada lagi
Selain menyaksikan kasih Mu
Yang terus menyirami bumi
Lho’Seumawe – Takengon, Januari 1986
Kecuali merasakan sinar bulan
Yang dingin oleh rindu
Tak ada lagi yang ku cari disini
Kecuali mendengar rintih angin
Di air danau
Tak ada lagi yang ku cari disini
Kecuali memandang kuburan tua
Tempat istirahat nenek moyang ku
Tak ada lagi yang ku cari disini
Kecuali menyaksikan embun turun
Membasuh wajah rakyatku
Tak ada lagi yang ku cari disini
Kecuali merasakan gema doa
Dari orang yang menderita
Doa yang membumbung ke langit
Bersatu dengan awan
Bersatu dengan matahari
Lalu turun kebumi
Mendatangi rumahmu
Memberi salam padamu
Masuk kehatimu
Bicara tentang keadilan
Tak ada lagi yang ku cari disini
Tak ada lagi
Kecuali bekas masa kanak-kanak
Yang tertutup debu
Tak ada lagi yang ku cari disini
Kecuali melihat bayang sejarah
Perlahan tenggelam
Tak tertulis
Tak ada lagi yang ku cari disini
Tak ada lagi
Selain menyaksikan kasih Mu
Yang terus menyirami bumi
Lho’Seumawe – Takengon, Januari 1986
SEORANG
TUA BERJALAN
Setiap hari ia berjalan
Dijalan itu juga
Setiap hari ia berjalan
Badan sedikit terbungkuk
Langkah satu-satu
Di jalan itu juga
Ada senja
Menyamarkan jalannya
Tapi ada bintang
Terbit menolongnya
Semua tak ia minta
Tapi turun begitu saja
Di jalan itu juga
Ada matahari terik
Meneteskan keringatnya
Tapi ada angin
Meniup tubuhnya
Datang begitu saja
Semua turun begitu saja
Di jalan itu juga
Setiap hari ia berjalan
Di jalan itu juga
Dibawah langit itu juga
Pohon, dedaunan
Tiang listrik, aspal jalanan
Begitu ramah padanya
Kadang seperti menegurnya
Selamat pagi
Atau selamat sore
Atau selamat malam
Orang tua itu
Melangkah dan melangkah
Di jalan itu juga
Setiap langkah
Ia mengucap Allah
Jakarta, 1986
Dijalan itu juga
Setiap hari ia berjalan
Badan sedikit terbungkuk
Langkah satu-satu
Di jalan itu juga
Ada senja
Menyamarkan jalannya
Tapi ada bintang
Terbit menolongnya
Semua tak ia minta
Tapi turun begitu saja
Di jalan itu juga
Ada matahari terik
Meneteskan keringatnya
Tapi ada angin
Meniup tubuhnya
Datang begitu saja
Semua turun begitu saja
Di jalan itu juga
Setiap hari ia berjalan
Di jalan itu juga
Dibawah langit itu juga
Pohon, dedaunan
Tiang listrik, aspal jalanan
Begitu ramah padanya
Kadang seperti menegurnya
Selamat pagi
Atau selamat sore
Atau selamat malam
Orang tua itu
Melangkah dan melangkah
Di jalan itu juga
Setiap langkah
Ia mengucap Allah
Jakarta, 1986
JABAL
GHAFUR
Untuk N.A.R.
Kulalui petak sawah yang luas
Padinya hijau melambai padaku
Kulalui kebun kelapa
Tinggi pohonnya
Daun menggapai awan
Lalu turun
Menggapai hatiku
Kulalui desa-desa tua
Desa perjuangan masa lalu
Disana tersenyum ayah bundaku
Lalu kutembus kabut debu
Kutembus juga sejarah gelap masa lalu
Kutembus semua yang menghalangiku
Aku harus bertemu dengan mu
Aku juga sangat rindu padamu
Engkau adalah kekasihku
Engkau adalah
Rumah di bawah langit biru
Disitu menitik kasih Tuhan
Aku terpana
Aku bertanya siapa namamu
Lalu pepohonan, gunung di jauhan
Sungai dan lautan gelombang berseru
Semua berseru
Jabal Ghafur, Jabal Ghafur
Sigli, 25 Januari 1986
Kulalui petak sawah yang luas
Padinya hijau melambai padaku
Kulalui kebun kelapa
Tinggi pohonnya
Daun menggapai awan
Lalu turun
Menggapai hatiku
Kulalui desa-desa tua
Desa perjuangan masa lalu
Disana tersenyum ayah bundaku
Lalu kutembus kabut debu
Kutembus juga sejarah gelap masa lalu
Kutembus semua yang menghalangiku
Aku harus bertemu dengan mu
Aku juga sangat rindu padamu
Engkau adalah kekasihku
Engkau adalah
Rumah di bawah langit biru
Disitu menitik kasih Tuhan
Aku terpana
Aku bertanya siapa namamu
Lalu pepohonan, gunung di jauhan
Sungai dan lautan gelombang berseru
Semua berseru
Jabal Ghafur, Jabal Ghafur
Sigli, 25 Januari 1986
UNTUK
DO KARIM
Pagi ini
Seperti ada yang menitik ke bumi
Barangkali embun
Atau gerimis sunyi
Atau desah syair sepi
Pagi ini
Seperti ada yang bergumam di bumi
Barangkali suaramu
Atau jerit luka
Atau tusukan syairmu
Ke hulu hati
Pagi ini
Seperti terdengar kersik angin
Atau percik keringat bumi
Mengguratkan namamu
Di pualam abadi
Sigli, 20 Juli 1986
Seperti ada yang menitik ke bumi
Barangkali embun
Atau gerimis sunyi
Atau desah syair sepi
Pagi ini
Seperti ada yang bergumam di bumi
Barangkali suaramu
Atau jerit luka
Atau tusukan syairmu
Ke hulu hati
Pagi ini
Seperti terdengar kersik angin
Atau percik keringat bumi
Mengguratkan namamu
Di pualam abadi
Sigli, 20 Juli 1986
LAUT
SIGLI
Semua keluh kukirim
kepadamu
Semua risau kubenam kelaut mu
Rasa kesal dan benci kusampaikan kepadamu
Rasa kawatir dan takut kuceritakan padamu
O, laut Sigli
Semua derita ku tumpahkan kepadamu
Semua rindu kunyanyikan untukmu
Rasa sunyi dan nyeri kukirim padamu
Rasa takluk dan menyerah rubuh kepangkuanmu
O, laut Sigli
Izinkan aku memanggilmu
Ibu
Sigli, 21 Juli 1986
Semua risau kubenam kelaut mu
Rasa kesal dan benci kusampaikan kepadamu
Rasa kawatir dan takut kuceritakan padamu
O, laut Sigli
Semua derita ku tumpahkan kepadamu
Semua rindu kunyanyikan untukmu
Rasa sunyi dan nyeri kukirim padamu
Rasa takluk dan menyerah rubuh kepangkuanmu
O, laut Sigli
Izinkan aku memanggilmu
Ibu
Sigli, 21 Juli 1986
DI
TANGSE
Siapa yang masih
mendengar suara
Yang bangkit dari rumput
Siapa yang masih mendengar suara
Yang mengalir dari air
Siapa yang masih mendengar suara
Yang menjerit dari tanah
Dari daun
Dari pohon
Dari duri
Dihutan Tangse ini
Suara serak parau
Suara wanita
Yang berkata
Jangan sentuh aku
Jangan
Meski aku haus
Dan kau tawarkan air minum
Jangan sentuh aku
Meski lukaku menganga
Dan kau ingin membalutnya
Jangan
Jangan sentuh kulitku
Kerena kau kafir
Musuhku
Banda Aceh, 2 Agustus 1986
Yang bangkit dari rumput
Siapa yang masih mendengar suara
Yang mengalir dari air
Siapa yang masih mendengar suara
Yang menjerit dari tanah
Dari daun
Dari pohon
Dari duri
Dihutan Tangse ini
Suara serak parau
Suara wanita
Yang berkata
Jangan sentuh aku
Jangan
Meski aku haus
Dan kau tawarkan air minum
Jangan sentuh aku
Meski lukaku menganga
Dan kau ingin membalutnya
Jangan
Jangan sentuh kulitku
Kerena kau kafir
Musuhku
Banda Aceh, 2 Agustus 1986
SINAR
Tuhan
Aku perlu matahari
Sinar yang kau hamparkan
Bagi umat semesta
Tapi aku perlu juga
Sinar mata kekasih
Sinar mata yang menggorek dosa
Dan menggantinya
Dengan amal dan iman
Lamprik, 9 Agustus 1986
Aku perlu matahari
Sinar yang kau hamparkan
Bagi umat semesta
Tapi aku perlu juga
Sinar mata kekasih
Sinar mata yang menggorek dosa
Dan menggantinya
Dengan amal dan iman
Lamprik, 9 Agustus 1986
MENCARI
JEJAK
Malam itu
Aku
Seperti terlempar
Di kotamu
Aku memang tidak punya apa-apa
Dan tak mencari siapa-siapa
Jendela dan pintu
Telah tertutup untuk ku
Angin dengan leluasa
Merubuhkan tubuhku
Di emper-emper toko
Dan got jalanan
Tapi mimpiku mengalir
Bersama sunyi
Mencari jejakmu
Sampai dini hari
Penayung, 8 Agustus 1986
Aku
Seperti terlempar
Di kotamu
Aku memang tidak punya apa-apa
Dan tak mencari siapa-siapa
Jendela dan pintu
Telah tertutup untuk ku
Angin dengan leluasa
Merubuhkan tubuhku
Di emper-emper toko
Dan got jalanan
Tapi mimpiku mengalir
Bersama sunyi
Mencari jejakmu
Sampai dini hari
Penayung, 8 Agustus 1986
BILA
KELAK
Wahai
Bila kelak
Kau berangkat
Memetik bunga
Dan menari
Sepanjang jalan raya
Lemparkan aku di pasir
Aku akan tinggal di pasir
Aku akan berumah dipasir
Aku akan tidur di pasir
Aku akan mengutip nyanyianmu di pasir
Aku akan meraba kasihmu di pasir
Di pasir
Rindu kita akan tetap mengalir
Jakarta, 1986
Bila kelak
Kau berangkat
Memetik bunga
Dan menari
Sepanjang jalan raya
Lemparkan aku di pasir
Aku akan tinggal di pasir
Aku akan berumah dipasir
Aku akan tidur di pasir
Aku akan mengutip nyanyianmu di pasir
Aku akan meraba kasihmu di pasir
Di pasir
Rindu kita akan tetap mengalir
Jakarta, 1986
PERJALANAN
MALAM
Seperti awan
Menjamah punggung bukit di jauhan
Begitu jemariku
Penuh kasih
Penuh rindu
Sebuah perjalanan malam
Sudah kita lalui
Perjalanan rindu
Antara awan dan bukit
Antara kau dan aku
Jakarta, 1986
Menjamah punggung bukit di jauhan
Begitu jemariku
Penuh kasih
Penuh rindu
Sebuah perjalanan malam
Sudah kita lalui
Perjalanan rindu
Antara awan dan bukit
Antara kau dan aku
Jakarta, 1986
KENING
BULAN
Kening bulan
Bagai perak berkilau
Bersinar oleh cahaya iman
Yang selalu melekat
Di sajadah
Kening bulan
Bagai perak berkilau
Mendekatlah
Kepada angin kembara
Yang nestapa
Yang mencari
Dan mengembara
Di belantara dunia
Mendekatlah
O kening bulan
Angin kembara
Ingin mengecupnya
Untuk melepas risaunya
Jakarta, 1986
Bagai perak berkilau
Bersinar oleh cahaya iman
Yang selalu melekat
Di sajadah
Kening bulan
Bagai perak berkilau
Mendekatlah
Kepada angin kembara
Yang nestapa
Yang mencari
Dan mengembara
Di belantara dunia
Mendekatlah
O kening bulan
Angin kembara
Ingin mengecupnya
Untuk melepas risaunya
Jakarta, 1986
KASUR
Kau rajut daun
Dengan benang kasih
Kau susun pasir
Dengan nada rindu
Menyiapkan kasurku
Untuk tergolek tidur
Dan mimpi
Di sampingmu
Ujung Bate, 1986
Dengan benang kasih
Kau susun pasir
Dengan nada rindu
Menyiapkan kasurku
Untuk tergolek tidur
Dan mimpi
Di sampingmu
Ujung Bate, 1986
BANDA
ACEH
Yang masih ku ingat
tentang dirimu
Adalah pahatan sejarah di batu
Dalam goresan bisu
Yang kuraba dengan rindu
Ujung Bate, 8 Agustus 1986
Adalah pahatan sejarah di batu
Dalam goresan bisu
Yang kuraba dengan rindu
Ujung Bate, 8 Agustus 1986
IYA
Angkasa yang sepi
Lihatlah
Ibu terbang
Sebelah sayapnya
Iya
Bumi yang tua
Lihatlah
Bapa berjalan
Sebelah kakinya
Iya
Matahari, bulan, dan bintang-bintang
Yang semua nampak serta
Terbungkuk-bungkuk menerangi
Ibu dan bapa menempuh jalannya
Lihatlah
Ibu terbang
Sebelah sayapnya
Iya
Bumi yang tua
Lihatlah
Bapa berjalan
Sebelah kakinya
Iya
Matahari, bulan, dan bintang-bintang
Yang semua nampak serta
Terbungkuk-bungkuk menerangi
Ibu dan bapa menempuh jalannya
CATATAN
PADA DAUN
Kau mencatat pada daun
Sebuah pesan
Ketika langit sempat biru
Tanpa awan
Setelah kau pergi
Jauh
Kubaca pesanmu
Lalu kusimpan
Jauh
Dalam diriku
Kini pesan itu
Mengalir dalam darahku
Dan bila aku mati
Ia kusimpan di syair sunyi
Sebuah pesan
Ketika langit sempat biru
Tanpa awan
Setelah kau pergi
Jauh
Kubaca pesanmu
Lalu kusimpan
Jauh
Dalam diriku
Kini pesan itu
Mengalir dalam darahku
Dan bila aku mati
Ia kusimpan di syair sunyi
DENGAN
SETIA YANG MARAK
Biar perjalanan jauh masih
Dan badan terkulai lunglai
Namun hasrat jati dihati
Tetap marak pada tujuan
Kamboja di dalam taman
Menaungi jasad kejang dan dingin
Tergeletak diam pada lahirnya
Pada batinya meneruskan perjalanan
Sungguh teramat jauh ujung
Oleh ramai onak dipangkal jalan
Tapi relai sakit dan senang
Di jalanan Ia tentukan
Langkah barulah berarti dilangkahkan
Dengan setia jang marak kepadaMu, Tuhan
Dan badan terkulai lunglai
Namun hasrat jati dihati
Tetap marak pada tujuan
Kamboja di dalam taman
Menaungi jasad kejang dan dingin
Tergeletak diam pada lahirnya
Pada batinya meneruskan perjalanan
Sungguh teramat jauh ujung
Oleh ramai onak dipangkal jalan
Tapi relai sakit dan senang
Di jalanan Ia tentukan
Langkah barulah berarti dilangkahkan
Dengan setia jang marak kepadaMu, Tuhan
SALAM
1
Salam kepada pintu
terbuka yang tersenyum memandang kita
Salam kepada kerikil yang menciumi kaki kita yang bersih dan kotor
Salam kepada bunga di dalam pot dan bunga di luar pot yang memberi
Wangi harum kepada kita
Salam kepada rumput yang hijau yang jadi permadani
Salam kepada kendi yang berisi air dingin yang membasuh tangan, kaki,
Dan wajah kita
Salam kepada tangga yang tinggi yang diam dan setia
Salam kepada lantai yang rapat dan renggang
Salam kepada tikar yang berkembang dalam warna-warni
Yang mengasyikan mata
Salam kepada seisi rumah, lelaki, perempuan yang besar dan kecil
Salam kepada kita semua
Salam
Salam kepada kerikil yang menciumi kaki kita yang bersih dan kotor
Salam kepada bunga di dalam pot dan bunga di luar pot yang memberi
Wangi harum kepada kita
Salam kepada rumput yang hijau yang jadi permadani
Salam kepada kendi yang berisi air dingin yang membasuh tangan, kaki,
Dan wajah kita
Salam kepada tangga yang tinggi yang diam dan setia
Salam kepada lantai yang rapat dan renggang
Salam kepada tikar yang berkembang dalam warna-warni
Yang mengasyikan mata
Salam kepada seisi rumah, lelaki, perempuan yang besar dan kecil
Salam kepada kita semua
Salam
Demikian
postingan pada pagi ini, semoga bisa bermanfaat bagi yang sedang mencari
kumpulan puisi LK Ara. Wassalamu’alaikum….
Dari berbagai sumber.
0 Response to "Kumpulan Puisi LK Ara"
Posting Komentar