Kumpulan Puisi Goenawan Mohamad - Assalamu’alaikum… selamat pagi, selamat berjumpa lagi dengan blog MJ Brigaseli. Pada kesempatan di pagi ini saya akan mencoba berbagi tentang kumpulan puisi Goenawan Mohamad. Langsung saja ya….
Goenawan
Soesatyo Mohamad, lahir
di Batang, 29 Juli 1941 adalah
seorang sastrawan Indonesia terkemuka. Ia juga salah seorang pendiri Majalah Tempo. Ia merupakan adik Kartono Mohamad, seorang
dokter yang menjabat sebagai ketua IDI.
Goenawan Mohamad adalah seorang
intelektual yang punya wawasan yang begitu luas, mulai pemain sepak bola,
politik, ekonomi, seni dan budaya, dunia perfilman, dan musik. Pandangannya
sangat liberal dan terbuka. Seperti kata Romo Magniz-Suseno, salah seorang koleganya, lawan utama
Goenawan Mohamad adalah pemikiran monodimensional.
Ketika kelas VI SD, Goenawan mengaku menyenangi acara puisi siaran RRI. Kemudian, kakaknya yang dokter (Kartono Mohamad, mantan Ketua Umum PB IDI) saat itu berlangganan majalah Kisah, asuhan H. B. Jassin. Goenawan mulai menulis sejak berusia 17 tahun, dan dua tahun kemudian menerjemahkan puisi penyair wanita Amerika, Emily Dickinson. Ia pernah menjadi Nieman fellow di Universitas Harvard dan menerima penghargaan Louis Lyons Award untuk kategori Consience in Journalism dari Nieman Foundation, 1997. Secara teratur, selain menulis kolom Catatan Pinggir untuk Majalah Tempo, ia juga menulis kolom untuk harian Mainichi Shimbun (Tokyo).
Ketika kelas VI SD, Goenawan mengaku menyenangi acara puisi siaran RRI. Kemudian, kakaknya yang dokter (Kartono Mohamad, mantan Ketua Umum PB IDI) saat itu berlangganan majalah Kisah, asuhan H. B. Jassin. Goenawan mulai menulis sejak berusia 17 tahun, dan dua tahun kemudian menerjemahkan puisi penyair wanita Amerika, Emily Dickinson. Ia pernah menjadi Nieman fellow di Universitas Harvard dan menerima penghargaan Louis Lyons Award untuk kategori Consience in Journalism dari Nieman Foundation, 1997. Secara teratur, selain menulis kolom Catatan Pinggir untuk Majalah Tempo, ia juga menulis kolom untuk harian Mainichi Shimbun (Tokyo).
Goenawan bersama rekan-rekannya
mendirikan Majalah Mingguan Tempo pada 1971, sebuah majalah yang mengusung
karakter jurnalisme majalah Time. Di sana ia banyak menulis kolom tentang
agenda-agenda politik di Indonesia. Jiwa kritisnya membawa dia untuk mengkritik
rezim Soeharto yang pada waktu itu menekan pertumbuhan demokrasi di Indonesia.
Tempo dianggap sebagai oposisi yang merugikan kepentingan pemerintah sehingga
dihentikan penerbitannya pada 1994. Namun, setelah Soeharto lengser, Tempo
kembali terbit dan melakukan banyak perubahan tanpa menurunkan kualitasnya.
Goenawan kemudian mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), asosiasi jurnalis independen pertama di Indonesia. Ia juga turut mendirikan Institut Studi Arus Informasi (ISAI) yang bekerja mendokumentasikan kekerasan terhadap dunia pers Indonesia. ISAI juga memberikan pelatihan bagi para jurnalis tentang bagaimana membuat surat kabar yang profesional dan berbobot. Goenawan juga melakukan reorientasi terhadap majalah mingguan D&R, dari tabloid menjadi majalah politik.
Karya terbaru Goenawan adalah buku
berjudul Tuhan dan Hal Hal yang Tak Selesai (2007), berisi 99 esai liris
pendek, di mana edisi bahasa Inggrisnya berjudul On God and Other Unfinished
Things diterjemahkan oleh Laksmi Pamuntjak. Hingga kini, selain menulis
Goenawan juga banyak menghadiri konferensi baik sebagai pembicara, narasumber
maupun peserta. Salah satunya, ia mengikuti konferensi yang diadakan di Gedung
Putih pada 2001 di mana Bill Clinton dan Madeleine Albright menjadi tuan
rumahnya.
DI ANTARA KANAL
Jarimu menandai sebuah percakapan
yang tak hendak kita rekam
di hitam sotong dan gelas sauvognon blanc
yang akan ditinggalkan.
Di kiri kita kanal menyusup
dari laut. Di jalan para kelasi
malam seakan-akan biru.
“Meskipun esok lazuardi,” katamu.
Aku dengar. Kita kenal
kegaduhan di aspal ini.
Kita tahu banyak hal.
Kita tahu apa yang sebentar.
Seseorang pernah mengatakan
kita telah disandingkan
sejak penghuni pertama ghetto Yahudi
membangun kedai.
Tapi kau tahu aku akan melepasmu di sudut itu,
tiap malam selesai, dan aku tahu kau akan pergi.
“Kota ini,” katamu, “adalah jam
yang digantikan matahari.”
(2012)
TENTANG CHOPIN
Kembali ke nokturno, katamu. Aku inginkan Chopin.
Seperempat jam kemudian, tuts hitam pada piano itu menganga.
Malam telah melukai mereka.
Mungkin itu sebabnya kau selalu merasa bersalah, seakan-akan
sedih adalah bagian dari ketidaktahuan.
Atau kecengengan. Tapi setiap malam, ada jalan batu dan
lampu sebuah kota yang tak diingat lagi, dan kau,
yang mencoba mengenangnya dari cinta yang pendek, yang
terburu, akan gagal. Di mana kota ini? Siapa yang
meletakkan tubuh itu di sisi tubuhmu?
Semua yang kembali
hanya menemuimu
pada mimpi yang tersisa
di ruas kamar….
Coba dengar, katamu lagi,
apa yang datang dalam No. 20 ini?
Di piano itu seseorang memandang ke luar
dan mencoba menjawab:
Mungkin hujan. Hanya hujan.
Tapi tak ada hujan dalam C-Sharp Minor, katamu.
(2012)
YANG TAK MENARIK DARI MATI
adalah kebisuan sungai
ketika aku
menemuinya.
Yang menghibur dari mati
adalah sejuk batu-batu,
patahan-patahan kayu
pada arus itu.
(2012)
AKTOR
Aktor terakhir menutup pintu.
“Caesar, aku pulang.”
Dan ruang-rias kosong. Cermin jadi dingin
seperti wajah tua yang ditinggalkan.
Siapapun pulang. Meski pada jas dengan punggung yang
berlobang ia masih rasakan ujung pisau itu menikam dan akerdeon bernyanyi pada
saat kematian.
“Teater,” sutradara selalu bergumam, “hanya kehidupan dua
malam.”
“Tapi tetap kehidupan,” ia ingin menjawab.
Ia selalu merasa bisa menjawab.
Ia menyukai suaranya sendiri
dan beberapa kata-kata.
Tapi pada tiap reruntukan panggung
ia lupa kata-kata.
Pada tiap reruntukan panggunng
ia hanya ingin tiga detik — tiga detik yang yakin:
dalam lorong Kapai-Kapai, Abu tak berhenti
hanya karena cahaya tak ada lagi.
Ia tak menyukai melankoli.
(2012)
RITE OF SPRING
Tari itu melintas pada cermin:
bagian terakhir Ritus Musim.
Gerak gaun — paras putih –
tapak kaki yang melepas lantai….
23 tahun kemudian di kaca ia temukan wajahnya.
Sendiri. Terpisah dari ruang.
Lekang, seperti warna waktu pada kertas koreografi.
Tapi ia masih ingin meliukkan tangannya.
“Aku tak seperti dulu,” katanya,
“tapi di fragmen ini kau memerlukan aku.
Aku — hantu salju.”
Suaranya pelan. Seperti derak tulang
ketika di ruang latihan itu tak ada lagi adegan.
Hanya nafas. Mungkin ia masih di situ.
(2012)
TENTANG USINARA
Usinara, yang
menyerahkan jagat dan darahnya untuk
menyelamatkan
seekor punai yang terancam kematian,
tahu dewa-dewa tak
pernah siap. Mereka makin tua.
Langit
menggantungkan dacin pada tiang lapuk Neraka
sejak cinta
dibunuh. Timbangan terlambat. Telah tujuh
zaman asap &
api penyiksaan mengaburkan mata siapa
saja.
Di manakah batas
belas, Baginda? “Mungkin tak ada,”
jawab Usirna. Ia
hanya menahan perih di rusuknya
ketika tujuh
burung nasar sibuk di kamar itu, (tujuh,
bukan satu),
merenggut dagingnya, selapis demi
selapis.
Sering aku
bayangkan raja yang baik hati itu tergeletak
di lantai,
memandang ke luar pintu, melihat debu sore
dan daun-daun yang
pelan-pelan berubah ungu. Ia ingin
punai itu segera
lepas. “Ayo, terbang. Aku telah
menebus nyawamu,”
ia ingin berkata. Tapi suaranya
tak terdengar.
Sementara itu, di
sudut, si punai menangis: “Tak ada
dewa yang datang
dan mengubah adegan ini jadi
dongeng!” Usirna
hanya menutup matanya. Ia tahu
kahyangan adalah
cerita yang belum jadi.
(2012)
TENTANG MAUT
Di ujung bait itu
mulai tampak sebuah titik
yang kemudian
runtuh, 5 menit setelah itu.
Di ujung ruang itu
mulai tampak sederet jari
yang ingin
memungutnya kembali.
Tapi mungkin
itu tak akan
pernah terjadi.
Ini jam yang amat
biasa: Maut memarkir keretanya
di ujung gang dan
berjalan tak menentu.
Langkahnya tak
seperti yang kau bayangkan: tak ada
gempa, tak ada
hujan asam, tak ada parit
yang meluap.
Hanya sebuah
sajak, seperti kabel yang putus.
Atau hampir putus.
(2012)
Demikian postingan pada pagi ini,
semoga bisa bermanfaat bagi yang sedang mencari kumpulan puisi Goenawan Mohamad.
Wassalamu’alaikum….
0 Response to "Kumpulan Puisi Goenawan Mohamad"
Posting Komentar