Kumpulan Puisi Dorothea Rosa Herliany - Assalamu’alaikum…
selamat pagi, selamat berjumpa lagi dengan blog MJ Brigaseli. Pada kesempatan
di pagi ini saya akan mencoba berbagi tentang kumpulan puisi Dorothea Rosa Herliany. Langsung saja ya….
Dorothea Rosa Herliany, lahir di Magelang, Jawa Tengah, 20
Oktober 1963) adalah seorang
penulis dan penyair Indonesia.
Setamat SMA
Stella Duce di Yogyakarta, ia
melanjutkan pendidikan ke Jurusan Sastra Indonesia, FPBS IKIP Sanata Dharma,
Yogyakarta (kini Universitas Sanata Dharma) dan tamat dari sana tahun 1987.
Ia mendirikan
Forum Ritus Kata dan menerbitkan
berkala budaya Kolong
Budaya. Pernah pula membantu harian Sinar Harapan dan majalah Prospek di
Jakarta. Kini ia mengelola penerbit
Tera di Magelang.
Ia menulis sajak
dan cerpen. Kumpulan sajaknya: Nyanyian Gaduh (1987), Matahari yang
Mengalir (1990), Kepompong
Sunyi (1993), Nikah Ilalang (1995), Mimpi Gugur Daun Zaitun (1999), dan Kill the Radio (Sebuah
Radio, Kumatikan; edisi dwibahasa, 2001). Kumpulan cerpennya: Blencong (1995), Karikatur
dan Sepotong Cinta (1996).
PLEDOI
ULAT
mungkin mesti begini, ulatulat itu
membangun
kepompongnya. melipatlipat daun: percaya takakan direbahkan ke bumi, sebelum segala mimpi usai. kau sendiri kadang tertawatawa. hidup yang terlampau sederhana. seperti ulatulat itu : melipatlipat kitab, mencaricari tuhan di antara suara dan cahaya! tapi ulatulat itu, abadi dalam kesederhanaan liur yang merenda. bertapa dalam kesunyian cahaya. menuliskan perjalanan tak teraba!
(1989)
|
KEMATIAN
KEPOMPONG
engkau ikut dalam arakarakan itu. menuju
rumahcinta yang tak berpintu. aku yang mengusung dan kitagali liang buat dirisendiri. doadoa lupa dibacakan: tibatiba terucapkan amin yang berkepanjangan. engkau melayat: tubuhmu sendiri, tersesat, saat bertapa. tetapi pesta memang teramat sederhana. kita berdua minggir ke sudutsudut, dan bercakap entahapa. tibatiba kita bercinta. bersetubuh dengan kekosongan, alangkah siasia. kubelit nafasmu dengan juntaianrambut dari ludahku. tetapi kita bercinta: melengkapkan kenikmatan senggama. sebelum musim berziarah keburu tiba. kita berdua minggir. sampai tepi yang paling tepi. dan engkau tersesat saat bertapa. tibatiba. tapi, sungguh, kita sempat bercinta: dalam temparatur yang gila!
(1991)
|
MEREKA
MEMBANGUN SUNGAI
mereka membangun sungai pada
kepalanya, kata
seseorang, agar hanyut kalimatkalimat dalam fikirannya menuju bendunganbendungan yang ditunggui orangorang kosong. untuk memperebutkan rumusrumus dan kesimpulan yang mengasingkannya dari kemanusiaan, kata yang lain. agar tercipta makhlukmakhluk baru yang pongah dengan hurufhuruf dan angkaangka membungkus harinurani. sehingga bumi yang purba membangun kepompongnya pada kanvas sunyi, kata seseorang. agar orangorang meninggalkan arti debu, kata yang lain. agar orangorang meninggalkan arti hujan dan matahari. agar orangorang tak paham bunyi angin. agar orangorang tak tahu kediaman batu. agar orangorang ... mereka membangun sungai, membangun bendunganbendungan, membangun orangorang kosong, muara, air, dan kebisuan suarahalus dari mulutmulutnya, kata seseorang yang menamakan dirinya nabi. orangorang telah meninggalkan kefanaan, desahnya. mereka membangun sungai dalam fikirannya. dalam hatinuraninya. agar orangorang tak paham kediaman ayatayat yang terbaca. agar orangorang ...
(1991)
|
IBADAH SEPANJANG USIA
kalimatkalimat yang kauucapkan
berguguran dalam sahadatku. inilah
kidung yang digumamkan!
berapa putaran dalam sembahyang langit.
tengadah di bawah hujan yang menaburkan
ayatayat tak pernah dibaca.
aku tak menemu akhir sembahyangku
yang gagap. lilinlilin tak menyala
dalam ruangan tanpa cahaya. gema mazmur
yang disenandungkan dari ruang mimpimu
beterbangan dalam tidurgelisahku. dan
kotbah yang sayup, bertebaran dari
mulutmulut kesunyian.
telah kautabuh loncengmu? sembahyangku
tak juga menemu akhir.
berguguran dalam sahadatku. inilah
kidung yang digumamkan!
berapa putaran dalam sembahyang langit.
tengadah di bawah hujan yang menaburkan
ayatayat tak pernah dibaca.
aku tak menemu akhir sembahyangku
yang gagap. lilinlilin tak menyala
dalam ruangan tanpa cahaya. gema mazmur
yang disenandungkan dari ruang mimpimu
beterbangan dalam tidurgelisahku. dan
kotbah yang sayup, bertebaran dari
mulutmulut kesunyian.
telah kautabuh loncengmu? sembahyangku
tak juga menemu akhir.
(1992)
LAGU
ASING DARI DESA KE DESA
di atas gerobak kuhitung mesin dan
listrik
yang membagibagikan kekosongan kepada semuaorang malaikatmalaikat menyebarkan kebencian. sawahsawah dan gubukgubuk tibatiba berubah gumpalan kertas. kubakar: jadi tanahair bagi bayangbayang. sepanjang gang orangorang berjaga. tangantangan kurus mencabikcabik tanah bagi jantungnya sendiri. sebuah semesta: jutaan rumah tanpapenghuni. kubakar kesedihanku. kertaskertas mengetik sendiri hurufhuruf melulu tanda. melulu segala tandabaca. kubakar kesunyian ruhaniku. di gerbanggerbang desa kuhitung bayangbayang yang terpatahpatah. kusihir: menjadi jarijari yang selalu ingin menuliskan ribuan kalimat tak terbaca.
(1992)
|
LAGU
ASING DI SAWAH SAWAH
dari tanah yang sama kugali sumur yang meluberkan madu. kuhisap dan kukunyah segalasisa akar segalapohon. kusemburkan ke langit, menjadi kawananlebah. sengat dan bisa berlepasan mencari tubuhku yang bergumpalan asinairmata. tangisan menggugurkan musim. mengusung angin dan bautanahrindumusimtanam. kugali sumur. tempat terakhir bagi petani membongkar musim yang menetes darah dari keringat sendiri.
(1992)
|
MISA
SEPANJANG HARI
setelah letih merentang
perjalanan, kita sampai
di perempatan sejarah. menghitung masasilam dan merekareka masadatang. segala yang telah kita lakukan sebagai dosa, berhimpithimpitan dalam album. berebut di antara mazmurmazmur dan doa. dan kita pun belum putuskan perjalanan atau kembali pulang. katakata gugur jadi rintihan. percakapan berdesis dalam isakan. keringat anyir dan darah bersatu menawar dahagamu yang terlampau kental. engkauimani taubatku yang mengering di antara dengkur dan igauan. tubuh beku di antara altaraltar dan bangkupanjang. di antara mazmur dan suara anggur dituangkan. di seberang mimpi, pancuran dan sungai mati dengan sendirinya. tibatiba kaupadamkan cahaya itu. ruang ini gelap. aku raba dan kucaricari tongkat si buta. kutemukan cahaya dalam fikiranku sendiri. pejalan beriringan di antara gang dan musim yang tersesat. kunyalakan cahaya dalam hatiku. biarlah jika akhirnya membakar seluruh ayat dan syair yang lupa kukemasi.
(1992)
|
NELAYAN
TERSESAT
"sampanku tersesat di sebuah
negeri terbuka,"
jerit seorang nelayan kecil dan papa. "di manamana pintu. siapa pun bebas memasukinya." (ikanikan merubung dan ternganga). nelayan kecil itu bagai telah terbebas dari sebuah lorong tertutup dan gelap. dindingdinding memantulkan sakit dan nestapa. "berkatalah, dan mereka akan mendengar," ia berkata. "bukalah mulutmu, dan tangantangan tergapai menyalammu." (ikanikan merubung dan ternganga). "sampanku tersesat di sebuah negeri terbuka. mereka akan mendengar harapan dengan tegursapa. untuk apa kail, sebab banyak mulut yang sedia menjadi wakil untuk membunuh rasalapar kita." (ikanikan merubung dan ternganga). seorang nelayan kecil dan papa. matanya tak cukup tajam untuk merabaraba. hatinya terlalu teduh buat keisengan tegursapa. dadanya terlalu terbuka buat harapanharapan. kebisuan dindingdinding langit yang dingin mendesis dan meronta. derita terkibas sayapsayap emasnya.
(1992)
|
NIKAH
ILALANG
engkau nikahi ilalang. berumah di
negeri
semaksemak. diamlah dalam kemerisik angin yang mengecoh cakrawala. tapi orangorang lalu melayat padamu. terasa kelam perkawinan dan pesta syahwat. engkau butuhkan bungabunga ditaburkan. doadoa penghabisan, dan ziarah bertubitubi. engkau nikahi ilalang. luas kebun luas bumi luas langit luas jagat batinmu. engkau nikahi kesunyian yang ditinggalkan abadabad nanti. berkumur cabikan tanah kering dan pestisida. berkumur jagat hewankecil yang mencari rumahrumah dalam tangis dan sekarat.
(1992)
|
NIKAH
LAUT
garamgaram itu kauperas dari
keringat
nelayan. akupilih ikanikan dari persetubuhannya dengan laut. sama asinnya dengan kecemasan takusaiusai. kita menunggu di puncak karang. dalam debur ombak dan nafasnya. menyaksikan pertemuan langit dan laut yang terjaring jalajala. inilah perkawinan yang sempurna!
(1992)
|
NIKAH
PERKAMPUNGAN
dengan sadar, aku kawini
rumahrumah kardus.
tanpa cincin kawin, selain kemiskinan dan ilmudaurulang. tanpa perjamuan, selain wabah dan ilmutatakota. tanpa nyanyian pengiring, selain ketergusuran hewanhewan jelata. dengan sadar, aku nikahi dunia yang gelisah. sambil kuganti doa jadi harapan. kuganti janji jadi ratapan. kunikahi jaman yang sekarat minta susu. pengantin yang takpernah kunikahi, tapi minta menetekku dengan bahasa ketakutan.
(1992)
|
NIKAH
PISAU
aku sampai entah di mana.
berputarputar
dalam labirin. perjalanan terpanjang tanpapeta. dan inilah warna gelap paling sempurna. kuraba gang di antara sungai dan jurang. ada jerit, serupa nyanyi. mungkin dari mulutku sendiri. kudengar erangan, serupa senandung, mungkin dari mulutku sendiri. tapi inilah daratan dengan keasingan paling sempurna: tubuhmu yang bertaburan ulatulat, kuabaikan. sampai kurampungkan kenikmatan sanggama. sebelum merampungkanmu juga : menikam jantung dan merobek zakarmu, dalam segala ngilu.
(1992)
|
NIKAH
SUNGAI
Engkau bawakan aku bunga-bunga. di
sini pasir,
semak dan lumut melulu. kadang bauan busuk dan bahkan bangkaibangkai. kepiting tak menyisih menyambutku. di mana ruang yang kausediakan buatku? buat percintaan mahadahsyat. buat pertempuran takusaiusai. nafsu yang senantiasa membuahkan kebencian dan bencana. aku rebah di tanah basah. mengandung racun dan beranak peradaban kering nurani.
(1992)
|
NYANYIAN
ANAK ANAK BERMAIN
dari sumur yang sama kutimba darah
dan
keringat semuaorang. kusaring kebekuan, lalu kutiup: menjadi bulan. cahaya menyelinap antara rindangperadaban. masihkah kaubutuh bayangbayang? kuikat purnama dengan lidahku, setelah letih memeras darah dan keringat sendiri. kukembalikan bagi langitsuwung. tibatiba mendung. bulan kehilanganbayang. kupanggil anakanak. biar menadah airmata sendiri.
(1992)
|
PARA
PENGEMBARA
kutempuh perjalanan dalam lagulagu
dan
notasi-notasi bungkam: dalam kegagapan. setelah lelah kita berdesakdesakan. berderetderet menunggu di depan loket. begitu setia menunggu. kau tak henti mengurai senandung kecemasan. dalam gerit pintu yang tak terkunci. sampai jam dan dindingdinding mengetukkan panggilan. kita masih menghitung beban dan panjang igauan.
(1992)
|
REQUIEM
BAGI KEPOMPONG YANG TAK SEMPAT BISA TERBANG
di sinikah tepi bagimu, ketika
segalanya berubah
abu. tinggal asap. kau tak mampu menyingkapkan tirai tipis itu. debur laut makin jauh. melongokmu. di sinikah tepi bagimu? mulutmulut masih bercerita: apa arti kenangan bagi benang yang tak rampung kaupintal? semua menyisipkan bungabunga pada katakatanya. masih kebohongan dan kepalsuan yang melepaskanmu. di sinikah tepi bagimu, laut tak memberikan garam. tapi matahari menyebarkan asing siang yang terik. keringatkeringat pertentangan. tendangmenendang kehidupan yang disyahkan. sebuah kota sebelum ajal. di sinikah tepi bagimu? sebuah stasiun bisu. gerbonggerbong jadi keranda. bergerit dalam ngilu. kehitaman lokomotif dan dengus : batuk dalam darah di dadamu! kehidupan inikah tepi bagimu. tilgram tak terbaca di mejaku. kadokado belasungkawa tak pernah dikirimkan. duka sudah habis. juga pada tokotokoswalayan. tinggal harapan pada pantat lalat yang terpeleset kilau keangkuhan lelaki di belakang loket. menontonlah kita di kejauhan!
(1992)
|
PENGANTIN
YANG TERBARING
kaubaringkan diriku di atas tanah.
betapa
fana gairah yang meletupkan kebencian. dan aku mabuk bercumbu dengan pikiran sendiri. seperti inikah kenikmatan senggama? kita tebar ribuan benih yang menjamurkan kebencian dan kecewa. gemeretak bunyi tulang yang membajak tanah kering dan batu bebukitan. kecipakair dalam sungai tanpa arus. tak ke manamana. seperti inikah? kaubaringkan diriku di atas tanah. dan nafasku menyebarkan aroma yang dihirup para serangga. dan mengembunkan uap yang menyejuki cacingcacingtanah dan ulatulat.
(1993)
|
METAMORFOSE
KEKOSONGAN
seperti inilah, aku letakkan
ranjang dalam dadamu.
kujadikan ronggarongga sempit itu kamarcintaku. suatu hari nanti, akan berjejal lagulagu dan tangisan. rintihan kecil dan jeritan tibatiba. dan kaukirim aku ke tanahasing: dengan dentum dan suaraangin dari nafasmu. seperti inilah, aku letakkan tempat sampah dalam otakmu. kujadikan gumpalan zat itu suduttakberguna. suatu hari nanti, akan berjejal entahapa. telah sesak ruang sempit itu oleh rencanarencana dan bencana. tadi, kita telah berkhianat dengan cinta. kau ledakkan aku dengan zakarmu. kuletakkan ulatulat di sana. sampai saatnya nanti, siap memangkas daunhatimu. seperti inilah kita: merenda kemungkinankemungkinan. suatu hari nanti -dalam otakmu, dalam dadamu, dalam perutmu- kutanami bangkaibangkaiulat. suatu hari nanti, akan kaupanen kupukupu.
(1993)
|
STASIUN
TAK BERNAMA
akhirnya kita akan bertemu di
garis yang sama.
di lengkung langit hitam dan bukitan berkabut. di tanahtanah bergelombang, dan gurun yang berhutankan epitafepitaf. engkau ukur seberapa jauh yang sudah kita tempuh dengan doa dan dosa, seperti keledai yang kecapaian, merangkak dalam dengus dan mata terkatupkatup. tubuh yang payah ini meneteskan keringat dan darah. membasuh wajah letihmu. seperti matahari, mengucak cahayanya dari mega yang usil! kesabaran kita membeku di pintu peron. relrel memanjang dan dingin. seperti itulah waktu yang mengurungmu dalam lantunan lagulagusumbang. tembang perkutut dan desis ularular melata di hatimu. mengelupas sisiksisik dan bisa yang mengerak di dindingdinding hati. waktu dan ruang yang berdesakan dalam menunggu. barisbaris gerimis di kaca dan suram cahaya menembus kesunyian yang kita dekap. di atas rel yang hitam itu kerandakeranda diusung ke rumahrumah yang tak kitatuju. kubayangkan para gembala menggiring dombadomba hitam, pulang senja. mereka mengurai syairsyair kesedihan dan lagulagu kehilangan. pulang, entah ke mana. dan di sini kita mengukur waktu, sebelum lokomotif itu menyeretmu. gerbonggerbong berderit dalam ngilu. lalu mendadak kita tergagap: tibatiba menemu jalanbuntu. kita sampai pada dindingwaktu yang tak bosan menunggu.
(1993)
|
TIDUR
BERDIRI DI SEBUAH PLAZA
bunga yang kutanam dalam tidurku,
tumbuh
dalam potpot yang takjadi kulukis, daundaunan mengembang. halaman semaksemak telah berubah taman. rumahku dalam etalase. berpasangmata mengancamku! kemudian seseorang mengguyurkan hujan dari sebotol vodka. mabukmu mendidih. mengucapkan katakata sampah, dan berubah peradaban!
(1993)
N.B.
seperti kalau kita berjalan di
pusat perbelanjaan,
di pinggirpinggir toko dan kaki lima segalanya menggoda kita untuk melihat: dengan nyata! hanya lemari kaca dan etalase, kalau saja kita bukanlah sekelompok orang renta dan tua dengan mata rabun atau si buta dengan tongkatnya. segalanya begitu nyata! atau kalau saja kita bukan bayi yang berjalan merangkak atau anakanak usia bermain yang hanya tergoda kegembiraan. apa yang tak terlihat? bahkan suara orangorang gelisah sepanjang jalan dan rengekan pengemis yang lapar. lagulagu sumbang pengamen, atau bahkan, kalau bisa bersuara, bisikan sedih sesuatu yang dijajakan itu... tetapi kita tidak melihat apapun. seperti kalau kita berjalan di ruangruang tanpa cahaya. bahkan ledakan bom dan tembakan meriam tak bisa kita dengarkan.
(Jakarta, 1999)
|
BANYAK SIMPANG, KOTA TUA: MELANKOLIA
1.
selalu, setiap perjalanan keluhkesah itu
kau tak ingin sampai, di atas andong kau
bertanya siapa di antara kita kusirnya
kau tak ingin sampai, di setiap tikungan
membaca arah angin dan namanama gang.
orangorang, selalu seperti memulai hari
berangkat dan pulang, bergegas, dan entah siapa
memburu dan siapa diburu.
kita pun melangkah di antara perjalanan keluhkesah.
dan selalu gagal membaca arah.
2.
ada yang selalu mengantarmu ke segenap arah,
desa demi desa, tapi akhirnya
kau hanya sendiri di atas catatan duka
di deretan hari, mengapa selalu kau buka buku harian
:sebab katamu, kenangan itu racun.
hari ini aku melihat wajahmu
seperti patungpatung gerabah di Kasongan.
lalu hatiku tertawa, mengejek kenyataan hidup.
sebab masa lalu itu racun, dan kita
bersenangsenang atas kesedihan hari ini.
maka, jika rindu, pulang saja ke hotel, dan gambarlah
rumah dan hirukpikuk kotamu yang angkuh.
3.
kutunggu engkau di stasiun, beberapa jam usiaku hilang,
kutunggu sepanjang rel dan bangkubangku yang bisu.
kuingin Yogya, untuk seluruh waktu senggangmu,
sebab hidup mesti dihitung dan setiap tetes keringat
dan untuk itulah aku menanggalkan detik demi detik usiaku?
kutunggu engkau di stasiun, hingga detik menjadi tahun.
4.
kukira Joan Sutherland dan Mozart dalam Die Zauberflote.
tapi seorang perempuan kecil meminta sekeping uang logam,
dan menyanyikan kesedihan yang membeku di matahari terik
dan aspal membara,
tak selesai, ya, memang tak pernah selesai.
hanya mulutnya yang bergerakgerak di luar kaca
dan suara mencekam Sutherland.
Yogya semakin tua, dan dimanamana kudengar
ceritacerita kesedihan.
tapi di pasar Ngasem, engkau bisa membeli
seekor burung yang tak henti berkicau,
dan menjadi begitu pendiam saat kaubawa pulang.
5.
sebuah surat kutemukan di Malioboro,
tampaknya seorang gadis telah patah hati,
dan mencari kekasihnya di etalaseetalase
dan di antara tumpukan barangbarang kaki lima,
tak kutemu, di seluruh sudut kota ini pun tak ada
bayangbayang kekasih itu.
kutemukan surat itu, dan kukirimkan kembali
entah ke mana, suatu hari kau menemuiku,
dan membawa segenggam surat hitam: tak beralamat,
tapi kau tak pernah membacanya,
dan aku menulis kembali surat demi surat tak beralamat
dan tak kukirim ke manapun.
6.
rindu kadang menyakitkan
tapi apa yang disembunyikan kota lama ini?
seseorang tak ingin pergi
dan membangun sebuah rumahsiput.
seseorang tak ingin pergi
dan mencatat berderet peristiwa
untuk menjadikannya hanya kenangan.
selalu, setiap perjalanan keluhkesah itu
kau tak ingin sampai, di atas andong kau
bertanya siapa di antara kita kusirnya
kau tak ingin sampai, di setiap tikungan
membaca arah angin dan namanama gang.
orangorang, selalu seperti memulai hari
berangkat dan pulang, bergegas, dan entah siapa
memburu dan siapa diburu.
kita pun melangkah di antara perjalanan keluhkesah.
dan selalu gagal membaca arah.
2.
ada yang selalu mengantarmu ke segenap arah,
desa demi desa, tapi akhirnya
kau hanya sendiri di atas catatan duka
di deretan hari, mengapa selalu kau buka buku harian
:sebab katamu, kenangan itu racun.
hari ini aku melihat wajahmu
seperti patungpatung gerabah di Kasongan.
lalu hatiku tertawa, mengejek kenyataan hidup.
sebab masa lalu itu racun, dan kita
bersenangsenang atas kesedihan hari ini.
maka, jika rindu, pulang saja ke hotel, dan gambarlah
rumah dan hirukpikuk kotamu yang angkuh.
3.
kutunggu engkau di stasiun, beberapa jam usiaku hilang,
kutunggu sepanjang rel dan bangkubangku yang bisu.
kuingin Yogya, untuk seluruh waktu senggangmu,
sebab hidup mesti dihitung dan setiap tetes keringat
dan untuk itulah aku menanggalkan detik demi detik usiaku?
kutunggu engkau di stasiun, hingga detik menjadi tahun.
4.
kukira Joan Sutherland dan Mozart dalam Die Zauberflote.
tapi seorang perempuan kecil meminta sekeping uang logam,
dan menyanyikan kesedihan yang membeku di matahari terik
dan aspal membara,
tak selesai, ya, memang tak pernah selesai.
hanya mulutnya yang bergerakgerak di luar kaca
dan suara mencekam Sutherland.
Yogya semakin tua, dan dimanamana kudengar
ceritacerita kesedihan.
tapi di pasar Ngasem, engkau bisa membeli
seekor burung yang tak henti berkicau,
dan menjadi begitu pendiam saat kaubawa pulang.
5.
sebuah surat kutemukan di Malioboro,
tampaknya seorang gadis telah patah hati,
dan mencari kekasihnya di etalaseetalase
dan di antara tumpukan barangbarang kaki lima,
tak kutemu, di seluruh sudut kota ini pun tak ada
bayangbayang kekasih itu.
kutemukan surat itu, dan kukirimkan kembali
entah ke mana, suatu hari kau menemuiku,
dan membawa segenggam surat hitam: tak beralamat,
tapi kau tak pernah membacanya,
dan aku menulis kembali surat demi surat tak beralamat
dan tak kukirim ke manapun.
6.
rindu kadang menyakitkan
tapi apa yang disembunyikan kota lama ini?
seseorang tak ingin pergi
dan membangun sebuah rumahsiput.
seseorang tak ingin pergi
dan mencatat berderet peristiwa
untuk menjadikannya hanya kenangan.
(Yogya, 1999)
SEBUAH RADIO, KUMATIKAN
fragmen ke 22
ada yang mengirim untukmu seuntai cinta: duka yang manis
menyelinap lewat lubang kunci jendela, atau desis yang ngilu,
atau entah apakah - segala warna kelabu yang pucat seperti mayat,
ada yang mengucapkan salam lewat detak jantungmu.
kita masih bersidekap, rindu tua mengaliri darah keruh
yang mengalir lewat erangan dan teriakan tersangkut pejammata,
lalu dengus kecil - aku mengusap keringat di lehermu.
kubawa sekeranjang cinta yang kusut seperti daundaun tua yang layu.
engkau biarkan ada yang menyusup, entah, mungkin lewat lubang kunci,
atau lewat dengusmu: senandung itu terdengar
sampai tengah malam, jendelajendela kembali tertutup.
ada yang mengucapkan salam manis, dan segala omongkosong
di senggang waktu.
ada yang mengirim untukmu seuntai cinta: duka yang manis
menyelinap lewat lubang kunci jendela, atau desis yang ngilu,
atau entah apakah - segala warna kelabu yang pucat seperti mayat,
ada yang mengucapkan salam lewat detak jantungmu.
kita masih bersidekap, rindu tua mengaliri darah keruh
yang mengalir lewat erangan dan teriakan tersangkut pejammata,
lalu dengus kecil - aku mengusap keringat di lehermu.
kubawa sekeranjang cinta yang kusut seperti daundaun tua yang layu.
engkau biarkan ada yang menyusup, entah, mungkin lewat lubang kunci,
atau lewat dengusmu: senandung itu terdengar
sampai tengah malam, jendelajendela kembali tertutup.
ada yang mengucapkan salam manis, dan segala omongkosong
di senggang waktu.
(Magelang, 1999)
SEBUAH RADIO, KUMATIKAN
fragmen ke 23, kepada XG
mungkin yang kaudengar tadi cuma kepak burung,
ada yang ingin lepas dari sangkar, ingin terbang pulang
ke rimba, pulang ke angkasa lepas, biarpun ia tahu
telah menunggu segerombolan predator dan pemburu.
tak perlu berdebat lagi, kita bertukar saja tempat,
sangkar itu kosong, dan kita bikin ranjang untuk kantuk
yang tertunda.
sebenarnya, apakah yang kita perebutkan?
hingga kuyup tubuh ini, hingga letih kita, oleh
keinginankeinginan kosong.
sesungguhnya kita hanya ingin berebut tempat
dalam sehalaman buku sejarah, yang mungkin
hanya akan kita tulis dan kita baca sendiri,
mungkin yang kaudengar tadi cuma kepak burung,
ada yang ingin lepas dari sangkar, ingin terbang pulang
ke rimba, pulang ke angkasa lepas, biarpun ia tahu
telah menunggu segerombolan predator dan pemburu.
tak perlu berdebat lagi, kita bertukar saja tempat,
sangkar itu kosong, dan kita bikin ranjang untuk kantuk
yang tertunda.
sebenarnya, apakah yang kita perebutkan?
hingga kuyup tubuh ini, hingga letih kita, oleh
keinginankeinginan kosong.
sesungguhnya kita hanya ingin berebut tempat
dalam sehalaman buku sejarah, yang mungkin
hanya akan kita tulis dan kita baca sendiri,
(Jakarta, 1999)
SEBUAH RADIO, KUMATIKAN
--fragmen ke-25
malam sudah amat jauh, tapi siapa yang masih sibuk
bercakap tentang waktu. aku diam saja. telingaku membatu
--masih terus kau bercakap tentang segala sesuatu itu.
di luar sana gonggongan anjinganjing liar. mungkin
segerombolan hantu dan ketakutan. atau kebencian merambat
lewat gorden, dan mengintipmu
jadi, kau mendengar apa saja. kau melihat apa saja.
mengapa meringkuk dalam selimut kecemasan itu?
malam sudah amat jauh, tapi siapa yang masih sibuk
bercakap tentang waktu. aku diam saja. telingaku membatu
--masih terus kau bercakap tentang segala sesuatu itu.
di luar sana gonggongan anjinganjing liar. mungkin
segerombolan hantu dan ketakutan. atau kebencian merambat
lewat gorden, dan mengintipmu
jadi, kau mendengar apa saja. kau melihat apa saja.
mengapa meringkuk dalam selimut kecemasan itu?
TELEGRAM GELAP PERSETUBUHAN
kukirim telegram cinta, untuk
sesuatu yang deras, mengalir ke ubun,
yang ganjil, yang kucari dalam ledakanledakan. yang kutemukan
dalam kekecewaan demi kekecewaan.
kukirim beratus teriakan kecil dalam gelombang tak berpintu.
membenturbentur dinding dan kesangsian. kuberikan berdesimal
ciuman bimbang. sampai hangat membakar dari mata terpejamku.
kukirim sebaris telegram cinta: lewat lelehan keringat dan
dengus nafas liarku. yang menyisakan sebaris kalimat bisu
dalam gelembung racun kebencian.
dan setelah itu kutulis cerita cabul yang memualkan,
tentang seekor kelinci lemah berbaju gumpalan daging
dalam sederet langkah "the man with the golden gun."
kukirim ke alamat persetubuhan paling dungu.
mengapa kaukutuk kesenangan kecil ini. sambil kausembunyikan
lolongan anjing dan ringkik kuda sembrani dalam berhalaman kitab
atau berbaris grafiti di dinding luar menara.
diamlah dalam kelangkangku, lelaki.
sebelum kaukutuk sebagian fragmen dalam cermin bekumu,
sebelum aku menjadi pemburu sejati: untuk membidikkan panah
yang kurendam racun beratus ular berbisa.
dan kibas jariku melemparkan bangkaimu
ke lubuk senyum nikmatku paling dungu.
yang ganjil, yang kucari dalam ledakanledakan. yang kutemukan
dalam kekecewaan demi kekecewaan.
kukirim beratus teriakan kecil dalam gelombang tak berpintu.
membenturbentur dinding dan kesangsian. kuberikan berdesimal
ciuman bimbang. sampai hangat membakar dari mata terpejamku.
kukirim sebaris telegram cinta: lewat lelehan keringat dan
dengus nafas liarku. yang menyisakan sebaris kalimat bisu
dalam gelembung racun kebencian.
dan setelah itu kutulis cerita cabul yang memualkan,
tentang seekor kelinci lemah berbaju gumpalan daging
dalam sederet langkah "the man with the golden gun."
kukirim ke alamat persetubuhan paling dungu.
mengapa kaukutuk kesenangan kecil ini. sambil kausembunyikan
lolongan anjing dan ringkik kuda sembrani dalam berhalaman kitab
atau berbaris grafiti di dinding luar menara.
diamlah dalam kelangkangku, lelaki.
sebelum kaukutuk sebagian fragmen dalam cermin bekumu,
sebelum aku menjadi pemburu sejati: untuk membidikkan panah
yang kurendam racun beratus ular berbisa.
dan kibas jariku melemparkan bangkaimu
ke lubuk senyum nikmatku paling dungu.
(Februari, 2000)
TEMBANG DI ATAS PERAHU
seperti di atas perahu kecil
sendirian
aku terombangambing ombak kecil dalam tubuhku
jika aku terlelap, kumimpikan pangeran dengan jubah berderai
dan rambut mengurai beribu kalimat dengusnya yang dusta.
kulihat pancuran dari pedangnya yang panjang dan gagah.
kutiup terompet gairahku dalam tetembangan dari tanah jauh.
alangkah ngelangut. alangkah deras rindu tanpa alamat.
alangkah sunyi dan palsu impian.
seperti di atas perahu kecil sendirian
aku terjaga. tak teratur napasku. mencari beribu nama
dan alamt. dalam berjuta situs dan bermiliar virus. berbaris
cerita cabul pesanpesan asmara yang memualkan.
aku sendirian, seperti lukisan perempuan di depan jendela
: memandang laut biru di batas langit. sambil membendung
badai dan ombak yang mengikis karangkarang.
aku terombangambing ombak kecil dalam tubuhku
jika aku terlelap, kumimpikan pangeran dengan jubah berderai
dan rambut mengurai beribu kalimat dengusnya yang dusta.
kulihat pancuran dari pedangnya yang panjang dan gagah.
kutiup terompet gairahku dalam tetembangan dari tanah jauh.
alangkah ngelangut. alangkah deras rindu tanpa alamat.
alangkah sunyi dan palsu impian.
seperti di atas perahu kecil sendirian
aku terjaga. tak teratur napasku. mencari beribu nama
dan alamt. dalam berjuta situs dan bermiliar virus. berbaris
cerita cabul pesanpesan asmara yang memualkan.
aku sendirian, seperti lukisan perempuan di depan jendela
: memandang laut biru di batas langit. sambil membendung
badai dan ombak yang mengikis karangkarang.
(Februari, 2000)
PEREMPUAN BERDOSA
perempuan itu memikul dosa
sendirian, seringan jeritannya
yang rahasia: berlari di antara sekelebatan rusa yang diburu segerombolan serigala.
kautulis igaunya yang hitam, mengendap di bayang dinding
tak memantulkan cahaya.
perempuan itu melukis dosa yang tak terjemahkan
ia tulis rahasia puisi yang perih dendam dalam gesekan rebab.
lalu ia hentakkan tumit penari indian yang gelap dan mistis.
segerombolan lelaki melata di atas perutnya.
mengukur berapa leleh keringat pendakian itu.
sebelum mereka mengepalkan tinjunya
ke langit. dan membusungkan dadanya yang kosong:
mulutnya yang busuk menumpahkan ribuan belatung dan ulatulat.
perempuan itu membangun surga dalam genangan air mata.
menciptakan sungai sejarah: sepanjang abad!
yang rahasia: berlari di antara sekelebatan rusa yang diburu segerombolan serigala.
kautulis igaunya yang hitam, mengendap di bayang dinding
tak memantulkan cahaya.
perempuan itu melukis dosa yang tak terjemahkan
ia tulis rahasia puisi yang perih dendam dalam gesekan rebab.
lalu ia hentakkan tumit penari indian yang gelap dan mistis.
segerombolan lelaki melata di atas perutnya.
mengukur berapa leleh keringat pendakian itu.
sebelum mereka mengepalkan tinjunya
ke langit. dan membusungkan dadanya yang kosong:
mulutnya yang busuk menumpahkan ribuan belatung dan ulatulat.
perempuan itu membangun surga dalam genangan air mata.
menciptakan sungai sejarah: sepanjang abad!
(Februari, 2000)
Demikian postingan pada pagi ini,
semoga bisa bermanfaat bagi yang sedang mencari kumpulan puisi Dorothea Rosa
Herliany. Wassalamu’alaikum….
0 Response to "Kumpulan Puisi Dorothea Rosa Herliany"
Posting Komentar