Kumpulan
Puisi Ahda Imran - Assalamu’alaikum… Selamat berjumpa lagi dengan blog
aku. Pada postingan kali ini aku akan berbagi tentang puisi-puisi dari Ahda
Imran. Langsung saja ya….
Ahda
Imran lahir di
Payakumbuh, Sumatera Barat, namun tumbuh dan besar di Cimahi. Kumpulan puisinya
Dunia Perkawinan (1999). Sejumlah puisinya juga diterbitkan dalam
antologi puisi bersama. Setiap pekan menulis repotase budaya, ulasan, kritik,
esai, dan kolom, di Harian Umum Pikiran Rakyat, Bandung.
ANJING HITAM MATA SATU
Ini leherku
tapi, katakan,
siapa yang mengutusmu?
(2007)
SEPANJANG JALANAN
Kutulis sajak ini di atas seekor
kuda
ketika lorong-lorong angin
menghembuskan
suaramu jauh ke ruang-ruang bawah
tanah
di kejauhan mereka membuat senja
dari tanah air penuh bendera. Malam
seperti mulut para penghasut
Ketahuilah, sayang, kafe-kafe yang
tenang
bukan lagi rumahku. Akulah
penunggang
kuda dari negeri malam itu. Negeri
di mana dendam mesti dinyatakan,
menjadi hasrat untuk menemukan
kata-kata
dari setiap butir debu di rambut
anakku
Kuserahkan tubuhku pada semesta
kesedihan, seperti kegembiraan yang
juga
datang padaku. Kuhadiri makan malam
para pejabat, anggota parlemen
dan panglima militer, rapat-rapat
partai,
dan pertunjukan teater. Kau tahu,
mereka menganiayaku, hanya karena
aku masih punya telinga
Juga ketahuilah, sayang, ketika
sampai aku
pada bait ini, kudaku sedang berlari
kencang
melebihi kata-kata yang menjemput
para penyair
dan paderi di ruang-ruang bawah
tanah itu
kumasuki kota dan perkampungan dari
sudut
yang paling tak terduga, ketika
orang-orang
berkomplot membuat tanah air yang
lain
dari sejarah
yang tak pernah punya telinga
(2004)
SUNGAI BARITO
Sungai ini seolah tak bergerak
tak mengingatkanku pada negeri di
mana pun
di Muara Kuin aku menemukan tubuh
perempuan
adalah perahu. Membawa limau,
pisang, kelapa,
semangka, dan labu. Mereka
berkerumun,
bergumam, mendayung
Keringatnya jatuh di air
Alun sungai, perahu beradu
dan bergesekan, terapung. Di
kejauhan deretan
gudang-gudang kayu, ibu yang
menyabuni
anaknya, lelaki yang menggosok gigi,
dan seorang gadis yang keluar
dari dalam air
Sungai ini tak membawaku ke mana pun
Oyos dan Ari berdiri di atap perahu
dengan tustelnya. Di perahu yang
lain Joni
melambai. Saut berdiri dengan rambut
gimbal,
mirip hantu sungai. Seiko, gadis
Jepang itu,
sibuk mencatat hikayat Suriansyah,
leluhur
negeri Banjar. Katrin menelepon
Oma-nya di Jerman
"Kata Oma, di Meksiko ada juga
pasar
seperti ini."
Aku memesan kopi dan mengunyah
pundut dari warung perahu yang mencuci
gelas dan piringnya ke dalam sungai
kubayangkan keringat
perempuan-perempuan
atas perahu itu masuk ke dalam
tubuhku,
mendayung rohku ke lubuk air
Oyos dan Ari masih memotret. Seiko
masih mencatat Suriansyah. Katrin
masih
bercerita tentang Oma-nya, tentang
sungai
di Meksiko. Tapi sungai ini tak
mengingatkanku
pada siapa dan pada tempat di mana
pun
perempuan-perempuan atas perahu itu
telah
membawaku ke dalam tubuhnya
Di Muara Kuin,
keringat kami jatuh di air ...
(2007)
AKU MENULIS
Ketika malam menarik senja
dengan kasar
ketika hujan tak sampai
ke sungai
ketika ikan-ikan yang menggelepar
ditinggalkan
Aku menulis dengan tangan
yang sakit. Orang-orang terus
bicara,
seperti ada tikus dalam mulutnya
setiap malam, mereka mencuri
sebatang pohon dari tubuh anakku
setiap pagi, mereka membuat
komplotan-komplotan baru
Aku menulis dengan tangan
yang sakit. Langit kering dan
kaki-kaki
jembatan mengelupak. Kota penuh
bendera,
suara telepon genggam, dan anak-anak
muda
yang menginjak-injak potret presiden
Aku menulis dalam tahun-tahun
yang genting. Hari dan angin
menderu,
menghembuskan abu dan
patahan-patahan
gigi mayat. Kota perlahan tenggelam
ke dalam malam, seperti peti mati
yang mulai diturunkan, ketika
mereka membakar
seluruh pohon di tubuh anakku
(2003)
SEMANGGI
Meminjam tubuhmu dari jalanan
penuh tentara dan mahasiswa: Aku
penari
dengan kening yang retak. Ranting
angin tumbuh
dan menjulur dari gelap yang
bergesekan,
mengirimkan ribuan tubuhmu yang
lain, menjadi
daun, kolam, dan mayat-mayat.
Seorang anak
menemuiku pada siang yang
membosankan,
membawa air susu ibunya yang telah
berubah
menjadi mesiu
Meminjam perasaanmu ketika
orang-orang
membawa besi, belati, dan batu. Aku
menari memunguti
jemari tangan dan ali matamu yang
hancur. Bukit-bukit
jauh mengepung senja, menariknya
dengan kasar
gelap bergesekan di daun telinga dan
kulit kepalamu
angin menjulur dari ranting dan
pepohonan yang murung,
mengirimkan seorang ibu padaku,
dengan helai-helai
rambutnya yang berubah
menjadi ribuan ular
(1998)
PAPUA
Lalu seluruh lembah mengeluarkan
pekiknya
sakit yang sampai ke lubuk sungai.
Pulau-pulau
karang berwarna toska, padang-padang
rumput,
danau, dan pegunungan yang menjulang
Rumbewas mengunyah pinang,
meludahkan
airnya pada batu, seperti percik
darah
tubuhnya penuh hutan-hutan sagu
yang terbakar
Kapal mereka terus datang membawa
beras,
perempuan dan minuman keras, lalu
mengangkut
kami punya gaharu dan emas
Tapi ia terus memukul tifa
irama derap kaki dan bumi
Ratna, Jamal dan Alwy ramai-ramai
berfoto bersamamu untuk
kenang-kenangan,
lalu kami mencari patung antik,
tombak, tifa,
panah, dan membeli koteka sambil
tertawa
di toko-toko milik orang Bugis
Di langit yang kosong
seekor burung melayang, menukik,
dan membenturkan tubuhnya ke batu
karang
tapi Rumbewas terus menari, membuat
putaran dan jeritan. Bulu-bulu
burung
kaswari di tubuhnya meneteskan
darah,
dan hari yang selalu malam
Ketika purnama naik,
ketika orang-orang terus membakar
pohon-pohon di tubuh anaknya,
dengar pekiknya di lubuk sungai!
Lembah-lembah yang dingin,
pegunungan yang menjulang,
dan sebuah tarian perang
(2005)
PIDIE
buat Cut Fatmah Hassan
Daun-daun menulis di kerudungmu,
Inong
syair-syair ratusan tahun ketika
kata-kata
menjelma ribuan rencong, mengubah
hujan
menjadi hidup yang sesungguhnya,
menjadi angin
yang mengelus punggungmu, lenyap ke
dalam rimba-rimba
jauh. Ada banyak malam pepohonan
menyimpan nafasmu,
menyerahkannya pada sungai nan gaduh
berkata dingin dan parau
Tuan-tuan dari Jawa ...
Ada banyak malam tubuhmu meliuk
bersama seluruh kesedihan, melayang
ke dalam
rentak hujan, garis-garis yang
bergelombang, melepas
kain bajumu, menjadi syair ratusan
tahun ketika hidup
yang sesungguhnya adalah menyihir
air mata menjadi
ribuan rencong
Sungai-sungai menangis di
kerudungmu, Inong
membawa sejarah itu kembali,
tiang-tiang meunasah
yang terbakar, juga percakapan yang
penuh penipuan,
seperti Pang Laot. Lenyap ke dalam
rimba-rimba jauh,
kau sembahyang bersama para leluhur.
Dan lubang
peluru di tengkorak kepala itu
mengeluarkan gema
yang dibawa sungai-sungai
Tuan-tuan dari Jawa ...
(1999)
PERNYATAAN
Ini wajahku. Bawa ke laut,
lalu kenanglah!
Sepanjang abad perut ikan-ikan
menyimpannya. Menyerahkannya
pada nafas para nelayan.
Jangan menjemputku di pulau
dengan rindu
karena rindu telah kuserahkan
pada suara laut paling jauh
Ini tubuhku
bawa ke dalam kabut
lalu catatlah!
Burung-burung
menjeritkannya, angin mengurainya
para pemberontak menyebutnya
cahaya!
Jangan memanggilku dari keheningan
karena rumahku adalah percik api
dari ribuan kaki-kaki kuda!
Ini seluruhnya untukmu
tapi pulanglah padaku, seperti juga
aku datang padamu
Atau kita sama-sama membakar saja
rumah ini!
(2003)
KUTULIS LAGI SEBUAH PUISI
Kutulis lagi sebuah puisi
mungkin untukmu, mungkin juga bukan
kata-kata selalu punya banyak
kemungkinan,
seperti waktu, seperti tubuhmu.
Banyak hari
yang tak bisa lagi kuingat padahal
aku mesti
segera berangkat. Kupastikan aku
akan sampai
di pulau berikutnya, tepat ketika
kau
sampai di seberang sungai
Kupastikan juga ada sebuah kesedihan
yang aneh menempel di setiap helai
rambutku
tapi entah apa. Mungkin ingatan pada
mereka
yang meninggalkanku karena
kebencian atau kematian
Kutulis lagi sebuah puisi
mungkin untukmu, mungkin juga bukan
dalam tubuhmu kata-kata adalah
waktu, irama
yang cemas dan bimbang, janji yang
tak beranjak
pergi. Tidak bersama siapa pun, aku
telah berada
di lubuk malam. Ingatan padamu
menjadi air
yang menetes dari jemari tangan.
Banyak hari
yang tak bisa lagi kuingat sebagai
apa pun
tapi telah lama kupastikan, aku akan
sampai
di sebuah pulau berikutnya, kampung
halaman
dari seluruh ingatan. Tepat setelah
kau membaca puisi ini
dari seberang sungai
(2007)
DI PINTU ANGIN
Di pintu angin
orang-orang menari di permukaan air
gemerincing gelang kaki mereka
menahan
perpindahan burung-burung. Ikan dan
ular-ular
air melepas seluruh sisiknya,
sebelum sampai
sungai ke pusat muara. Sebelum
tanganku
menyentuh rambutmu
Di seberang air
di atas padang-padang lengang,
aku melihat tubuhmu terurai. Garis
pembatas surut, pulau-pulau menetes,
lalu dentang lonceng mengirim
kembali
hujan ke seluruh lembah
dan ngarai
Di pintu angin
orang-orang masuk ke dalam air
gemerincing gelang kaki mereka
tertinggal
di tubuhku. Di padang-padang
lengang, dalam
kabut yang ganas, aku menari bersama
arwah
ibu dan bapakku. Tapi perpindahan
burung-burung
tak pernah sampai ke seberang air.
Sedang
tanganku masih terulur
ke arah rambutmu
(2008)
SESUATU SEDANG TERJADI
Sesuatu sedang terjadi. Orang-orang
berkumpul di dermaga, bersiap
berangkat
tapi entah hendak ke mana dan entah
untuk apa. Seperti hujan yang terus
turun
berhari-hari, pertanyaan-pertanyaan
membuat mereka menjadi bosan,
cepat merasa lelah dan selalu
menggerutu
Malam menyimpan tubuhnya
di punggungku, bersama pepohonan
yang rebah. Di permukaan danau
seekor ular melintas, membelah
bayang bulan
Sesuatu sedang terjadi. Bayi-bayi
lahir
dengan lidah bersisik, dan ibu
mereka adalah
burung-burung gagak. Tengah hari,
di sebuah kota,
pertanyaan-pertanyaan
memandangku dengan gelisah. Lalu
seperti biasanya seorang terbunuh,
dan seperti biasanya juga: Kami
membakarnya. Entah mengapa
dan entah untuk apa
Sesuatu sedang terjadi. Orang-orang
meninggalkan bayi mereka di tengah
hutan
dalam sepatuku bayi-bayi itu terus
menangis
dan kedua tangannya lumpuh
Hari selalu menjadi malam.
Orang-orang
masih berkumpul di dermaga. Entah
hendak
ke mana dan entah untuk apa. Mata
mereka
berlubang
seperti kuburan
(1999-2006)
HUJAN SEGERA DATANG
Hujan segera datang
dengan bunga di sepatunya
bukit-bukit memberi jalan,
burung-burung menjemputnya
Dengan tenang,
aku menulis puisi
menemui nama-nama
Hujan segera datang
dengan bunga di sepatunya
padang rumput terbelah
tubuhkku penuh gemerincing
Dengan tenang,
aku menulis puisi
menyembahyangkan
nama-nama
(1999-2006)
DI LUAR PERCAKAPAN
Bayangkan sebuah hari
ketika kita berpisah, ketika angin
tertumbuk di kamar lengang,
ketika sebuah pintu
dihempaskan
Jika masih kau di sini, pergilah ke
balik
suara-suara malam. Di situ, di bawah
tanah,
kusimpan sebuah kamar dan seorang
perempuan
yang muncul dari cermin. Di situ,
akan
kau temukan separuh tubuhku yang
lain, menjadi
penduduk sebuah negeri yang selalu
ramai
dengan kata-kata, para budak, dan
majikan
yang menyebalkan
Ketahuilah, banyak hari yang tak
bisa
kaukisahkan padamu. Kusimpan dalam
gelap
perut ikan-ikan. Banyak hari di mana
aku
telah pergi diam-diam, mengeluh di
sebuah
kamar, menyalakan lampu, dan
kutemukan
sejarah yang lain dalam tubuhmu,
di luar percakapan kita
Bayangkan sebuah hari
ketika kita terpisah, ketika kau
temukan
separuh tubuhku yang lain, menjadi
budak
yang malang di negeri kata-kata
yang selalu kehilangan manusia
(2006)
Sekian
dulu postingan kali ini, semoga bisa bermanfaat bagi pembaca yang sedang
mencari referensi kumpulan puisi Ahda Imran. Wassalamu’alaikum….
0 Response to "Kumpulan Puisi Ahda Imran"
Posting Komentar