Kumpulan
Puisi Agus R. Sarjono - Assalamu’alaikum… Selamat berjumpa lagi dengan blog
aku. Pada postingan kali ini aku akan berbagi tentang puisi-puisi dari Agus R.
Sarjono. Langsung saja discroll ke bawah ya….
Agus R. Sarjono lahir di bandung, 27 Juli 1962. Menulis sajak, cerpen, esai, kritik, dan drama. semasa kuliahnya di IKIP Bandung, Agus terlibat aktif dalam kelompok diskusi Diskusi Lingkar yang mendiskusikan berbagai isu sosial, politik, budaya, dan ekonomi pada masa Orde Baru. Pada tahun 1987 Agus terlibat dalam pendirian Unit Pers Mahasiswa IKIP Bandung sekaligus menjadi Ketua Umum hingga tahun 1989.
Pada 1988, ia lulus dari jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni (FPBS), IKIP Bandung, kemudian menyelesaikan program pasca sarjana di Jurusan Kajian Sastra, Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Universitas Indonesia pada 2002. Agus adalah Ketua Bidang Program Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) periode 2003-2006. sebelumnya ia adalah Ketua Komite Sastra DKJ periode 1998-2001. sehari-harinya Agus bekerja sebagai pengajar pada Jurusan Teater Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI), Bandung, serta menjadi redaktur Majalah Sastra Horison.
Buku puisinya: Kenduri Air Mata (1994), Suatu Cerita dari Negeri Angin (2001), Diterbangkan kata-kata (2006). Buku esainya: Bahasa dan Bonafiditas Hantu (2001) dan Sastra dalam Empat Orba (2001). Dramanya: Atas Nama Cinta (2006). Pernah menjadi sastrawan dan peneliti tamu di International Institute for Asian Studies, Universitas Leiden (2001), sastrawan tamu Heinrich Boll Haus, Langen broich (2002-2003) dan ilmuwan tamu Universitas Bonn (2010-2011). Juga sebagai Dosen jurusan teater STSI Bandung dan redaktur majalah Horison.
AIR MATA HUJAN
Jangan bidikkan aku, ronta Bedil sambil menggigil. Diam !
Bentak tangan. Aku harus meledakkan anak-anak itu.
Tapi mereka masih belia ! Lihatlah senyumnya yang muda
dan mereka tidak meminta lain selain kesejahteraanmu juga.
Bukankah engkau sering mengumpati gaji yang tak cukup
nafas hidup yang sempit, hingga harus berderap kian kemari
mengutip sesuap nasi
Jangan bidikkan aku, raung Bedil. Diam ! ini bukan persoalan
bukan persoalan pribadi, hardik Tangan. Ini masalah politik.
Satu dua nyawa
sebagai taktik. Tapi ini bukan soal angka,
bukan soal satu dua
tapi soal ibu meratap kehilangan, soal dimusnahkannya
satu kehidupan
soal masa depan manusia yang dibekam. Soal hal....
Tutup mulutmu barang dinas ! kamu hanya alat
dan jangan berpendapat. Itu urusan politisi di majelis sana
Tapi mereka hanya bahagia ! Sergah Bedil.
Mereka
tak pernah peduli padamu, pada mereka, pada yang miskin
dan teraniaya. Mereka tak mengurusi siapa-siapa selain
dirinya. Dor !
Bedil itu tersentak. Jangan........ Dor....dor....dor....
dor........ Selesai sudah
gumam tangan. Bukankah ini sudah berlebihan, isak Bedil.
Entahlah, gumam Tangan, aku tak tahu. Aku penat.
Aku hanya ingin istirahat. Semoga istri dan anak-anakku
di rumah sana semuanya selamat.
Bedil itu menjelma hujan. Tak putus-putusnya
mencurahkan air mata
(dibacakan di Trisakti, 18 Juni 1998)
DI SEBUAH RESTORAN INDONESIA, JUNI 1998
Berilah kami sepiring makanan, dengan menu bergizi.
Maafkan kami.
Sudah lama restoran kami tidak menyediakan lagi nasi, apalagi lauk pauk.
Lalu apa yang bisa kami pesan?
Oh, Anda bisa memesan semangkuk isu politik, misalnya.
Persediaan kami lengkap.
isu-isu dingin maupun isu panas.
Berilah kami sepiring nasi dengan lauk pauk seadanya.
Maafkan kami, jangan memesan yang aneh-aneh.
Semua itu barang mewah.
Ingat ini jaman krisis dan reformasi.
Cobalah memesan yang lebih murah:
anarkhisme atau partai politik.
Di sini tersedia berbagai jenis partai
dari yang lunak hingga yang keras.
Kami juga sedia partai atau politisi instan.
Murah dan meriah.
Bisa dibungkus dan dibuka beramai-ramai di dalam rumah.
Sebagai pembuka kami sajikan segelas
anggur reformasi: segar dan penuh semangat.
Kalian bisa berbicara dan mengutuk keadaan sekeras-kerasnya.
Nah, selamat jalan.
Semoga Anda jadi Pahlawan.
(1998)
DEMOKRASI DUNIA KETIGA
Kalian harus demokratis. Baik, tapi jauhkan
tinju yang kau kepalkan itu dari pelipisku
bukankah engkau... Tutup mulut! Soal tinjuku
mau kukepalkan, kusimpan di saku
atau kutonjokkan ke hidungmu,
tentu sepenuhnya terserah padaku.
Pokoknya kamu harus demokratis. Lagi pula
kita tidak sedang bicara soal aku, tapi soal kamu
yaitu kamu harus demokratis!
Tentu saja saya setuju, bukankah selama ini
saya telah mencoba... Sudahlah! Kami tak mau dengar
apa alasanmu. Tak perlu berkilah
dan buang waktu. Aku perintahkan kamu
untuk demokratis, habis perkara! Ingat
gerombolan demokrasi yang kami galang
akan melindasmu habis. Jadi jangan macam-macam
yang penting kamu harus demokratis.
Awas kalau tidak!
(1998)
DI APARTEMEN ERICK
Di apartemen tingkat sepuluh,
di pinggiran Utrecht bintang-bintang tak kelihatan.
Tapi lampu-lampu kota berkedipan bagai kunang di jauhan.
Di luar badai salju dan angin kencang.
Kami lepas mantel dan hati yang tegang.
Erick, Inggrid, Nenden, Karen dan Medelin saling berpandangan.
menghirup teh panas
membuka buku puisi dan memetik gitar.
Kami nyanyikan lagu-lagu lama.
Nyiur hijau di tepian pantai yang jauh, desaku
wahai desaku yang kucinta tanah air beta.
Sambil mengusap air mata, seperti mengusap luka
dan sakit yang purba,
Medelin melenguh diam-diam
Sudah berlayar jauh kemari
ooh jauh kemari, tanah Ambon
wahai tanah Ambon selalu saja berdebur dalam ingatan.
Tapi malam telah kelewat dalam.
Di bawah badai salju kami berarak menuju halte sambil berseru
Que sera-sera, apa yang bakal terjadi biar terjadi
kamipun faham akhirnya.
Tanah air abadi selalu serupa mimpi.
Negeri-negeri yang dicintai,
Kenangan-kenangan lama yang enggan mati.
Di dalam kereta kami biasakan diri
menjalani patah hati ini.
(1999)
DI JEMBATAN MIRABEU
Di bawah jembatan Mirabeu,
mengalir cinta Appolonaire juga cemasku
kupandangi langit biru
dan terbayang kembali jembatan merah.
Siapa yang mengecatnya dengan warna darah?
Kuteliti pasporku, jejak-jejak gawat
dan kusam tertera di sana,
jejak negeri kerinduan
serupa bimbang dan rindu dendam
luka-luka yang terus dibikin dan dipendam.
Di bawah jembatan Mirabeu, melaju sungai Seini
juga Bengawan Solo di batinku yang rusuh
penuh mayat yang terapung dan mengalir
sampai jauh, bersama darah
yang tak putus-putus tumpah di banyak tempat dan peristiwa.
Amisnya tercium sampai kemari.
(1999)
RANGGAWARSITA
Zaman edan yang bahagia, di manakah
gerangan Ranggawarsita?
Sunya ruri seisi negeri. Siapa
bertahta
di ujung harta? Tanduk-tanduk
partai,
mengusung dua ratus juta telur
sangsai
ke rumah gadai. Alangkah eling dan
waspada
bagi setiap peluang yang ada.
Sunya ruri segala mimpi. Harapan
lama
bagai bendera di malam badai:
berkibaran
dan kusut masai. Pengadilan dan
gunung api
melontarkan magma dan debu ke udara
lantas mengendap di paru-paru negara
: pengap dan menyesakkan dada.
Zaman edan yang bahagia, di manakah
gerangan Ranggawarsita?
SAINT-EXUPERY
Seorang penulis buku anak
dengan indah telah meminta maaf
pada anak-anak, karena cerita untuk
mereka
dengan terpaksa, pada orang dewasa
dipersembahkan. Ada sekian alasan
dan sebab: yang utama, tentunya
karena orang dewasa paling banyak
kehilangan. Misalnya saja
warna-warna
di alam semesta. Makin dewasa
makin sedikit warna tersisa bagi
manusia
yakni warna-warna dasar yang
sederhana
karena warna pelangi, warna berseri
warna terang, cerah, dan norak
hanya milik dunia anak-anak.
Belum lagi kehilangan yang lebih
mencekam
: otot, gairah, mimpi, usia muda,
rasa ingin tahu, khayalan, rasa
heran,
kekaguman paripurna pada dunia
yang masih segar dicipta
belum diterjemahkan jadi angka-angka
kering dan kejam di pasar saham.
Setiap anak dilahirkan sebagai
pangeran kecil
gemilang dalam cahaya gemintang
mungil
Mereka segera jadi kaum papa jelata
begitu ia menjelma jadi dewasa,
tak peduli berapa istana ia punya,
berapa timbunan harta dalam
simpanan.
Karena hanya pada kanak, bintang
di angkasa merasa punya hubungan
rubah di hutan merasa berteman.
Orang dewasa berdiam di jauhan
dengan bedil di tangan: lelah,
cemas,
dan siaga. Tak melihat hubungan lain
dengan kehidupan selain jadi pemburu
atau diburu. Tak putus-putus mabuk
untuk menghapus rasa malu
karena telah menjadi pemabuk.
Maka kepada anak-anak tolong maafkan
bila bahkan buku untuk kalian
kepada orang dewasa dipersembahkan.
Kasihanilah kami orang dewasa
yang begitu banyak kehilangan.
Yang terbesar dan tak tergantikan
adalah hilangnya masa kanak
anugerah terindah dari kehidupan
yang begitu lekas musnah
dan menyilam.
SINGER
Seorang lelaki
berkutat bebaskan budak
dalam diri,
menulis musuh
dalam kisah cinta sejati.
Tapi trauma dan masa lalu
bagai mantan istri
yang selalu memaksa
untuk rujuk kembali.
Dalih adalah Sang Tuan
dari rembang ingatan.
Bahkan di detik jingga
di nadi hidup
yang berdegup mesra,
selalu ada dalih bagi kita
untuk tetap tak bahagia.
SARTRE
Neraka keberadaan tak lain
adalah orang lain, ucapmu
dalam sebuah pintu tertutup
pada sebuah drama canggung
dari sebuah zaman yang murung.
Di tanah airku, ada dan ketiadaan
karcis menjadi tema utama
setiap hari raya. Stasiun dan
terminal
tersengal oleh antrian: panjang
dan rapat seperti kalimat filsafat.
Kerumunan yang berdebar
tak sabar ingin memudikkan jiwa
dan badan ke surga kebersamaan
kerabat dan keluarga
karena neraka tak lain
adalah tanpa orang lain.
CERVANTES
Dengan pena terhunus kau pacu
keledai sastra
menerjang kincir keramat hikayat
bangsawan
dan raja-raja hingga porak-poranda
dan menjelma jadi gelak tawa
Di negeri-negeri yang jidatnya
sempit
dan muram, tank, panser, dan penjara
tersedia bagi Don Quixote dan
keledai sastra
yang menggoyang kebajikan mapan
bungkus mulia bagi jiwa-jiwa
deksura.
Adakah ksatria gelak tawa berbahaya
bagi negara, serupa ular berbisa di
belukar
mendesis merayap menyusun makar?
Dia yang bijaksana tahu tak ada
mahkota dimakzulkan oleh cerita
jika ke dalamnya penguasa sedia
berkaca.
Keledai sastra yang dungu bestari
senantiasa menggergaji satu kaki
singgasana
agar sang raja belajar bijaksana di
atasnya.
Atau mengecat tembok istana
dengan warna ganjil tak biasa
biar angker kekuasaan sedikit
belajar
menertawakan diri dan agak jenaka.
Dengan pena terhunus kau pacu
keledai sastra
menerjang kincir keramat hikayat
bangsawan
dan raja-raja hingga porak-poranda
dan menjelma jadi gelak tawa
Kisah sehari-hari dan orang biasa
sejak itu berhak juga menjelma
cerita.
GORKY
Di sebuah negeri gamang dan pilu
Gorky yang piatu melahirkan seorang
ibu
untuk membuka hati dan mengasuh
hari-hari jelata yang rusuh. Bagai
Musa
Ia menuntun jelata pekerja
untuk berhijrah dari kubangan vodka.
Di kerontang akar rumputan,
kesadaran
konon tumbuh merimbun bagai palawija
berbuah mesra penuh janji
untuk dipanen kelak selepas fajar
pagi.
Tapi sejarah selalu milik ayah.
Mereka memanennya malam-malam
hingga tak banyak yang tersisa
di ladang selain warna merah
dari jejak-jejak amarah.
Di lorong gelap jelata, di kedalaman
terbawah, ada pelacur dan pencuri
merayapi mimpi mengharap cerlang
matahari.
Dan bangsawan afkiran, buruh harian,
pedagang asongan, sibuk menanam diri
dalam cerita warna-warni
karena sesekali, orang-orang merasa
perlu
menyentuh jiwa papa kelabu
dengan sedikit warna ungu.
Dalam gairah, Gorky menyusun
masyarakat dari lembar-lembar kertas
dan penguasa melemparnya ke tungku
biar revolusi berkobar selalu.
Waktu berganti rezim berlalu
di tanah yang merah dan tak merah
semua berubah, kecuali pelaminan
tempat penguasa penuh gairah
menjamin jelata dan kemiskinan
agar senantiasa bisa menikah.
Tinggal Gorky: masai dan terlunta
dijahit penguasa menjadi bendera
berkibar-kibar seperti sejarah
tempat jelata terbungkam pasrah.
PAMUK
Adalah salju
yang mempertemukan
orang sunyi dengan puisi
ketika perempuan yang tertindas
menghidupkan emansipasi
dengan bunuh diri
Bisakah manusia bahagia
sebagai pasangan cinta
menghuni rumah mungil berdua
tanpa direcoki perabot-perabot berat
dan sulit diangkat seperti negara
atau perkakas keras
tajam dan bergerigi
seperti ideologi?
Di Kars atau Tanjung Priok
di Kabul atau Istambul, sandiwara
bisa saja mengkudeta fakta
ketika remaja-remaja yang rindu
dan mereka yang mengusir pilu
dalam sebuah pertunjukan
terburai diserbu serdadu
hanya karena seorang komandan
yang bosan dan putus asa
mendadak ingin jadi sutradara.
Namaku merah, seperti darah
warna termegah dalam sejarah.
layar terpintal di sunyi Pamuk
membungkus puing-puing Attaturk
Negeri-negeri salju kastil-kastil
kertas
sejarah mengeras di tapal batas
hari-hari timur hari-hari barat
hamba dan tuan bertukar tempat.
Musim mengeras di tapal batas.
Ada yang diam-diam bergegas
melaju di atas seribu bus seperti
Pamuk
atau Osman atau Mehmet atau kau
memburu cinta, kematian, atau
malaikat
dan tak mendapat apa-apa kecuali
identitas yang meranggas dan sekarat
antara masa kanak yang terkoyak
dan masa depan yang lembam.
Antara timur yang mendengkur
dan barat yang berkarat.
Dari Herat menuju ke Barat
merana tersungkur di Indonesia
ingatan adalah rakyat berkarat
menetas sia-sia dari telur amnesia.
Sambil menyusuri kota kelahiran
dalam ingatan silam, ditentengnya
hidup baru
seperti menenteng kopor ayah
tempat istana salju dan buku hitam
catatan harian
menyembul diam-diam bagai kenangan:
bacaan-bacaan masa muda
yang menggendong sukma ke Eropa,
dan hikayat-hikayat keramat
yang menuntun gelisah
kembali pulang ke rumah.
Di luar masih terhampar
dunia-dunia yang membenci
sebesar mencinta, yang bercumbu
sekerap bertengkar, bagai hujan
salju
yang indah dan memisah hingga selalu
susah
untuk bertegur sapa. Tapi akan
selalu ada
yang sabar seperti Orhan, menyalakan
lilin
untuk mencairkan salju yang membeku
di jembatan perjumpaan
biar segala yang lindap dan tak
terucap
dapat bersijingkat temukan jalan.
CHAIRIL
Pada kereta senja
Chairil menebal jendela
cinta dan bahagia
makin jauh saja
mendengking Chairil
mendengking kereta
sayatan terus ke dada.
Pada senja di pelabuhan kecil
kau datang padaku: Chairil
cinta insani di tangan kiri,
Amir Hamzah cinta Ilahi
di tangan kanan
dengan pandang memastikan
: untukku. Aku membisu
dicakar gairah dan cemas
bertukar tangkap dengan lepas.
Aku hilang bentuk
remuk. Seharian itu
kita tak bersapaan. Oh puisi
yang enggan memberi
mampus kau
dikoyak-koyak sepi.
Kekasih, dengan apakah
kita perbandingkan pertemuan kita
: dengan Amir sepoi sepi
atau Chairil menderai sampai jauh?
Kini habis kikis segala cintaku
hilang terbang, kembali sangsai
seperti dahulu di nyanyi sunyi
di buah rindu.
Amirlah kandil kemerlap
pelita Chairil di malam gelap
ketika dada rasa hampa
dan jam dinding yang berdetak.
Aku sendiri, menyusur kata-kata
masih pengap harap. Apatah kekal
kekasihku, airmata yang kenduri
di riuh nadi di gamang jiwa
sedang cerlang matamu
tinggal kerlip puisi
di malam sunyi.
Chairil dan Amir
di pintumu puisi negeriku mengetuk.
Mereka tak bisa berpaling.
BERSAMA PARA TKW
Aku memandang wajah-wajah saudaraku
dengan mata berembun
berbaris ke negeri orang
ke negeri para majikan.
Apakah yang mereka renungkan?
Wajah para tuan yang memungkinkan mereka naik
pesawat terbang
memperkenalkan peradaban dunia, musim dan bendera
berbeda.
Atau mereka bayangkan
tanah air hamparan negeri dengan berbagai sebutan
dan lagu-lagu yang ditanam guru-guru sekolah ke
dalam batin
Juga potret-potret pahlawan yang mengabur
dan kini digantikan orang-orang berbaju safari
dan pakaian seragam
yang begitu sering mondar-mandir di jalanan nasib
mereka
Begitu royal para petinggi itu
menghibahkan berbagai perintah, pungutan dan
larangan
hingga tiba-tiba semua orang menjadi akrab
dengan berbagai macam kehilangan
Dari atas pesawat,
kupandangi hamparan tanah air hijau dan lapang,
namu begitu sempit hingga mereka tak mampu
bahkan untuk sekedar menarik nafas dan membangun
kehidupan.
Ketika waktu makan tiba
kulihat begitu lahap mereka santap sajian di
pesawat:
Ikan tuna saus mentega,
nasi gurih panas,
kue coklat krim buah,
segelas sari jeruk.
Seperti hidangan raja-raja,
mungkin begitu batin mereka.
Dan kini kulihat mereka sepenuhnya
siap menjadi sahaya di mana saja di dunia.
Sekian dulu postingan kali ini, semoga bisa bermanfaat bagi pembaca yang sedang mencari referensi kumpulan puisi Agus R. Sarjono. Wassalamu'alaikum....
BERSAMA PARA TKW
Aku memandang wajah-wajah saudaraku
dengan mata berembun
berbaris ke negeri orang
ke negeri para majikan.
Apakah yang mereka renungkan?
Wajah para tuan yang memungkinkan mereka naik
pesawat terbang
memperkenalkan peradaban dunia, musim dan bendera
berbeda.
Atau mereka bayangkan
tanah air hamparan negeri dengan berbagai sebutan
dan lagu-lagu yang ditanam guru-guru sekolah ke
dalam batin
Juga potret-potret pahlawan yang mengabur
dan kini digantikan orang-orang berbaju safari
dan pakaian seragam
yang begitu sering mondar-mandir di jalanan nasib
mereka
Begitu royal para petinggi itu
menghibahkan berbagai perintah, pungutan dan
larangan
hingga tiba-tiba semua orang menjadi akrab
dengan berbagai macam kehilangan
Dari atas pesawat,
kupandangi hamparan tanah air hijau dan lapang,
namu begitu sempit hingga mereka tak mampu
bahkan untuk sekedar menarik nafas dan membangun
kehidupan.
Ketika waktu makan tiba
kulihat begitu lahap mereka santap sajian di
pesawat:
Ikan tuna saus mentega,
nasi gurih panas,
kue coklat krim buah,
segelas sari jeruk.
Seperti hidangan raja-raja,
mungkin begitu batin mereka.
Dan kini kulihat mereka sepenuhnya
siap menjadi sahaya di mana saja di dunia.
Sekian dulu postingan kali ini, semoga bisa bermanfaat bagi pembaca yang sedang mencari referensi kumpulan puisi Agus R. Sarjono. Wassalamu'alaikum....
0 Response to "Kumpulan Puisi Agus R. Sarjono"
Posting Komentar