Kumpulan
Puisi Afrizal Malna - Assalamu’alaikum… Selamat berjumpa lagi dengan blog
aku. Pada postingan kali ini aku akan berbagi tentang puisi-puisi dari Afrizal
Malna. Langsung saja ya….
Afrizal
Malna lahir di
Jakarta, 7 Juni 1957. Sejak menamatkan SLA pada tahun1976, Afrizal Malna tidak
melanjutkan sekolah. Pada tahun1981, ia belajar di Sekolah Tinggi Filsafat
Driyarkarya, Jakarta,
sebagai mahasiswa khusus hingga pertengahan dikeluarkan pada tahun 1983. Pada usia 27 tahun, Afrizal Malna
menikah. Selama kurang lebih sepuluh tahun ia pernah bekerja di perusahaan
kontraktor bangunan, ekspedisi muatan kapal laut, dan asuransi jiwa. Sekarang
lebih banyak berkiprah di bidang seni, sebagai sutradara pertunjukan seni,
kurator seni instalasi, penyair dan penulis.
Bukunya
antara lain: Abad Yang Berlari (1984), Perdebatan Sastra kontekstual
(1986), Yang Berdiam Dalam Mikropon (1990), Arsitektur Hujan
(1995), Biography of Reading (1995), Kalung Dari Teman (1998), Sesuatu
Indonesia, Esei-esei dari pembaca yang tak bersih (2000), Seperti Sebuah
Novel yang Malas Mengisahkan Manusia, kumpulan prosa (2003), Dalam Rahim
Ibuku Tak Ada Anjing (2003), Novel Yang Malas Menceritakan Manusia
(2004), Lubang dari Separuh Langit (2005). Penghargaan yang pernah
diterima: Kincir Perunggu untuk naskah monolog dari Radio Nederland
Wereldomroep (1981), Republika Award untuk esei dalam Senimania Republika,
harian Republika (1994), Esei majalah Sastra Horison (1997), Dewan Kesenian
Jakarta (1984).
CHANEL OO
Permisi,
saya sedang bunuh diri sebentar,
Bunga dan bensin di halaman
Teruslah mengaji,
dalam televisi berwarna itu,
dada.
(1983)
LEMBU YANG BERJALAN
Aku bersalaman. Burung berita telah
terbang memeluk sayapnya sendiri. Kota telah pergi jauh sampai ke senja. Aku
bersalaman. Matahari yang bukan lagi pusat, waktu yang bukan lagi hitungan.
Angin telah pergi, tidak lagi ucapkan kotamu, tak lagi ucapkan namamu. Aku
bersalaman. Mengecup pesawat TV sendiri... tak ada lagi, berita manusia.
(1984)
MITOS-MITOS KECEMASAN
Kota kami dijaga mitos-mitos
kecemasan. Senjata jadi kenangan tersendiri di hati kami, yang akan kembali
membuat cerita, saat- saat kami kesepian. Kami telah belajar membaca dan
menulis di situ. Tetapi kami sering mengalami kebutaan, saat
merambahi hari-hari gelap gulita. Lalu kami berdoa, seluruh kerbau bergoyang
menggetarkan tanah ini. burung-burung beterbangan memburu langit, mengarak
gunung-gunung keliling kota.
Negeri kami menunggu hotel-hotel
bergerak membelah waktu, mengucap diri dengan bahasa asing. O, impian yang
sedang membagi diri dengan daerah-daerah tak dikenal, siapakah pengusaha
besar yang memborong tanah ini. Kami ingin tahu di mana anak-anak kami dilebur
jadi bensin. Jalan-jalan bergetar, membuat kota-kota baru sepanjang hari.
Radio menyampaikan suara-suara
ganjil di situ, dari kecemasan menggenang, seperti tak ada, yang bisa disapa
lagi esok pagi.
(1985)
GADIS KITA
O gadisku ke mana gadisku. Kau telah
pergi ke kota lipstik gadisku. Kau pergi ke kota parfum gadisku. Aku silau
tubuhmu kemilau neon gadisku. Tubuhmu keramaian pasar gadisku. Ja- ngan
buat pantai sepanjang bibirmu merah gadisku. Nanti engkau dibawa laut, nanti
engkau dibawa sabun. Jangan tempel tanda-tanda jalan pada lalulintas dadamu
gadisku. Nanti polisi marah. Nanti polisi marah. Nanti kucing menggigit kuning
pita rambutmu. Jangan mau tubuhmu adalah plastik warna-warni gadisku. Tubuhmu
madu, tubuhmu candu. Nanti kita semua tidak punya tuhan, nanti kita semua
dibawa hantu gadisku. Kita semua cinta padamu. Kita semua cinta padamu. Jangan
terbang terlalu jauh ke pita-pita rambutmu gadisku, ke renda-renda bajumu, ke
nyaring bunyi sepatumu. Nanti ibu kita mati. Nanti ibu kita mati. Nanti ibu
kita mati.
(1985)
ASIA MEMBACA
Matahari telah berlepasan dari
dekor-dekornya. Tapi kami masih hadapi langit yang sama, tanah yang sama. Asia.
Setelah dewa-dewa pergi, jadi batu dalam pesawat-pesawat TV; setelah
waktu-waktu yang menghancurkan, dan cerita lama memanggili lagi dari
negeri lain, setiap kata jadi berbau bensin di situ. Dan kami terurai lagi
lewat baju-baju lain. Asia. Kapal-kapal membuka pasar, mengganti naga dan
lembu dengan minyak bumi. Membawa kami ke depan telpon berdering.
Di situ kami meranggas, dalam
taruhan berbagai kekuatan.Mengantar pembisuan jadi jalan-jalan di malam hari.
Asia. Lalu kami masuki dekor-dekor baru, bendera-bendera baru, cinta yang
lain lagi, mendapatkan hari yang melebihi waktu: Membaca yang tak boleh
dibaca, menulis yang tak boleh ditulis.
Tanah berkaca-kaca di situ, mencium
bau manusia, menyimpan kami dari segala jaman. Asia. Kami pahami lagi debur
laut, tempat para leluhur mengirim burung-burung, mencipta kata. Asia hanya
ditemui, seperti malam-malam mencari segumpal tanah yang hilang: Tempat bahasa
dilahirkan.
Asia.
(1985)
WARISAN KITA
Bicara lagi kambingku, pisauku,
ladangku, komporku, rumahku, payungku, gergajiku, empang ikanku, genting
kacaku, emberku, geretan gasku. Bicara lagi cerminku, kampakku, meja makanku,
alat-alat tulisku, gelas minumku, album foto keluargaku, ayam-ayamku, lumbung
berasku, ani-aniku.
Bicara lagi suara nenek-moyangku,
linggisku, kambingku, kitab-kitabku, piring makanku, pompa airku, paluku,
paculku, gudangku, sangkar burungku, sepedaku, bunga-bungaku, talang airku,
ranjang tidurku. Bicara lagi kerbauku, lampu senterku, para kerabat-tetanggaku,
guntingku, pahatku, lemariku, gerobakku, sandal jepitku, penyerut kayuku,
ani-aniku.
Bicara lagi kursi tamuku,
penggorenganku, tembakauku, pe-numbuk padiku, selimutku, baju dinginku, panci
masakku, to- piku. Bicara lagi kucing-kucingku... pisau
(1989)
MASYARAKAT ROSA
Dari manakah aku belajar jadi
seseorang yang tidak aku kenal, seperti belajar menyimpan diri sendiri. Dan
seperti usiamu kini, mereka mulai mengira dan meyakini orang banyak, bahwa aku
bernama Rosa.
Tetapi Rosa hanyalah penyanyi
dangdut, yang menghisap keyakinan baru setelah memiliki kartu nama. Di situ
Rosa menjelma, dimiliki setiap orang. Mahluk baru itu kian membesar jadi
se- jumlah pabrik, hotel, dan lintasan kabel-kabel telpon. Rosa membuat
aku menggigil saat mendendangkan sebuah lagu, menghisap siapa pun yang
mendengarnya. Rosa membesar jadi sebuah dunia, seperti Rosa mengecil jadi
dirimu.
Ayahku bernama Rosa pula, ibuku
bernama Rosa pula, seperti para kekasihku pula bernama Rosa. Mereka memanggilku
pula sebagai Rosa, seperti memanggil diri dan anak-anak mereka. Dan
aku beli diriku setiap saat, agar aku jadi seseorang yang selalu baru.
Rosa berhembus dari gaun biru dan
rambut basah, dari bibir yang memahami setiap kata, lalu menyebarkan
berlembar-lembar cermin jadi Rosa. Tetapi jari-jemarinya kemudian basah dan
membiru, ketika menggenggam mikropon yang menghisap dirinya. Di depan layar
televisi, ia menggenang: “Itu adalah Rosa, seperti menyerupai diriku.”
Gelombang Rosa berhembus, turun seperti pecahan-pecahan kaca. Rosa menjelma
jadi lelaki di situ, seperti perempuan yang menjelma jadi Rosa.
Rosa, tontonlah aku. Rosa tidak akan
pernah ada tanpa kamera dan fotocopy. Tetapi kemudian Rosa berbicara
mengenai kemanusiaan, nasionalisme, keadilan dan kemakmuran, seperti me- nyebut
nama-nama jalan dari sebuah kota yang telah melahirkannya. Semua nama-nama
jalan itu, kini telah bernama Rosa pula.
Hujan kemudian turun bersama Rosa,
mengucuri tubuh sendiri. Orang-orang bernama Rosa, menepi saling memperbanyak
diri. Mereka bertatapan: Rosa ... dunia wanita dan lelaki itu,
mengenakan kacamata hitam. Mereka mengunyah permen karet, turun dari
layar-layar film, dan bernyanyi: seperti lagu, yang menyimpan suaramu dalam
mikropon pecah itu.
(1989)
PENYAIR ANWAR
Aku mengaji, anwar anwar
Hidup dari pasar terbuka dalam tubuh
Orang tanah yang ditutup senja, anwar anwar
Berlari seperti kura tak henti membawa jagat
Irama abad, anwar anwar
Berdentang-dentang dalam dagingku
Minta perawan dalam sesaji langit yang jauh
Anwar membelah tubuh jadi kota mengalir
Menyimpan tanah dari hujan dan padi-padi
Anwar mengirim tubuh kaku ke daging-daging
Dihembus pasar ke pohon-pohon sunyi
Jadi penyair seribu tahun. O
Makani Tuhan dalam kuburmu anwar anwar
Aku orang sunyi berlalu dalam cerita
Hidup dari pasar terbuka dalam tubuh
Orang tanah yang ditutup senja, anwar anwar
Berlari seperti kura tak henti membawa jagat
Irama abad, anwar anwar
Berdentang-dentang dalam dagingku
Minta perawan dalam sesaji langit yang jauh
Anwar membelah tubuh jadi kota mengalir
Menyimpan tanah dari hujan dan padi-padi
Anwar mengirim tubuh kaku ke daging-daging
Dihembus pasar ke pohon-pohon sunyi
Jadi penyair seribu tahun. O
Makani Tuhan dalam kuburmu anwar anwar
Aku orang sunyi berlalu dalam cerita
EKSTASE WAKTU
Dunia membuka dunia menutup tak jadi
manusia
Aku kejar ujung jalan menyebelah maut ke mana aku kejar
Dunia sendiri tanpa manusia
Berlari
Seperti perahu tak berkemudi
Terlepas dari jarak:
Beri aku orang!
Aku mau bangun di atas kemakhlukan ini
O matahari membuka matahari menutup tak jadi manusia
Berdiri di kesunyian tubuh aku kejar ke mana aku kejar
Sampai mabuk ketinggian makhluk
Direguk sampai habis tenggorok
Jiwa membuka
Seperti api menghabiskan nyala
Aku kejar ujung jalan menyebelah maut ke mana aku kejar
Dunia sendiri tanpa manusia
Berlari
Seperti perahu tak berkemudi
Terlepas dari jarak:
Beri aku orang!
Aku mau bangun di atas kemakhlukan ini
O matahari membuka matahari menutup tak jadi manusia
Berdiri di kesunyian tubuh aku kejar ke mana aku kejar
Sampai mabuk ketinggian makhluk
Direguk sampai habis tenggorok
Jiwa membuka
Seperti api menghabiskan nyala
BERI AKU KEKUASAAN
Mereka pernah berjalan dalam taman
itu, membuat wortel, semangka, juga pepaya. tetapi aku buat juga ikan-ikan
plastik, angsa-angsa kayu dari Bali, juga seorang presiden dari boneka di
Afrika. Kemana saja kau bawa kolonialisme itu, dan kau beri nama : Jakarta 1945
yang terancam. Beri aku waktu, beri aku waktu, untuk berkuasa.
Kau lihat juga tema-tema berlepasan, dari Pulo gadung ke Sukarno Hatta, atau di Gambir : Jakarta 1957 yang risau. Sepatuku goyah di situ. Orang bicara tentang revolusi, konfrontasi Malaysia, Amerika dan Inggris dibenci pula. Sejarahku seperti anak-anak lahir, dari kapal kolonial yang terbakar. Mereka mencari tema-tema pembebasan, tetapi bukan ayam goreng dari Amerika, atau sampah dari Jerman.
Begitu saja aku pahami, seperti mendorong malam ke sebuah stasiun, membuka toko, bank dan hotel di situ pula. Kini aku huni kota-kota dengan televisi, penuh obat dan sikat gigi. Siapakah yang bisa membunuh ilmu pengetahuan siang ini, dari orang-orang yang tak tergantikan dengan apapun. Beri aku waktu, beri aku waktu, untuk kekuasaan. tetapi sepatuku goyah, menyimpan dirimu.
Mereka pernah masuki tema-tema itu, bendera terbakar, letusan di balik pintu, jerit tangis anak-anak, dan dansa-dansi di malam hari. Lalu : Siapakah yang mengusung tubuhmu , pada setiap kata............
(1991)
Kau lihat juga tema-tema berlepasan, dari Pulo gadung ke Sukarno Hatta, atau di Gambir : Jakarta 1957 yang risau. Sepatuku goyah di situ. Orang bicara tentang revolusi, konfrontasi Malaysia, Amerika dan Inggris dibenci pula. Sejarahku seperti anak-anak lahir, dari kapal kolonial yang terbakar. Mereka mencari tema-tema pembebasan, tetapi bukan ayam goreng dari Amerika, atau sampah dari Jerman.
Begitu saja aku pahami, seperti mendorong malam ke sebuah stasiun, membuka toko, bank dan hotel di situ pula. Kini aku huni kota-kota dengan televisi, penuh obat dan sikat gigi. Siapakah yang bisa membunuh ilmu pengetahuan siang ini, dari orang-orang yang tak tergantikan dengan apapun. Beri aku waktu, beri aku waktu, untuk kekuasaan. tetapi sepatuku goyah, menyimpan dirimu.
Mereka pernah masuki tema-tema itu, bendera terbakar, letusan di balik pintu, jerit tangis anak-anak, dan dansa-dansi di malam hari. Lalu : Siapakah yang mengusung tubuhmu , pada setiap kata............
(1991)
DAFTAR INDEKS
dan berjalan. Dan tidur. Dan
melupakan. Dan menyapu. Dan makan.
Dan mengambil jemuran. Dan memotret
pernikahan orang lain di
sebuah kafe di Shanghai. Dan
membaca. Dan memotong kuku. Dan
memotret kucing kawin di rumah Lely.
Dan menengok kuburan
temanku di surabaya. Dan anaknya
sudah kuliah. Dan anaknya men-
girim sms, siapa bapakku? Dan
anaknya tidak tidur dalam kamar
ibunya. Dan namanya Dya Ginting. Dan
membakar sampah. Dan
memotong rumput. Dan mengambil
kantong plastik yang dibuang
orang di pinggir jalan. Dan mencium
anak anjing. Dan menengok
teman yang menangis di depan
laptopnya. Dan ingin hidup dalam
suara Maria Callas. Dan tak punya
uang. Dan menunggu honor dari
puisi. Dan bertemu mayat Caligula
dalam bahasa. Dan mandi. Dan
ingin mengatakan padamu bahwa aku
sudah mengatakannya.
ANTRI UANG DI BANK
Seseorang datang menemui punggungku
Membicarakan sesuatu, menghitung
sesuatu,
seperti kasur yang terbakar dan
hanyut di sungai.
Lalu ia meletakkan batu es dalam
botol mineralku
SEMINAR PUISI DI SELAT SUNDA
Untuk Goenawan Mohamad
Sebuah meja malam dari kayu, bekas
puntung rokok
yang hangus di permukaannya. Kita
makan bersama.
Malam yang samar-samar di tengah
kota. Sebuah
revolusi yang berganti kaki, di atas
sebuah kapal
perang yang diparkir di Selat Sunda.
Sebuah
perundingan untuk menjemput diri
sendiri: Kaki-kaki
kanan buntung – kaki-kaki kiri
buntung. Tidak tahu,
atau berjalan atau tidak berjalan.
Tidak tahu, atau
duduk atau berdiri. Bau belerang
dari punggung
krakatau, melukis kembali peta-peta
di atas kata-kata
yang menggerutu.
Sebuah kemerdekaan tidak dirancang
dengan
berteriak: musuh sudah ada di luar
pagar, tetapi juga
sudah ada di dalam pagar. Sebuah
republik yang
terbayang di pintu belakang. Seorang
lelaki di pintu
kaca: tidak tahu, apakah ia berjalan
keluar atau
berjalan masuk. Hilir-mudik para
peneliti Indonesia
yang kurang tidur, dalam bahasa
Indonesia yang
lelah. Sebuah bank di antara
tentara-tentara
perdamaian. Aku bersamamu, dalam
satu mobil
tua, lelaki seperti pohon nangka
itu, saling menatap
tetapi tidak saling melihat. Sebuah
buku puisi,
di pangkuan seorang perempuan.
“Di manakah kita, melihat kata,
sebagai kematian
seorang ibu.”
Sebuah pintu, entah di belakang
rumah entah di
depan rumah. Sebuah pintu kaca untuk
melihat
ke luar untuk melihat ke dalam.
Sebuah kata untuk
membungkam selogan. Seorang Sukarnois
yang me-
nyimpan kartu pos patung liberty di
saku
mantelnya. Sebuah nyanyian cinta
dari Leonard
Cohen yang parau: Dance me to the
end of love.
Asap rokok tentang pendidikan para
pemimpin, di
antara korek api dan badai sebuah
pesta. Seorang
lelaki yang menggenggam tangisnya di
sudut sebuah
restoran. “Aku melangkah dari sebuah
koran lokal,
sejak masa remajaku, di sebuah desa,
antara revolusi
3 kota. Dan sebuah novel tentang
kejahatan tentara
gerilya, di halaman-halaman yang
dipasangi alarem.”
Sebuah poster pertunjukan. Di luar
atau di dalamkah
pertunjukan itu berlangsung?
Bagaimanakah Kunti
menghanyutkan anaknya? Karna,
bagaimanakah,
Karna? Bagaimanakah matahari
menciptakanmu
dari anak-anak panah, dan
menjemputmu kembali
di sebuah pagi yang merah. Bagaimanakah
Caligula
membenamkan akal sehat ke dalam
keuangan
negara? Ceritakanlah sekali lagi, Caesonia,
bagaimanakah
aku menitipkan cinta dalam
pelukanmu, ketika semua
telah menjadi gila di tangan
suamimu. Kekuasaan
telah mengambil cahaya bulan dari
ladang pikiran
kita. Bagaimanakah puisi membuat
kita bisa berjalan
bersama bayangan sendiri, melewati
diri kita sendiri
yang masih tertidur di sebuah
kereta.
Seorang penjaga tiket pertunjukan,
juga seorang
penjual air bersih di sebuah kantor
majalah. Seorang
wartawan yang membidik dengan kata.
Sebuah
kamera di dasar bahasa. Dan seorang
lelaki di jen-
dela kaca. Sebuah kantor majalah
yang
kontruksinya tertanam di abad 19,
sebelum perang
dunia, sebelum menukar rempah-rempah
dengan
sebuah bangsa. Jalan gula yang
membuat jalur kereta
dari Klaten ke Amsterdam. Lelaki
itu, bayangannya
di luar dan bayangannya di dalam.
Bau tembakau
mengubah kenangan tentang mantel
yang dikena-
kannya, antara warna tanah dan lebih
kelam lagi dari
warna pasir. Warna yang mengecat
sejarah kembali
ke warna yang sama. Bau tembakau
yang menggeng-
gam kesedihan dalam sebuah lubang
pentilasi.
“Apakah aku telah berdurhaka padamu,
ibu, agar
kau tidak lagi melahirkan seorang
pembunuh.”
Udara AC jam 2 malam mengingatkannya
tentang
sebuah hutan kata-kata. Sebuah
republik di lantai
dua, bukan? Dan pertengkaran tentang
di mana letak
tangga itu untuk naik ke lantai dua,
antara musim
hujan dan perkebunan tebu yang sudah
kita bakar.
Sebuah revolusi di antara kaki-kaki
yang berganti.
Sebuah malam yang aku sisipkan dalam
buku sejarah
puisi Indonesia modern. Dingin
yang tak tercatat di
halaman itu. Dan sisa-sisa cahaya
bulan sebelum
gerhana. Cukup dengan 1000 slogan
untuk
menggenggam kesedihan yang
menggenang di lantai
dua. Cahaya matahari pagi bertahan
di atasnya.
Untuk harapan, untuk ibu-ibu penjual
nasi bungkus
di pasar rakyat. Apakah. Apakah
materialisme sejarah
telah mati, dalam sebuah mata kuliah
psikologi
tentang kelas sosial? Apakah. Apakah
revolusi telah
dihapus, dalam sebuah kapal dagang
yang berlayar
di jalur api? Menciptakan milisi
jadi-jadian untuk
meruntuhkan daya hidup bersama.
Apakah. Tentang.
Tetapi.
Lelaki itu berdiri di atas tangga
dan turun ke lantai
bawah. Dia seperti terus berjalan di
tangga itu. Setiap
dia melangkah, anak-anak tangga itu
seperti terus
bertambah, hampir lebih cepat dari
langkahnya sendiri.
Langkah yang menciptakan anak-anak
tangga
daripada melalui anak-anak tangga
itu sendiri.
Apakah dia sedang turun – apakah dia
sedang naik.
Menambahkan waktu dalam sebuah
kereta pada
setiap langkahnya. Berikan aku
sebuah kata, untuk
tidak mengatakan apapun tentang luka
yang
tumbuh di halaman pertama sejarah
kebangsaan.
Dan tentang diriku sendiri yang
masih mencium bau
pikiran dari topi yang pernah kau
kenakan. Pikiran
yang berusaha mengubah sebuah
tangisan menjadi
gerimis, sore yang samar-samar di
antara daun-daun
yang tumbuh merambat. Kebebasan yang
dirawat
dalam sebuah perjudian antara
Duryudana dan
Yudhistira.
Aku mengenal lelaki itu. Seseorang
yang berjalan
seperti dengan suara kertas koran
yang diremas.
Suara antara puisi dan puing-puing
kata. Dia seperti
sebuah pagi, di antara kerumunan
malam yang
samar-samar. Dia ingin menjemput
kembali revolusi
itu, dengan sebauh opera tentang
kesunyian.
“Kita telah melihat, seorang ibu
membuat sebuah
luka di mulut seekor harimau.” Untuk
para sahabat,
dan sebuah kata yang tidak bisa
mengatakan: angin
yang mengirim garam, menjaga musim
hujan di
Utara. Di sini.
MENGGODA TUJUH KUPU-KUPU
Aku tidak berjalan dengan mata
melek. Kau pergi dengan mata
tidur. Orang di sini membawa beban
berat. Bukan soal melihat.
Dalam beban itu isinya sampah. Bukan
pergi dan tidak tidur. Kita
sibuk mencari tempat membuang sampah
itu untuk mengisinya
kembali dengan sampah. Kau pergi
dengan mata tidur. Aku tidak
berjalan dengan mata melek dan tidak
mengukur yang terlihat.
Kau latihan yoga dan menjadi tujuh
kupu-kupu. Aku melihat kau
terbang dan tidak bisa ikut masuk ke
dalam kupu-kupumu. Ke-
adaan seperti gas padat dalam lemari
es. Tetapi tidak ada ledakan.
Aku tidak mendengar suara ledakan
dalam puisi ini. Di sini hidup
menjadi mudah, karena memang hidup
sudah tidak ada. Menjadi
benar oleh kebohongan-kebohongannya.
Menjadi indah oleh
kerusakan-kerusakannya. Aku di dalam
pelukanmu dan di luar
terbangmu. Membayangkan tujuh
kupu-kupu mulai menanamkan
sayapnya dan menanamkan terbangnya.
Mengganti bumi pertama
dengan rute sungai Marne yang
membelah mimpi-mimpimu.
DI SEBERANG SELEMBAR DAUN
Aku bukan seluruh daun di pohon ini.
Aku hanya
selembar daun di pohon ini. Hanya
pohon ini dan
hanya selembar daun. Aku hanya
selembar daun
yang tumbuh di leherku. Hanya
berwarna hijau sep-
erti selembar daun. Aku hanya
selembar daun yang
berbicara menggunakan mulutku.
Maksudku,
mulutku adalah selembar daun yang
berbicara
menggunakan mulutku. Maksudku, aku
hanya
selembar daun yang selembar daun.
Jangan rayu aku
untuk menjadi pohon walau kau
berikan tuhan kepa-
daku. Jangan rayu aku untuk menjadi
seluruh daun
pada pohon ini walau kau berikan
janji kematian pa-
daku. Aku bukan soal kematian dan
soal tuhan. Aku
mirip, maksudku mirip dengan
pertanyaan aku hidup
bukan untuk seluruh yang kau katakan
setelah
kematian. Setelah kematian aku bukan
hidup dan ke-
matian bukan selembar daun yang
mewakili seluruh
daun di pohon ini.
Aku hanya selembar warna hijau dari
pohon yang
aku tak tahu namanya. Pohon yang
membuat aku
tahu aku berada di sini dan hidup di
sini. Maksudku,
jangan kau takuti aku seperti
kanak-kanak yang
berlari di seberang kematian. Aku
mengingatnya,
waktu-waktu, dan, lihatlah di luar
sana, lihatlah
orang-orang berjalan dengan kakinya,
pohon-pohon
tumbuh, anak-anak bermain merasakan
kebahagiaan
memiliki tawa, langit yang dibuat
dari rambut
perempuan. Aku adalah selembar daun
yang dijahit
pada sebatang pohon.
PROPOSAL POLITIK UNTUK POLISI
“Toean-toean, saja mendjamin bahwa pemerintahan kita
tidak lagi popoeler, baik di antara rakjat ketjil maoepoen
pedjabat boemiputra rendahan ataoe pedjabat tinggi …
rasa tidak puas jang merebak, baik di kalangan para bang-
sawan maoepoen rakjat djelata, terhadap bagaimana tjara
pemerintah dikelola dan keadilan ditegakkan. Sedjak akhir
1900, muntjul sematjam gerakan terorisme … ataoepoen
gerakan perlawanan terhadap pemerintah. Tampaknja di
pusat birokrasi pemerintahan tidak memahami makna ini
semua.” (P.J.F. van Heutsz, 1904-06)
Aku dilanda kedatangan diriku
sendiri, di sana dan di sini. Melihat
kegagalan yang terus-terang di
setiap yang kuciptakan. Antara
mesin-mesin dan sistem dalam lubang
kesunyian, pembelian dan
penjualan yang saling membuang.
Hiburan dan barang-barang
yang dibeli di sana dan di sini.
Kenangan dalam puing-puing
perubahan. Sisa-sisa hutang dalam
peti mati tak terkunci. Pidato
musim hujan di semua saluran
keadilan yang tenggelam. Tanah
dan suara api di atas meja makan.
Kau dan aku berdiri di sini.
Tetapi tidak pernah berdiri bersama.
Aku memotret telapak tanganku
sendiri, seperti memotret sebuah
kepulauan terbuat dari bubur kertas.
Pengeluaran terus-menerus
di sana dan di sini, lebih panjang
dari jalan yang kulalui ke depan
dan ke belakang. Suara gesekan
butir-butir beras dalam panci,
seperti data-data ekonomi yang
kehilangan mesin hitung. Hatiku
tenggelam dalam permainan sejarah
dan baju untuk masuk surga.
Laporan keuangan yang berjalan-jalan
di akhir tahun. Daya hidup
yang menjadi puing-puing dalam
perdagangan ilmu pengetahuan,
data-data di sana dan di sini.
Kesehatan yang diramalkan vitamin C
dan sikat gigi. Aku dilanda
kedatangan diriku sendiri,
untuk membeli kesunyian, udara
bersih dan lapangan
kerja.
Tuan-tuan, bisakah kegagalan
dipotret, untuk melihat
bagaimana caranya kita tertawa dan
tersenyum.
Bisakah kita memotret sikat gigi di
tengah puing-
puing daya hidup yang terus digempur
dari sana dan
dari sini. Daya hidup yang menjadi
mainan pendaya-
gunaan kekerasan. Laporan
pertumbuhan penduduk
yang menjadi api pada jam makan
malam kita.
Tuan-tuan, bisakah kita membaca
sekali lagi, dari
huruf-huruf tak bermakna. Dan mereka
menciptakan
bahasa, dari setiap kegagalan, dari
setiap sejarah luka
di sana dan di sini, dari dansa
perpisahan di malam
minggu. Berdirilah kita di sini,
seperti tanaman yang
menunggu tukang kebun. Tidak
membiarkan sebuah
kepulauan menjadi saluran got
bersama.
Tuan-tuan. Di sana dan di sini.
Musim hujan yang
telah berwarna biru di kotamu.
MESIN PENGHANCUR DOKUMEN
Ayo, minumlah. Tidak. Saya tidak sedang
es kelapa
muda. Makanlah kalau begitu, tolonglah.
Tidak. Saya
tidak sedang nasi rames. Masuklah ke
kamar mandi
saya, tolonglah kalau tidak
haus, kalau tidak lapar,
kalau bosan makan. Perkenankan aku
memberikan
keramahan padamu, untuk seluruh
kerinduan yang
menghancurkan dinding-dinding egoku.
Bagaimana
aku bisa keluar kalau kamu tidak
masuk.
Kamu bisa mendengar kamar mandiku
memandikan
tata bahasa, di tangan penggoda
seorang penyiar TV.
Perkenankan aku membimbing tanganmu.
Masuk-
lah di sini yang di sana. Masakini
yang di masalalu.
Masuklah kalau kamu tak suka tata
bahasa. Tolonglah
kalau begitu, ganti bajumu dengan
bajuku. Mesin
cuci telah mencucinya setelah aku
mabuk, setelah
aku menangis, setelah aku bunuh diri
12 menit yang
lalu. Bayangkan tubuhku dalam baju
kekosongan itu.
Tolonglah bacakan kesedihan-kesedihanmu:
“Kemarin aku bosan, hari ini aku
bosan, besok akan
kembali lagi bosan yang kemarin.”
Apa tata bahasa
harus diubah menjadi museum es krim
supaya kamu
tidak bosan. Tolonglah. Semua
yang dilakukan atas
nama bahasa, adalah topeng api.
Pasar yang
mengganti tubuhmu menjadi mesin
penghancur
dokumen. Tolonglah, aku hanya
seseorang dalam
prosa-prosa seperti ini, seorang
pelancong yang
meledak dalam sebuah kamus. Sebuah
puisi murung
dalam mulut mayat seorang penyair.
Tolonglah, tidurkan aku dalam kesunyianmu
yang
tak terjemahkan. Mesin penghancur
dokumen yang
sendirian dalam kisah-kisahmu.
MANTEL HUJAN DUA KOTA
Kota itu telah jadi Semarang sejak
air laut ingin
mendaki bukit, dan pesta tahun baru
di ruang dalam
bangunan-bangunan kolonial. Minum
persahabatan
dan melukis fotomu pada dinding
musim hujan.
Sepanjang malam ia mengenakan mantel
dari listrik:
kota yang mengapung 45 derajat di
atas sejarah.
Dalam mantelnya, rokok kretek dan
kartu atm.
Mahasiswa bergerombol di warung
kopi, mengambil
ilmu sastra, ilmu komunikasi,
antropologi dan
jam-jam belajar dari pecahan kaca.
Akulah anak
muda yang bisa memainkan bas
elektrik, blues
dengan sisa-sisa kerusuhan dan sisir
yang patah. Aku
telah banjir di lapangan kerja dan
kenaikan gaji
pegawai negeri. Para arsitek yang
membuat desain
kota bersama air laut dan hujan.
Biarlah aku sampai ke batas tepi
ini, untuk jejak yang
membuat lubangnya sendiri.
Kereta keluar dari mulut stasiun
Yogyakarta, bau
tembakau dari pesta seni rupa dan
sapi goreng. Aku
kembali bernapas setelah ribuan billboard
kota
adalah mataku yang terus berputar,
waktu yang
terasa perih. Rel kereta api masih
menyimpan saham-
saham VOC sampai Semarang. Tanah
keraton yang
menyimpan telur ayam, mantel biru
masih
menyanyikan keroncong Portugis. Bau
tebu, bau padi,
bata merah yang dibakar. Aku telah
Yogyakarta
setelah berhasil menjadi orang sibuk
tidak mandi 2
hari, menggunakan excel untuk
agenda-agenda
padat. Dan bir dingin di antara
janji-janji.
Aku telah dua kota dalam perjalanan
dua jam
bersambung sepeda 6 jam pagi.
Biarlah aku sampai
ke batas tepi ini. Sebuah kota yang
terbuat dari jam
6 pagi, dan aku mempercayainya
seperti genta yang
berbunyi tanpa berbunyi, bayangan
gunung sebelum
biru dan sebelum kelabu dan sebelum
di sini.
TEKNIK MENGHIBUR PENONTON
Kebahagiaan peti mati mengucapkan
selamat tahun baru.
Maksudku, peti mati dan tahun
baru.
Kata-kata melintasinya dan jatuh
seperti burung yang
ditembaki dalam mata pelajaran
biologi.
Intelektualitas yang merasa bisa menjadi
mediator
antara tubuh dan realitas,
terjungkal dari rak buku.
Maksudku terjungkal dan rak
buku.
Titik dan koma tersesat dalam
perangkap titik dan koma.
Kata-kata telah ditundukkan oleh
badai kamus.
Dipisahkan lagi antara badai dan
kamus.
Sebuah bossanoba di tengah api
perpustakaan.
Dipisahkan lagi antara musik dan
api dalam perpustakaan.
“Tuan penghibur,” kataku, untuk
melihat rohku
di antara kumpulan harga apartemen
dan tiket
pertandingan sepak bola.
Baskom dalam timbunan penduduk kota.
Tepuk tangan para pembuat parfum
dan mesin pencetak dari rumah sakit.
Thank you.
Tuan penghibur.
Thank you.
TUBUH LUBLINSKIE DI LORONG ES HITAM
Untuk gas
Musim panas berjalan-jalan di luar
bajumu.
Dari seluruh warna merah yang
dipadatkan.
Baju dengan jahitan tentang
ketakutan
dan kesedihan. Lorong es hitam
pelarian Yahudi
di Grodzka, jadi jalan turis.
Musim panas yang masih menjahit
gerimis,
setiap jendela cuaca dibukan dan
ditutup.
Tidak tentang yang terkunci di luar
atau di dalam.
Tentang bibirmu
meninggalkan biji cengkeh di
lidahku.
Membisikkan puisi-puisi Wislawa
Szymborska,
dengan tas koper terus memunguti
bayangan kita
di belakang. Tidak memisahkan
kalimat dengan koma,
setelah masa lalu dan masa kini.
Kita meminjam sayap burung untuk
tidak
berbahasa lagi seperti manusia.
Terbang.
Seperti dalam ruang di luar suhu
kematian.
Seperti matahari menawarkan ilusi
tentang bayangan,
dan sebuah bis yang membawa malam ke
Warsawa.
Malam yang terus direnovasi dalam
lampu-lampu
kota yang sedih.
Menggeser musim panas ke tangga
menuju
kastil-kastil kesunyian,
kafe-kafe yang menyembunyikan
teriakan
dari tenggorokan terluka.
Mata lelaki dalam kantong plastik
mulai berkerumun di taman kota.
Pelayan kafe membawa menu sejarah,
secangkir kopi dan ice cream tentang
kita.
Lukisan sejarah perang dan kunci
besi
di Museum Lublinskie.
Kita berjalan di sebuah kota yang
telah menjadi
selembar menu makanan.
Deru pesawat dan kereta masih
merenovasi pelukan
kita, antara passport, peta
perjalanan dan gereja-
gereja tua. Aku tidak tahu lagi
bedanya antara
memeluk dan bersujud memuja
kesedihanmu.
Di tas koperku masih peti mati yang
meminta visa
untuk kebebasan bernapas.
Sayangku, tidur tidak bisa mengecat
mimpi kita.
Lublin telah menjadi piano kesunyian
di luar malam.
WORKSHOP 5: TAWANAN AKU
gema suaranya kembali lagi membuat
dinding bunyi
dari suaranya
berdiri melingkar
di depan bulatan penuh perangkap
waktu
jari-jari yang menggenggam tikus
dan perangkapnya di belakang membuat
makan malam
seperti bayangan yang meninggalkan
bentuknya
memecah, tertawa, kisah-kisah perang
yang
dimuntahkan kembali dari
ketakutannya
cermin yang menjadi buta ketika
melihat
dinding di dalamnya
dan selembar rambut di atas koran
pagi
air yang menyeberang di atas
jembatan
melintasi sungai
melintasi tetesannya
tanpa prasangka di hadapan daun
kering yang
menyimpan gema dari
hutannya
JEMBATAN REMPAH-REMPAH
Adas manis · Akar wangi · Andaliman
· Asam jawa ·
Asam kandis · Bangle · Bawang bombay
· Bunga la-
wang · Bawang merah · Bawang putih ·
Cabe · Ceng-
keh · Cendana · Damar · Daun bawang
· Daun pandan
· Daun salam · Jembatan dari bumbu
dapur ke darah
Colombus · Gaharu · Gambir · Jahe ·
Jeruk limo · Jeruk
nipis · Jeruk purut · Jintan ·
Kapulaga · Kayu manis ·
Kayu putih · Kayu mesoyi ·
Kecombrang · Kemenyan ·
Kemiri · Kenanga · Kencur · Kesumba
· Ketumbar · Ko-
pal · Kunyit · Lada · Jembatan dari
parfum ke darah
Vasco da Gama Tabasco · Laurel ·
Lempuyang · Leng-
kuas · Mawar · Merica · Mustar ·
Pala · Pandan wangi ·
Secang · Selasih · Serai · Suji ·
Tarum · Temu giring ·
Temu hitam · Temu kunci · Temu lawak
· Temu mang-
ga · Temu putih · Temu putri · Temu
rapet · Jembatan
dari obat-obatan ke benteng
perempuan berkalung
mawar merah · Adas manis · Akar
wangi · Andaliman ·
Asam jawa · Asam kandis · Bangle ·
Bunga lawang ·
Bawang putih · Cabe · Cengkeh ·
Cendana · Damar ·
Temu tis · Vanila · Wijen · Jembatan
dari Diogo Lopes
de Mesquita ke darah Ternate ·
Gaharu · Gambir ·
Jahe · Jeruk nipis · Jintan ·
Kapulaga · Kayu manis ·
Kayu putih · Kemenyan · Kemiri ·
Kenanga · Kencur ·
Kesumba · Ketumbar · Kunyit · Lada ·
Jembatan api
yang terus mengirim kapal ke
arsip-arsipmu.
MIGRASI DARI KAMAR MANDI
Kita lihat Sartre malam itu, lewat Pintu
Tertutup: menawarkan manusia mati dalam sejarah orang lain. Tetapi
wajah-wajah Dunia Ketiga yang memerankannya, masih merasa heran dengan ke-
matian dalam pikiran: “Neraka adalah orang-orang lain.” Tak ada yang memberi
tahu di situ, bagaimana masa lalu berjalan, memposisikan mereka di sudut sana.
Lalu aku kutip butir-butir kacang dari atas pangkuanmu: Mereka telah melebihi
diriku sendiri.
Wajahmu penuh cerita malam itu,
menyempatkan aku mengingat juga: sebuah revolusi setelah hari-hari kemerdekaan,
di Peka- longan, Tegal, Brebes; yang mengubah tatanan lama dari
tebu, udang dan batik. Kita minum orange juice tanpa masa lalu di situ,
di bawah tatapan Sartre yang menurunkan kapak, rantai penyiksa, alat-alat
pembakar bahasa. Tetapi mikropon meraihku, mengumumkan migrasi berbahaya, dari
kamar mandi ke jalan-jalan tak terduga.
Di Ciledug, Sidoarjo, Denpasar,
orang-orang berbenah meninggallkan dirinya sendiri. Migrasi telah kehilangan
waktu, kekasihku. Dan aku sibuk mencari lenganmu di situ, dari rotasi-rotasi
yang hilang, dari sebuah puisi, yang mengirim kamar mandi ke dalam sejarah
orang lain.
(1993)
BUKU HARIAN DARI GURINDAM DUABELAS
Kau telah ambil lenganku dari sungai
Siak, sebelum Raja Ali Haji berkata: Bismillah permulaan kalam.”
Dan kapal-kapal bergerak membawa Islam, membawa para nabi, sutra, barang-barang
elektronik juga. Tetapi seseorang mencarimu hingga Piz Gloria, kubah-kubah
putih yang mengirimku hingga Senggigi. 150 tahun kematian Friedrich Holderlin,
jadi penyair lagi di situ, hanya untuk menjaga cinta. Gerimis
membawa kota-kota lain lagi, tanaman palma dan kenangan di jendela: Siti
berlari-lari, menyapu halaman jadi buah mangga, apel, dan kecapi juga.
Kini dia bukan lagi kisah batu-batu,
pelarian tempo dulu, atau seorang biu mengajar menyapu. Kini setiap
tubhnya membaca Gurindam Duabelas, mengirim buku harian, untuk masa silam
seluruh unggas. Kita saling mencari, di antara pikiran yang dicurigai, lebih
dari letusan, menumbangkan sebuah bahasa di malam hari. “Puan-puan dan Tuan-tuan,”
kata Siti,”aku melayu dari Pejanggi.” ... Dan sungai Siak jadi sepi, jadi lebih
dalam lagi dari Gurindam Duabelas.
Lenganmu, membuat bahasa lain lagi
di situ; untuk orang-orang di pelabuhan, menjual beras, sayuran, radio,
ikan-ikan juga. Dan aku berlari-lari. Ada rumah di situ, setelah jalan
berkelok.Ini untukmu, bahasa dari letusan itu, penuh suaramu melulu.
(1993)
KEBIASAAN KECIL MAKAN COKLAT
“Aku tak suka kakimu berbunyi.”
“Ini coklat, seperti cintaku
padamu.”
James Saunders membuat drama dari
kereta dan permen coklat di situ, menyusun persahabatan dari orang-orang
yang tak bisa saling menemani: Kita adalah kegugupan bersama, sejak berusaha
mencari arti lewat permen coklat, dan kutu pada lipatan baju. Jangan menyusun
flu di situ, seperti menyusun jendela kereta dari dialog-dialog Romeo. Tetapi
Suyatna ingin menemani sebuah dunia, sebuah pentas, dengan dekor dan baju-baju,
pita- pita pada jalinan rambut sebahu.
Tak ada stasiun kereta pada kerut
keningmu, seperti kegelisahan membuat pesta di malam hari. Lihat di luar sana,
orang masih percaya pada semacam kebahagiaan, seperti memasukkan seni
peran dalam tas koper. Tetapi kenapa kau tinggalkan dirimu dalam toilet. Jangan
ledakkan sapu tanganmu, dari kebiasaan kecil seperti itu.
Aih, biarlah kaki itu terus
berbunyi, makan coklat terus berlalu, kutu-kutu di baju, cinta yang penuh
kegugupan ditonton orang. Tetapi jangan simpan terus ia di situ, seperti
dewa-dewa berdebu dalam koper, berusaha memberi arti dengan mengisap permen
gula.
Ini coklat untukmu.
Jangan mengenang diri seperti itu.
(1994)
Sekian
dulu postingan kali ini, semoga bisa bermanfaat bagi pembaca yang sedang
mencari referensi kumpulan puisi Afrizal Malna. Wassalamu’alaikum….
0 Response to "Kumpulan Puisi Afrizal Malna"
Posting Komentar