Kumpulan Puisi Abdul Hadi WM - Assalamu’alaikum… Selamat berjumpa lagi dengan blog aku yang sederhana ini. Pada postingan kali ini aku akan berbagi tentang puisi-puisi dari Abdul Hadi WM. Pada kumpulan puisi karya Abdul Hadi WM ini terdapat sekitar 39 puisi. Langsung saja discroll ke bawah ya….
Prof. Dr. Abdul Hadi WM atau nama
lengkapnya Abdul Hadi Wiji Muthari (lahir di Sumenep, 24 Juni 1946) adalah
salah satu sastrawan, budayawan, dan ahli filsafat Indonesia. Ia dikenal
melalui karya-karyanya yang bernafaskan sufistik, penelitian-penelitiannya
dalam bidang kesusasteraan Melayu Nusantara dan pandangan-pandangannya tentang
Islam dan Pluralisme.
Sekitar tahun 1970-an, para pengamat
menilainya sebagai pencipta puisi sufis. Ia memang menulis tentang kesepian,
kematian, dan waktu. Seiring dengan waktu, karya-karyanya kian kuat diwarnai
oleh tasawuf Islam. Orang sering membandingkannya dengan sahabat karibnya
Taufik Ismail, yang juga berpuisi religius. Namun ia membantah. “Dengan
tulisan, saya mengajak orang lain untuk mengalami pengalaman religius yang saya
rasakan. Sedang Taufik menekankan sisi moralistisnya.”
Saat itu sejak 1970-an kecenderungan
estetika Timur menguat dalam sastra Indonesia kontemporeran, puitika sufistik
yang dikembangkan Abdul Hadi menjadi mainstream cukup dominan dan cukup banyak
pengaruh dan pengikutnya. Tampak ia ikut menafasi kebudayaan dengan puitika
sufistik dan prinsip-prinsip seni Islami,ikut mendorong masyarakat ke arah
pencerahan sosial dan spiritual yang dianggap sebagai penyeimbang pengaruh
budaya Barat hedonis dan sekuler.
Sampai saat ini Abdul Hadi telah menulis
beberapa buku penelitian filsafat di antaranya Kembali ke Akar Kembali ke
Sumber: Esai-esai Sastra Profetik dan Sufistik (Pustaka Firdaus, 1999), Islam:
Cakrawala Estetik dan Budaya (Pustaka Firdaus, 1999), Tasawuf Yang
Tertindas, serta beberapa buku kumpulan puisi antara lain At Last We
Meet Again, Arjuna in Meditation (bersama Sutardji Calzoum Bachri
dan Darmanto Yatman), Laut Belum Pasang, Meditasi, Cermin,
Tergantung pada Angin, Potret Panjang Seorang Pengunjung Pantai Sanur,
Anak Laut Anak Angin, Madura: Luang Prabhang dan Pembawa Matahari,
sejumlah karya terjemahan sastra sufi dan sastra dunia, terutama karya Iqbal,
Rumi, Hafiz, Goethe, penyair sufi Persia dan penyair modern Jepang. Selain itu,
ia juga menulis beberapa buku dongeng anak-anak untuk Balai Pustaka.
SAJAK SAMAR
Ada yang memisah kita, jam dinding
ini
ada yang mengisah kita, bumi
bisik-bisik ini
ada. Tapi tak ada kucium wangi
kainmu sebelum pergi
tak ada. Tapi langkah gerimis bukan
sendiri
1967
MADURA
Angin pelan-pelan bertiup di
pelabuhan kecil itu
ketika tiba, dengan langit, pohon,
terik, kapal
dan sampan yang tenggelam di pintu
cakrawala
Selamat pagi tanah kelahiran
Sebab aku tak menghitung untuk ke
berapa kali
Kapan saat menebal pada waktu
Sebab aku tahu yang paling berat
adalah rindu
Sangsi selalu melagukan hasrat dan
impian-impian
Dan adakah yang lebih nikmat
daripada bersahabat
dengan alam, dengan tanah kelahiran,
dan
dengan kerja serta dengan kehidupan?
Aku akan mengatakan, tapi tidak
untuk yang penghabisan:
Ketenangan Selat Kamal
adalah ketenangan hatiku
membuang pikiran dangkal
yang mengganggu sajakku
kurangkul tubuh alam
seperti mula kelahiran Adam
sedang sesudah mengembara
baiklah kita rahasiakan
dari perjalanan ini
aku membawa timbun puisi
bahwa aku selalu asyik mencari
keteduhan mimpi
kebiruan Selat Kamal
adalah kebiruan sajakku
dan terasa hidup makin kekal
sesudah memusnah rindu
bertemu segala milik dan hak
dalam cinta dan sajak
noktah-noktah berdebu di bersihkan
di kedua tangan
kuberi pula salam sayup
kepada pantai yang berbatas pasir
dan langit yang mulai redup
pada waktu sajak lahir
Kedangkalan Sungai Sampang
adalah kedangkalan hatiku
menimbang hidup terlalu gamang
dan di situ ketergesaan mengganggu
dan terlalu tamak
dengan kesempurnaan
dengan sesuatu yang bukan hak
dengan kejemuan
tetapi sekali saat tiba juga
pada suatu tempat
tanpa petunjuk siapa-siapa
asal kita bersempat
mengerti juga kenapa kiambang
bertaut sepanjang sungai
dengan belukar dan kembang-kembang
sebelum kita sampai ke dasar dan
muaranya
Diamnya Sungai Sampang
adalah diamnya sajakku
sekali waktu banjir datang
sekali waktu airnya biru
dan bertetap tujuan
ke suatu muara
yang berasal dari suatu daerah
pegunungan
untuk sumber pertama
Kerendahan Bukit Payudan
adalah kerendahan hatiku
menerima nasib dalam kehidupan
di atas kedua bahu
sesekali pernah kita
tidak tahu tentang kelahiran
dan bertakut menjadi tua
karena ancaman kematian
Keramahan Bukit Payudan
adalah keramahan sajakku
untuk mengerti kepastian
yang lebih keras dari batu
sesekali pernah kita
tidak tahu ke mana mengembara
kemudian muncul kembali di tanah
kesayangan
dengan kehampaan di tangan
tak seorang menyambut datang
tak seorang menanti pulang
tak seorang menerima lapang
atau membacakan tembang-tembang
dan kesia-siaan begini
akan selalu kualami
namun tak selalu kusesali
sebab kubenam sebelum jadi
Keterpencilan desa Pasongsongan
adalah keterpencilan hatiku
sebelum memulai perjalanan
ke jauh kota dan pulau
tapi keabadian lautnya kini
telah mengembalikan cintaku
tanah yang pernah tersia sebelum
dimengerti
dan ditinggalkan rasa kebanggaanku
dan sebagai anak manusia
sekali aku minta istirah mengembara
berhenti membuat puisi yang mendera
dan berhenti memikat dara-dara
sebab di sinilah tumpahnya
darah kita pertama
dan terakhir berhentinya
mengaliri nadinya
1967
ANGIN: MENDESIR LAGI
Angin; mendesir lagi
Hampir mengantuk
Ada sepi
Berbisik di dahan-dahan pohon
Lagi tahu, gerimis turun
Di luar kamar yang tembaga
Di luar rongga kata
Engkau gemetar karena musim
Cemas dalam kata
Dan tahu: ada yang tiada
Bangkit di jendela
Dan mungkin: senja
1968
GNOTI SEAUTON
Manusia bebas, ruhnya bagai
firman Tuhan, embun dalam cuaca
putih
mencucinya
Manusia bebas, ruhnya berjalan
ke tempat-tempat jauh dan menemui
para nabi dan orang suci
Di muka laut, ditemuinya batu karang
dan awan buruk
Manusia bebas, ruhnya bagai
rantai emas yang dibelenggu matahari
dan waktu
Di tengah alam yang sempit: Nasib
menyesak jantung dan tenggorokan
dan menimbulkan batuk dan dahak
kotor
di tengah alam yang sempit: Kita
mencari puncak kenikmatan
Manusia bebas, ruhnya mencari
bayang-bayang Tuhan
gambar binatang
perwujudan dewa-dewa
yang putus asa
Di gerbang kuil besar:
Ruh terbang dan tidak kembali
1969
LAGU DALAM HUJAN
Merdunya dan merdunya
Suara hujan
Gempita pohon-pohonan
Menerima serakan
Sayap-sayap burung
Merdunya dan merdunya
Seakan busukan akar pohonan
Menggema dan segar kembali
Seakan busukan daungladiola
Menyanyi dalam langsai-langsai
pelangi biru
Memintas-mintas cuaca
Merdunya dan merdunya
Nasib yang bergerak
Jiwa yang bertempur
Gempita bumi
Menerima hembusan
Sayap-sayap kata
Ya, seakan merdunya suara hujan
Yang telah menjadi kebiasaan alam
Bergerak atau bergolak dan bangkit
Berubah dan berpindah dalam pendaran
warna-warni
Melintas dan melewat dalam dingin
dan panas
Merdunya dan merdunya
Merdu yang tiada bosan-bosannya
Melulung dan tiada kembali
Seakan-akan memijar api
1970
EXODUS
Menyandang beban sunyi ini di sini
Menyandang beban salib ini di sini
Menyandang kehilangan
Yang seakan
Genderang mainan dipukul ombak
Di antara teluk dan pasir pantai
Serta senja yang menutup dinding
laut ini
Kau mencari
Jejak nelayan
Nyiur tidak mendesir dan pelabuhan
Sudah jarang dikunjungi kapal-kapal
Menyandang sepi ini di sini
Menyandang kesal pikiran dan
kekacauan ini
Menyandang mainan
Yang diberai ombak, senja, teluk dan
pasir hitam
Seakan pecahan batu karang pada
pantai yang legam
Kau mencari
Jejak nelayan
Nyiur tidak mendesir dan pelabuhan
Sudah jarang dikunjungi pelaut
Burung-burung pantai pergi, senja
pergi
Tinggal genderang mainan ini
Berbunyi dan berbunyi juga
Dan betapa dekatnya sekarang
Hari haus dan lapar kita
Betapa dekatnya
1970
MALAM TELUK
Malam di teluk
menyuruk ke kelam
Bulan yang tinggal rusuk
padam keabuan
Ratusan gagak
Berteriak
Terbang menuju kota
Akankah nelayan kembali dari
pelayaran panjang
Yang sia-sia? Dan kembali
Dengan wajah masai
Sebelum akhirnya badai
mengatup pantai?
Muara sempit
Dan kapal-kapal menyingkir pergi
Dan gonggong anjing
Mencari sisa sepi
Aku berjalan pada tepi
Pada batas
Mencari
Tak ada pelaut bisa datang
Dan nelayan bisa kembali
Aku terhempas di batu karang
Dan luka diri
1971
KADANG
Kadang begitu seringnya
ciuman letih pada bibirmu
menghabiskan tetes demi tetes
airmatanya sendiri
dan kenangan lain yang lebih sedih
mekar karenanya
Daging bagai retasan-retasan arang
oleh api
tapi toh seakan abadi
Dan mereka yang menganggapnya tak
abadi
karena cemas akan cintanya sendiri
Begitu diambilnya langkah: Ia
seperti setangkai api
Pada sehelai kertas yang baru
dituliskan
Seseorang atau entah rangkulan yang
menggetarkan
mengambil getaran itu lagi
dan aku adalah getaran itu sendiri
1971
GERIMIS
I
Seribu gerimis menuliskan kemarau di
jendela
Basah langit yang sampai melepaskan
senja
Bersama gemuruh yang dilemparkan
jarum jam, kata-kata
bermimpilah bunga-bunga menyusun
kenangannya
dari percakapan terik dan hama
“Kau toreh bibirnya yang merkah,”
kata hama
“Dan kuhisap isi jantungnya yang
masih merah”
II
Kenapa ia tak terkulai
Kenapa ia tak terkulai
Dan masih bertahan juga
Dan bersenyum pada surya
yang mengunyah-ngunyah airmatanya
III
Untukku ingar itu pun senantiasa
menyurat
Atau mimpi
Tapi angin masih saja menggigil
Mendesakkan pago
IV
Tuhan, kau hanya kabar dari keluh
V
Burung-burung pun
asing di sana
karena jarak dan bahasa
1971
NYANYIAN KABUT
Kabut biru semata. Biru. Ada cahaya
berisik
helaan angin, lalu percakapan
Kunamakan senandungmu lengang, udara
Berangkat cuaca malam dan ke mana
kata-kata
Dan dalam kabut bisik-bisikmu jelaga
Kadang kudengarkan itu sengau yang
lepas
dari laringnya, kadang kudengarkan
itu
lembar-lembar jatuh dari kenangannya
Kadang kudengarkan itu
doa shalat sebelum sujud
diselesaikan
Dan seseorang bangun bagiku
menyalakan lampu sebelum malam
1971
DO’A UNTUK INDONESIA
Tidakkah sakal, negeriku? Muram dan
liar
Negeri ombak
Laut yang diacuhkan musafir
karena tak tahu kapan badai keluar
dari eraman
Negeri batu karang yang permai,
kapal-kapal menjauhkan diri
Negeri burung-burung gagak\
Yang bertelur dan bersarang di muara
sungai
Unggas-unggas sebagai datang dan
pergi
Tapi entah untuk apa
Nelayan-nelayan tak tahu
Aku impikan sebuah tambang laogam
Langit di atasnya menyemburkan asap
Dan menciptakan awan yang jenaka
Bagai di badut dalam sandiwara
Dengan cangklong besar dan ocehan
Batuk-batuk keras
Seorang wartawan bisa berkata :
Indonesia
Adalahberita-berita yang ditulis
Dalam bahasa yang kacau
Dalam huruf-huruf yang coklat muda
Dan undur dari bacaan mata
Di manakah ia kausimpan dalam
dokumntasi dunia ?
Kincir-kincir angin itu
Seperti sayap-sayap merpati yang
penyap
Dan menyebarkan lelap ke mana-mana
Sebagai pupuk bagi udaranya
Lihat sungai-sungainya,
hutan-hutannya dan sawah-sawahnya
Ratusan gerobag melintasi jembatan
yang belum selesai kaubikin
Kota-kotanya bertempat di sudut
belakang peta dunia
Negeri ular sawah
Negeri ilalang-ilalang liar yang
memang dibiarkan tumbuh subur
Tumpukan jerami basah
Minyak tanahnya disimpan
dalamkayu-kakyu api bertumpuk
Dan bisa kau jadikan itu sebagai api
unggun
Untuk persta-pesta barbar
Indonesia adalah buku yang sedang
dikarang
Untuk tidak dibaca dan untuk tidak
diterbitkan
Di kantor penerimaan tenaga kerja
Orang-orang sebagai deretan gerbong
kereta
Yang mengepulakan asap dan debu dari
kaki dan keningnya
Dan mulutnya ternganga
Tatkala bencana mendamprat perutnya
Berapa hutangmu di bank ? Di kantor
penenaman modal asing ?
Di dekat jembatantua
malaikat-malaikat yang celaka
Melagu panjang
Dan lagunya tidak berarti apa-apa
Dan akan pergi ke mana hewan-hewan
malam yangterbang jauh
Akan menjenguk gua mana, akan
berteduh di rimba raya mana ?
Ratusan gagak berisik menuju kota
Menjalin keribuan di alun-alun, di
tiap tikungan jalan
Puluhan orang bergembira
Di atas bayangan mayat yang berjalan
Memasuki toko dan pasar
Di mana dipamerkan barang-barang
kerajinan perak
Dan emas tiruan
Indonesia adalah kantor penampungan
para penganggur
yang atapnya bocor dan
administrasinya kacau
Dijaga oleh anjing-anjing yang malas
dan mengantuk
Indonesia adalah sebuah kamus
Yang perbendaharaan kata-katanya
ruwet
Dibolak-balik, digeletakkan, diambil
lagi, dibaca, dibolak-balik
Sampai mata menjadi bengkak
Kata kerja, kata seru, kata
bilangan, kata benda, kata ulang,
kata sifat
Kata sambung dan kata mejemuk masuk
ke dalam mimpimu
Di mana kamus itu kau pergunakan di
sekolah-sekolah dunia ?
Di manakah kamus itu kaujual di
pasaran dunia ?
Berisik lagi, berisiklagi :
Gerbong-gerbong kereta
membawa penumpang yang penuh sesak
dan orang-orang itu pada memandang
ke sorga
Dengan matanya yang putus asa dan
berkilat :
Tuhanku, mengapa kaubiarkan
ular-ular yang lapar ini
Melata di bumi merusaki hutan-hutan
Dan kebun-kebunmu yang indah permai
Mengapa kaubiarkan mereka ……….
Negeri ombak
Badai mengeram di teluk
Unggas-unggas bagai datang dan pergi
Tapi entah untuk apa
Nelayan-nelayan tak tahu
1971
FRAGMEN
Belumkah ada lindap sebelum
kau kembali ke kamar
yang suram dan kutandai musik beku?
Bayangan itu jadi gerimis
dan meleleh di kebon rumah yang
gelap
Aku jadi garang pada malam seperti
itu
dan ingin kukecup bibirmu semutlak
mungkin
seperti juga hujan di padang-padang
dengan ringkik kuda yang memburu
mega terbit
Rampungkan sepimu dan matangkan
dagingmu
sampai jadi lengkap perjalanan kita
nanti
pelancongan menuju dunia tanpa
penyesalan
hingga pada suatu hari nanti
aku tak lagi bermimpi
tentang gua di rimba perburuan itu
1971
SAJAK PUTIH
Kita telah menjadi sekedar kenangan
lembaran asing pada buku harian
seperti tak pernah kautuliskan
peristiwa itu
Bunga-bunga sudah berguguran
tangkai dan kelopaknya
Pohon-pohon kering
Dan jendela jadi kusam
Seperti senja bakal tenggelam
Dan Titi telah semakin tua
meninggalkan masa kanak-kanaknya
Seakan cairan lilin
yang mengental
jadi malam
Dan masa-masa cintamu
hanyalah onggokan
puntung rokok
di lantai
yang dingin
Dan dengan pot-pot bunga
betapa asingnya
Kita
1971
SEHABIS HUJAN KECIL
Retakan hujan yang tadi jatuh,
berkilau
Pada kelopak kembang yang memerah
Antara batu-batu hening merenungi
air kolam
Angin bercakap-cakap, sehelai daun
terperanjat dan lepas
1972
MEDITASI
Itulah bidadari Cina itu, dengan
seekor kilin
dan menyeret kainnya basah:
menggigil dalam kuil
(daun-daun salam berguguran dan di
beranda
masih terdengar suara hujan, hujan
pasir) Ia
menunjukkan yin-yang yang kabur di
atas pintu
dan di mataku terasa hembusan angin
yang merabunkan
(lihatlah, ujarmu, ia mengajak kita
ke tempat sepi
di mana berdiri sebuah makam kaisar
yang mati
dalam pertempuran merebut kota dari
desa) Angin
berlarian menghamburkan bau-bauan
dari tangan
perempuan-perempuan yang wangi dan
kedinginan
di atas gapura yin-yang yang mulai
memuat lumut
dengan tulisan-tulisan tua yang tak
terbaca sudah
(langit adalah bayang-bayang, kau
menyesal
telah memimpikannya; dan di
sebelahnya
berdiri gedung, beribu sungai dan
tebing gunung
yang terbuat dari batu, anggur dan
lempung
yang kini menampakkan bintang
kemukus yang panjang)
Itulah bidadari Cina itu dan
mendekat ke arahmu
memandang dinding dan bertelanjang
di sofa, tapi tak mengerti
(ia membeku jadi arca, waktu tentara
kaisar mulai
membangun kota di langit) dan beribu
mantra
memenuhi telinganya yang tuli
1972
EPISODE
Ombak-ombak ini tidak perih, tidak
enggan
merendam ketam-ketam, sinar keong
Pun tidak percuma menungging awam
yang kadang kala murung dekat
pencakar
Lentera-lentera kapal yang merah
keabuan
kadang seperti mata kanak-kanak
yang melahirkan dongengan (malam
menyebrangi selat dan) melemparkan
biji-biji anggrek di sana
Dan kadang: antara kelam, tidur aku!
Perahu-perahu yang dulu membawamu
itu
dalam pelayaran panjang dan telah
balik lagi
dengan layar-layar dari dukaku yang
pulang
enggan
1973
LAUT
Dan aku pun memandang ke laut yang
bangkit ke arahku
selalu kudengar selamat paginya
dengan ombak berbuncah-buncah
dan selamat pagi laut kataku pula,
siapa bersamamu menyanyi setiap malam
menyanyikan yang tak ada atau pagi
atau senja? atau kata-kata
laut menyanyi lagi, laut mendengar
semua yang kubisikkan padanya perlahan-lahan
selamat pagi laut kataku dan laut
pun tersenyum, selamat pagi katanya
suaranya kedengaran seperti angin
yang berembus di rambutku, igauan waktu di ubun-ubun
dan di atas sana hanya bayang-bayang
dari sinar matahari yang kuning keperak-perakan
dan alun yang berbincang-bincang
dengan pasir, tiram, lokan dan rumput-rumput di atas karang
dan burung-burung bebas itu di udara
bagai pandang asing kami yang lupa
selamat pagi laut kataku dan selamat
pagi katanya tertawa-tawa
kemudian bagai sepasang kakek dan
nenek yang sudah lama bercinta kami pun terdiam
kami pun diam oleh tulang belulang
kami dan suara sedih kami yang saling geser dan terkam menerkam
kalau maut suatu kali mau
mengeringkan tubuh kami biarlah kering juga air mata kami
atau bisikan ini yang senantiasa
merisaukan engkau: siapakah di antara kami
yang paling luas dan dalam, air
kebalaunya atau hati kami tempat kabut dan sinar selam menyelam?
Tapi laut selalu setia tak pernah
bertanya, ia selalu tersenyum dan bangkit ke arahku
laut melemparkan aku ke pantai dan
aku melemparkan laut ke batu-batu karang
andai di sana ada perempuan
telanjang atau kanak-kanak atau saatmu dipulangkan petang
laut tertawa padaku, selamat malam
katanya dan aku pun ketawa pada laut, selamat malam kataku
dan atas selamat malam kami langit
tergunang-guncang dan jatuh ke cakrawala senja
begitulah tak ada sebenarnya kami
tawakan dan percakapkan kecuali sebuah sajak lama:
aku cinta pada laut, laut cinta
padaku dan cinta kami seperti kata-kata dan hati yang mengucapkannya
1973
KUSEBUT
Kusebut kata-kata engganmu detik jam
Gemersik berat dihela jarumnya
Senandungmu mengalun bagai desau
angin ribut
jatuh ke pelimbahan air perlahan-lahan
Kabut yang senantiasa berjkalan dari
dinding ke dinding
membalik-balik beribu percakapan
dan didapatkannya nama-nama asing
yang tak ada orangnya
Kabut yang mengatakan sebuah luka
Yang meluas dan mengendap jadi
palung di dada
dan palung itu mengisap jantung kita
Dan malam yang senantiasa berdiri di
luar
berdiri berjaga mendengarkan yang
bakal tak sampai
Dan bayang-bayang terangnya di bawah
lampu
bernyanyi gelisah melalui gang yang
satu ke gang yang lainnya
1973
CINTA
Cinta serupa laut
selalu ia terikat pada arus
Setiap kali ombak bertarung
Seperti tutur kata dalam hatimu
Sebelum mendapat bibir yang
mengucapkanya
Angin kencang datang dari jiwa
Air berpusar dan gelombang naik
Memukul hati kita yang telanjang
Dan menyelimutinya dengan kegelapan
Sebab keinginan begitu kuat
Untuk menangkap cahaya
Maka kesunyianpun pecah
Dan yang tersembunyi menjelma
Kau disampingku
Aku disampingmu
Kata -kata adalah jembatan
Tapi yang mempertemukan
Adalah kalbu yang saling memandang
LARUT MALAM, HAMBURG MUSIM PANAS
Laut tidur. Langit basah
Seakan dalam kolam awan berenang
Pada siapakah menyanyi gerimis malam
ini
Dan angin masih saja berembus, walau
sendiri
Dan kita hampir jauh berjalan:
Kita tak tahu ke mana pulang malam
ini
Atau barangkali hanya dua pasang
sepatu kita
Bergegas dalam kabut, topiku
mengeluh
Lalu jatuh
Atau kata-kata yang tak pernah
sebebas tubuh
Ketika terbujur cakrawala itu
kembali
dan kita serasa sampai, kita lupa
Gerimis terhenti antara sauh-sauh
yang gemuruh
Di kamar kita berpelukan bagai dua
rumah yang mau rubuh
1974
WINTER, IOWA 1974
langit sisik yang serbuk, matahari
yang rabun
menarilah dari rambutnya yang putih
beribu kupu-kupu
menarilah dan angin yang bising di
hutan dan gurun-gurun
menarilah, riak sungai susut
malam-malam ke dasar lubukku
1974
RAMA-RAMA
rama-rama, aku ingin rasamu yang
hangat
meraba cahaya
terbanglah jangan ke bunga, tapi ke
laut
menjelmalah kembang di karang
rama-rama, aku ingin rasamu yang
hangat
di rambutmu jari-jari matahari yang
dingin
kadang mengembuni mata, kadang
pikiran
melimpahinya dengan salju dan hutan
yang lebat
1974
DINI HARI MUSIM SEMI
Aku ingin bangun dini hari, melihat
fajar putih
memecahkan kulit-kulit kerang yang
tertutup –
Menjelang tidur kupahat sinar bulan
yang letih itu
yang menyelinap dalam semak-semak
salju terakhir
ninabobo yang menentramkan,
kupahatkan padanya
sebelum matahari memasang kaca
berkilauan
Tapi antara gelap dan terang, ada
dan tiada
Waktu selalu melimpahi langit sepi
dengan kabut dulu
lalu angin perlahan-lahan dan ribut
memancarkan pagi
-- burung-burung hai ini, sedang
musim dingin yang hanyut
masih abadi seperti hari kemarin
yang mengiba
harus memakan beratus-ratus masa
lampauku
BAYANG-BAYANG
Mungkin kau tak harus kabur, sela
bayang-bayangmu
yang menjauh dan menghindar
dari terang lampu
Ia selalu menjauh dan menghindar
dari terang lampu
Ia selalu mondar mandir
mencari-cari bentuk dan namanya
yang tak pernah ada
1974
DALAM GELAP
Dalam gelap bayang-bayang bertemu
dengan jasadnya yang telah menunggu
di sebuah tempat
Mereka berbincang-bincang untuk
mengalahkan tertang dan sepakat
menghadapi terang yang kurang baik
perangainya
Karena itu dalam terang
bayang-bayang selalu berobah-robah menggeser-geserkan dirinya dan ruang untuk
menipu terang
Dan jasad selalu siap melindungi
bayang-bayangnya dari terang sambil menciptakan gelap dengan bayang-bayangnya
dari sinar terang
1974
MAUT DAN WAKTU
Kata maut: Sesungguhnya akulah yang memperdayamu
pergi mengembara sampai tak ingat rumah
menyusuri gurun-gurun dan lembah ke
luarmasuk ruang-ruang kosong jagad raya mencari suara
merdu Nabi Daud yang kusembunyikan
sejak berabad-abad lamanya
Tidak, jawab waktu, akulah yang
justru memperdayamu sejak hari pertama Qabi kusuruh membujukmu
memberi umpan lezat yang tak pernah
menge-nyangkan hingga kau pun tergiur ingin lagi dan
ingin lagi sampai gelisah dari zaman
ke zaman mencari-cari nyawa Habil yang kau kira fana
mengembara ke pelosok-pelosok dunia
bagaikan Don Kisot yang malang
1974
AKU BERIKAN
Aku berikan seutas rambut padamu
untuk kenangan
tapi kau ingin merampas seluruh
rambutku dari kepala
Ini musim panas atau bahkan tengah
musim panas
langkahmu datang dan pergi antara
ketokan jam yang berat
Mengapa jejak selalu nyaring
menjelang sampai
daun-daun kering risik di pohon
ingin berdentuman
ke air selokan yang deras
langkahmu datang dan pergi antara
ketokan jam yang berat
Aku berikan sepotong jariku padamu
untuk kaubakar
tapi kau ingin merampas seluruh
tanganku dari lengan
Ini musim atau akhir musim panas aku
tak tahu
Burung-burung kejang di udara terik
seakan penatku padamu
Maka kujadikan hari esokku rumah
Tapi tak sampai rasanya hari iniku
untuk berjumpa
1974
AMSAL SEEKOR KUCING
Selalu tak dapat kulihat kau dengan
jelas
Padahal aku tidak rabun dan kau
tidak pula bercadar
Hanya setiap hal memang harus
diwajarkan bagai semula:
Selera makan, gerak tangan, gaya
percakapan, bayang-bayang kursi
Bahkan langkah-langkah kehidupan
menuju mati
Biarlah kata-kataku ini dan apa yang
dipercakapkan
bertemu bagai dua mulut yang lagi
berciuman
Dan seperti seekor kucing yang
mengintai mangsanya di dahan pohon
Menginginkan burung intaiannya bukan
melulu kiasan
1975
LA CONDITION HUMAINE
Di dalam hutan nenek moyangku
Aku hanya sebatang pohon mangga
-- tidak berbuah tidak berdaun –
Ayahku berkata, “Tanah tempat kau
tumbuh
Memang tak subur, nak!” sambil makan
buah-buahan dari pohon kakekku
dengan lahapnya
Dan kadang malam-malam
tanpa sepengetahuan istriku
aku pun mencuri dan makan
buah-buahan
dari pohon anakku yang belum masak
1975
ANAK
Anak ingin menangkap gelombang
rambutnya memutih seketika
Ia mengerti laut dalam
tapi tak tahu di mana suaranya
terpendam
Ketika angin berhembus
bahkan dahan-dahan pun diam
Ketika air surut
bahkan pasang pun tak karam
Ketika tidur merenggut
di langit tak sebutir bintang
1975
TUHAN, KITA BEGITU DEKAT
Tuhan,
Kita begitu dekat
Sebagai api dengan panas
Aku panas dalam apimu
Tuhan,
Kita begitu dekat
Seperti kain dengan kapas
Aku kapas dalam kainmu
Tuhan,
Kita begitu dekat
Seperti angin dan arahnya
Kita begitu dekat
Dalam gelap
kini aku nyala
dalam lampu padammu
1976
BAHKAN
Bahkan jarum jam pun hanya mengulang
andai detiknya bukan kejemuan, kau
tangkap
keluh bumi seperti anak yang tak
habis berharap
dan mata kecilnya yang gelisah
memandang laut hanya dunia garam dan
ikan-ikan
Bayang-bayangmu juga
yang susut karena lampu di pelupukmu
padam
Lebih menjemukan dari rembang petang
Tapi berangkatlah!
Di seberang gelombang mungkin udara
terang
1976
IN MEMORIAM AMIR HAMZAH
Keranjang itu masih menatap. Tahun
mau berbunga
Tapi langit berangkat kemarau di
jendela
Tanganmu: Mulut yang mengucapkan
kebenaran ombak
Tapi pendayung-pendayung datang
terlambat
Kita jenguk ke air. Obor itu
menyalakan malam
Angin itu angin kita. Tapi tak
menghembus sampai senja
lain tiba.
1976
BATIMURUNG I
Tubuhmu membuat air di jeram ini berterjunan
lagi
lebih gemuruh kini melemparkan
rusukku
ke tebing-tebing gunung
Aku terbangun
seperti kupu dari pompongnya
Perih
karena kelahiran
Tapi sumber-sumber yang kutemukan
dari sanalah kata memancurkan sajak
dan mantra
Ladang-ladang yang kau gemburkan
kutanam di sana segala jenis padi
dan buah-buahan
Penat kini kupikul hasil panennya
berupa rindu dan cinta
berupa gelisah dan luka
Seperti lama dulu
kupapar lagi jiwaku dalam madu di
atas bara
1977
MIMPI
Aneh, tiap mimpi membuka kelopak mimpi
yang lain,
berlapis-lapis mimpi,
tiada dinding dan tirai akhir,
hingga kau semakin jauh dan semakin
dalam
tersembunyi dalam ratusan tirai
rahasia
membiarkan aku asing pada wujud
hampa dan wajah sendiri.
Kudatangi kemudian pintu-pintu awan,
nadi-nadi
cahaya dan kegelapan, rimba sepi dan
kejadian
-- di jalan-jalannya,
di gedung-gedungnya kucari sosok
bayangku
yang hilang dalam kegaduhan.
Tetap, yang fana mengulangi
kesombongan dan keangkuhannya
dan berkemas pergi entah ke mana
gelisah,
asing memasuki rumah sendiri
menjejakkan kaki,
bergumul benda-benda ganjil yang tak
pernah dikenal,
menulis sajak, menemukan mimpi yang
lain lagi berlapis-lapis mimpi,
tiada dinding akhir sebelum
menjumpai-Mu.
(1981-1992)
KETIKA MASIH BOCAH
Ketika masih bocah, rumahku di tepi
laut
Bila pagi pulang dari perjalanan
jauhnya
Menghalau malam dan
bayang-bayangnya, setiap kali
Kulihat matahari menghamburkan
sinarnya
Seraya menertawakan gelombang
Yang hilir mudik di antara
kekosongan
Sebab itu aku selalu riang
Bermendung atau berawan, udara tetap
terang
Setiap butir pasir buku pelajaran
bagiku
Kusaksikan semesta di dalam
Dan keluasan mendekapku seperti
seorang ibu
Batang kayu untuk perahu masih
lembut tapi kuat
Kuhadapkan senantiasa jendelaku ke
wajah kebebasan
Aku tak tahu mengapa aku tak takut
pada bahaya
Duri dan kepedihan kukenal
Melalui kakiku sendiri yang
telanjang
Arus begitu akrab denganku
Selalu ada tempat bernaung jika
udara panas
Dan angin bertiup kencang
Tak banyak yang mesti dicemaskan
Oleh hati yang selalu terjaga
Pulau begitu luas dan jalan lebar
Seperti kepercayaan
Dan kukenal tangan pengasih Tuhan
Seperti kukenal getaran yang bangkit
Di hatiku sendiri
KEMBALI TAK ADA SAHUTAN DISANA
Kembali tak ada sahutan di sana
Ruang itu bisu sejak lama dan kami
gedor terus pintu-pintunya
Hingga runtuh dan berderak menimpa
tahun-tahun
penuh kebohongan dan teror yang tak
henti-hentinya
Hingga kami tak bisa tinggal lagi di
sana memerah keputusasaan dan cuaca
Demikian kami tinggalkan janji-janji
gemerlap itu dan mulai bercerai-berai
Lari dari kehancuran yang satu ke
kehancuran lainnya
Bertikai memperebutkan yang tak
pernah pasti dan ada
Dari generasi ke generasi
Menenggelamkan rumah sendiri ribut
tak henti-henti
Hingga kautanyakan lagi padaku
Penduduk negeri damai macam apa kami
ini
raja-raja datang dan pergi seperti
sambaran kilat dan api
Dan kami bangun kota kami dari
beribu mati.
Tinggi gedung-gedungnya di atas
jurang dan tumpukan belulang
Dan yang takut mendirikan menara
sendiri membusuk bersama sepi
Demikian kami tinggalkan janji-janji
gemerlap itu
dan matahari 'kan lama terbit lagi
DALAM PASANG
Dan pasang apalagikah yang akan
mengenyahkan kita, kegaduhan apa lagi?
Sekarat dan terbakar sudah kita oleh
tahun-tahun penuh pertikaian,
ketakutan dan perang saudara
Terpelanting dari kebuntuan yang
satu ke kebuntuan lainnya
Tapi tetap saja kita membisu atau
berserakan
Menunggu ketakpastian
Telah mereka hancurkan rumah harapan
kita
Telah mereka campakkan jendela keluh
dan ratap kita
Hingga tak ada yang mesti
kuceritakan padamu lagi
tentang laut itu di sana, yang naik
dan menarik ketenteraman ke tepi
Kecuali serpih matahari dalam
genggam kesia-siaan ini
yang bisa menghanguskan kota ini
lagi
- Raja-raja dan kediaman mereka yang
bertangan besi
Kecuali segala bual dan pidato kumal
yang berapi-api
Antara kepedihan bila kesengsaraan
dan lapar tak tertahankan lagi
Kita adalah penduduk negeri yang
penuh kesempatan dan mimpi
Tapi tak pernah lagi punya
kesempatan dan mimpi
Kita adalah penduduk negeri yang penuh
pemimpin
Tapi tak seorang pun kita temukan
dapat memimpin
Kita....
BARAT DAN TIMUR
Barat dan Timur adalah guruku
Muslim, Hindu, Kristen, Buddha,
Pengikut Zen dan Tao
Semua adalah guruku
Kupelajari dari semua orang saleh
dan pemberani
Rahasia cinta, rahasia bara menjadi
api menyala
Dan tikar sembahyang sebagai pelana
menuju arasy-Nya
Ya, semua adalah guruku
Ibrahim, Musa, Daud, Lao Tze Buddha,
Zarathustra,
Socrates, Isa Almasih Serta
Muhammad Rasulullah
Tapi hanya di masjid aku berkhidmat
Walau jejak-Nya
Kujumpai di mana-mana.
Sekian
dulu postingan kali ini, semoga bisa bermanfaat bagi pembaca yang sedang
mencari referensi kumpulan puisi Abdul Hadi WM. Wassalamu’alaikum….
0 Response to "Kumpulan Puisi Abdul Hadi WM"
Posting Komentar