TUGAS
KRITIK
SASTRA
Cerpen
Wangon Jatilawang karya Ahmad Tohari
diajukan
untuk memenuhi tugas mata kuliah “Kritik
Sastra”
pada
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
yang diampu oleh : Eny
Tarsinih, M. Pd.
disusun
oleh :
Muhammad
Jammal Baligh
Semester
4A
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN
BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS WIRALODRA
INDRAMAYU
2015
KRITIK SASTRA WANGON JATILAWANG
Ahmad
Tohari, siapa yang tidak mengenal sosok lelaki ini? Ahmad Tohari adalah sastrawan yang
terkenal dengan novel triloginya Ronggeng Dukuh Paruk yang ditulis pada
1981. Belum lama ini ia dianugerahi PWI Jateng Award 2012 dari PWI Jawa Tengah
karena karya-karya sastranya yang dinilai mampu menggugah dunia.
Lahir di Tinggarjaya, Jatilawang,
Banyumas, Jawa Tengah pada 13 Juni 1948, Ahmad Tohari menamatkan SMA nya di
Purwokerto. Setelah itu ia menimba ilmu di Fakultas Ilmu Kedokteran Ibnu
Khaldun, Jakarta (1967-1970), Fakultas Ekonomi Universitas Sudirman, Purwokerto
(1974-1975), dan Fakultas Sosial Politik Universitas Sudirman (1975-1976).
Ahmad Tohari sudah banyak menulis
novel, cerpen dan secara rutin pernah mengisi kolom Resonansi di harian
Republika. Karya-karya Ahmad Tohari juga telah diterbitkan dalam berbagai
bahasa seperti bahasa Jepang, Tionghoa, Belanda dan Jerman.
Salah satu cerpennya adalah yang
berjudul Wangon Jatilawang. Cerpen Wangon Jatilawang karya
Ahmad Tohari ini menggambarkan secara gamblang warni-warni dalam kehidupan
sehari-hari di lingkungan masyarakat. Cerpen ini bercerita tentang seorang
tokoh Aku yang bersahabat dengan seorang yang memiliki keterbatasan dan
keterbelakangan mental yang bernama Sulam. Tokoh Aku sangat peduli dan
menyayangi Sulam seperti anaknya sendiri. Sikap tokoh Aku yang demikian ini
sangat bertentangan dengan para tetangga dan ibunya sendiri. Sulam dianggap
kotor oleh orang-orang di sekeliling tokoh Aku, namun tidak bagi tokoh Aku.
Ketika pertama kali membaca cerpen
ini, saya seperti melihat suatu gambaran tentang potret kehidupan yang masih
banyak terjadi di Indonesia. Kita seperti tersindir dengan realita kehidupan yang
ada di negeri ini, di lingkungan sekitar kita tentang bagaimana masyarakat kita
masih membeda-bedakan status sosial dan keterbelakangan mental, seperti pada
kutipan:
Suatu
hari, lepas Magrib, Sulam datang. Kebetulan, aku sedang menyelenggarakan
kenduri. Gerimis yang sejak lama turun, membuat Sulam basah kuyup. Aku merasa
tak bisa berbuat lain kecuali menyilahkan Sulam masuk, meski aku melihat tamuku
jadi agak masam wajahnya. Setelah kutukar pakaiannya, Sulam kuajak menikmati kenduri.
Dia kubawa ke tempat persis di sampingku. Orang-orang yang semula duduk di
dekatku menjauh. Dan kenduriku malam itu berakhir tanpa keakraban. Wajah mereka
jelas berbicara bahwa mereka merasa tersinggung karena Sulam kuajak duduk di
antara mereka. Semuanya menjadi lebih jelas ketika aku beberapa minggu kemudian
menyelenggarakan kenduri lagi. Ternyata hanya beberapa orang yang datang
memenuhi undanganku.
Cerpen Wangon
Jatilawang ini cukup bagus karena mudah dipahami baik dari segi bahasanya
maupun jalan ceritanya, begitu lugas, konkret, simpel, dan langsung dalam
susunan kata-katanya. Namun sedikit kekurangannya adalah dengan tidak adanya
diksi atau gaya bahasa (majas) sehingga mengurangi keindahan atau estetika dari
karya sastra ini sendiri. Padahal kalau pengarang menggunakan gaya bahasa di
dalam cerpen ini, maka akan bisa membuat cerpen ini menjadi lebih indah dan
bagus.
Cerpen
yang bertema sosial ini menggambarkan karakter dan sikap dari tokoh Aku. Tokoh
Aku dalam cerpen Wangon Jatilawang merupakan tokoh yang sikap dan perbuatannya
dapat dijadikan teladan bagi masyarakat. Tokoh Aku sangat menyayangi dan
mengasihi terhadap seseorang yang mengalami keterbatasan dan keterbelakangan
mental bernama Sulam, seperti pada kutipan:
“Pak,” kata Sulam tanpa ekspresi apapun
“Ya,” jawabku. “Nasi atau uang?”
Sulam diam. Diperlihatkannya padaku ujung celananya yang kuyup. Celana yang
kedodoran itu nyangkut di perutnya dengan ikatan tali plastik. Kaosnya ada gambar yang sangat cabul di bagian punggung.
Ah, pasti anak-anak nakal telah mempermainkan Sulam.
“Nasi atau uang?” ulangku.
“Aku sudah punya uang,” jawab Sulam sambil
membuka tangannya. Ada kepingan logam putih di sana .Tetapi
tangan itu pucat dan gemetar. Maka aku bangkit meninggalkan kedua tamuku yang
duduk membisu. Sepiring nasi dan segelas teh kuberikan pada Sulam. Kedua tamuku
yang masing-masing memakai baju lengan panjang dan sepatu bagus itu tetap diam.
Alur/plot pada cerpen Wangon Jatilawang ini menggunakan alur
maju, sama seperti kebanyakan alur cerpen pada umumnya. Semua cerita berurutan
dari awal sampai akhir.
Sudut pandang
dalam cerpen Wangon Jatilawang karya Ahmad Tohari adalah sudut pandang orang
pertama tunggal, yaitu sudut pandang yang tokoh utamanya bercerita dengan
kata-katanya sendiri, seperti pada kutipan:
Kata
banyak orang, Sulam hanya singgah dan berteduh di rumahku. Tetapi aku tak
percaya akan cerita demikian, karena rasanya terlalu berlebih-lebihan. Kukira tidak
semua orang yang tinggal antara Wangon dan Jatilawang tidak suka bersahabat
dengan Sulam.
Memang, dalam
sudut pandang orang pertama tunggal, pengarang lebih fokus pada satu tokoh
utama, memberitahukan semua karakter dan sikapnya lewat dialog-dialog serta
membuat pembaca menjadi lebih tahu banyak tentang tokoh Aku. Tapi kekurangan
ketika pengarang memakai sudut pandang orang pertama tunggal pada tokoh Aku
adalah ia hanya mengetahui dan menceritakan banyak tentang dirinya, sedangkan
tentang karakter dan sikap orang lain kurang begitu banyak diceritakan sehingga
pembaca pun jadi tidak begitu tahu tentang karakter dan sikap orang lain,
seperti pada kutipan:
Kukira aku cukup lama di kandang
ayam, tapi ketika aku masuk kembali ke rumah, Sulam masih duduk di ruang makan.
“Sudah hampir lebaran, ya Pak?”
“Oh iya. Kamu nanti akan memakai
baju yang baik. Tetapi aku tidak menyerahkan baju itu kepadamu sekarang. Nanti
saja, tepat pada hari lebaran kamu pagi-pagi kemari.”
“Di pasar Wangon dan Jatilawang
orang-orang sudah membeli baju baru.”
“Ya, tetapi untukmu, nanti saja. Aku
tidak bohong. Bila baju itu kuberikan sekarang, wah repot. Kamu pasti akan mengotorinya
dengan lumpur sebelum Lebaran tiba.”
“Aku kan wong gemblung, Pak.”
“Nanti dulu, aku tidak berkata
demikian.”
Aku ingin berkata lebih banyak.
Namun Sulam melangkah pergi. Wajahnya murung.
Dan aku mulai menyesali perkataanku tadi. Mengapa aku khawatir tentang
kebiasaan Sulam yang suka mengkotori bajunya. Aku bahkan tidak cukup mengerti
tentang perasaannya, dan aku sungguh tidak layak mengaku sebagai sahabat Sulam.
Pada kutipan
di atas, si pengarang tidak begitu menceritakan secara detail apa saja yang ada
di benak dan perasaan Sulam. Si pengarang
menceritakan lebih banyak karakter, sikap, dan perasaan hanya pada tokoh
Aku, dan ini yang menjadi kelemahan sudut pandang orang pertama tunggal dalam
setiap karya sastra.
Nilai
edukatif yang terkandung di dalam cerpen Wangon Jatilawang karya Ahmad Tohari
ini antara lain cinta dan kasih sayang antar sesama manusia (berbuat baik
terhadap sesama), sikap toleransi, dan sikap tolong menolong. Meskipun
digambarkan dengan cara yang sederhana, tapi memberi kita pemahaman tentang
pentingnya tolong menolong dalam kehidupan sehari-hari, seperti pada kutipan:
“Yah,
bagaimana lagi, Mak. Hari hujan dan Sulam mampir berteduh. Karena sampai malam
hujan tak reda, maka Sulam kusuruh menginap di sini.”
Atau
seperti pada kutipan yang lain:
“Sudah hampir Lebaran, ya Pak?”
“Ya, empat atau lima hari lagi.
Kenapa?”
Sulam menunduk. Terbengong-bengong
sehingga muncul semua tanda keterbelakangannya.
“Mestinya Lebaran ditunda sampai
emak pulang.”
“Hus! Lebaran tidak boleh ditunda.
Nanti semua orang marah.”
“Tetapi emak belum pulang. Dia sedang
pergi ke kota membeli baju.”
“Oh, aku tahu sekarang. Kamu tak
usah menunggu emakmu. Nanti aku yang memberimu baju.”
Sulam mengangkat muka lalu tersenyum
aneh. Nasi di depannya dimakannya dengan lahap.
Tentunya ada
klimaks yang terjadi pada setiap karya sastra, baik itu drama, novel, maupun
cerpen. Pada cerpen Wangon Jatilawang, klimaks digambarkan ketika Sulam meminta
baju baru pada tokoh Aku, karena hari lebaran sudah dekat. Namun, tokoh Aku mau
memberikan baju yang diminta Sulam tepat pada hari lebaran. Tokoh Aku berpikir,
jika baju itu diberikan pada saat itu juga, pasti Sulam akan mengotorinya.
Akhirnya Sulam pergi dengan wajah murung, timbul rasa kecewa, dan akhirnya
Sulam mati tergilas truk, seperti pada kutipan:
Dan aku mulai menyesal, mengapa tidak memenuhi permintaan Sulam akan
baju dan celana yang layak. Mengapa aku khawatir tentang kebiasaan Sulam yang
suka mengotori baju yang kuberikan, atau menukarnya begitu saja dengan
sebungkus nasi rames di pasar Wangon. Dengan demikian, aku sungguh tidak layak
mengaku sebagai sahabat Sulam.
Jam tujuh pagi hari itu juga penyesalanku menghujam ke dasar hati.
Seorang tukang becak sengaja datang kerumahku
“Pak,
Sulam mati tergilas truk di batas kota Jatilawang.”
Bisa
jadi tukang becak itu masih berkata banyak. Namun kalimat pertamanya yang
kudengar sudah cukup. Aku tak ingin mendengar ceritanya lebih jauh. Aku malu,
perih.
Ketika
membaca bagian klimaks dimana ada kata Dan
aku mulai menyesal, sebelum berlanjut ke klimaks yang lebih tinggi, saya
seperti sudah mengetahui apa yang akan terjadi pada Sulam selanjutnya. Menurut saya, pada bagian klimaks ini
kurang begitu surprise. Pembaca
seakan-akan sudah mengetahui apa yang akan terjadi selanjutnya. Meskipun
begitu, klimaks yang disajikan pengarang sudah cukup bagus untuk dinikmati para
pembacanya.
Jika
melihat dari latar/seting, bisa saja cerpen Wangon Jatilawang karya Ahmad Tohari
ini merupakan pengalaman dari sang pengarang, karena seting dari cerpen ini
adalah Wangon dan Jatilawang yang notabene adalah tempat kelahiran dari Ahmad
Tohari.
Secara
keseluruhan cerpen Wangon Jatilawang karya Ahmad Tohari ini sudah cukup bagus meskipun
masih ada beberapa kekurangannya. Namun hal itu tidak mengurangi isi/makna
cerpen Wangon Jatilawang ini untuk dinikmati para pembacanya.
0 Response to "Kritik Sastra Cerpen Wangon Jatilawang karya Ahmad Tohari"
Posting Komentar