Pada tanggal 28 Maret
2015, Himpunan Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas
Wiralodra (HIMBASI UNWIR) telah mengadakan suatu kegiatan yang bernama PENTAS
SASTRA 2015 dengan tema “Mengembangkan Kreatifitas Mahasiswa dalam Bersastra”
yang bertempat di Aula Nyi Endang Dharma Ayu Unwir dengan Muhammad Jammal
Baligh dipercaya sebagai ketua pelaksananya.
Kegiatan yang biasa dikenal dengan PENTRA ini di
dalamnya terdapat berbagai macam perlombaan, seperti: Lomba Baca Puisi, Lomba
Musikalisasi Puisi, dan Lomba Pementasan Drama, serta Lomba Menulis Cerpen ini
diikuti oleh 9 kelas dari semester 2, 4, dan 6.
Yuk, intip juara 1
sampai 5 cerpen buatan anak-anak Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas
Wiralodra Indramayu yang lolos dari sekitar 20 peserta lomba….
Juara 1
Gita Indah Safitri (semester 2A)
Kisah
Sehelai Kelopak Mawar
Mawar
kembali mekar.
Aku
(jenis tanaman dari genus rosa) kembali
menyapa bumi saat male gamets berpindah
pada female gamets, hingga membuatku
beserta teman-temanku hadir kembali. Ada saat dimana aku akan kembali hadir di bumi,
muncul di setiap ujung tangkai yang berduri setelah melalui proses yang cukup
melelahkan. Ya, aku hanya sehelai kelopak mawar dari sekian banyak kelopak
mawar yang ada disetiap tangkai, bahkan disetiap ranting pohon yang temasuk
dalam ordo Rosales.
Jika
saat aku kembali hadir ke bumi, aku akan hidup bersama tangkai yang berduri.
Tapi, jika aku kemudian dipetik aku akan hidup di sebuah kios bersama jenis
bunga lainnya, itupun jika aku memiliki kualitas yang tinggi. Namun, jika aku
memiliki kualitas yang rendah dan tidak menyatu bersama teman-temanku disebuah
tangkai, maka riwayatku akan berakhir ditempat peristirahatan terakhir untuk
mahluk yang bernama manusia. Ah, sungguh nasibku menjadi nasib yang buruk jika
aku harus berakhir ditempat yang menyeramkan itu.
Saat
ini musim tumbuh bagi mahluk sejenisku, dan aku akan senantiasa menyapa bumi
dengan senyum sederhana yang ku punya, walau sebenarnya aku merasa cemas,
gelisah, dan terkadang ada rasa kesal. Aku akan dipanen oleh petani-petani
bunga mawar. Ah, Tuhan! Apa aku akan menjadi bunga yang berkualitas tinggi?
Atau sebaliknya? Ku harap aku bisa menjadi sehelai kelopak mawar yang
beruntung, kelopak mawar yang singgah ditangkai berduri, bersama helaian
kelopak lainnya. Ku mohon Tuhan! Kali ini saja jangan biarkan aku menghabiskan sisa
hidupku ditempat menyeramkan itu. Ku mohon Tuhan!.
Hari
pengklasifikasian terhadap mahluk bernyawa sejenisku tiba, aku berharap agar
permohonanku terwujud. Hingga akhirnya… ya! Aku masuk kedalam kategori bunga
yang berkualitas, oh Tuhan terimakasih! Aku merasa senang akan dibawa dan
ditempatkan disebuah kios bersama beragam jenis bungan lainnya. Aku kini punya
harga yang mahal. Tak sembarang orang dapat memiliki tangkai yang kusinggahi
bersama teman-temanku ini. Ku harap jika suatu saat nanti ada manusia yang
membayarku dengan pecahan rupiah, manusia itu tetap menjaga tangkai ini hingga
aku dan teman-temanku mengering dan kemudian mengakhiri riwayat kehidupan ini.
Sejenak
aku pejamkan mataku yang mulai lelah melihat bumi ini, dunia ini. Bumi yang
tidak semakin baik. Ah! Terkadang aku tak menyukai mahluk bernyawa bernama
manusia itu. Bumi ini semakin rusak akibat ulah tangan manusia yang tidak
bertanggung jawab. Tak peduli akan keselamatan bumi yang dipijak. Tak jarang
mereka juga menghabisi riwayat hidup mahluk sejenisku. Padahal kami para
tumbuhan tak pernah mengganggu kehidupan manusia, tak pernah merusak alam, kami
tumbuh untuk memberikan manfaat yang berlimpah bagi manusia. Kasihan memang
mahluk sepertiku. Tak pernah mendapatkan perlindungan dari tangan dingin
manusia. Hingga tak jarang mahluk sejenisku selalu menggerutu bahkan membenci
mahluk yang bernama manusia.
Ku
buka kembali indera penglihatanku. Aku terkejut. Melihat dia. Yah… retina
mataku menangkap pemandangan terindah yang pernah ku lihat. Di pinggir jalan
itu, berjalan seorang pria. Berjalan dan terus berjalan, hingga langkahnya
mendekati kios bunga dimana aku berada. Pria itu kemudian memasuki kios. Oh
Tuhan ini pemandangan paling indah yang pernah ku lihat!. Entah mengapa, aku
merasa tak ada pemandangan yang paling indah selain ini, pria itu begitu…
tampan. Aku terus memandanginya dan berteriak dalam hati agar ia menoleh ke
arah ku. Tak mungkin aku berteriak menggunakan mulutku, karena ia tak mungkin
mendengarnya.
Tak
kusangka begitu ia memalingkan wajahnya kearah sekumpulan tangkai mawar, dimana
aku berada diantara kerumunan tangkai-tangkai itu. Tampaknya ia menyukai mawar,
sejak tadi yang ia lakukan hanya memandangi kami. Wajahnya sangat tampan,
senyum merkah yang tak bosan untuk dilihat, kulitnya yang putih bagaikan Polaris (bintang terbesar pada rasi ursa
major yang terletak hampir tepat pada kutub langit utara) membuat retina mataku
terpaku pada mahluk yang bernama manusia itu.
Ah
tidaaaak! Tuhan! Tanganya kian mendekati tangkai yang kusinggahi. Ku pejamkan
mataku sejenak, dan kemudian ku buka kembali. Tak menyangka! Aku, salah sehelai
kelopak mawar kini berada digenggaman tangan pria itu. Untuk apa dia memilih
tangkai yang kusinggahi? Mengapa tak memilih yang lain? Apa ia mendengar teriak
suaraku tadi?.
“Tidak
mungkin pria itu mendengar suaramu!”. Celoteh helaian kelopak lain yang berada
satu tangkai denganku.
“Lantas
mengapa ia memilih tangkai ini?”.
“Kamu
tahu, kita memiliki warna yang indah. Tangkai yang menjadi penopang tubuh kita
juga sangat baik. Ribuan orang berharap untuk mendapatkan kita. Itu alasannya mengapa pria itu memilih kita
untuk menjadi miliknya”.
“Untuk
dia? Seorang pria dapat menyukai mahluk bernyawa seperti kita?”. Tanyaku
sedikit heran.
“Bukan!
Bukan untuk disimpannya! Tapi untuk diberikan kepada orang yang dia sayangi”.
“Siapa?
Ibunya? Ayahnya? Atau ….”.
Belum
usai aku berbincang dengan temanku, pria itu kini membawaku dan teman-temanku
yang lain keluar kios.
Perlahan
tapi pasti, ia membawa kami kesebuah tempat yang ada di kota kembang. Tempat
apa ini? Aku melihat mahluk sejenisku tumbuh subur ditempat ini. Tak lama
kemudian, lensa cokelatku melihat gadis cantik yang langkahnya kian mendekati
pria yang kini menggenggam tangkai duri penopang tubuhku.
“Nelwaan!”.
Teriak gadis itu. Ku alihkan kembali tatapanku kepada pria yang ternyata
bernama Nelwan. Wajahnya sangat ceria, sepertinya ia telah menantikan kehadiran
gadis tersebut.
“Ryn,
ini hadiah ulang tahun untukmu”.
“Ini
untukku?”.
“Iya
Ryn, ku mohon jagalah mawar ini sebaik mungkin selama kamu memilikinya”.
Ah,
Tuhan! Apa lagi ini? Dunia apa ini? Sandiwara apa ini? Aku makin tak paham akan
jalan fikiran manusia. Daya imajinasinya tak pernah bisa aku terka. Kini aku
harus memilki pemilik yang berbeda. Di tangan gadis itu? Apa aku dan
teman-temanku bahagia hidup mendampingi gadis itu? Ah sudahlah, ini takdirku!
Ini kisah hidupku! Kisah sehelai kelopak mawar.
“Terima
kasih nelwan, aku berjanji aku pasti menjaga bunga ini dengan baik”. Ujar gadis
cantik berwajah oriental itu.
Tak
cukup sampai disitu, manusia bernama Nelwan itu juga mempersembahkan nuansa
manisnya kue tart. Gadis yang kini menggenggam tangkai mawar kami, terlihat
begitu tersanjung atas apa yang diperolehnya. Ia pun tak lupa turut mengucapkan
terima kasih kepada Nelwan.
“Terima
kasih Nelwan, kau teman sejatiku. Kau orang kedua yang sangat peduli kepadaku
setelah Sherdy. Kau begitu baik padaku. Menjadi sahabatku sejak kecil!”.
“Sherdy?
Kau dan Sherdy?”. Seketika raut wajah Nelwan berubah.
“Iya
aku kini bersama dengannya. Kau bahagia bukan jika melihatku bahagia?”.
Ah,
siapa lagi Sherdy? Manusia yang seperti apalagi dia? Ini semakin membuatku
bingung memahami jalan kehidupan manusia. Aku tak begitu cerdas untuk mengerti
jalan hidup mahluk yang memiliki akal itu. Retina mataku kembali terpaku pada
raut wajah Nelwan. Aku rasa Nelwan bahagia melihat sahabatnya berbahagia. Tapi,
mengapa pandangannya terlihat sendu? Apa nelwan tak bahagia? Aku semakin merasa
menjadi kelopak mawar yang bodoh. Ku lihat Nelwan menundukan kepalanya dan
terlihat menghela nafas. Tak lama kemudian ia mengangkat kepalanya dan
tersenyum pada tangkai mawar yang digenggam sahabatnya. Dia tersenyum padaku!
Pada tangkai mawar!.
“Jangan
salah memahami pikirannya! Cukup kebodohanmu sekali saja!”. Ujar temanku.
“Kau
memahminya?”.
“Tentu
saja aku dapat memahaminya”.
“Ceritakan
padaku apa yang Nelwan rasakan, Kau memahaminya bukan?”.
“Aku
tak dapat menceritakan kepadamu bodoh! Karena sesaat lagi aku akan mengering,
dan mengakhiri riwayat hidupku”.
“Ah,
TIDAKKK! Kau kawanku yang menyadari kebodohanku, kini engkau pergi. Lebih dulu
mengering dan mengakhiri riwayat hidup ini”.
Sejenak
ku lupakan temanku yang kini telah mengering. Kulihat kembali drama hidup
mahluk yang bernama manusia itu. Aku terkejut. Mana Nelwan? Mana pria tampan
itu? Ah, aku terlewat untuk menyaksikan drama tadi. Mengapa Nelwan pergi
meninggalkan sahabatnya sendirian? Bukan kah Nelwan begitu peduli pada
sahabatnya? Lantas mengapa meninggalkannya begitu saja?. Kemudian ku lihat raut
wajah gadis itu, ia menangis? Apa yang sudah terjadi? Ah, aku bodoh!
Benar-benar bodoh melewatkan bagian kisah hidup kedua mahluk itu. Gadis itu
segera melangkahkan kakinya dengan sangat kencang, berlari dan terus berlari.
Kencang yah.. kian kencang. Dia mengajaku berlari kencang. Hingga ia berhenti
disebuah gedung mewah. Ia meletakkanku diatas permukan kain yang begitu lembut,
yang ia gunakan sebagai penghangat saat tidurnya nanti.
Aku
masih terpaku memandangi gadis itu. Ia masih menangis. Tak berhenti. Justru
semakin deras air matanya mengalir. Ia menggigit bibirnya, seolah menahan
tangis. Kali ini saja Tuhan ku mohon aku ingin menjadi air matanya, agar aku
memahami perasaannya dan mengerti masalahnya. Jangan menangis gadis cantik!
Teriakku pada gadis itu.
“Tak
perlu kau berteriak kencang! Gadis itu tak akan mendengar suara mahluk sejenis
kita. Tak perlu juga kau berharap menjadi air matanya supaya kau memahami
masalahnya. Kau tau mengapa gadis itu menangis? Ia kehilangan sahabatnya hanya
karena seorang pria yang dicintainya. Kau tahu kejadian tadi? Nelwan begitu
marah besar kepada Auryn. Yah, gadis itu bernama Auryn. Nelwan cemburu akan
hubungan yang dijalin Auryn bersama kekasihnya Sherdy. Kau tahu? Untuk apa Nelwan
membeli kita? Untuk dipersembahkan kepada Auryn dan saat itu juga Nelwan ingin
mengungkapkan perasaannya kepada Auryn, tapi sayangnya Nelwan terlambat satu
langkah dibandingkan Sherdy. Oleh sebab itu Nelwan marah dan meninggalkan Auryn
bersama kita dipinggir jalan!”. Tutur sehelai kelopak mawar disampingku.
Kini
aku memahami tangis gadis cantik yang bernama Auryn itu. Ia tak mau kehilangan
sahabatnya, namun disisi lain ia juga tak ingin meninggalkan kekasihnya,
Sherdy. Ah, Tuhan ini kah cerita hidupku, cerita sehelai kehidupan kelopak
mawar. Menyaksikan pertengkaran kedua mahluk, yang sebenarnya mereka saling
peduli dan saling menyayangi. Bahkan saling mencintai. Nasibku mungkin tak
seberuntung kelopak mawar diluar sana, yang mungkin saja justru memiliki kisah
yang sangat menyenangkan dibandingkan kisah ku ini. Kisah yang sedih. Ah,
Tuhan! Kisah ku ini sungguh tak kusukai.
Setelah
peristiwa itu, Auryn mulai menjauh dari Nelwan. Aku melihat mereka begitu acuh
tak acuh, bahkan saat bertatap muka ditengah jalan. Seolah tak saling
mengenali. Bagaikan musuh. Setiap saat berjumpa, keduanya selalu menciptakan
tatapan yang tajam dan matanya seolah berbicara bahwa mereka kini saling
membeci. Tak lagi saling peduli. Entah seberapa tak berartinya kata sahabat
dimata mereka.
Sementara
itu, aku menyaksikan Auryn kian dekat dengan Sherdy. Bahkan setiap saat Auryn
kembali pulang ketempatnya, dan duduk dihadapanku, aku selalu melihat ia
tersenyum gembira. Aku cukup senang menyaksikan kisah hidup Auryn. Tapi
bagaimana dengan Nelwan? Apa ia juga bahagia di luar sana? Pria yang
pertamakalinya ku lihat. Apa kabarnya saat ini? Apa ia juga merasakan hal yang
sama seperti Auryn? Aku sangat menantikan kabarnya Tuhan! Ku mohon padamu ya
Tuhan… dekatkan kebahagiaan kepada Nelwan.
Hari
demi hari, waktu demi waktu, bahkan detik demi detik. Hari-hariku kian berlalu.
Ku jalani kisah hidupku bersama gadis cantik itu. Bersama Auryn. Sudah hampir
dua bulan aku bersamanya. Menjadi saksi hidupnya. Dan selama itu juga tak
pernah ku lihat lagi tangisan dimatanya, wajah sendunya.
Usiaku
semakain menua, ah apalah arti usia bagi mahluk sejenisku? Yang ku tahu usiaku
tak begitu panjang. Aku mudah mengering, dan lihatlah kini, kelopak lain
disekitarku mulai mengering satu persatu dan mulai meninggalkanku, yang kini
tersisa hanya tiga helai kelopak mawar. Tangkai yang ku pijaki pun semakin
menua. Bahkan sudah kehilangan daunnya. Kini tinggalah aku dan kedua temanku
yang lain yang masih bertahan diatas tangkai yang berduri ini. Aku dan kedua
temanku sangat menyukai kisah hidup Auryn saat ini, ia terlihat begitu bahagia.
Yah, bahagia! Walaupun aku tidak tahu apakah Nelwan juga bahagia.
Dan
kini, tepat dua bulan aku menyaksikan skenario kehidupan Auryn bersama Sherdy.
aku bersyukur Tuhan! kini aku masih bertahan di dunia ini. Sayangnya, kedua
kawanku kini telah pergi. Meninggalkan aku sendiri. Aku yang kini menjadi
satu-satunya saksi perjalanan hidup Auryn. Hingga suatu hari, aku melihat
kejadian yang tak pernah ku duga. Tak pernah ku kira. Auryn. Yah Auryn. Gadis cantik
itu kini menghadirkan kembali kesedihannya. Rupanya sang kekasih Sherdy, telah
memupuskan harapannya. Menghancurkan impian gadis bersuara alto itu. Sherdy
meninggalkan Auryn. Bahkan peristiwa ini lebih kejam dibandingkan peristiwa dua
bulan yang lalu saat Auryn ditinggalkan Nelwan. Pasalnya, Sherdy meninggalkan
Auryn demi gadis lain yang dicintai oleh Sherdy.
Auryn
tak bisa lagi menahan tangisnya. Ia berlari kencang dengan menggenggam tangkai
yang merupakan tempatku berdiri, kemudian ia berhenti didepan halte dan
mengistirahatkan langkah kakinya sejenak. Raut wajahnya begitu sendu. Sedih
yang mendalam yang kini ia rasakan. Ia menggigit bibir bawahnya yang bergetar.
Mendongakan kepala demi menahan air matanya agar tidak lagi menetes dan ia
mulai menghela napasnya. Jangan menangis gadis cantik! Kau tak boleh bersedih!.
Ah, ia sama sekali tak mendengar suaraku!. Teriakkan ku!. Sudah dapat
kupastikan itu.
Matanya
terlihat memerah karena menahan tangis, dan ia masih menggigit bibir bawahnya
dan juga meremas tangannya. Tidakkah manusia di sampingnya itu melihat ia yang
sedang bersedih? Kenapa mereka bersikap acuh? Ah, saat ini individualisme
manusia benar-benar parah.
Sejenak
kemudian, saat ia membungkamkan wajahnya pada kedua telapak tangannya itu.
Hadir mahluk yang bernama manusia pula didepannya. Mulai mendekatinya. Dan
menyerahkan kotak berukuran sedang dan berbentuk persegi. Kotak itu berwarna
cokelat tua dan dilingkari oleh pita berwarna emas. Auryn bingung begitu datang
seorang pria menghantarkan kotak tersebut. Siapa pria itu? Dan siapa yang
mengirimkan kotak ini? Apakah Sherdy? apakah ia menyesal telah menyakiti
hatiku? Tanya Auryn dalam hatinya.
Aku
melihat Auryn segera bergegas kembali kerumahnya. Kini aku yang merupakan sisa
sehelai kelopak mawar kian setia mengiringi langkah kehidupan yang Auryn tulis.
Auryn segera membuka kotak tersebut. Di dalamnya terdapat sebuah kaset dan
sepucuk surat tak bernama. Akupun ikut memiliki rasa penasaran akan seseorang
yang mengirim kotak tersebut. Siapakah gerangan?
Aku
bagaikan pungguk merindukan bulan
Memimpikan
suatu hal yang mustahil kudapatkan
Melepasmu,
membiarkanmu jauh dariku, dari hidupku
Adalah
sebuah hal yang menyayat hatiku
Aku
yang biasanya menjagamu harus merelakanmu tanpa ku
Taukah
setiap detik, menit, jam aku teringat selalu padamu
Melihatmu
tertawa dan tersenyum cukup membuatku bahagia
Namun
melihat tangismu membuatku merasa bersalah
Membuatku
lemah tak berdaya, aku menyesal
Aku
tak bisa menjagamu dan menghapus air mata dipipimu
Di
sini aku hanya bisa mendekap erat bayangmu dan semua kenangan kita
Jikalau
waktu mengijinkanku untuk bersamamu walau hanya sedetik saja
Inginku
ungkapkan segala rindu dan rasaku ini padamu
Aku
melihat wajah Auryn tertegun membaca surat itu. Auryn segera mengambil sebuah
kaset yang terdapat di dalam kotak itu. Lalu Auryn memutar kaset itu dilayar televisi
yang ada di depannya. Betapa terkejutnya Aku dan Auryn saat melihat isi kaset
itu yang ternyata berisi movie maker foto-foto persahabatan Auryn dengan Nelwan
dari SMP hingga detik-detik sebelum Auryn dan Nelwan bertengkar. Dan Auryn pun
dikejutkan kembali dengan munculnya video Nelwan memegang gitar seraya duduk
disebuah kursi berwarna merah jambu. Di video itu nampak sebuah raut wajah yang
menyimpan sedih.
“Lagu
ini untukmu Auryn Sovia… “. Ungkap Nelwan. Auryn terlihat begitu terkejut.
Nelwan mulai memetik gitarnya dan memainkan sepenggal lagu If I Let You Go-nya
Westlife.
Night after night, I hear my self
say… Why can’t this feeling just fade away… there’s no one like you… you speak
to my heart… it’s such a same, we’re worlds apart… I’m too shy to ask… I’m too
proud to lose… but sooner or latter or gotta choose… and once again I’m
thinking about… taking the easy way out… but if I let you go, I will never
know… what my life would be, holding you close to me… will I ever see you smilling
back at me? How will I know… If I let you go?
Tak
cukup sampai disitu, Nelwan juga mencurahkan isi hatinya kepada Auryn melalui
video yang dibuatnya.
“Auryn,
maaf aku hanya dapat mengungkapkan isi hatiku melalui video ini. Terserah kamu
akan berpendapat seperti apa. Menganggapku tidak gantle! Banci! Itu hak kamu
Ryn. Tapi yang jelas aku akan bilang bahwa aku menyayangimu, mencintaimu. Tapi
aku tahu Ryn, ungkapan perasaanku ini tak berarti apa-apa untukmu. Aku tahu
kamu lebih menyukai laki-laki lain. Aku juga tahu, selama ini aku tidak bisa
menjadi sahabat yang baik untuk kamu. Maafkan aku Ryn, aku meninggalkanmu dan
membiarkanmu terluka”. Tutur Nelwan.
Auryn
kembali menangis. Yah, kali ini aku memahami apa yang sebenarnya Auryn rasakan.
Auryn tak menyangka, betapa tulus hati Nelwan untuk Auryn. Dan betapa sakitnya
Nelwan memendam perasaannya selama ini. Betapa kuatnya Nelwan melihat Auryn
menyukai orang lain dan bukan dia. Betapa bodohnya Auryn! Menyia-nyiakan orang
yang benar-benar menyayanginya sepenuh hati. Ah, Tuhan! Perasaanku selalu saja
tak stabil, terkadang aku membela Auryn, tapi tak jarang juga aku membencinya,
karena ia telah membuat pria tampan itu tersakiti. Yah, aku tahu betapa
tersayatnya hati Nelwan.
Nelwan
menghela nafasnya, lalu melanjutkan kata-katanya.
“mungkin
aku terlihat begitu egois, aku
meninggalkanmu bukan karena aku membencimu, tapi aku hanya mengasihi hatiku.
Aku berharap kamu tidak akan pernah melupakan kenangan kita selama ini. Aku
juga berharap ada sedikit celah dihatimu untukku. Untuk mengenang ku. Asal kamu
ketahui, mengenal mu, Auryn Sovia, adalah suatu hal yang terindah dalam
hidupku. Aku menyayangimu. Dan kamu adalah sahabat terbaikku yang pernah
kumiliki dan kucintai”. Jelas Nelwan mengungkapkan isi hatinya selama ini.
Aku
memfokuskan kembali retinaku pada wajah oriental-nya Auryn. Ia menangis. Namun
tangisnya kali ini berbeda dari sebelumnya. Tangisnya kali ini diiringi oleh
senyum merkah dibibirnya. Aku ikut bahagia melihat Auryn kembali tersenyum.
Apalagi Auryn tersenyum karena pria bernama Nelwan. Iya, benar, pria itu yang
selalu ku tanyakan keadaannya. Oh, Tuhan! Terima kasih telah kau hadirkan
kembali senyum indah diwajah cantik manusia bernama Auryn itu. Kini harapanku
hanya satu. Ku harap di sisa waktu hidupku, seiring mengeringnya sebagian
kelopakku ini, aku ingin agar aku dapat melihat Auryn dan Nelwan kembali
bersama, menyatukan persahabatan mereka. Melihat kembali senyum bahagia mereka
berdua.
Dan
esok harinya, Auryn mendapatkan pesan singkat dari Nelwan. Nelwan mengajak
Auryn untuk kembali berjumpa dengannya disebuah tempat, setelah sekian lama
mereka tak lagi berkomunikasi. Auryn segera mengeluarkan motor maticnya dari
garasi. Tak lupa ia juga membawaku ikut bersamanya. Aku tahu Tuhan, ini adalah
hari terakhirku berada di dunia. Hari terakhirku menyaksikan kisah hidup mahluk
yang bernama manusia itu. Aku sudah cukup melihat skenario indah-Mu yang
diperankan oleh mahluk yang bernama manusia.
Tak
terasa, kini Auryn telah tiba disebuah resto dimana Nelwan telah menunggu
didalamnya. Auryn bergegas masuk. Dan ia menuju sebuah kursi. Yah, Nelwan telah
menantinya disana. Oh, Tuhan betapa bahagianya aku, saat aku dapat kembali
melihat sosok tampan itu, pemandangan indah itu kini hadir kembali di depan
retina mataku. Nelwan kian tampan. Kulitnya kian bersinar cerah, apalagi
senyumnya. Senyum yang ia persembahkan untuk wanita yang dicintainya. Namu
kulihat wajah Auryn justru menagis. Mengapa? Ada apa? Kau tak boleh menagis
gadis cantik! Pria yang mempedulikan dirimu kini hadir kembali dihidupmu!
Percayalah bahwa Nelwan adalah pria yang pantas untukmu Auryn!. Teriakku
kencang, yah walaupun aku tahu Auryn tak akan mendengar suaraku. Ku lihat kembali
tubuhku, OH TIDAK! Tubuhku kian mengering, riwayat hidupku sesaat lagi akan
berakhir, tapi aku masih melihat gadis itu menangis. Tuhan! Ku mohon pada-Mu
Tuhan! Kali ini saja sebelum hidupku berakhir, aku ingin melihat gadis itu
tersenyum! Dan biarkan mereka berdua bahagia untuk saat ini dan selamanya.
Perlahan aku mulai memejamkam mataku, dan hingga akhirnya… yah! Tuhan kembali
mengabulkan permintaanku, diakhir hidupku aku dapat melihat gadis itu tersenyum
kembali dan menyatu kembali bersama dengan pria tampan bernama Nelwan. Kini
hidupku telah berakhir. Aku telah pergi. Dan ini kisah hidup yang dapat
kutulis. Kisahku! Kisah sehelai kelopak mawar.
Juara 2
Tine Prestiawati (semester 4C)
SASTRARUMI
Keramaian
seperti ini terlihat setiap kali dari tanggalan jawa 23 Pon, menjelang satu minggu sebelum acara tumpang sukur
terlaksana. Dari mulai suara ayam bersahut-sahut sampai datang waktu subhu hari
tumpang sukur, masyarakat memulai segala persiapan satu pekan penuh hingga tiada
lagi masyarakat yang mempersiapkan sampai waktu yang sudah ditentukan. Ketika semua telah rapih dan tiada lagi dari
masyarakat yang masih memegang segala keperluan itu selama sepuluh menit,
mereka dilarang melanjutkan meski masih ada dari persiapan yang belum selesai. Aturan
seperti itu merupakan bagian dari prosesinya, tentu harus ditaati oleh semua
lapisan masyarakat tanpa mengenal status kesosialannya. Segala persiapan harus
disiapkan dengan matang dalam waktu satu minggu tersebut. Masyarakat sekitar bergotong
royong mempersiapkan segala sesuatunya, mereka yang tak mengenal satu sama lain
karena berasal dari daerah yang berlainan namun masih dalam Kota Pelasih
bertegur sapa dan bersuka cita menyambut tradisi adatnya. Dalam tumpang sukur
ini membentuk keakraban, menjalin keteguhan umat manusia.
Tradisi
jumat pada 1 kliwon menyimpan kesakralan masyarakat Kraton Pelasih, yang berada
di Desa Teguh Lurus- bagian timur Indonesia. Seperti halnya, kraton-kraton yang
lain, memiliki tradisi khusus pada tanggal-tanggal yang dianutnya memiliki
kaitan dengan nenek moyangnya. Masyarakat Kraton Pelasih begitu menunggu-nunggu
hari tersebut, karena mereka percaya bahwa pada sepertiga malam sesepuh dari keluarga
kraton melakukan ritual yang akan menentukan nasib masyarakat pelasih pada
tahun itu. Akan seperti apakah kehidupan masyarakat dengan perekonomian,
pendidikan dan juga yang lainnya. Seakan-akan peramalan yang dilakukan.
Sepanjang
jalan Kota Pelasih padat merayap, mengular dan saling melempar tawa satu sama
lainnya. Hampir semua masyarakat berada didepan teras rumahnya masing-masing,
berkumpul bersama keluarga dan juga dengan para tetangganya melakukan anyam
ketupat yang dikerjakan oleh para perempuan yang nantinya akan dijadikan sebagai makanan
pokok mewakili hasil bumi. Para lelaki mempersiapkan untuk acara pawai
mengelilingi Kota Pelasih, dengan menghaluskan bambu untuk karangkanya yang akan
dijadikan iring-irigan menggambarkan karakter jahat dan baik yang mempengaruhi
kehidupan, dan mengkonsep formasi pawai agar tetap memiliki nilai seni
tradisional yang tertib sampai pada akhirnya acara puncak dilakukan didepan
halaman Kraton Pelasih.
Bergeming
ricuh dan memekakkan telinga semangat masyarakat pelasih dalam mempersiapkan
acara adat tersebut. Berbasah-basah dengan keringat dan bergerak sangat cekatan
meski matahari membelenggu mereka pada hari minggu, waktu dimana sudah berjalan
dua hari. Seluruh warga kota pelasih bergembira menyambut acara adat terbesar,
karena merupakan acara langsung dari kratonan sebagai pusat dari pemerintahan
yang masih memiliki peraturan khusus peninggalan pemerintahan kraton terdahulu,
sekaligus mempertahankan kebudayaan yang memiliki nilai bersejarah dan juga
pendidikan. Antusias datang tak hanya bagi para orang tua dan dewasa dari lapisan
masyarakat, melainkan pula pada Sastrarumi yakni anak dari puteri bungsu Sultan
Kinca yang sedang memegang kekuasaan kratonan dinasti yang ke 6 sekarang.
Sastrarumi,
mata yang terpancar sebening air memikat keteduhan abadi. Kulit kuning langsat
yang mengkilat kala emas permata tersorot sang surya. Seorang gadis berdarah
biru yang sangat lincah berusia 10 tahun, namun kecerdasan yang dimilikinya
melebihi dari kematangannya. Parasnya yang sangat elok meski masih muda, banyak
akalnya yang melahirkan kebaikan positif dikeluarga kraton maupun diluar dari
kratonan, tingkah luhurnya begitu sopan dan santun, keramahan dan ia juga mampu
bergaul sangat baik dengan masyarakat Kota Pelasih, banyak dari masyarakat
diluar dan didalam kraton yang
berpendapat bahwa Ia seperti Putri Ayuminingsari, putri dari Sultan Kinsaani
yang terkenal akan kecantikan luar dan dalamnya. Persis seperti putri
Sastrarumi. Putri Ayuminingsari adalah putri yang melegenda di Kota Pelasih,
dihormati dan juga dipuji dengan santun. Kelegendaannya tersebut tidak hanya
bergeming didalam Kota Pelasih, melainkan keseluruh pelosok negeri, dari segala
sesuatu yang dikerjakannya dapat dijadikan contoh, sebab kebaikan terkandung
didalam kisahnya. Dari masa kanak-kanaknya hingga ia meninggal kisah hidupnya
merupakan panutan yang dapat dijadikan tauladan bagi siapapun orang.
Putri
Sastrarumi banyak mengahabiskan waktunya di perpustakan kraton, tak jarang juga
ia berbaur didapur dan ikut memasak dengan para pelayan kraton. Meskipun dari
keluarga kraton, tetap ia disekolahkan pada sekolah umum dan mendapat perlakuan
yang sama dengan yang lainnya. Ia pandai mengatur waktunya, kapan ia harus
belajar untuk masa depannya dan kapan ia pula harus mempelajari pelajaran yang
berlaku bagi keluarga kraton. Banyak yang menyukainya bukan karena Sastrarumi
berasal dari keluarga kraton melainkan karena memang ia berbudi yang baik. Kesohoran
budinya meski ia masih dapat dikatakan dengan usia seperti itu pantasnya waktu
baginya adalah untuk bermain, rasanya janggal ia dapat belajar untuk memiliki
budi serupa itu dengan kecerdasan yang menjulang cemerlang. Sebab itu pulalah,
masyarakat teringat tentang kisah fenomenal putri Ayuminingsari di abad ke 15.
Keceriaan
Sastrarumi tak pernah terlepas dari dirinya. Selalu memasang wajah senang,
kapan dan juga dimanapun. Selalu ada saja kegembiraan saat Sastrarumi berada.
Pola pikirnya yang serba ingin tahu adalah hal yang wajar dimiliki oleh seusianya,
namun ia selalu memiliki pemikiran yang jauh dimiliki seusianya. Dapat
dikatakan bahwa kekritisannya sering pula membuat terkesima bagi orang yang
ditanyainya. Meski begitu ia masih sering pula menampakan kekecewaannya,
seperti seusianya yang lain.
Angin
memandu untuk menggiring dedaunan tersibak jauh kearah berlawanan. Bunyi yang
syahdu berirama kian serempak. Terasa keteduhan dan ketentraman seakan membawa
seluruh yang hidup untuk mengistirahatkan penglihatannya, menyelaraskan badan
dan juga melonggarkan pemikiran untuk sementara waktu. Sasatrarumi selepas
pulang dari sekolah umumnya merasakan rasa kantuk yang mengikat. Sayu-sayu
kelopak matanya yang mungil sesekali terpejam lalu membelakak saat ia hendak
pulang ke kraton. Berjalan kaki seorang diri tanpa ada teman bersamanya, karena
teman yang lain sudah berjalan terlebih dahulu dari padanya. Jalan yang landai
membuatnya harus tetap terjaga, tak sejalan dengan kondisinya saat itu. Namun,
kesegaran didapatanya saat melintas perumahan masyarakat pelasih, ia merasa
heran bahwa ada hal penting apakah sudah beberapa hari ini sepanjang perumahan
tampak ramai berkali-kali lipat dari biasanya. Matanya bermula terkantuk-kantuk
kini berlarian kiri dan kanan memperhatikan setiap rumah yang dilewatinya.
Sapaan pulalah yang juga membuatnya terjaga, namun ia hanya menyapa balik
kepada setiap yang ditemuinya tanpa menanyakan langsung apa yang sedang
dikerjakan mereka. Tanpa sadar kekokohan kraton berwarna merah dan perpaduan
warna emas serta warna-warna perak menyambut rasa kantuknya kembali. Sastrarumi
sungguh seakan tak kuasa lagi untuk berjalan.
“ibu...”
seru Sastrarumi sedang berkeluh kesah pada ibunya selepas pulang dari sekolah
umum. Namun, tiada dipedulikan ibundanya, sebab ibunya sedang serius menyulam
skraf yang hendak dikenakan lima hari yang akan datang untuk perayaan tumpang
sukur. “ibu...menolehlah” ucapnya lagi.
“ada
apa?” jawab ibu yang masih menyulam.
“tadi
aku melintas rumah penduduk, beberapa hari ini mereka berramai-ramai mengayam
ketupat dan entahlah... mengasah bambu dan yang lainnya. Hendak apa mereka
melakukan hal serupa itu Bu?”
“
kamu tidak bertanya padanya kerjaan apa yang mempersibuk mereka beberapa waktu
ini?”
“tidak
bu, sebab mataku terasa kantuk dan tak kuasa bertanya, serasa sepat pula mulut
jika berbicara terlalu banyak”
“mungkin
ibu mengetahui sebab apa mereka melakukan hal serupa itu, bergantilah duhulu
pakaian yang masih dipakai, makanlah setelahnya nanti ibu ceritakan” dengan menaruh
sulaman skraf, ia membantu meletakan tas yang masih dikenakan Sastrarumi.
Sedangkan, Sastrarumi bergegas meninggalkan ibunya tersebut.
Aroma
kesejukan tumpang sukur turut memperamai disetiap sela kekratonan, begitu pula
para seluruh pegawai kekratonan sibuk bahu membahu menyelesaikan segala
keperluan acara tersebut. Terutama merapihkan halaman kraton yang nantinya akan
menjadi tempat acara puncak, yaitu Oyegan. Dimana Sultan akan mengetar-getarkan
atau oyegan (bahasa setempatnya) batang pohon pisang tingginya dua kali lipat
dari batang normal dan yang sudah dihiasi dengan uang koin hingga jatuh diatas
bumi, menandakan keberkahan dari Tuhan.
Padatnya
aktivitas Sastrarumi yang selepas mempelajari pelajaran di sekolah umumnya,
saat siang ia juga harus mempelajari pelajaran tentang kraton pelasih. Tata
cara dan juga kepemimpinan kraton, semua harus mampu dipelajarinya. Ia baru
beberapa bulan diperbolehkan untuk memulai pelajaran tersebut, sebab hanya pada
usia diatas 10 tahun anak-anak kraton diwajibkan untuk memulai tradisi keluarga
kraton yang kelak akan berguna bagi generasi selanjutnya. Waktu yang dituntut
untuk ia pelajari hanya tiga jam empat kali dalam seminggu.
Keletihan
Sastrarumi tak kuasa terasakan badannya. Memanggil-manggil ibunya untuk menagih
cerita yang hendak diceritakannya pada sore selepas ia menuntut ilmu wajib yang
diperolehnya dari keluarga kraton pelasih. Berlari kekediaman ibundanya.
Melewati lorong yang panjang, dengan suka cita dan rasa penasaran ia tetap
berlari tanpa peduli sedang ia letih. “ibu, apa ada didalam?” tanyanya sesampai
didepan kediaman ibunda.
“masuklah
Rumi”jawab ibundanya. “apakah kamu tidak merasakan lelah sayang? Tak
beristirahatkah terlebih dulu untuk melepasnya?” tanya ibunda dengan perasaan khawatir.
“tidak,
bu. Coba ceritakan mereka itu bu” dengan mendekati ibundanya, lalu merobohkan
badannya dan membiarkannya berada diatas paha ibunda.
“Rumi,
apa yang kamu pandang dari silsilah kita?” tanya ibunya dengan membelai-belai
rambutnya.
“sangat
panjang, bu”
“memang,
silsilah itu sangat panjang begitu juga dengan keluarga kita”
“ibu,
jangan memutar-mutar cerita” Sastrarumi sedikit kesal karena ia juga sangat
mengantuk dan tak sabar untuk mendengar ceritanya.
“tidak
Rumi, ini ceritannya. Pada sangkanya, kraton pelasih memiliki sejarah yang luar
biasa sayang. Kraton Pelasih menjadi makmur setelah mampu memperluas daerahnya,
hasil dari memenangkan Perang Larih
melawan kerajaan Sulih yang ketika itu mulai mengalami ke serakahan dalam
menaklukan daerah-daerah perencanaannya tersebut. Ketamakan dari Raja Sulih
serta Panglima yang terkenal angkuh itu mengakibatkan Kerajaan sulih mengalami
kehancuran dan kebinasaan serta kini hanya tersisa benteng-benteng
pertahanannya yang berada di sebelah selatan wilayah Pelasih.
Dahulu
Pelasih bukanlah kekratonan, melainkan kerajaan yang kemudian berganti status menjadi
seperti sekarang ini, Rumi. Pangeran Kinsaani yang berkuasa saat itu setelah
dinobatkan menjadi raja menggantikan Raja Krumsi telah berhasil mengeluarkan
status kerajaannya beralih menjadi kekratonan. Keberanian itu ditempuh olehnya.
Seluruh peraturan kerajaan dari mendiang ayahnya tersebut berganti secara
keseluruhan, sebab Raja Kinsaani seorang yang menyukai kemerakyatan yang telah
memandang bahwa status kerajaan baginya seperti bangsa-bangsa barat dan itu
bukanlah sebuah identitas dari kebudayaan bangsa Indonesia, boleh dikatakan
bahwa kerajaan merupakan bentuk pemerintahan orang-orang barat sedangkan kraton
sebutan milik negeri kita dan apalagi Pelasih terletak di negeri yang sudah
dikenal akan kerakyatannya yang ramah tamah. Oleh karena itulah, sekitar abad
ke 15 tidak ada lagi kerajaan Pelasih dan sejak saat itulah Pelasih menjadi
sejahtera dengan dipimpin oleh Sultan Kinsaani. Daerah yang berada dalam kekuasaan
kraton pelasih sangat luas, dari barat perbatasan Loncah sebelah selatan
perbatasan Limbang dari utara perbatasan umbay dan dari timur perbatasan muni,
kesemua perbatasan tersebut kaya akan alamnya sehingga perekonomian kraton
pelasih menjadi stabil. Kraton pelasih mengalami krisis ekonomi pada akhir abad
15, satu abad penuh Sultan Kinsaani memimpin dengan penuh kenikmatan alam dan
kenikmatan hidup, namun ujian datang disebabkan bencana alam serta seluruh
daerah kekuasaan kraton pelasih masyarakatnya mengalami wabah penyakit ganda,
penyakit kulit dan penyakit asma yang tiada sembuh akibat dari bencana alam
tersebut, kemudian sang Sultan mengadakan sayembara bahwa siapa yang mampu
menangani wabah penyakit tersebut akan dinikahkan dengan anaknya, Ayuminingsari
anak bungsunya yang terkenal akan kecantikan, kepandaiannya serta akhlaknya
luhur.
Sang
Sultan semakin merasakan cemas, sebab tiada dari pengasuh kraton yang
mengabarkan bahwa ada yang sanggup untuk membantu menangani wabah penyakit
ganda tersebut. Sekian lama Sultan tak dapat tidur dengan nyaman, sebab hal ini
menyangkut dari masyrakatnya. Seluruh keluarga kraton turut mengalami kesusahan
hati dan tak kuasa berduka, karena banyak yang sudah menjadi korbannya. Namun, saat
tengah malam anak bungsu Sultan, Ayuminingsari terbangun dari tidurnya dengan
perasaan tak enak hati akibat memikirkan tanggungannya kelak, tanggungan dimana
Ia akan dinikahkan akibat dari sayembara, namun jika tak meyetujuinya Ia tak
kuasa menahan kekecewaan dari Ayahandanya dan juga dari seluruh masyarakat pelasih.
Sepenanggungan itu, Ayuminingsari mencari akal untuk hal ini. Dapatlah Ia
bergegas keesokan harinya untuk mengunjungi perpustakan kraton untuk mencari
ilmu dan bertanya kepada tabib kraton asal muasal dari penyakit yang sedang
mewabah itu. Berhari-hari Ayumingsari menelusuri kejadian penyakit tersebut,
sampai pada akhirnya penyakit tersebut dapat teratasi olehnya dengan ramuan
yang ditemukannya sendiri. Ayumingsari bertambahlah pula keelokannya, bukan
hanya parasnya melainkan karena kecerdasannya juga. Anak bungsu sang Sultan pun
setelah itu sering terlibat langsung dalam acara kekratonan. Tumpang sukur inilah
yang merupakan cara kraton pelasih pada awal abad ke 16 untuk menentukan nasib
pelasih pada tahun berikutnya hingga tidak ada lagi kesusahan yang dialami oleh
kraton pelasih, dengan cara melakukan perenungan oleh sesepuh kraton sebagai
wujud sukur yang berlapis-lapis, dari mulai puteri Ayuminingsari dengan jasanya
serta setelah musibah itu kraton pelasih jauh lebih sejahtera dari sebelumnya, sekarang
tumpang sukur menjadi sebuah tradisi kraton pelasih untuk memberikan ucapan
terimakasih atas segala kerunia serta kenikmatannya kepada masyarakat pelasih”
melihat Sastrarumi sudah tertidur pulas “entahlah apa ia menyimak dengan benar
sebelum ia benar-benar tidur” gumannya dalam hati.
Awan
biru bergerak sangat lincah, meredupkan dan menerangkannya kembali. Tampak ragu
ia sepertinya atau malas untuk memberdirikan awan biru sebagai tanda kehidupan
akan bermunculan. Begitu pula yang angin lakukan, menghembuskan dedaunan dan
seraya seluruhnya tersihir kesejukan sesaat. Embun yang terlahir masih sangat
dingin bagi bumi. Harum tercium hidung ketika bumi mulai terbangun. Bertolak
dari kaluarga keraton yang sudah hampir selesai mempersiapkan segalanya,
lapisan masyarakat pun hingga waktu subhu datang telah siap untuk
mempersembahkan satu pekan persiapan untuk Kota Pelasih dan kini saatnya untuk
bersuka cita setelah tertatih penuh gembira.
Genderang
usai sholat subhu bertabuh ria, musik gamelan bercampur alat musik tradisioonal
lainnya berdendang sangat indah. Lantunan syair kraton pelasih bersahut
meliuk-liukkan hati. Jumat 1 kliwon yang cerah. Sesuai tafsiran para sesepuh,
bahwa tahun ini kota pelasih bersuka cita, dengan ditandai langit yang biru
saat subhu tiba dan angin kesejukan menari mengitari kulit yang terbuka. Satu
jam bersuka cita, beralih waktu berlari hingga matahari kian perkasa setengah
menampakan kekokohannya. Masyarakat berbondong-bondong memadati bibir jalan sepanjang
perumahan yang akan dilewati oleh pawai. Semua penduduk Kota Pelasih
berhamburan keluar dan yang bertugas mengiring pawai mulai mempersiapkan
dirinya. Sastrawati menyambut dengan sangat gembira, sebab ini adalah kali
pertamanya ia mengetahui segalanya, tentang ia dan keberadaan dirinya dengan Kota
Pelasih.
Masyarakat
sedang menunggu-nunggu acara oyegan dan juga pengumuman tentang keadaan Kota Pelasih
ditahun tersebut. Bergeming-geming seperti suara desir pasir yang tersapu oleh
ombak dilautan lepas. Dari kraton semua petinggi kraton dan sang Sultan telah
siap untuk membuka acara tumpang sukur, dengan dimulai iringan sesembahan
syukur atas karunia Tuhan Yang Maha Esa, Sultan melanjutkan sesembahan kepada
para sesepuh dan juga keluarga kraton serta kepada rakyatnya pula. Tumpang
sukur resmi dimulai...
Masyarakat
dan juga semua keluarga kraton merasakan keletihan mereka tuntas. Pawai
berjalan dimulai dari batas yang sudah ditetapkan, hingga akhirnya berada
didepan halaman kraton pelasih. Kurang lebih selama dua jam pertunjukan pawai,
sampai berakhirlah di depan halaman kraton, disambut oleh pemimpin dan juga
oleh sesepuh kraton. Tiba-tiba hujan langsung mengguyur tanpa ada tanda akan
turun hujan. Lirih hati wajah yang tampak dari sesepuh kraton sedang keluarga
kraton dan masyarakat yang memadati halaman kraton tampak merasakan kenikmatan
hujan yang memantul bergantian. Lambat laun hujan kian menyerbu, rasa menjadi
tak nyaman karena pantulan itu menyakitkan. Sigaplah tetua dari sesepuh
membunyikan lonceng pertanda bahaya, wajah muram dan khawatir dari sekian ribu
masyarakat yang berkumpul menjadi pemandangan masal. Seketika masyarakat
menepi, berteduh. Sultan menampakan rasa sedih sebab kejadian seperti ini
pernah dialaminya sebelum ia menikah, saat itu Kota Pelasih mengalami gagal
panen dan tanahnya tak subur, kemelaratan meraja lela dan keburukan terus
bergantian ditahun itu.
“petanda
apakah ini” gumannya dalam hati. Dengan menatap tajam beribu masyarakat yang
terlihat menepi menangkis air hujan. Sastrarumi terlihat teduh saat semua
terikat dalam kekahawatiran masal. Sultan melihat secara perlahan dari setiap
sudut, memutar secara perlahan dan berkeluh kesah. Pemandangan dimana anak-anak
kecil berdekapan dengan orang tuanya, kemudian Sultan langsung teringat akan
cucu bungsunya, Sastrarumi.
“ibu,
mengapakah ini” kepolosan Sasatrarumi menanyakan berhentinya acara dan yang
terlihat hanya wajah-wajah penuh kerisauan.
“ini
sepertinya petanda bahaya, sayang”
“mengapakah
seperti itu?”
“sebab,
jika sedang berlangsung turun hujan berarti nasib Kota Pelasih akan buruk”
“peroleh
dari manakah ilmu seperti itu, bu. Selama aku belajar di sekolah umum dan juga
di kraton tidak ada tata tanggap yang seperti ibu kemukakan itu. Tidak ibunda,
tentu ini mungkin saatnya berganti musim dan mungkin awan yang menampung air
hujan terbawa angin hingga menyebabkan sampailah ia di kota kita ibu”
“tidak
Sastrarumi, menurut keyakinan sesepuh ini adalah petanda yang tak baik”
“tidak
ibu, aku tidak mempercayainya” tersenyumlah Sastrarumi pada ibunya yang
berwajah muram. Tampak dari kejauhan sepasang mata tegap dan gagah penuh peluh mendekatinya.
“Rumi,
kamu baik-baikkah?” tanya Sultan pada cucu bungsunya dengan nada tergesa-gesa.
“rumi
baik, eang. Sebab apakah menayakan kabar seperti itu?” jawabnya.
“eang
kahawatir Rumi, sebab hari ini turun hujan”
“tidak
mengapa eang, ini hanya perubahan musim atau mungkin awan yang menampung air
hujan terbawa angin hingga menyebabkan sampailah ia di kota kita, eang” jelas
Sastrarumi.
“dari
manakah engkau berbicara seperti itu cucuku?”
“aku
pernah membacanya, dan juga pernah aku mendapat penjelasan serupa ini eang”
Sultan
terdiam tanpa kata-kata, melihat kepandaiaan Sastrarumi yang merubah
pandangannya, bahwa mengkaitkan petanda dengan logika merupakan pertempuran hebat
yang pada akhirnya logikapun pantas memperoleh kemenangan untuk sesuatu yang
terlihat dan telah teruji nyata. Unsur kemagisan tak lagi berjaya kala ilmu
pengetahuan semakin mengalami perubahan yang
pesat. Dengan segera Sultan memerintahkan bahwa tumpang sukur tetap
dilaksanakan seperti biasanya. Dan masyarakat bergembira menikmati acara adat
kraton pelasih. Berkat Sastrarumi seluruh pelosok negeri meninggalkan sugesti
bahwa ada unsur mistis jika ketidakbiasaan terjadi ditengah-tengah mereka dan pemunculan
sugesti buruk tersebut adalah ketidakbaikan. Seharusnya hal serupa itu sebenarnya
adalah ilmu pengetahuan baru yang harus ditelaah dengan ilmu yang sudah ada
bukan segala sesuatu hal yang tidak biasa dianggap malapetaka.
Catatan:
semua yang ada dalam cerita merupakan fiksi, sama sekali tidak ada kisahan yang
nyata didalamnya.
Juara
3
Linda
Ayu Lestari (Semester 4C)
MENCARI CHAIRIL
Stasiun Gambir, pagi hari...
Langkah kaki kotor, berkapal dan
tidak bersandal tersaruk-saruk melewati gerbong kereta yang pengap. Cahaya menyala
berbaur dengan bau apak dari segala penjuru yang mengemban asongan. Orang-orang
sudah mulai berlalu lalang; dimulai dari peminta-minta dengan kain yang
membebat bayi di lengannya; pengamen dengan gitar dan suara sumbangnya; dan tak
lupa pedagang air mineral dan permen nano-nano yang saling bersahutan. Dari arah barat, terdengar suara lengkingan
kereta yang melolong-lolong mengitari stasiun yang pengap dan bau apak.
Perempuan yang kakinya berkapal tadi terus menelusuri stasiun dari arah barat
menuju timur, sambil sesekali mulutnya bergumam “Chairil.”
“Perempuan itu sejak subuh tadi
telah mondar-mandir disini. Agaknya ada sesuatu yang dia cari." Salah
seorang tukang becak berbicara kepada teman sejawatnya yang pagi-pagi buta
kulitnya telah berjelaga.
"Perempuan itu?" Tukang
becak yang kedua menunjuk seorang perempuan tak beralas kaki dengan baju daster
lusuh bernuansa batik sarimbit tanpa lengan yang ditutup dengan cardigan
berwarna hitam yang telah pudar warnanya.
Perempuan dengan langkah yang
tidak beralas kaki itu telah lama mencari lelaki bernama Chairil. Ia mencari
dari arah barat ke timur, dari senja sampai ke jingga, hingga malam menjelang
fajar. Namun ia tetap saja tidak bersua dengan seseorang yang dicarinya. Bahkan
setiap penjuru rumah telah ia tanyai keberadaan lelaki yang diakuinya bernama
Chairil. Dari mulai awak-awak kapal di pelabuhan, supir-supir taksi di bandara,
pedagang-pedagang asongan di stasiun, bahkan tukang becak juga tidak mengenal
Chairil! Ia letih, dia tahu. Namun kakinya yang berjelaga aspal tidak takluk
oleh keletihannya sendiri. Bahkan di ujung bibirnya, masih tersisa noda bekas
gincu yang ia poleskan ketika subuh sebelum keluar mencari Chairil. Kini
wajahnya kuyu, pipinya melorot ke bawah, dahinya mengkilat layaknya jingga dan
bibirnya kering tidak memerah lagi. Namun ia tetap tidak menemukan Chairil.
Diantara deretan-deretan warung
tegal tepi jalan, perempuan denganbekasgincumengeringdi ujungbibirnya itu
berjalan, terus berjalan hingga telapak kakinya yang berkapal perih terbakar
aspal yang terpanggang matahari. Dalam genggamannya terselip sebuah foto
polaroid yang telah luntur warnanya, atau bahkan bisa dibilang tidak berwarna
lagi. Hitam putih. Dengan langkah gontai, ia menghampiri seorang pegawai negeri
yang tengah asyik membaca koran di dekat halte, “Maaf, apa Anda mengenal orang yang ada di foto ini?”
Semburat kesedihan muncul berbaur dengan wajahnya yang memerah akibat srengenge
sore itu.
“Apa yang dapat saya lihat dari
foto buram seperti ini?” Pegawai negeri itu menjawab dengan ketus, lantas
kembali menekuni aktivitas membaca korannya. Perempuan dengan kulit yang kini
hitam dan leher penuh peluh itu melanjutkan perjalanannya.
***
Masih ia ingat benar kenangan
beberapa tahun silam, ketika ia dengan tega pergi meninggalkan kekasihnya di
semenanjung yang tidak ada batasnya. Ia pergi, gerimis mengiringinya. Ia
menangis, hujan membekap wajahnya. Ia seperti kehabisan napas ketika isak dan
deru hati kekasihnya mengiang-ngiang di pelupuk matanya. Ia, perempuan dengan
wajah yang ayu dan kulit seputih pualam, pergi meninggalkan kekasihnya di ujung
peramban matahari yang tenggelam.
***
“Ini, ini dia yang saya cari!”
perempuan itu bersungut-sungut ketika menemukan sebuah buku berisi antologi puisi yang dijaja pedagang
pasar loak dekat stasiun kereta. Ia menciumi setumpuk berisi kertas-kertas itu,
menimangnya, menggamitnya di lengan seakan-akan takut akan ada orang yang
merebutnya darinya.
“Kembalikan!” Bentak seorang
laki-laki yang agaknya pemilik lapak buku tersebut. Laki-laki itu tua, memakai
topicapingberwarnaputihtulang yang telahmenguning di bagian tepinya.
“Pergi dari sini! Ini bukan barang
gratis!” Seloroh lelaki dengan topi caping yang dengan segera merebut buku dari
tangan perempuan kumuh itu.
“Chairil, aku mencarimu. Dari
matahari terbit di timur hingga tenggelam kearah barat, dari senja hingga ke
jingga, dari hujan menuju gerhana, namun kau tak pernah kembali. Kembalilah
kekasihku, aku merindukanmu. Kita bisa kembali lagi ke pondok kecil kita, tidur
bersama, dan kau bisa kembali menyelimutiku dengan kain bernuansa angsa
berwarna merah jambu, sambil berkata ‘semoga bermimpi indah, sayangku’,
Chairil___” belum sempat ia menuntaskan apa yang ada dalam benaknya, lelaki
bertopi caping itu mengusirnya jauh-jauh, seakan-akan perempuan itu adalah
sekumpulan virus yang menularapabiladidekati.
“Dasar perempuan sinting, hampir
saja buku kumpulan puisi Chairil Anwar yang tinggal satu-satunya ini dicuri
perempuan gila itu. Ada-ada saja. Saya mau pulang dulu ah, sudah sore.”
Bapak-bapak penjaja buku itu membereskan buku-bukunya ke dalam boks yang
berdiri kokoh di pundaknya. Di ufuk barat, matahari
perlahan-lahanberkhianatkepadabumi.
SELESAI
Terinspirasi dari puisi
karya Chairil Anwar "Senja di Pelabuhan Kecil"
Juara 4
Vemy Rida Riawan (semester 2A)
Dunia Kedua yang Tak Redup
Dunia,
bagi sebagian orang mungkin yang akan terlintas di benak mereka adalah suatu
tempat yang luas, penuh warna di setiap jengkal penyusunnya, tragedi kehidupan
fatamorgana, tiupan mukjizat, bahkan malapetaka berkolaborasi menjadi
partikel-partikel yang sulit untuk dijabarkan. Dunia, bola besar yang berputar
tapi tak bisa menggelinding. Apakah itu sempurna? Tidak. Dunia, berisikan
planet-planet yang bertetangga namun hanya satu yang di huni. Apakah itu adil?
Jelas tidak. Intinya dunia ini luas, lebih jelasnya lagi bumi ini tidak sempit.
Benarkah demikian? Aku pikir tidak, tapi mungkin juga iya. Ah entahlah...
imajinasi ini membuatku seperti anak kecil, mengaduk-ngaduk isi kepalaku
seolah-olah komponen didalamnya berteriak-teriak membuat pening. Bagiku ini
berisik, sempurna menciptakan rasa sakit yang berdenyut-denyut. Jika sudah
begini, hanya obat sakit kepala yang dapat menjadi dewi fortuna. Ah, aku bahkan
benci obat sakit kepala.
Aku mengarahkan pandanganku pada
titik-titik air yang menginjakkan kakinya di pelataran bumi. Mereka tidak
membuat basah apalagi menggenangkan diri hingga berkubang. bulir-bulir air itu
hanya turun sedikit demi sedikit, menjatuhkan diri secara perlahan tanpa
bernyanyi, tanpa menimbulkan suara gemericik yang membuat manusia mendesah
kesal ditengah aktivitasnya, mereka datang dengan diam. Mengarahkan pandangan
vertikal kebawah dan ingin segera meluncur terhempas tanpa ada yang mengetahui,
tanpa perlu menelanjangi diri saat muncul bersamaan dengan penguasa siang. Mereka
tahu, tak seharusnya mereka datang. Hatiku bergeming, mataku memincingkan diri ketika
mendongak pada atap bumi, yang kulihat adalah langit berwarna biru dan matahari
yang sedang menjalankan tugasnya dengan baik. Sungguh hari yang cerah, lalu
mengapa mereka menjatuhkan diri?
“Ayah, mengapa mereka datang? Bukankah
itu sama saja mereka telah ikut campur dan merusak tugas matahari?” Aku menatap
ayahku yang masih sibuk mengaduk-ngaduk pupuk di pelataran, di belakangnya
telah berjejer rapih berbagai macam bunga yang terlihat sangat terawat.
Baginya, bunga adalah lambang keindahan yang sebenarnya didunia ini. Cita-citanya
sedikit tidak lazim bagi yang belum mengenal sosoknya dengan baik, bahkan akan
terdengar sangat lucu jika mengingat usianya yang telah menyandang status
seorang ayah. Ia tidak ingin menjadi orang kaya, pejabat, ataupun sesuatu hal
yang berbau harta dan kekuasaan. Cita-cita ayahku ingin melihat seluruh bunga
yang ada di berbagai penjuru dunia. Saat mendengar hal tersebut untuk pertama
kalinya, aku terkekeh hingga perutku terasa sangat sakit. Tapi ayah hanya
tersenyum, melihat senyumnya yang teduh dan menyejukkan, Hatiku luluh dan
lisanku sontak terdiam. Saat itu, aku menyadari satu hal besar dalam diri
ayahku.
“Apa
yang jatuh Syanda?” Ayahku menatapku menyelidik, aku mengulurkan tangan kananku
dan menunjuk ke atas langit.
“Hujan? lalu mengapa? Mereka tak
pernah bermaksud merusak tugas matahari. Peristiwa alam yang telah membuatnya
terpaksa turun. Apakah kau tahu nda? matahari selalu berbaik hati pada seluruh penghuni
dunia ini”. Ucap ayahku sembari menuangkan pupuk dan air kedalam pot-pot
bunganya yang telah haus.
“Matahari selalu berbaik hati memberikan
kehidupan pada makhluk dibumi dengan ketulusan sinarnya, ia juga rela membagi
cahayanya pada bulan agar mampu terang di malam hari, sedangkan dirinya sendiri
membenamkan tubuhnya kesisi lain bumi. Bahkan, matahari tak pernah marah saat
bulan masih menampakkan diri di pagi hari. Dan seperti saat ini, pada hujan
yang seharusnya tidak datang saat ia masih memancarkan sinarnya. Berlakulah seperti
matahari nda” Ucap ayahku diakhiri dengan senyum yang menyejukkan itu lagi. Aku
tertegun.
Televisi
putih besar dan tipis itu kini telah berdesakan oleh berbagai macam aksara dan
angka. Audionya hanya bersumber dari seseorang berperawakan tinggi berkepala
pelontos yang suaranya terdengar menggema ditelingaku. Sesekali aku mengerutkan
dahi, mengangguk pelan, menyerap kata-kata dari beliau, menuliskan beberapa
angka, berusaha memahami setiap rumus yang dituliskan dengan simbol-simbol yang
menurutku sangat aneh, aku juga benci matematika. Entah mengapa banyak hal di
dunia ini yang aku benci. Tapi aku akan terus menjebloskan rumus-rumus itu
kedalam otakku tanpa ampun. Aku harus pulang tidak dengan tangan kosong. Bukan
karena sekolah itu mahal, tapi karena aku sadar ilmu harus aku beli dengan
lembaran uang yang aku ulurkan ditiap awal bulan. Dan aku percaya uang yang
telah aku keluarkan tidak akan hilang tanpa arti, tapi akan dibarter
menggunakan ilmu yang kujebloskan kedalam otakku hingga tersumpal berdesakan.
Mataku
menyapukan diri ke sekeliling ruangan ini. Lihatlah wajah-wajah itu, aku yakin
mereka tidak pernah sungguh-sungguh berada disini. Aku selalu membenci mereka,
orang-orang yang tak pernah bersyukur atas apa yang telah mereka genggam dengan
tangannya, tak pernah puas dengan sesuatu yang telah berdesakan digenggaman
kedua tangan mereka, mereka selalu berusaha menggenggam lebih banyak dari yang
mereka bisa, padahal manusia hanya dikarunia dua tangan oleh Tuhan, mereka lupa
pada orang-orang yang bahkan tidak bisa menggenggam apapun ditangannya, tak
pernah menjadi takaran untuk bersyukur. Aku membenci seluruh penghuni di kelas
ini. Teman? Itu kata paling buruk bagiku, peduli apa seorang teman saat aku
sedang dirangkul oleh keterpurukan, yang mereka bisa hanya berpura-pura
berempati dan membuat lekukan pada garis diwajah sehingga tercetak sempurna
membentuk wajah yang sedih. Lalu dengan begitu apakah mereka benar-benar sedih
dan peduli? Tentu saja tidak!
Terhitung satu minggu aku duduk di
kelas ini. masa-masa SMA memang telah terdoktrin dengan kesan yang indah.
Berteman dengan banyak orang, aktif organisasi, dikenal oleh guru, populer di
sekolah, dan menjalin kisah-kasih yang indah. Bah! Bagiku semua itu hanya
klise, dihari pertama aku masuk sekolahpun aku hanya melempar tatapan sinis
pada anak-anak yang tersenyum padaku, dari sorot mata mereka aku bisa membaca
beberapa kata seperti “hai, siapa namamu?” tapi yang aku lakukan hanyalah
menatap tajam dan membuang tatapan ke arah lain. “Jangan pernah bicara padaku”
Sungguh, aku tidak main-main.
***
“Ndaaa.. daa, ndaaaaa” Suara itu
terdengar lagi, walaupun hanya erangan tetapi suara itulah yang membuatku tetap
bertahan menjejakkan kaki di dunia ini, sesungguhnya aku tidak ingin lagi
menumpang hidup pada Tuhan, aku tahu setiap jengkal didunia ini adalah
milik-Nya. Tapi sekali lagi sungguh, jika bukan karena suara itu masih aku
dengar hingga saat ini, aku selalu ingin “pulang”. Matanya menatapku sendu, aku
tahu persis arti tatapan itu, “kau sudah
pulang nak?”. Aku terduduk tepat didepannya, bersimpuh mencoba bersikap
normal dan bertingkah laku seolah semua baik-baik saja. Kualihkan tatapanku
pada kedua kakinya yang tak lagi bisa menjejakkan diri pada bumi, sebagai
gantinya dua roda bertempat duduk yang dirancang sedemikian rupalah yang telah
mengambil alih fungsi dari kedua kaki yang kini terlihat semakin layu. Yang ia
bisa kini hanyalah menatap taman bunganya yang sudah tidak terawat lagi. wajahnya
selalu tenang, tapi menyimpan jutaan ekspresi yang tak pernah bisa
tersampaikan, syaraf-syarafnya sempurna terdiam dan membeku, seluruh tubuhnya
telah mati, hanya tersisakan erangan dan jiwa yang masih setia mendiami
raganya.
Kata orang penyakit ini dijuluki penyakit
kutukan dari Tuhan, dan penderitanya akan dianggap seseorang yang telah
melakukan kejahatan dan dosa didunia yang tak termaafkan. Oleh karena itu Tuhan
memberikan hadiah melalui penyakit ini sebelum menyiksanya di akhirat nanti, siksaan
di dunia dan akhirat tepatnya. Rasanya hina sekali orang-orang yang mengidap
penyakit ini. Tapi ayahku bukan orang seperti itu, tidak! Jika apa yang
orang-orang katakan selama itu benar, aku yakin ayahku adalah pengecualian
Tuhan.
“Iya ayah, aku sudah pulang. Ayah
sedang apa disini? Bukankah ini waktunya untuk beristirahat? Ah lihatlah matamu
terlihat merah dan lelah, apakah ayah sudah makan? Dimana Zey? A..a...” Aku
tercekat, lupa jika aku terlalu banyak bertanya seolah ayahku dapat menjawab
semua pertanyaan itu. Seketika mulutku terhenti, diikuti oleh erangan yang ayah
ujarkan lagi. “Ndaaa..ndaaaa, daaaaaa” aku tahu ia ingin menjawab pertanyaanku,
tapi hanya erangan itu yang dapat mewakilinya. Hatiku terasa sangat perih.
Aku masih terngiang akan perkataan
ayah tiga tahun lalu, saat tangannya masih cekatan mengaduk-ngaduk campuran
pupuk yang baunya sungguh sangat menyengat, saat lisannya masih mengeluarkan
kata-kata yang membuatku merasa damai, saat senyumnya mampu merangkul hati
putrinya ini menjadi bersih dan bersinar seperti matahari. Hingga semuanya
berakhir ketika ayah bahkan tak bisa tersenyum lagi. Jangankan menjadi
matahari, aku justru menjadi membenci seluruh hal didunia ini, kecuali ayah.
Hanya dia pengecualianku. Aku seperti berdiri dengan satu kaki, bertumpu pada
satu tungkai yang telah rapuh, aku merasa semangatku terserap oleh pusat bumi,
hingga aku tak bisa melawan tekanan gravitasi, aku mengapung di dunia yang
besar ini. jiwaku tinggal separuh, sebagian nyawaku berada pada jiwa ayah yang
telah hilang.
“Ayah, dimana Zey? Bukankah dia seharusnya
menjagamu disini? Ah awas saja jika dia pulang nanti” Aku mengulang lagi
pertanyaanku, sungguh geram aku pada bocah tersebut, sesungguhnya hanya dia
yang bisa aku andalkan menjaga ayah saat aku berada disekolah.
“Peduli
apa dia pada ayahnya yang dianugerahkan kutukan dari Tuhan-Nya sendiri? Jelas
saja dia malu” Suara itu terdengar dari ambang pintu. Wanita itu sudah pulang,
aku hanya bisa mendengus perlahan.
“Kau
bisu? Untuk apa aku gelontorkan kertas-kertas berharga itu jika kau hanya bisa
mendengus seperti binatang, hanya itu yang kau bisa dari sekolahmu?” ia
menatapku tajam dan berlalu pergi, sedangkan aku masih duduk bersimpuh dikaki
ayahku. Ingin rasanya aku membalas perkataan ibu, tapi tidak! Aku harus
bertahan. Aku hanya harus diam, jika aku berontak, aku tahu aku tidak akan bisa
sekolah jika tanpa uang darinya, aku
merasa muak. aku sangat membenci sekolah, tapi aku harus pergi ke sekolah,
karena ayah pernah mengatakan bahwa dunia akan takluk dan selalu terasa luas pada
wanita yang cerdas.
Aku
tidak tahan lagi, aku sudah terbiasa tidak mempedulikan kata-kata ibu. Bagiku
itu hanyalah nyanyian sumbang yang jika aku biarkan masuk akan merusak gendang
telingaku, dan merobek ulu hatiku lebih dalam, yang saat ini aku pikirkan
adalah Zey, ia sungguh sangat tidak bisa diandalkan. Bagaimana bisa dia
menelantarkan separuh nyawaku ini? ayah tidak akan bisa melakukan apapun
sendirian dengan kondisinya yang sekarang. “Sebentar ayah, aku akan pergi
keluar dahulu” aku bergegas pergi meninggalkan ayah dan berusaha melangkah
secepat mungkin. Aku tahu dia berada dimana.
Dari
teras aku melihat kedua orangtua itu di muka rumah mereka. Ah, lihatlah..
pasangan yang sudah tidak muda lagi itu terlihat sangat bahagia. Selalu ada
senyum dibibir keduanya saat aku berkunjung. Tapi aku tahu, senyum itu adalah bukan
perwakilan dari maksud hati mereka yang sebenarnya.
“Nda,
ada apa kau kemari? Kau sudah makan nak?” ucap kakek tua itu dengan perangai
yang baik namun penuh kepalsuan bagiku. “Dimana zey? Mengapa kalian selalu
memaksanya untuk kesini?” bukankah aku sudah melarangnya?! Nada bicaraku
sedikit tinggi, aku sudah tidak mampu lagi membendung perasaan yang telah
memuncak. Hatiku mendidih dan meluap-luap.
“Tenanglah
nak, zey tadi kemari sendiri, bukan kami yang memaksanya. Dia terlihat lapar,
oleh karena itu kami memberinya sedikit makanan yang kami punya. Lalu ia
tertidur. Dia ada didalam, kami tidak menyembunyikannya” Nenek tua itu menjawab
dengan tenang, diikuti oleh anggukan suaminya yang sepaham dengan perkataan
istrinya tersebut.
“Lalu,
bisakah kalian berhenti mencampuri urusan keluargaku? berhentilah
menanti-nantikan kedatangan zey, berhentilah melongok ke arah rumah kami demi
mencari sosok zey, berhentilah berpikir jika semuanya bisa seperti dahulu saat
Zey dan aku sering bertandang ke gubuk ini, berhentilah tersenyum padaku, berhentilah
berharap bahwa zey bisa menjadi anak kalian! Apakah itu sulit? Apakah karena
Tuhan tidak meniupkan kehidupan pada rahimmu lalu kau berharap mengambil adikku
nek? Berhentilah bersikap seolah keadaan ini sama seperti dahulu! Zey harus
menjaga ayahku!!!”
Aku
menerobos masuk dan memaksa Zey untuk bangun dan menyeretnya keluar, kakek dan
nenek itu hanya terdiam. Zey meronta-ronta berusaha melepaskan tanganku. Aku
benci keadaan ini, aku benci kakek zul dan nenek ida, aku yakin mereka ingin
mengambil Zey. Aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi, aku tidak bisa
berlaku baik lagi pada kakek zul dan nenek ida seperti dahulu, aku harus
bertahan dengan keadaan ini walaupun aku sendiri membencinya. Demi ayahku,
apapun akan kuterjang, siapapun yang menghambatku akan kujatuhkan.
Zey
menangis hingga tersedu-sedu, tapi aku sama sekali tidak berusaha untuk
mengasihaninya. Raut wajahnya merah, matanya sembab, dia duduk di sudut ruangan
menekuk kaki dan memeluk lututnya sangat erat. Aku tidak berusaha untuk peduli,
tapi sikapku ini sangat beralasan, aku tidak ingin Zey tumbuh menjadi lelaki
yang lemah dengan kondisi keluarganya yang sekarang, entah apakah penghuni
dirumah ini masih layak dikatakan sebuah keluarga, aku tidak mengenali kata itu
lagi semenjak kematian separuh jiwa ayahku. Zey tidak kuperbolehkan untuk
sekolah, jika Zey sekolah dia akan duduk di bangku sekolah dasar, bagiku ayah
lebih penting. Zey harus menjaga ayah selagi aku sekolah. Ini bukan
diskriminasi, aku juga tidak ingin pergi ke sekolah, tapi dulu ayah selalu
menasihatiku agar rajin pergi ke sekolah. Tentu saja aku tidak ingin
mengecewakan ayah. Dan Zey bisa belajar denganku dirumah.
Lagi, suara hentakan tombol-tombol itu
terdengar mengiris-ngiris benda didalam organ tubuhku, sudah sangat lama benda
itu bertahan. Meneteskan darah sedikit demi sedikit, tersayat dan terkoyak
berkali-kali hingga tidak ada lagi darah yang dapat menetes, hatiku telah
kering, tidak lagi berfungsi dan kebas oleh rasa sakit. Tapi malam ini, jiwaku
terpelintir oleh sosok yang sangat semu dalam rumah ini, kedua tangannya masih
terampil menghentakkan kata-kata dengan jarinya yang lihay didepan layar
bercahaya yang membuat keluarga ini terasa hambar. Apakah aku durhaka Tuhan?
Aku bahkan tidak pernah bisa memuliakan ibu, saat aku menatap wajahnya justru
selalu terbesit rasa sesak yang tidak terkira. Pekerjaan yang selalu
diagung-agungkan olehnya telah membuat ayahku hanya bisa terduduk tidak
berdaya, tanpa dapat bergerak, tanpa berjalan, bahkan tanpa senyuman. Wajahnya
tak lagi simetris, stroke. Penyakit kutukan itu tidak mengutuk ayah, tapi
justru mengutuk diriku menjadi seperti ini, menjadi membenci seluruh partikel
yang ada didunia yang sempit ini. Aku tidak pernah bisa mengerti bagaimana
paradigma ibu mengenai hidup, yang aku tahu hanyalah ibu bukan bekerja untuk
hidup seperti yang orang-orang lakukan, tapi hidupnya hanya untuk bekerja,
bukan materi dan kekayaan yang ibu cari, tapi karena sudah terlalu cinta atau
bahkan gila bekerja, ibu telah terperosok dan melawan arus terlalu jauh pada
takdirnya sebagai seorang wanita. Aku tidak pernah bisa mendefinisikan apa arti
kata ibu, tidak ada cerita tentangnya di otak kanan maupun di otak kiriku,
bahkan jika digeledah sekalipun.
Ini bukan salah ayah, tapi mengapa
harus ayah yang menanggung semuanya? Bahkan setelah ia mengalah pada ibu dan
rela harga dirinya sebagai seorang laki-laki dan kepala keluarga diinjak sangat
dalam oleh ibu dengan kegilaannya pada pekerjaannya itu. Sebagai seorang kepala
keluarga tentu saja ayah memiliki tanggung jawab yang sangat besar pada hal
urusan menafkahi kami, dan ibu bertanggung jawab untuk mengurus aku dan Zey. Kurang
lebih seperti itulah garis takdir kehidupannya, tapi ibu berontak akan
takdirnya sebagai seorang wanita, ia bersikeras untuk bekerja disuatu
perusahaan besar dan menjadi seorang sekretaris yang tentu saja sangat menyita
waktunya. Awalnya ayah tidak melarang, ayah sadar betul akan hak emansipasi
wanita dan ayah juga bukan penganut diskriminasi. Tetapi karena kecintaannya
pada pekerjaan, ibu lupa waktu dan menjadi lupa diri. Bahkan ibu menjadi lupa
pada kami, pagi hingga sore hari ibu berada dikantor, petang hari ibu melanjutkan
pekerjaannya yang belum selesai di rumah dan kembali sibuk berkutat dengan
tombol-tombol dan layar yang bercahaya itu lagi hingga larut malam. Seperti itu
setiap harinya hingga aku dan Zey terbengkalai, ibu berpikir dengan adanya
pembantu rumah tangga semuanya akan beres dan selesai, tetapi itulah awal
malapetaka bagi keluarga ini.
Saat
itu Zey yang masih berusia empat tahun jatuh dari atas balkon setinggi tiga
meter ketika sedang bermain, tubuh Zey tergeletak dengan darah bercucuran dari
kepala dan terlentang mengenaskan di teras rumah tanpa ada yang mengetahui,
selang beberapa jam kemudian ketika ayah pulang bekerja Zey baru ditemukan dan
segera dilarikan ke rumah sakit oleh ayah yang berlari pontang-panting
menggendong anak bungsunya itu.
Ayah berdiri terpaku, kakinya seolah
tertancap sangat dalam hingga ia tak bergerak, tatapannya kosong, tetapi
pikirannya sangat semrawut, tangannya refleks menggurat dinding disampingnya.
Ayah mencerna lagi kata-kata ilmiah yang dikatakan lelaki berjas putih itu, ia
sama sekali tidak mengerti. Yang ayah tahu hanyalah Zey mengalami gangguan pada
otaknya setelah kecelakaan tadi. Aku menggenggam tangan ayah, memahami arti
dari tatapan matanya yang kosong. Aku tahu ayah sangat terpukul, dan aku telah
berkali-kali menyalahkan diri karena pulang sekolah terlambat hingga Zey
terjatuh. Kini aku hanya bisa terdiam menemani diam yang ayah ciptakan, entah
apa yang sedang berkecamuk dalam benak ayah, tapi aku tahu ayah tidak akan
menyalahkan pembantu yang mungkin lalai atas insiden ini. Ayah selalu bijaksana
dalam bertindak dan bicara, lalu siapa yang patut disalahkan? Hatiku berdegup,
lalu mulutku berbicara seolah tanpa komando dariku “Ayah, dimana ibu?”, ayah
menatapku sejenak tanpa berkata apapun, yang ayah lakukan hanya menggenggam
erat genggaman tanganku dan tersenyum padaku, aku tahu arti senyuman ayahku
itu, senyuman ayahku selalu memiliki arti tersendiri, dan aku selalu bisa
membaca arti dari senyum itu. Bayangkan, disaat seperti ini ayah masih mampu
tersenyum walaupun aku tahu itu bukanlah arti dari definisi tersenyum yang
sebenarnya.
Setelah kejadian tersebut ayah memutuskan
untuk mengundurkan diri dari pekerjaannya, hal tersebut sangat menampar jiwa
ayah karena ia harus merelakan dan menurunkan mahkota kepala keluarga yang
seharusnya mencari nafkah demi anak istrinya. Ayah mengizinkan ibu untuk tetap
bekerja, karena ayah tahu ibu tidak akan patuh pada perkataannya jika harus
berhenti bekerja, apalagi jika alasannya untuk menjaga dan mengurusi aku dan Zey.
Ayah tidaklah bahagia atas keputusannya tersebut yang telah membuat dunia
seolah menjadi terbalik, ibu bekerja dan ayah menjaga kami dirumah. Tentu saja
jiwa dan naluri ayah sebagai seorang laki-laki sangat berontak karena
keputusannya ini sangat berseberangan, tapi disisi lain ayah takut terjadi hal
yang lebih buruk lagi pada zey ataupun pada kami, ayah juga tidak ingin kami
tumbuh dengan rasa haus akan kasih sayang dan perhatian dari orangtuanya. Oleh
sebab itu ayah mengalah, dan melampiaskan seluruh perasaannya dengan mulai
menanam dan merawat taman bunga setiap harinya.
Aku dan Zey sangat bahagia karena ayah selalu
ada di rumah menjaga kami, Zey yang saat ini mengalami sedikit keterbelakangan
mental entah mengapa hanya mau bersikap baik pada ayah. Tetapi seiring
berjalannya waktu ayah dan aku mulai bisa menghadapi semua tingkah laku Zey
yang tidak seperti dulu, sedikit ada rasa sedih terbesit dipikiranku, sungguh malang
adikku yang lucu ini. Lambat laun rupanya Zey mulai terbiasa dengan kehadiranku
dan tetangga kami yang sering bertandang ke rumah, ataupun sebaliknya. Kakek
Zul dan nenek Ida sangat baik, mereka bahkan selalu menyempatkan diri bermain
dan membawa Zey kerumah mereka, ayah tidak keberatan akan hal tersebut, ayah
bilang kakek Zul dan nenek Ida tidak memiliki anak, aku mengangguk maklum atas
penjelasan ayahku. Dan setelah aku amati, ternyata selama ini Zey selalu merasa
takut apabila bertemu dengan orang yang jarang bersamanya, hingga akhirnya ia
selalu berontak dan berteriak-teriak. Itu terjadi ketika ibu pulang saat malam,
Zey tiba-tiba berteriak dan menangis ketika melihat ibu. Dari situ aku
menyadari, ibu hanyalah orang asing di rumah ini bagi Zey, juga bagiku.
Bertahun-tahun ayah menjadi sosok orangtua yang
sangat sempurna bagi aku dan Zey, mungkin bagi orang lain ini akan terdengar
sederhana, tetapi inilah kenyataan besarnya, ayah telah merangkap tugas seorang
ayah dan juga ibu dengan sangat baik. Saat itu, dunia masih terasa sangat luas
bagiku, tetapi setelah jiwa ayah hilang separuh, dunia seketika menyusut dan
terasa sangat sempit.
“Ayah
ingin ke taman kak” aku menoleh pada suara yang jarang aku dengar itu, Zey
memang jarang berbicara, hanya seperlunya saja. Dia selalu menutup diri pada
semua orang, terkecuali ayah, dan semenjak ayah tidak lagi bisa bicara, Zey
semakin jarang berbicara, tetapi Zey seolah tahu dengan keinginan ayah yang
hanya ayah ucapkan dalam hati. Inikah ikatan batin? Entahlah.. dunia ini
terlalu sempit hingga tidak ada celah untukku memikirkan hal tersebut.
“Baiklah,
kakak bantu membawa ayah ke taman” aku mengiyakan dan mendorong kursi roda yang
ayah naiki ke pelataran rumah. Aku menatap taman yang selalu ayah rawat dengan
baik tiga tahun lalu itu dengan nanar, tidak ada yang merawat bunga-bunga ayah.
Hal yang selama ini ayah agung-agungkan telah kehilangan pesonanya. Jangankan
kelopak bunga yang merekah, yang kini terlihat hanyalah dahan-dahan kering yang
telah meranggas. Aku merasa bersalah membiarkan ini terjadi, tapi aku bisa apa?
Aku tidak cukup terampil untuk merawat taman ini, walaupun hanya sekedar
menumpahkan air pada bunga-bunga itu, aku merasa benci ketika melihat
warna-warna indah dari bunga-bunga yang mengembangkan mahkotanya. Sedangkan
hidupku tidak seindah bunga-bunga itu. Biarlah mereka mengering dan meranggas. Tetapi
darahku berdesir ketika melihat wajah ayah yang tentunya merasa sangat sedih, bukan
hal yang mustahil jika hanya taman bunga ini yang dapat membuat ayah bahagia. Lagi-lagi
aku mengutuk diriku sendiri.
“Zey,
bisakah kau menjaga ayah sebentar, kakak ingin pergi ke suatu tempat. Tunggulah
disini bersama ayah” mendengar perkataanku Zey hanya mengangguk. Aku bergegas
melangkah keluar rumah, aku seperti baru saja dibangunkan dari mimpi yang membuatku
terjebak. Aku sadar sepenuhnya, mungkin hanya ini satu-satunya hal yang bisa
kulakukan untuk membuat ayah bahagia, walaupun aku tidak bisa mengajaknya
melihat seluruh jenis bunga yang ada didunia, tapi aku yakin aku bisa membuat
ayah tersenyum walaupun senyuman itu hanya tersimpan didalam hatinya. Aku
kembali ke rumah beberapa saat kemudian sembari membawa sesuatu, tetapi tidak
di sangka Zey menghalauku untuk masuk dari gerbang rumah.“Kak syanda jangan
masuk!!” melihat tingkahnya aku merasa sangat geram dan memarahinya, dari
kejauhan aku bisa melihat ayah tengah duduk tertunduk di taman seorang diri
sama seperti posisi semula. “Ada apa? Mengapa pula aku tidak boleh masuk?
Mengapa ayah kau tinggalkan sendirian disana?!” nada suaraku semakin tinggi. “Jangan
ganggu ayah! Ayah sedang melihat bunga yang ada didunia” Zey meracau tidak
karuan, aku semakin merasa marah dan menerobos masuk menemui ayah. Aku
mengulurkan sesuatu yang tadi aku beli pada ayah. “Ayah, ini Syanda bawakan
bibit bunga dan pupuk, nanti Syanda bantu tanamkan di taman ini, pasti ayah
sedih karena taman ini sudah tidak terawat” aku mengguncang lengan ayah sembari
tersenyum, ah baru kali ini aku dapat tersenyum lagi.
Ayah
tertunduk dan tidak membalas perkataanku, aku merasa ini sangat tidak wajar.
Apakah ayah tertidur? Aku mengguncang-guncang lagi lengan dan bahu ayah. Tidak
ada respon, aku menyadari tangan ayah terasa sangat dingin. Aku mulai gemetar.
“A..a..ayah?” ayah sama sekali tidak
menjawabku. Ia sempurna terdiam. Diam yang membuat detak jantungku berhenti dan
kemudian berdegup sangat cepat, bagaimana bisa? Aku mengangkat wajah ayahku,
matanya terpejam rapat, rapat sekali seperti orang tidur. Mataku seketika
terbelalak, aku melihat ayah tersenyum! Tiba-tiba saja tulang-tulangku seperti
dilolos satu persatu. Bibit bunga dan pupuk yang aku pegang jatuh berhamburan.
Aku menyadari separuh nyawaku telah pergi. Aku menangis dan berteriak
sejadi-jadinya, sementara Zey hanya melihatku dibalik pintu pagar dengan diam.
Setelah
kepergian ayah, ibu semakin jarang di rumah, aku tidak tahu apakah ibu merasa
sedih atau tidak, aku tidak peduli. Tapi aku tahu ibu sama sekali tidak
menitikkan air mata untuk melepas kepergian ayah. Jangan tanyakan bagaimana
kelanjutan hidupku, jika mayat hidup itu memang ada, akulah mayat hidup itu.
Ragaku hidup tetapi jiwaku sepenuhnya telah mati. Aku merasa gila, hanya ayah
satu-satunya alasan bagiku untuk tetap menjejakkan kaki di bumi ini, aku ingin
ikut. Mengapa ayah tega meninggalkanku sendirian di dunia yang semakin terasa
sangat sempit ini? apakah aku harus mengakhiri hidupku? Itu tidaklah mungkin,
karena aku tahu jika hal itu aku lakukan aku akan dilempar ke neraka setelah di
akhirat nanti, sementara aku yakin ayah pasti telah berada di surga. Jika itu
terjadi aku tidak bisa bersama ayah walaupun didunia yang lain sekalipun. Aku
tidak ingin melakukan hal bodoh tersebut. Tetapi sampai kapan aku hidup? Sampai
kapan aku berada di dunia yang sempit ini? kali ini, tidak ada lagi sandaran
ataupun tumpuan agar aku bisa tetap berdiri, aku tersuruk dan terseok-seok
melewati kehidupan.
“Kak
Syanda, kakak tidak sekolah?” Zey menghampiriku yang sedang menyiram air dan
memberi kehidupan pada bunga-bunga yang bermekaran. Aku tidak menjawabnya,
lagi-lagi dunia terasa terbalik. Setelah kepergian ayah, Zey justru semakin
sering berbicara, dan aku selalu diam seribu bahasa. Aku memang tidak berniat
lagi untuk pergi ke sekolah. Untuk apa? Aku memutuskan untuk menutup diri dari
semua orang, dan dari semua partikel didunia ini. biarkan aku sendiri hingga
ayah berbaik hati menjemputku suatu saat nanti.
“Kalau
begitu, apakah aku boleh pergi ke sekolah?” Zey berkata dengan sangat
hati-hati, dia tahu betul kondisiku saat ini. “Apa alasanmu? Silahkan saja” aku
menjawab dengan datar, tatapanku selalu kosong. “Baiklah, tidak apa-apa kalau kakak
tidak pergi ke sekolah, dengan begitu kakak tidak akan menjadi seperti ibu, dan
biarkan aku bersekolah kak, agar aku kelak tidak seperti ayah” Mendengar
perkataan Zey aku menatapnya sangat lama, aku tidak mengerti maksud
perkataannya. “Iya kak, agar kelak saat kakak dewasa dan mempunyai keluarga,
kakak tidak akan seperti ibu yang selalu bekerja tanpa kenal waktu dan
menelantarkan anak-anak dan suaminya, dan aku ingin bersekolah setinggi mungkin
agar aku tidak seperti ayah yang hanya diam dirumah menjaga kita walaupun
karena terpaksa karena perilaku ibu, aku tidak ingin kakak dan aku mengikuti
jejak ayah dan ibu”
Aku
merasa ditampar sangat keras oleh perkataan Zey, dia benar. Aku tidak menyangka
walaupun ia sedikit keterbelakangan mental tetapi selama ini ia mampu membaca
takdir lebih baik daripada aku. Walaupun aku tetap sekolah sekalipun, tentu
saja aku tidak akan mengikuti jejak ibu. Biarlah semua ini berlalu, aku tidak
lagi menyalahkan ibu terlebih lagi ayah. Aku tidak berhak membuat sekat dan
menghalangi zey untuk menggenggam dunia yang selalu terasa luas bagi orang yang
mempunyai harapan. Aku mengangguk pada adikku itu, kabut hitam dikedua mataku telah
tersapu oleh harapan yang Zey hembuskan. Aku mengetahui lagi bagaimana cara
tersenyum, aku menemukan duniaku kembali. Zey akan membuat dunia ini terasa
lebih luas untukku. Seketika itu pula mereka datang lagi, datang dengan diam
dan menghujamkan diri pada bumi dan menyentuh kelopak-kelopak bungaku, aku dan
Zey mendongak ke arah langit, penguasa siang masih tersenyum memancarkan
sinarnya dan aku merasa benar-benar telah menjadi bagian dari partikel di dunia
ini.
Juara 5
Ayu Puspa Dewi (semester 6B)
PERAHU SENJA
Karya : Ayu Puspa Dewi
Ketika senja menghilang
ditelan kegelapan, ketika senja tak mengukirkan keindahan, tidak mewarnai dunia
dengan merah keemasannya, aku
bagaikan seorang perempuan paruh baya yang kehilangan tongkatnya. Aku kehilangan penuntun yang selalu
menuntunku
melewati pekat malam, seorang nahkoda sekaligus seorang pembimbing. Sungguh
senja yang tidak menarik. Perempuan senja, itulah sebutanku dikalangan sejawat. Belum sempat aku memperkenalkan dia, lelaki yang aku cintai kepada seseorang yang telah
melahirkanku.
Kini, dia
telah tebarkan cerita melalui angin yang berbisik lara, menyentuh dan
menggetarkan sanubariku. Menajalin cinta bersama orang lain di tanah yang
sama-sama aku pijak. Sungguh, rasanya ingin sekali menumpahkan air mata, meluapkan segala rasa emosi yang telah mengendap di jiwa. Namun, hati ini membiarkan dan mengikhlaskan hujan
badai dan petir yang mewakili perasaanku.
Terkadang aku
ingin lari, mengkantupkan mata dan menutup kedua telinga dari suasana yang tak
di pinta. Aku
tidak percaya ini terjadi dalam garis kehidupanku. Aku
tidak terluka, hanya saja sedikit hancur. Aku kira ketika aku berlayar di air yang tenang, tak
berombak, jiwa ragaku
akan merasa nyaman, tentram, dan akan membawaku bermuara ke samudra menuju laut lepas.
Namun ternyata perlahan menghanyutkan, mengantarkan aku ke tepian tak berhuni. Ada banyak
hari dimana aku
selalu menanti kehadirannya
di pelabuhan kecil untuk berlayar bersama, namun itu hanyalah fatamorgana. Dan
sekarang disaat aku
membutuhkannya, ia kembali berubah menjadi gelembung. Meski tak hancur, tetapi
ia terbang jauh dan tak mungkin kembali. Sungguh sekenario Tuhan yang begitu
indah. Aku
merasa
bahwa aku
adalah seorang perempuan yang paling beruntung di antara perempuan lainnya. Iya, pada dasarnya di dunia ini ada cinta
yang harus di jaga, ada cinta yang harus berpisah, dan ada cinta yang dari awal
tidak berarti apa-apa.
“Duhai Tuhanku, ketika aku menghilang bersama badai
kegelapan, akankah ada seseorang yang akan mencariku, merindukanku, bahkan
menangisiku ?
Duhai Tuhanku, ketika aku menghilang bersama pekat
malam, akankah dalam terang ada seseorang yang menanti kehadiranku ? Siapakah
itu ?
Sebelum senja menutup diri, aku akui dalam dinginnya
tersimpan sejuta kehangatan, dan aku menemukan sebuah ketenangan di balik hutan
aokigahara. Kini, senja telah sempurna menutup diri, suasa
adzan maghrib mengantar perahu
kecilku
ketepian. Aku
mengikatnya,
tatapan mata tertuju pada langit yang hitam sembari menghela nafas panjang
seraya berkata “Seharusnya aku tidak perlu bersedih, seharusnya dialah yang
bersedih karena baru saja ia telah kehilangan seseorang yang mencintainya.”. Aku menuju ke tepian pantai mencuci kedua
tanganku
dan sesekali aku
melihat kearah perahu
seraya berkata “Baiklah, dimanapun aku berada walau dalam kegelapan sekalipun,
aku tidak perlu takut, karena dimana ada bayangan disitu ada cahaya. Meski tak
ada mentari menyinari, tetapi ia selalu ada membayangi”. Sembari kembali ke perahu, aku memasukan berkas-berkas yang begitu
berarti di kehidupanku
ke dalam tas hitam. Memisahkan
berkas-berkas lembut yang menggores di setiap sentuhan untukku bakar, membiarkannya menjadi duli yang
terbang bersama pawana.
Aku memeriksa kembali ikatannya, memastikan
perahu itu tidak hanyut terbawa arus air
yang tenang. Dan mulai beranjak meninggalkan perahu tua, melangkahkan kaki
meninggalkan bayang-bayang berkas yang lembut di lahap terik mentari esok nanti. Dan meninggalkan sepucuk surat untuk angin yang berlalu
lalang.
“Duhai
orang yang akan aku lupakan. Tinta hitam
mengajak jemari menari kala gerimis menghampiri. Aku cinta siapa ? aku rindu
siapa ? Dan kau tahu ? banyak sekali kata yang takku sampaikan saat bersamamu.
Aku selalu melihatmu dari persembunyianku hanya untuk melihatmu baik-baik saja.
Sebenarnya, ini bukanlah hobiku. Saat
senang, kau adalah seorang yang terlintas dalam benak setelah keluargaku. Aku
selalu berjalan di belakangmu. Tak ada yang lebih indah selain menikmati
mentari pagi dan menghabiskan waktu hanya untuk menanti senja menyapu dunia.
Pohon yang ku sandarkan selalu menemaniku, melindungiku, namun ia tak pernah
menoleh ke arahku untuk bertanya, sedang apa ? apakah baik-baik saja ?. Entahlah...”
Jauh sudah aku melangkah meninggalkan tepian sampai di
ujungnya malam. Aku
terjatuh, tertunduk dan terpaku menatap pasir putih yang mulai basah karena
tetesan air mata.
Sedang mentari, kini mulai membelai dunia jauh di atas
sana di balik awan hitam,
lalu mencipta air langit basahi bumi wiralodra ini. Dengan suara lirih aku berkata “Duhai Tuhanku, aku ingin belajar kehidupan lewat hujan. Iya,
hujan yang tak pernah mengeluh kepada Tuhannya ketika ia dijatuhkan dari
langit”. Tak lama kemudian pandangan mataku mulai
kabur, tubuhku
terasa lemas dan mulai tak sadarkan diri.
***
Langit menciptakan warna kelabu, kegelapan merangkul kota Indramayu, menjadikan kampus
tempatku belajar menjadi gelap tanpa cahaya. Dan ada
satu nama yang menjadi luka saat aku memanggilnya, sedang hati masih terus saja
merindukannya. Ada
satu rupa yang menjadi air mata saat
aku teringat akan tentangnya, sedang hati masih ingin melihatnya lebih lama. Di taman yang sepi itu tertinggal setangkai
bunga, tiada
harum hilang warna. Pernah
tercipta cinta membara namun
kini padam tak bernyawa. Secangkir
kopi yang hangat menjadi dingin seketika. Lalu turun hujan basahi
tanah kelahiranku, mungkin ini
adalah salah satu jawaban atas mentari yang tak kunjung
menampakkan. Ku cari-cari
warna pelangi, namun yang ku temukan hanyalah gelap yang berteman dengan sepi. Dalam
perjalanan mengantar senja
yang pudar pada gelapnya malam. Aku ayunkan langkah kata dalam sebuah
tulisan. Tertorehkan seribu lelah dijiwa, tertatih dalam kesendirian mencari
adakah tempat untuk ku
sandarkan.
Kala itu kegelapan masih merangkul erat kota Indramayu. Bersinar, hangat,
nyaman, dan sebuah ketenangan, seperti sosok terang dalam kegelapan. Itulah
saat pertama kali aku
melihat sosok laki-laki itu. Tak pernah aku
sadari setiap kali aku
memandangnya, hati dan jiwa terasa begitu damai, bagiku dia adalah seseorang yang tak pernah
terlupakan, karena aku
tersenyum dan tertawa juga
karenanya. Hadirnya, aku
merasa hidup di duniaku yang baru. Berkat dirinya, aku belajar akan arti sebuah
kehidupan. Bersamanya, aku bangkit dari kegelapan, selangkah demi selangkah aku melangkah dengan hati-hati, bukanlah
sebuah ketakutan, tetapi kekhawatiranlah yang memenuhi hati ini. Aku selalu mengatakan
maaf kepadanya, itu bukan berarti aku tak pernah mengerti akan dirinya, tetapi
aku takut akan kehilangan sosok terang sepertinya. Entah hal bodoh apa yang
telah aku lakukan. Dan hal bodoh apa
lagi
yang akan aku lakukan di esok nanti.
Lama
sudah aku
mengenalnya, namun semakin dalam rasa itu semakin pula aku merasakan kepedihan
yang mendalam. “Mencoba mendamaikan air yang beriak, namun tetap saja aku
cemburu.” Gerutuku
menatap lelaki itu dari kejauhan. Iya, hatiku merasakan begitu panas oleh sengatan
sinar mentari, bukan rasa iri hati, tetapi cemburu, sekali lagi aku katakan kepadanya bahwasannya aku cemburu. Dan di saat itu aku benar- benar yakin bahwa rasa itu
adalah cinta, mungkin ini adalah jawaban atas segala kegundahanku. Bukanlah diriku yang mengatakan, tetapi hati inilah yang mengatakannya. Entah apa yang terjadi, pikiran dan hati
merasa begitu kelabu, rasanya ingin marah dan menangis, namun untuk apa
menangisi semua itu, dia bukanlah siapa-siapa. Karena, aku hanyalah orang asing yang menikmati jatuh cinta sendiri dan
merasakan apa itu
cemburu yang sesungguhnya.
“Sebab
aku pinta engkau menjadi cahaya, untuk menyinari langkah kakiku tuk telusuri
jalan gelap menuju-Nya, bukan api, atau aku pinta engkau mengepakan
sayap, mengantarku ke surga, kala ruhku merindukan Sang Pencipta”.
Iya, lelaki itu selaksa sang mentari yang telah terbit dari ufuk timur
hatiku
untuk menyinari dunia, mengukirkan jejak keindahan di setiap mata memandang dan
mulai menggantikan sang mentari yang hampir terbenam itu. Kehangatannya
diciptakan tidaklah dikhususkan untuk menghangatkan perasaanku yang sesungguhnya, akan tetapi ke semua makhluk yang hidup.
Mereka mengagumi apa yang aku
kagumi, meraka menyukai, mencintai,
dan
merindukan apa yang aku
rindukan pula tentang dirinya. Bersama
senja, aku memejamkan mata untuk kesekian kalinya, menimkati hangat sinarnya
yang hampir terbenam itu seraya berkata “Apakah esok aku masih dapat
merasakannya ?”. Awan itu sungguh sangatlah beruntung, iya selalu ada dan
menemaninya, bahkan angin berlalu berkata iya sangat serasi, lebih tepatnya aku
cemburu, aku sangat cemburu, aku benar-benar merasakan cemburu yang
sesungguhnya. Setiap kali aku
melihatnya bersama sang awan, aku merasa ada sesuatu yang mencoba hilang
melalui telapak tanganku, entah aku tidak tahu. Yang pasti aku tidak
mengizinkan sesuatu itu pergi meninggalkanku sendiri bersama bayanganku. Akankah
pada akhirnya awanlah yang akan menari bersamanya ? Entahlah. Sikapnya terhadapku,
mungkin membuatku salah dalam menafsirkannya, sebuah komponen itu kini terbelah
menjadi dua, entah jalur mana yang Tuhan tentukan untuk aku langkahkan kakiku
menujunya, untuk menuju ke arahnya. Sebuah cinta ataukah persaudaraan.
Yakinkanlah hati ini jikalau ia bukanlah cinta terakhirku, tetapi tegarkanlah
hati ini tatkala aku adalah tulang rusuknya.
Terlintas
aku ingin sekali menjadi setitik awan kecil di langit bersama mentari, tetapi
aku diam, ia semakin menjauh.
Aku terjatuh, aku berdiri kembali melihatnya dari hari
ke hari. Seperti burung, ia hanya melintas terbang dalam pandanganku.
Sebenarnya ada banyak hari dimana aku sangat merindukannya, ada banyak hari
dimana aku mengharapkan sentuhan hangat sikapnya. Sekali lagi aku menangis
untuknya, aku menangis
karenanya, ada sesuatu yang mulai terlepas melalui telapak tanganku. Sekali
lagi aku katakan bahwasannya aku takut sinar itu memudar secara perlahan dan
pergi meninggalkan aku bersama bayanganku. Tak bisakah ia turun sejenak
menemani air mataku ? Entahlah. Aku terlalu
nyaman dengan semua rahasia ini, menyelipkan perasaanku di antara keseharianku,
memilih untuk sendiri, menyepi dalam sudut kegelapan dan kini aku mulai bosan
dengan gelap, jenuh dengan segala rahasia. Entah sampai kapan aku membohongi diri sendiri ? Aku bertanya
kepadanya. Masih tetap sama, hanya diam. Kamis
pagi, di dalam rerumpunan orang, hati ini selalu menuju kearahnya, dan saat ku
mulai berhitung dengan mengkantupkan kedua mata, dalam bilangan ke sekian ia
datang mendekat kepadaku di dalam dinginnya angin pagi. Ia menghangatkanku
dengan sikapnya, pandangannya meyakinkanku bahwa ia bukanlah orangnya, orang
yang di gariskan untukku. Akan tetapi aku merasa tenang berada di sampingnya.
Kembali tersenyum menatap langit senja. Dan
mulai mengakhiri sebuah cerita yang meliuk sangat indah. Aku menulis atas nama
malam. Dimana aku masih ingin melihat 20 % dari rembulan yang terlukis di
wajahnya, rasanya tidak hanya samalam bahkan selamanya. Namun, kelak masihkah
ku berjumpa dengan malam ?
Tatkala esok masih ku berjumpa dengan nafas, akan ku gapai semua kata yang
masih tergenggam dalam awan mimpi di temani mentari yang menyapaku seperti
memang seharusnya menyapa semua makhluk hidup.
***
Hatiku
adalah perahu yang tak pernah berhenti mengembara. Berlayar-layar mengarungi
samudra bersama angin timur. Angin yang terkadang berbisik mersa namun
terkadang pula berbisik lara. Itulah kehidupan, putih tak selamanya putih dan
hitam tak selamanya hitam. Tiga
tahun sudah aku
melangkah jauh. Mengejar mimpi yang belum tercapai, menjalani hidup yang belum
terlalui. Namun, seperti lagunya Bang Haji Roma. Hidup tanpa
cinta bagai taman tak berbunga. Mimpi,
impian, dan harapan telah aku
raih dan ku
genggam dengan kedua tanganku.
Di usia yang ke 20, aku
telah berhasil menjadi seorang guru bahasa, penulis, penerjemah dan ahli dalam
bidang sastra. Namun hanya ada satu yang tak pernah aku rasakan yaitu sebuah cinta sejati. Ada banyak cara untuk menghibur hati
seseorang, namun tidak dengan hatiku.
Ketika mentari menempati ujung pagi, aku
kayuh sepeda menuju ke pantai, aku
tanggalkan sepeda tak jauh dari
tempatku
beranjak mendekati gelombang yang malu-malu mencium tepian. Aku duduk menikmati deburan ombak dengan desauan angin yang merdu entah
datang dari mana yang seakan-akan bersenada dengan suasana kalbuku. Mengayak-ayak pasir putih dengan kedua
tanganku,
lalu mengambilnya dengan tangan kanan, belum sempat ku genggam, pasir itu terjatuh, bertebaran
kembali terhembus angin. Terkadang angin tak selamanya merdu, tak selamanya
mesra ataupun senada,
namun angin juga terkadang menciptakan
luka.
“Hai, apa kabar hati yang telah lama menyepi”.
Aku kembali berdiri dan menyapa diriku dalam kesepian. Dan beranjak pergi karena langit telah
berubah menjadi gelap.
“Bruukk”. Suara sepeda terjatuh. Sebuah batu kecil
membuatku mencium aspal yang masih terasa hangat karena terik mentari.
Tiba-tiba seorang pemuda membangunkanku, mengajakku ketepi jalan dan mengobati
lukaku tanpa kata. Dengan penuh rasa keheranan aku memberanikan diri untuk
berbicara. “Terimakasih telah menolongku, kakak ini siapa ?” tanyaku. “Panggil
saja Ahmad”. Lelaki itu hanya membalas pertanyaanku dengan singkat, lalu
membangunkanku dan menemaniku menuntun sepeda menuju rumah. “Bukankah kau ini
cucunya eyang mashita ?” Pertanyaannya memecahkan keheningan diantara kami
berdua. Aku mengerutkan kening kepadanya. “Darimana kakak bisa tahu ? apakah
sebelumnya kita pernah bertemu ?”. “Aku mengetahuimu sejak kecil, rumahku tak
jauh dari rumah eyangmu. Bukankah dulu kau pernah bersepedahan bersama ibumu
kerumah eyang mashita ?”. Sekarang ia mulai tersenyum padaku, bukan sekedar
sebuah senyuman biasa yang aku rasa, akan tetapi sebuah ketulusan dan kasih
sayang. Aku menundukkan kepala, “ah entahlah, bahkan aku lupa bagaimana waktu
aku kecil dulu”. Tanpa permisi dia menarik tanganku, mengajakku berteduh karena
langit tidak menyukai kedekatan kami berdua. Suasana kembali hening namun
lagi-lagi ia memecahkan kehiningan itu sedang aku tak pandai dalam memulai
suatu pembicaraan. “Fathma, diminggu pagi esok maukah kau bersepedahan
bersamaku ?”. Ajakan itu benar-benar membuatku terkejut. Entah mengapa kepala
ini menganggukkan dan bibir ini mengiyakan menerima ajakannya.
***
Ku sandarkan tubuhku pada
kursi tua, melayangkan otak teringat
akan seorang kakak senja
dengan senyumannya. Hatiku seolah tertusuk panah asmara. Selaksa guyuran hujan tatkala pertama
jumpa, basahi kebun jiwa yang mengering perlahan. Angin malam yang berhembus
mersa memelukku
dengan erat. Butir-butir cinta memenuhi ruang hampa. Hingga tercium aroma bunga jiwa yang tak terlupa. Bahkan
aku merasakan kehangatannya melebihi sinar mentari, tutur kata yang keluar dari
bibirnya mampu menciptakan sabit sekalipun langit malam ini gelap tanpa hiasan.
Aku pernah melihat kak Ahmad sebelumnya, dia membawa tumpukan kertas dan buku
bersama seorang kakek, tetapi entah dimana.
Minggu pagi, ku lihat mentari enggan untuk menyapa lebih
awal hariku. Hari dimana aku memiliki sebuah janji dengan kak Ahmad. Seorang
kakak yang mampu menjungkirbalikkan logikaku. “Krriiiiinnnngggg” sebuah pesan
mendarat diponselku. Ku baca pesan dari kak Ahmad yang menandakan bahwa dirinya
telah berada dipersimpangan jalan kemarin. Sebelumnya kita sempat bertukar
nomor telepon untuk mempermudah berkomunikasi. Sedang langit masih menangis,
namun aku tidak perduli dengan kemanjaannya. Ku kayuh sepeda dengan cepat, aku
tidak ingin seseorang menungguku dengan lama. Namun, jalan yang kutempuh penuh
dengan tanah liat yang basah karena ulah hujan. Sepeda terasa berat dan memilih
untuk berhenti. “Fuiihh... “ Aku mengembuskan nafas panjang. Aku memilih menepi
di pinggir jalan. “Untuk bertemu dengannya saja sangat memerlukan pengorbanan
yang kuat, apakah dia adalah jodohku Tuhan” Aku menggerutu sembari membuang
tanah liat yang menempel pada roda sepedaku. Sebuah getar disaku mengagetkanku.
Iya, sebuah telepon dari seseorang diseberang sana. Tak lama kemudian seseorang
itu menghampiriku, dan membantuku membuang tanah liat yang masih melekat pada
roda sepedaku. Hati ini benar-benar merasakan nyaman berada disampingnya, detak
jantungku mulai tak menentu, tak ada keberanian untuk menatap wajahnya. Aku
hanya menunduk dan menunduk. Namun aku lupa akan satu hal, kedatangannya yang
menghampiriku juga mengakibatkan roda sepeda biru itu terpenuhi dengan tanah
liat. Kami sama-sama tertawa, sebuah tawa yang berbeda, yang baru aku rasakan
sebelumnya.
“Ini pertama kalinya kakak menyuci sepeda bersama dengan
seorang perempuan. Dan rasanya ini pernah kakak rasakan dalam mimpi”. Dia
kembali menciptakan sabit dibibirnya, dengan sesekali menyemprotkan air
kearahku. “mimpi” batinku. Saat itu juga aku teringat tentangnya. Iya, aku
pernah bertemu dengannya disebuah mimpi tiga tahun yang lalu. Ketika aku
dijatuhkan dari langit, sedikitpun aku tak merasakan sakit. Karena aku melihat
senyumannya yang memancarkan sebuah cahaya berjalan dengan seorang kakek
menelusuri sebuah lorong gelap. Ada rasa ketertarikan untuk mengikuti mereka
berdua. Dari kejauhan aku mendengar kakek itu berbicara dengannya. “Dia
kekasihmu, kau akan menemukan sebuah kebahagiaan bersamanya. Kau tidak tahu
bagaimana cara menjaga perasaanya. Namun kelak nanti, kau akan mengetahuinya.”
Ucapan kakek tersebut menggetarkan hatiku, tatapannya mengarah kepadaku yang
seolah kata-kata tersebut tertuju padaku, sedang saat itu aku tidak mengenal
laki-laki muda yang bersamanya. Aku berlari hingga kesebuah pelabuhan. Terdapat
sebuah perahu yang masih menepi. Bukanlah air langit, tapi sebuah air mata yang
berkejar-kejaran dipipi. “Bahkan perahu itu masih menepi” Batinku. Perlahan aku
mendekat dan masuk kedalamnya, namun nafasku seakan berhenti sejenak kala aku
melihat laki-laki muda itu berada di dalam perahu itu. “Kemana saja ? aku sudah
lama menunggumu disini, maukah kau berlayar bersamaku?” Ku coba
tanyakan pada kegelapan yang senantiasa membawa kegelisahan, kegundahan, dan
ketakutan akan pudarnya sosok terang dalam kegelapan. Coba tanyakan pada sebuah mimpi yang
senantiasa membawa berjuta misteri dan dirinya yang menuju kembali, sosok
mentari.
“Aduh..” Siraman air itu mengagetkanku. “Jangan melamun
saja, nanti tidak kelar-kelar nyuci sepedanya”. Sesekali kami bermain air,
hingga pakaian kami setengah basah. Tiba-tiba, dia menggenggam tanganku,
tatapannya begitu dalam. “Aku mencintaimu, aku merasa nyaman bersamamu. Kau
berbeda dengan perempuan yang lainnya. Sudah lama aku menunggu saat-saat
seperti ini, merasakan sebuah cinta yang sesungguhnya. Karena aku mencintaimu,
akan aku jadikan cinta ini sebagai kendaraan untuk menuju ketempatNya. Maukah
kau menungguku lulus S2 ? Jangan pernah pergi kemana-kemana, aku akan segera
kembali menjemputmu, aku janji”. Kata-kata yang meluncur dari bibirnya,
membuatku jatuh terperosok kedalam jurang hatinya. “Apakah mau kau ku
tinggalkan sendirian disini ?” Sahutnya, dan kudapati dia sudah berada
diseberang jalan. Kami melanjutkan perjalanan, mengayuh sepeda dibawah hujan
tanpa pelindung. Menikmati disetiap sentuhannya, mendengar disetiap canda
tawanya. Ia membasuh mukaku, juga meruntuhkan rasa sesalku. Hujan menyimpan
sejuta cerita. Terkadang, hujan tak selamanya membawa gemuru, namun hujan juga
membawa kebahagiaan. Dan hujan pula lah yang pernah menahan dua insan kala itu.
***
Denting-denting waktu bergerak lama. Tak ada manusia yang
berlalu lalang. Hanya embun pagi yang menatap lekat dari balik jendela,
katak-katak bernyanyi, berlari-lari di rerumputan. Aku tahu, bahwasannya hujan
akan singgah ditanah kelahiranku dengan waktu yang panjang. Ketika hati mulai
terpaut pada satu nama, teringat akan satu wajah yang penuh kehangatan dan
kelembutan. Kulukiskan segala rasa dalam bentuk kata-kata, hingga gemercik air
langit menemani kerinduan ini. Hatiku mulai melantunkan nada-nada syahdu,
denyutan nadi terdengar sangat merdu. Beberapa fonem menari-nari indah di bawah
langit hitam yang melepas perhiasannya, berlari-lari membentuk morfem. Hingga
ia menjadi sebuah wacana yang ingin kupertunjukan hanya dikhususkan untuknya.
Tentang dosa kecil yang hanya terampuni dengan sebuah pertemuan. Dia menjagaku
dengan cinta yang tak berujung. Karena semua hal yang tak bisa aku lihat,
sekarang begitu jelas bagiku. Satu-satunya cinta yang pernah ku kenal. Semua
harapan dan impianku menjadi nyata. Dia telah membuka hatiku untuk merasakan
cinta yang benar-benar nyata, membuat jiwaku lengkap sepanjang waktu. Dan aku
tidak peduli atas mentari yang berada dibalik awan. Yang pasti cahaya
penuntunku terus bersinar dan tidak akan pernah pudar selamanya.
Bukanlah
suatu kebetulan kami
berada di tempat
yang sama, tapi ini adalah takdir
Tuhan
yang menjadikan kami
raja dan ratu seharian. Iya, dia kembali menepati janjinya. Dia mendatangi kedua
orang tuaku dan meminangku. Sekarang aku tidaklah sendiri dalam menatap senja,
aku mengayuh sepeda bersama orang yang aku cintai. Dia yang berasal dari tutur
kata yang tak pernah aku sadari, memasuki lewat mimpi, menjelma dalam
imajinasi, menjadi bagian dari karya tulis yang kini menjadi nyata untukku.
“Mengapa kita berhenti di sini ?” Ujarku.
“Aku ingin melihat senja menyapu dunia. Maukah menikmati deburan ombak bersamaku
? “ Ajak Ahmad.
“Baiklah dengan senang hati.” Balasnya
Kami meninggalkan sepeda disebuah gubuk kecil,
saling bergandengan tangan, saling tatap dan tersenyum, saling berbicara dengan bahasa yang hanya aku dan dia
yang mengerti. Kami berjalan menelusuri bibir pantai. Sebuah pantai yang selalu
rapih menyimpan berjuta rahasia.
“Pantai itu selalu nyaman, dihantam
gelombang sekalipun tetap saja menciptakan suasana nyaman. Apalagi ia selalu
setia hingga senja. Dan
bahkan dulu aku selalu bermimpi kelak aku ingin photo pernikahanku dengan nuansa senja.” Gerutuku.
“Yasudah, dicatat baik-baik yah de.” Balasnya sembari memegang hidungku.
“Bisakah kakak membantu mencatat di buku
takdirku ?”
“Memang bisa de ?” Jawabnya sembari mengerutkan dahi kearahku.
“Bisa jika dibarengi dengan berdoa kepada
Tuhan, ada takdir yang bisa kita rubah, dan adapula takdir yang tidak bisa kita
rubah, bukankah seperti itu kak ? Tapi bukankah kita sudah menikah, jadi
lupakan saja, aku bersyukur
dengan semua ini.” Jawabku sembari melemparkan batu kepantai yang menciptakan beberapa
gelombang.
“Iya, nanti kita rapatkan apa-apa saja
yang perlu kita rubah yah de. De, jika suatu saat kakak nakal gimana ? kakak
cuma pengen tanya saja.”
“Hancur berkeping-keping, sakitnya tuh di
sini. Meski dibetulkan kembali tetap saja akan terlihat retaknya, jangan pernah
mencoba dan jangan bermain api jika tidak bisa memadamkannya. Tapi jika kakak
ingin melakukannya jangan salahkan aku jika aku menghilang seperti buih di
lautan.” Aku menghela
nafas panjang, lalu berjalan cepat didepannya. Kemudian dia berlari menyusulku,
berjalan di sampingku, menggenggam erat tanganku.
“Haduh, kakak nakalnya cuma sama kamu
saja de, tenang saja kok, tapi kamu juga jangan nakal lagi de.”
“Aku tidak nakal kok kak, tapi kenapa aku
yang jadi korban kenakalan kakak ? seperti apa kenakalan
kakak ? apakah penuh dengan
deraian
air mata ? apakah penuh dengan kekerasan ? seram sekali. Ini, lihatlah aku
sudah lari-lari di tempat, pemanasan
buat lari dari kenakalan kakak.”
Tiba-tiba Kak Ahmad membawa tubuhku kedalam pelukannya, dan membelai jilbab
merah marun dengan lembut.
Aku diam
sejenak,
sedang hati tak berhenti berdegup kencang. “Bukankah aku sudah halal bagimu, kak ?”. Ucapku dengan
perlahan untuk menenangkan hati. Dan lagi-lagi dia hanya menciptakan sabit
dibibirnya.
“Maukah
menaiki perahu bersamaku ? hayolah sebentar saja de.”
“Terimakasih
kak, kakak telah menjadikan semuanya
nyata
untukku, aku tahu kakak sudah merencanakannya dengan susah payah.”
Pantai
yang damai,
sedamai
hati kami
berdua. Indah, seindah lembayung senja. Sebuah perjalanan yang penuh liku telah
aku lalui. Perahu yang telah lama menepi
tidaklah terbuang sia-sia. Karena kini aku
telah menemukan seorang nahkoda yang akan mengantarku ke syurgaNya kala ruhku merindukan Sang Pencipta. Seorang nahkoda yang hebat tidaklah tercipta dari ombak
yang tenang. Kini aku
hanya tinggal menikmati hasil panen dari kesabaranku, ketegaranku dan keyakinanku. Dan setiap hari aku selalu jatuh cinta pada orang yang sama, yaitu kak
Ahmad.
“Bukan
karena kau cantik yang menjadikan aku cinta. Tapi karena aku cinta kau begitu
cantik.” Seru kak
Ahmad yang lalu mencium keningku.
Kami saling tersenyum dan tertawa di
bawah naungan lembayung senja, menyaksikan sang mentari menyibak tirai malam.
“Entah mengapa aku sangat menyukai senjaMu, ketika mentari kembali
keperaduannya, ia mencipta keindahan di langit sore, sungguh sempurna di mata
samudra. Tetapi Tuhan, ada yang lebih indah lagi selain senja yaitu seseorang
yang aku cinta menoleh kearahku, mendekatiku dan berbagi kasih denganku yang
kini berada di dalam pusat mata ini.” Batinku. Ahmad mendekatkan diri, menatap mataku penuh kasih, lalu tanpa kata ia menyentuh lembut bibirku dalam kalutan senja, menjadikan suasana
tersebut begitu hangat yang tak terlupakan.
“Jika
di pertengahan jalan kita dipisahkan oleh tadir bagaimana de ?” Ujar Ahmad
“Semua
sudah di ataur oleh Tuhan, kita manusia hanya bisa berusaha sebaik mungkin,
bahkan kematian saja
datang tanpa permisi. Aku akan
menikmati disetiap perjalanan bersamamu, hingga tangan Tuhan menyatukan kita
kembali diakhir nanti. ”
“Kakak
sangat beruntung memilikimu de, kakak mencintaimu”. Tanpa menunggu jawaban, ia
kembali menyentuh manis senja
dalam waktu yang lama.
*Selesai*
Gimana?
Bagus-bagus kan puisi buatan anak Unwir Indramayu? Hehehe. Semoga bisa
terhibur.
Sekian
dulu postingan hari ini, wassalamu’alaikum….
0 Response to "5 Besar Lomba Menulis Cerpen PENTRA 2015"
Posting Komentar