TUGAS
KAJIAN NOVEL KERING KARYA IWAN SIMATUPANG
Untuk memenuhi tugas mata kuliah Apresiasi Prosa Fiksi, semester
3
tahun akademik 2014/2015
yang diampu oleh: Drs. Rustam Effendi, M. Pd.
Disusun oleh:
Karniti : 882010113034
Luthfiani Kuntari : 882030113037
Muhammad Jammal Baligh : 882010113043
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS WIRALODRA
INDRAMAYU
2014
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji dan syukur
kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas segala limpahan rahmat-Nya kami
dapat menyusun tugas ini dengan tepat waktu. Sholawat serta salam kami
limpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, beserta keluarganya,
sahabatnya dan seluruh umatnya sampai akhir zaman.
Tugas ini membahas tentang analisis novel Kering karya
Iwan Simatupang. Dalam penyusunan tugas ini, kami banyak mendapatkan bimbingan,
bantuan, dan dorongan dari berbagai pihak. Oleh karena itu kami mengucapkan
terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan tugas
yang kami buat. Terutama ucapan terima kasih ditujukan kepada dosen mata kuliah
Apresiasi Prosa Fiksi, Drs. Rustam Effendi, M.Pd.
Adapun isi dari tugas ini jauh dari sempurna karena
keterbatasan kemampuan kami, baik kemampuan mengolah konsepsi ataupun kemampuan
apersepsi. Sehingga harap dimaklumi apabila isi tugas kami banyak kekurangan,
itu sebabnya kritik dan saran sangat kami harapkan untuk perbaikan tugas ini.
Semoga tugas ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun
pembaca, dan menjadi tambahan bagi khazanah ilmiah kita semua.
Indramayu,
31 Desember 2014
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Karya
sastra lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi seorang
pengarang terhadap gejala-gejala sosial di lingkungan sekitarnya. Karya sastra
diciptakan pengarangnya untuk menyampaikan sesuatu kepada penikmat karyanya.
Sesuatu yang ingin disampaikan pengarang adalah perasaan yang dirasakan saat
bersentuhan dengan kehidupan sekitarnya.
Salah satu bentuk karya sastra yang membicarakan manusia dengan segala
perilaku dan kepribadiannya dalam kehidupan adalah novel. Membaca karya fiksi
berupa novel berarti kita menikmati cerita, menghibur diri untuk memperoleh
kepuasaan batin, memberikan kesadaran mengenai gambaran kehidupan dan belajar
untuk menghadapi masalah yang mungkin akan kita alami.
Sebagai karya, novel merupakan hasil ungkapan, ide-ide, gagasan,
dan pengalaman pengarang terhadap lingkungan dan kehidupan di sekitarnya.
Sebagai karya imajiner, novel menawarkan berbagai permasalahan tersebut dengan
penuh kesungguhan dan kemudian diungkapkan kembali melalui sarana sastra dengan
pandangannya.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang bisa
dikemukakan pada makalah ini adalah:
1.
Apa pengertian dari novel?
2.
Apa pengertian dari novel serius dan novel populer serta perbedaannya?
3.
Bagaimana menganalisis novel Kering karya Iwan Simatupang?
4.
Bagaimana menganalisis unsur intrinsik novel Kering karya Iwan
Simatupang?
5.
Bagaimana menganalisis unsur ekstrinsik novel Kering karya Iwan
Simatupang?
6.
Bagaimana menganalisis kajian dekonstruksi novel Kering karya Iwan
Simatupang?
7.
Bagaimana menganalisis kajian feminis novel Kering karya Iwan
Simatupang?
1.3 Pembatasan masalah
Untuk mencegah adanya kekaburan masalah dan untuk mengarahkan analisis
ini agar lebih intensif dan efisien dengan tujuan yang ingin dicapai,
diperlukan pembatasan masalah. Analisis ini dibatasi pada masalah kajian novel
Kering karya Iwan Simatupang berdasarkan kajian Struktural, Dekonstruksi, dan
Feminis.
1.4 Tujuan
Tujuan dari pembuatan
makalah ini adalah:
1.
Ingin mengetahui pengertian dari novel
2.
Ingin mengetahui pengertian dari novel serius dan novel populer serta
perbedaannya
3.
Ingin mengetahui analisis novel Kering karya Iwan Simatupang
4.
Ingin mengetahui analisis unsur intrinsik novel Kering karya Iwan
Simatupang
5.
Ingin mengetahui analisis unsur ekstrinsik novel Kering karya Iwan
Simatupang
6.
Ingin mengetahui analisis kajian dekonstruksi novel Kering karya Iwan
Simatupang
7.
Ingin mengetahui kajian feminis novel Kering karya Iwan Simatupang
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1 Pengertian Novel
Novel merupakan karya sastra yang sekaligus disebut fiksi. Bahkan dalam
perkembangannya yang kemudian, novel dianggap bersinonim dengan fiksi. Dengan
demikian, pengertian fiksi seperti dikemukakan di atas juga berlaku untuk
novel. Sebutan novel dalam bahasa inggris, dan inilah yang kemudian masuk ke
Indonesia berasal dari bahasa Itali novella
(yang dalam bahasa Jerman : novelle).
Secara harfiah novella berarti sebuah barang baru yang kecil, dan kemudian
diartikan sebagai cerita pendek dalam bentuk prosa (Abrams, 1981:119).
Kata novel berasal dari bahasa
Italia novella yang secara harfiah berarti,
sebuah
barang baru yang kecil, dan kemudian diartikan sebagai cerita pendek dalam
bentuk prosa. (Abrams dalam Nurgiyantoro, 2005:9). Dalam bahasa Latin kata
novel berasal novellus yang diturunkan pula dari kata noveis yang
berarti baru. Dikatakan baru karena dibandingkan dengan jenis-jenis lain, novel
ini baru muncul kemudian (Tarigan, 1995:164).
Pendapat Tarigan diperkuat dengan
pendapat Semi (1993:32) bahwa novel merupakan karya fiksi yang mengungkapkan
aspek-aspek kemanusiaan yang lebih mendalam dan disajikan dengan halus. Novel
yang diartikan sebagai memberikan konsentrasi kehidupan yang lebih tegas,
dengan roman yang diartikan rancangannya lebih luas mengandung sejarah
perkembangan yang biasanya terdiri dari beberapa fragmen dan patut ditinjau
kembali.
Sudjiman (1998:53) mengatakan bahwa
novel adalah prosa rekaan yang menyuguhkan tokoh dan menampilkan serangkaian
peristiwa serta latar secara tersusun. Novel sebagai karya imajinatif mengungkapkan aspek-aspek
kemanusiaan yang mendalam dan menyajikannya secara halus. Novel tidak hanya
sebagai alat hiburan, tetapi juga sebagai bentuk seni yang mempelajari dan
meneliti segi-segi kehidupan dan nilai-nilai baik buruk (moral) dalam kehidupan
ini dan mengarahkan pada pembaca tentang budi pekerti yang luhur.
Saad (dalam Badudu J.S, 1984:51)
menyatakan nama cerita rekaan untuk cerita-cerita dalam bentuk prosa seperti:
roman, novel, dan cerpen. Ketiganya dibedakan bukan pada panjang pendeknya
cerita, yaitu dalam arti jumlah halaman karangan, melainkan yang paling utama
ialah digresi, yaitu sebuah peristiwa-peristiwa yang secara tidak langsung
berhubungan dengan cerita peristiwa yang secara tidak langsung berhubungan
dengan cerita yang dimasukkan ke dalam cerita ini. Makin banyak digresi, makin
menjadi luas ceritanya.
Novel biasanya memungkinkan adanya
penyajian secara meluas (expands) tentang tempat atau ruang, sehingga
tidak mengherankan jika keberadaan manusia dalam masyarakat selalu menjadi
topik utama (Sayuti, 2000:6-7). Masyarakat tentunya berkaitan dengan dimensi
ruang atau tempat, sedangkan tokoh dalam masyarakat berkembang dalam dimensi
waktu semua itu membutuhkan deskripsi yang mendetail supaya diperoleh suatu
keutuhan yang berkesinambungan. Perkembangan dan perjalanan tokoh untuk
menemukan karakternya, akan membutuhkan waktu yang lama, apalagi jika penulis
menceritakan tokoh mulai dari masa kanak-kanak hingga dewasa. Novel
memungkinkan untuk menampung keseluruhan detail untuk perkembangkan tokoh dan
pendeskripsian ruang.
Novel oleh Sayuti (2000:7)
dikategorikan dalam bentuk karya fiksi yang bersifat formal. Bagi pembaca umum,
pengategorian ini dapat menyadarkan bahwa sebuah fiksi apapun bentuknya
diciptakan dengan tujuan tertentu. Dengan demikian, pembaca dalam mengapresiasi
sastra akan lebih baik. Pengategorian ini berarti juga bahwa novel yang kita
anggap sulit dipahami, tidak berarti bahwa novel tersebut memang sulit. Pembaca
tidak mungkin meminta penulis untuk menulis novel dengan gaya yang menurut
anggapan pembaca luwes dan dapat dicerna dengan mudah, karena setiap novel yang
diciptakan dengan suatu cara tertentu mempunyai tujuan tertentu pula.
Penciptaan karya sastra memerlukan
daya imajinasi yang tinggi. Menurut Junus (1989:91), mendefinisikan novel
adalah meniru ”dunia kemungkinan”. Semua yang diuraikan di dalamnya bukanlah
dunia sesungguhnya, tetapi kemungkinan-kemungkinan yang secara imajinasi dapat
diperkirakan bisa diwujudkan. Tidak semua hasil karya sastra harus ada dalam dunia
nyata, namun harus dapat juga diterima oleh nalar. Dalam sebuah novel, si
pengarang berusaha semaksimal mungkin untuk mengarahkan pembaca kepada
gambaran-gambaran realita kehidupan melalui cerita yang terkandung dalam novel
tersebut.
Sebagian besar orang membaca sebuah
novel hanya ingin menikmati cerita yang disajikan oleh pengarang. Pembaca hanya
akan mendapatkan kesan secara umum dan bagian cerita tertentu yang menarik.
Membaca sebuah novel yang terlalu panjang yang dapat diselesaikan setelah
berulang kali membaca dan setiap kali membaca hanya dapat menyelesaikan
beberapa episode akan memaksa pembaca untuk mengingat kembali cerita yang telah
dibaca sebelumnya. Hal ini menyebabkan pemahaman keseluruhan cerita dari
episode ke episode berikutnya akan terputus.
Dari beberapa pendapat tersebut
dapat disimpulkan bahwa novel adalah sebuah cerita fiktif yang berusaha
menggambarkan atau melukiskan kehidupan tokoh-tokohnya dengan menggunakan alur.
Cerita fiktif tidak hanya sebagai cerita khayalan semata, tetapi sebuah
imajinasi yang dihasilkan oleh pengarang adalah realitas atau fenomena yang
dilihat dan dirasakan.
2.2 Novel Serius dan Novel Populer
2.2.1 Novel Serius
Dalam dunia kesastraan sering ada usaha untuk mencobabedakan antara
novel serius dengan novel populer. Usaha itu, dibandingkan dengan pembedaan
antara novel dengan cerpen, atau antara novel dengan roman sungguh tidak mudah
dilakukan dan lebih dari itu bersifat riskan. Perbedaan itu, di samping
dipengaruhi pesan subjektif, kesan dari luar juga menentukan. Misalnya, karena
sebuah novel diterbitkan oleh penerbit yang telah dikenal sebagai penerbit
buku-buku kesastraan, belum membaca isinya pun mungkin sekali orang telah
menilai bahwa novel itu bernilai sastra yang tinggi.
Ciri-ciri yang ditemukan pada novel serius yang biasanya dipertentangkan
dengan novel popular sering juga ditemukan pada novel-novel popular, atau
sebaliknya apalagi jika pencirian yang dilakukan itu bersifat umum,
digeneralisasikan pada semua karya serius ataupun popular. Tak jarang novel
yang dikategorikan sebagai popular memiliki kualitas literer yang tinggi dan
dapat juga terjadi sebaliknya.
Novel serius mengambil realitas kehidupan ini sebagai model, kemudian
menciptakan sebuah dunia baru lewat penampilan cerita dan tokoh-tokoh dalam
situasi yang khusus. Novel serius tidak bersifat mengabdi kepada selera
pembaca. Dan memang pembaca novel jenis ini tidak mungkin banyak namun
sebenarnya ada juga novel yang tergolong serius dan sekaligus laris sehingga
dapat diduga banyak yang membacanya.
2.2.2 Novel Populer
Sebutan novel populer atau novel pop mulai merebak sesudah suksesnya
novel Karmila dan Cintaku di Kampus Biru pada tahun 70-an. Sesudah itu setiap
novel hiburan, tidak peduli mutunya, disebut sebagai novel pop. Kata pop erat diasosiasikan
dengan kata populer, mungkin karena novel-novel itu sengaja ditulis untuk
selera populer yang kemudian dijajakan sebagai suatu barang dagangan popular
dan kemudian dikenal sebagai bacaan populer.
Novel populer lebih mudah dibaca dan lebih mudah dinikmati karena ia
memang semata-mata menyampaikan cerita (Stanton, 1965:2). Berhubung novel
populer lebih mengejar selera pembaca dan komersial, ia tak akan menceritakan
sesuatu yang bersifat serius sebab hal itu dapat akan berkurangnya
penggemarnya. Oleh karena itu agar cerita mudah dipahami, plot sengaja dibuat
lancar dan sederhana. Perwatakan tokoh tidak berkembang, tunduk begitu saja
pada kemauan.
2.2.3 Perbedaan Novel Serius dan Novel Populer
Perbedaan Novel Populer dan Novel
Serius
Novel Populer (pop), muncul pada tahun 70an, contoh: novel
Karmila, novel Cintaku di Kampus Biru. Setelah itu novel hiburan disebut novel
pop.
Ciri-ciri novel populer:
1. Populer pada zamannya dan digemari
para remaja
2. Tidak menampilkan masalah kehidupan
yang lebih intens.
3. Tidak meresapi hakikat kehidupan.
4. Bersifat artificial atau sementara,
ini berkaitan dengan percintaan remaja, tidak logis dalam alur ceritanya karena
bersifat sementara.
5. Mudah dibaca dan mudah dipahami.
6. Masalah yang dikemukakan singkat,
tapi aktual. Contoh: masalah cinta, masalah persahabatan.
7. Mengejar selera pembaca, selera
pembaca yaitu keinginan yang natural dari seorang pembaca.
8. Plot sengaja dibuat lancar dan
sederhana. Alur/jalan cerita jarang dibuat flashback, cerita tidak dibuat sulit
agar mudah dipahami.
9. Perwatakan tokoh tidak berkembang
(menuntut pengarang yang bertujuan memuaskan pembaca). Contoh: pemarah, baik,
sederhana, jujur, tokoh mengalami perubahan watak.
10. Plot, tema, karakter, latar biasanya
bersifat setereotif (itu-itu saja) tidak mengutamakan unsur kebenaran.
11. Bersifat menghibur, tujuannya
menghibur, akhir cerita sebagian besarnya bersifat happyending.
Novel Serius adalah novel yang perlu keseriusan membacanya,
pembaca dituntut mengoperasikan daya intelektualnya.
Ciri-ciri novel serius:
1. Masalah percintaan banyak diangkat,
tapi bukan masalah utama. Contoh: novel Siti Nurbaya, dan Novel Salah Asuhan.
2. Masalah kehidupan sangat kompleks
(hubungan sosial, maut, ketuhanan, takut, cemas, dll.)
3. Mengungkap sesuatu yang baru dengan
cara yang baru pula.
4. Tidak mengabdi pada selera pembaca.
5. Mengambil realitas kehidupan yang
bersifat universal sebagai model.
6. Tujuan menghibur, memberikan
pengalaman yang berharga bagi pembaca (kontenplatif) > perenungan.
7. Tetap betahan sepanjang zaman.
Contoh: Romeo and Juliet.
2.3 Unsur Intrinsik Novel
2.3.1 Pengertian Unsur Instrinsik
Yaitu unsur yang membangun sebuah karya
sastra dari dalam.
2.3.2 Macam-macan Unsur Instrinsik
2.3.2.1 Tema
Tema
adalah ide yang mendasari sebuah cerita. Untuk mencari tema sebuah novel,
pembaca harus membaca secara seksama cerita dengan cara membaca dari awal
sampai akhir. Setelah itu, temukan masalah yang paling dominan dalam cerita
tersebut, contohnya tema persahabatan, rumah tangga, dan lain-lain.
2.3.2.2 Cerita
Membaca sebuah karya fiksi, novel atau pun cerpen, pada umumnya yang
pertama-tama menarik perhatian orang adalah ceritanya. Faktor cerita inilah
terutama yang mempengaruhi sikap dan selera orang terhadap buku yang akan,
sedang, atau sudah dibacanya. Berdasarkan keadaan cerita itu pulalah biasanya
orang memandang (mungkin juga : menilai) bahwa buku tersebut misalnya menarik, menyenangkan,
mengesankan, atau sebaliknya bertele-tele dan membosankan, dan berbagai reaksi
emotif yang lain.
Aspek cerita (story) dalam sebuah karya fiksi merupakan suatu yang amat
esensial yang memiliki peranan sentral. Dari awal hingga akhir karya itu yang
ditemui adalah cerita. Cerita dengan demikian erat berkaitan dengan berbagai
unsur pembangun fiksi yang lain. Kelancaran cerita akan ditopang oleh kekompakan
dan kepaduan berbagai unsur pembangun itu. Sebaliknya, tujuan kelancaran cerita
bersifat mengikat kebebasan unsur-unsur yang lain. Forster (1970:33-4)
jauh-jauh telah menegaskan bahwa cerita merupakan hal yang fundamental dalam
karya fiksi. Tanpa unsur cerita, eksistensi sebuah fiksi tak mungkin terwujud.
Sebab cerita merupakan inti sebuah karya fiksi sendiri yang biasa disebut
cerita rekaan.
2.3.2.3 Plot
Plot atau Alur adalah rangkaian
peristiwa yang membentuk jalannya cerita atau saling
berhubungan di dalam sebuah cerita..
Alur dalam novel dibedakan menjadi 2
bagian, yaitu:
1.
Alur maju (progresif) yaitu apabila
peristwa bergerak secara bertahap berdasarkan urutan kronologis menuju alur
cerita.
2.
Alur mundur (flashback progresif) yaitu terjadi ada kaitannya dengan peristiwa
yang sedang berlangsung atau alur yang bercerita
dari masa kini ke masa lampau.
3.
Alur campuran adalah alur
yang bercerita dari masa lampau ke masa kini, lalu disisipi cerita dari masa
kini ke masa lampau (flashback),
begitupun sebaliknya.
2.3.2.4 Penokohan
Penokohan adalah pemberian watak atau karakter pada
masing-masing pelaku dalam sebuah cerita. Pelaku bisa diketahui karakternya
dari cara bertindak, ciri fisik, dan lingkungan tempat tinggal. Selain itu Tokoh adalah pelaku yang dikisahkan
pemain dalam cerita. Tokoh dalam sebuah novel bisa berupa tokoh jahat atau
tokoh baik. Sedangkan penokohan adalah sifat, watak atau karakter yang dimiliki
oleh para tokoh di dalam cerita. Penggambaran penokohan dapat berupa uraian
langsung dan tidak langsung. Contoh : baik, sombong, jujur, dan lain-lain.
2.3.2.5 Latar
Latar atau setting adalah penggambaran
terjadinya peristiwa dalam sebuah cerita meliputi tempat, waktu, sosial budaya,
dan keadaan lingkungan.
a.
Latar tempat adalah
gambaran yang menunjukkan tempat dalam suatu cerita atau peristiwa. Contoh:
rumah, taman, sekolah, dan sebagainya.
b. Latar waktu adalah gambaran yang menunjukkan
waktu dalam suatu cerita atau peristiwa . Contoh: pagi, siang, sore, malam, dan
sebagainya.
c. Latar suasana adalah gambaran yang menunjukkan
suasana yang disajikan dalam suatu cerita atau peristiwa .Contoh : sunyi, sepi,
bising, dan sebagainya.
2.3.2.6 Sudut Pandang
Menurut Harry Show (1972:293), sudut pandang dibagi
menjadi 3 yaitu :
o
Pengarang menggunakan sudut pandang
tokoh dan kata ganti orang pertama, mengisahkan apa yang terjadi dengan dirinya
dan mengungkapkan perasaannya sendiri dengan kata-katanya sendiri.
o
Pengarang menggunakan sudut pandang
tokoh bawahan, ia lebih banyak mengamati dari luar daripada terlihat di dalam
cerita pengarang biasanya menggunakan kata ganti orang ketiga.
o
Pengarang menggunakan sudut pandang
impersonal, ia sama sekali berdiri di luar cerita, ia serba melihat, serba
mendengar, serba tahu. Ia melihat sampai ke dalam pikiran tokoh dan mampu
mengisahkan rahasia batin yang paling dalam dari tokoh.
2.3.2.7 Bahasa
Bahasa dalam seni santra dapat disamakan dengan cat dalam seni lukis.
Keduanya merupakan unsur bahan, alat, sarana, yang diolah untuk dijadikan
sebuah karya yang mengandung nilai lebih daripada sekedar bahannya itu sendiri.
Bahasa merupakan sarana pengungkapan sastra, di pihak lain sastra lebih dari
sekedar bahasa, deretan kata, namun kelebihannya itu pun hanya dapat diungkap
dan ditafsikan melalui bahasa. Bahasa dalam sastra pun mengemban fungsi
utamanya : fungsi komunikatif (nurgiyantoro, 1993:1).
Beberapa ciri bahasa sastra sebagai bahasa emotif dan bersifat konotatif
sebagai kebalikan bahasa non sastra, khususnya bahasa ilmiah, yang rasional dan
denotatif. Namun untuk pencirian itu kiranya masih memerlukan penjelasan
(Wellek & Warren, 1956:22-3).
2.3.2.8 Gaya Bahasa
Gaya bahasa adalah alat utama pengarang untuk
melukiskan, menggambarkan, dan menghidupkan cerita secara estetika.
Macam-macam
gaya bahasa:
o Personifikasi:
gaya bahasa ini mendeskripsikan benda-benda mati dengan cara memberikan sifat-sifat
seperti manusia.
o Simile
(perumpamaan): gaya bahasa ini mendeskripsikan sesuatu dengan pengibaratan.
o Hiperbola:
gaya bahasa ini mendeskripsikan sesuatu dengan cara berlebihan dengan maksud
memberikan efek berlebihan.
o Metafora:
gaya bahasa ini semacam analogi yang membandingkan dua hal secara langsung,
tetapi dalam bentuk yang singkat.
o Sinekdoke:
semacam bahasa figurative yang mempergunakan sebagian dari sesuatu hal untuk
menyatakan keseluruhan (pars pro toto) atau mempergunakan keseluruhan untuk
menyatakan sebagian (totum pro parte)
o Antonomasia:
merupakan sebuah bentuk khusus dari sinekdoke yang berwujud penggunaan sebuah
epiteta untuk menggantikan nama diri, atau gelar resmi, atau jabatan untuk
menggantikan nama diri.
o Metonimia:
suatu gaya bahasa yang mempergunakan sebuah kata untuk menyatakan suatu hal
lain, karena mempunyai pertalian yang sangat dekat.
o Ironi: suatu
acuan yang ingin mengatakan sesuatu dengan makna atau maksud berlainan dari apa
yang terkandung dalam rangkaian kata-katanya.
o Sinisme:
ironi yang lebih kasar sifatnya.
o Sarkasme:
suatu acuan yang lebih kasar dari ironi dan sinisme.
2.3.2.9 Moral
Secara umum moral menyarankan pada pengertian (ajaran tentang) baik
buruk yang diterima umum mengenai perbuatan sikap kewajiban, dan sebagainya ;
akhlak, budi pekerti, susila (KKBI, 1994). Istilah bermoral, misalnya : tokoh
bermoral tinggi, berarti mempunyai pertimbangan baik dan buruk. Namun, tidak
jarang pengertian baik buruk itu sendiri dalam hal-hal tertentu bersifat
relatif. Artinya, suatu hal yang dipandang baik oleh orang yang satu atau
bangsa pada umumnya, belum sama bagi orang yang lain, atau bangsa yang lain.
Moral dalam karya sastra biasanya mencerminkan pandangan hidup pengarang
yang bersangkutan, pandangannya tentang nilai-nilai kebenaran, dan hal itulah
yang ingin disampaikannya kepada pembaca. Moral dalam cerita, menurut Kenny
(1966:89), biasanya dimaksudkan sebagai suatu saran yang berhubungan dengan
ajaran moral tertentu yang bersifat praktis, yang dapat diambil (yang
ditafsirkan) lewat cerita yang bersangkutan oleh pembaca. Ia merupakan petunjuk
yang sengaja diberikan oleh pengarang tentang berbagai hal yang berhubungan
dengan masalah kehidupan, seperti sikap, tingkah laku, sopan, dan santun
pergaulan.
2.4 Unsur Ekstrinsik
2.4.1 Pengertian Unsur Ekstrinsik
Unsur ekstrinsik karya sastra
adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra, tetapi secara tidak
langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra. Unsur
ekstrinsik karya sastra bisa kita ibaratkan dengan pembangunan suatu rumah. Unsur
ekstrinsik bukanlah bahan-bahan untuk membangun rumah seperti batu bata atau
yang lainnya. Unsur ekstrinsik lebih mengarah pada kondisi sosial dan budaya
pembangun rumah sehingga mempengaruhi model sebuah rumah. Jadi dapat ditegaskan
bahwa unsur ekstrinsik karya sastra lebih mengarah pada kondisi sosial dan
budaya dari pengarang sehingga mempengaruhi penciptaan sebuah karya sastra.
2.4.2 Macam-macam Unsur Ekstrinsik
2.4.2.1 Biografi Pengarang
Biografi berasal dari bahasa Yunani, yaitu bios yang berarti hidup, dan graphien yang berarti tulis. Dengan kata
lain biografi merupakan tulisan tentang kehidupan seseorang. Biografi, secara
sederhana dapat dikatakan sebagai sebuah kisah riwayat hidup seseorang.
Biografi dapat berbentuk beberapa baris kalimat saja, namun juga dapat berupa
lebih dari satu buku.
Perbedaannya adalah, biografi singkat hanya memaparkan
tentang fakta-fakta dari kehidupan seseorang dan peran pentingnya sementara
biografi yang panjang meliputi, tentunya, informasi-informasi penting namun
dikisahkan dengan lebih mendetail dan tentunya dituliskan dengan gaya bercerita
yang baik.
Biografi menganalisa dan menerangkan kejadian-kejadian dalam
hidup seseorang. Lewat biografi, akan ditemukan hubungan, keterangan arti dari
tindakan tertentu atau misteri yang melingkupi hidup seseorang, serta
penjelasan mengenai tindakan dan perilaku hidupnya. Biografi biasanya dapat
bercerita tentang kehidupan seorang tokoh terkenal atau tidak terkenal, namun
demikian, biografi tentang orang biasa akan menceritakan mengenai satu atau lebih
tempat atau masa tertentu. Biografi seringkali bercerita mengenai seorang tokoh
sejarah, namun tak jarang juga tentang orang yang masih hidup. Banyak biografi
ditulis secara kronologis. Beberapa periode waktu tersebut dapat dikelompokkan
berdasar tema-tema utama tertentu (misalnya "masa-masa awal yang
susah" atau "ambisi dan pencapaian"). Walau begitu, beberapa
yang lain berfokus pada topik-topik atau pencapaian tertentu.
Biografi memerlukan bahan-bahan utama dan bahan pendukung.
Bahan utama dapat berupa benda-benda seperti surat-surat, buku harian, atau
kliping koran. Sedangkan bahan-bahan pendukung biasanya berupa biografi lain,
buku-buku referensi atau sejarah yang memaparkan peranan subyek biografi itu.
Biografi adalah suatu kisah atau keterangan tentang
kehidupan seseorang yang bersumber pada subjek rekaan (non-fiction/kisah nyata). Sebuah biografi lebih kompleks daripada
sekadar daftar tanggal lahir atau meninggal dan data-data pekerjaan seseorang, tetapi
juga menceritakan tentang perasaan yang terlibat dalam mengalami
kejadian-kejadian tersebut yang menonjolkan perbedaan perwatakan termasuk
pengalaman pribadi.
2.4.2.2 Psikologi
Pengertian
Psikologi Menurut Beberapa Ahli
Ada
banyak ahli yang mengemukakan pendapat tentang pengertian psikologi, diantaranya:
1.
Pengertian Psikologi menurut Ensiklopedi Nasional
Indonesia Jilid 13 (1990), Psikologi adalah ilmu yang mempelajari perilaku
manusia dan binatang baik yang dapat dilihat secara langsung maupun yang
tidak dapat dilihat secara langsung.
2.
Pengertian Psikologi menurut Dakir (1993), psikologi
membahas tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan lingkungannya.
3.
Pengertian Psikologi menurut Muhibbin Syah (2001),
psikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku terbuka dan
tertutup pada manusia baik selaku individu maupun kelompok, dalam hubungannya
dengan lingkungan. Tingkah laku terbuka adalah tingkah laku yang bersifat
psikomotor yang meliputi perbuatan berbicara, duduk , berjalan dan lain
sebgainya, sedangkan tingkah laku tertutup meliputi berfikir, berkeyakinan,
berperasaan dan lain sebagainya.
4.
Dari beberapa definisi tersebut diatas dapat disimpulkan
bahwa pengertian psikologi adalah ilmu
pengetahuan yang mempelajari tingkah laku manusia, baik sebagai individu maupun
dalam hubungannya dengan lingkungannya. Tingkah laku tersebut berupa
tingkah laku yang tampak maupun tidak tampak, tingkah laku yang disadari maupun
yang tidak disadari
2.4.2.2.1 Psikologi Pengarang
Secara teori, terdapat hubungan
antara karya dengan psikologi pengarang. Bagaimana keaadaan emosional seorang
penulis akan berpengaruh terhadap karya-karya yang dihasilkan. Keadaan yang
bahagia tentunya dapat mengispirasi berbagai karya yang dihasilkan. Begitu pula
sebaliknya. Kedua,
setiap penulis memiliki doktrin dan kepercayaan sendiri-sendiri, maka seorang
penulis yang idialisme akan memunculkan sastra dengan terkadung nilai doktrin
yang kuat. Ketiga, melalui jenjang pendidikan. Karena pendidikan bertujuan
mencetak karakter maka penulis banyak menemukan karya sastra yang mengangkat
masalah-masalah pendidikan yang berangkat
dari masalah pendidikan penulis sendiri.
2.4.2.2.2 Psikologi Pembaca
Begitupun pembaca, dalam menanggapi
karya juga tidak akan lepas dari kejiwaan masing-masing. Dengan berbagai latar belakang kehidupan pembaca,
akan sangat mempengaruhi mereka dari penilaian yang beragam dalam sebuah karya
satra.
2.4.2.3 Keadaan
Lingkungan Pengarang
Kondisi suatu tempat atau wilayah
seorang penulis akan banyak mempengaruhi tema-tema yang diangkat dalam
tulisanya. Bisa jadi ide atau gagasan sebuah tulisan muncul dari rasa
keperdulian pengarang terhadap kondisi sosial Budaya yang ada dalam lingkungan
penulis.
2.4.2.3.1 Lingkungan
Ekonomi
Nurgiyantoro berpendapat bahwa
keadaan lingkungan di sekitar pengarang seperti ekonomi, sosial, dan politik
dapat saja menjadi unsur ekstrinsik yang mendasari penulisan suatu karya sastra
(2000:24).
Saraswati (2003:28) mengemukakan
bahwa teori mengenai faktor ekonomi sebagai unsur ekstrinsik yang menjadi
penentu keberadaan karya sastra antara lain pernah dikemukakan oleh
Hippolyte Taine.
Lingkungan ekonomi adalah kondisi ekonomi di
Negara tempat organisasi internasional beroperasi. Kondisi ekonomi memiliki
dampak yang kuat terhadap kinerja dari setiap bisnis karena dapat mempengaruhi
pendapatan atau beban dari bisnis tersebut.
2.4.2.3.2 Lingkungan
Politik
Sedangkan teori tentang faktor
politik sebagai unsur ekstrinsik yang menjadi penentu keberadaan karya sastra
menurut Saraswati juga pernah dikemukakan antara lain oleh Sapardi Djoko
Darmono (1978) dan Ariel Heryanto (1985:120).
Keadaan politik yang terjadi di
lingkungan pengarang ketika novel itu dibuat turut mempengaruhi isi dari sebuah
karya sastra.
2.4.2.3.3 Lingkungan
Sosial
Teori tentang faktor sosial sebagai
unsur ekstrinsik yang menjadi penentu keberadaan karya sastra menurut
Saraswati (2003:29) antara lain pernah dikemukakan oleh Madame de Stael.
Lingkungan sosial adalah tempat dimana
masyarakat saling berinteraksi dan melakukan sesuatu secara bersama-sama antar
sesama maupun dengan lingkungannya. Lingkungan sosial terdiri dari beberapa
tingkat, seperti keluarga, sekolah, perkuliahan, pekerjaan, dan masyarakat.
2.5 Kajian Dekonstruksi
Dekonstruksi termasuk pendekatan sastra yang relatif baru,
baik di Eropa maupun di Amerika. Pelopornya ialah Jacques Derrida (ahli
filsafat) dan Paul de Man (ahli sastra). Keduanya berangkat dari objek yang
berbeda, yaitu filsafat dan sastra, tetapi mereka mempunyai kesimpulan yang
hampir sama. Kesimpulannya, bahasa merupakan unsur yang mendasar dalam
kehidupan manusia dan lebih substansial daripada bidang-bidang
kehidupan lainnya.
Dekonstruksi berkembang pesat di Amerika. Dari Yale
University lahir beberapa tokoh dekonstruksi, antara lain: Harold Bloom, Hillis
Miller, Barbara Johnson, dan Geoffrey Hartman. Mereka kemudian dikenal sebagai
Aliran Yale, tetapi setiap tokoh mencoba mengembangkan dekonstruksi menurut
konsepnya masing-masing. Hal ini sesuai dengan konsep dasar dekonstruksi yang
secara terus-menerus mengganti pembacaan atau penginterpretasian sebelumnya.
Memahami dekonstruksi bukan sesuatu yang mudah. Ini terkait
pengertian yang sering keliru. Banyak orang mengartikan dekonstruksi sebagai
pembongkaran sesuatu yang sudah mapan. Ini memang tidak dapat dikatakan salah
sepenuhnya. Tetapi, ini juga tidak dapat dikatakan benar. Strategi dekonstruksi
dalam membongkar suatu teks bukan hanya menciptakan makna baru. Bagi Derrida,
dekonstruksi adalah sebuah strategi filsafat, politik, dan intelektual untuk
membongkar modus membaca dan menginterpretasi yang mendominasi dan menguatkan
fundamen hierarki. Dengan demikian, dekonstruksi merupakan strategi untuk
menguliti lapisan-lapisan makna yang terdapat di dalam teks yang selama ini
sudah mapan.
Dekonstruksi sering menjadi subjek kontroversi. Hal itu
disebabkan ketidaktepatan dalam memberikan pengertian terhadap istilah
dekonstruksi. Penghancuran, pembongkaran, dan penolakan merupakan pemberian
pengertian leksikal sehingga menimbulkan ketidaktepatan dalam mengartikan
dekonstruksi (Susanto, 2010:25). Dekonstruksi tidak hanya sekadar membongkar,
tetapi juga merekonstruksi penafsiran yang telah diakui kebenarannya secara
absolut. Dalam hal ini, penafsiran yang sudah dianggap stabil mampu
dijungkirbalikkan. Namun, penafsiran tersebut tetap pada makna yang dapat
dipertanggungjawabkan.
Menurut Sim (2002:27), dekonstruksi dianggap sebagai bentuk
skeptisme filosofis yang benar-benar menyeluruh, yang mempertanyakan asumsi-asumsi
yang tak pernah dipersoalkan dan selanjutnya menunjukkan
kesenjangan-kesenjangan yang menyebabkan keputusan-keputusan nilai yang lebih
dari sekadar terdakwa.
Hal tersebut menyatakan bahwa dekonstruksi pada dasarnya
tidak menganggap klaim-klaim yang ada sebagai kebenaran tunggal. Dekonstruksi
justru meragukan kebenaran yang telah diakui kebenarannya. Dekonstruksi
memberikan penafsiran ulang, menata kembali teks yang diakui kebenarannya.
Dekonstruksi menyatakan bahwa di dalam setiap teks terdapat
titik-titik ekuivokasi (pengelakan) dan kemampuan untuk tidak memutuskan, yang
mengkhianati setiap stabilitas makna yang mungkin dimaksudkan oleh si pengarang
dalam teks yang ditulisnya.
Proses penulisan selalu mengungkapkan hal yang diredam,
menutupi hal yang diungkapkan, dan secara lebih umum menerobos oposisi-oposisi
yang dipikirkan untuk kesinambungannya. Inilah sebabnya mengapa “filsafat”
Derrida begitu berlandaskan pada teks, dan mengapa kuncinya selalu berubah.
Karena selalu tergantung pada siapa atau apa yang ia cari untuk didekonstruksi,
hal itu menyebabkan titik pengelakan selalu dilokasikan di tempat yang berbeda.
Ini juga memastikan bahwa setiap upaya untuk menjelaskan apa
itu dekonstruksi harus dilakukan dengan hati-hati. Ada suatu paradoks dalam
upaya membatasi atau mengurung dekonstruksi pada satu maksud menyeluruh
tertentu, mengingat dekonstruksi justru berlandaskan pada hasrat untuk
mengekspos kita terhadap keseluruhan yang lain, dan untuk membuka diri terhadap
berbagai kemungkinan-kemungkinan alternatif.
Penjelasan ini berisiko membuat kita semakin sulit memahami
pemikiran Derrida. Adanya perbedaan yang lebar dan diakui meluas, antara
karya-karya awal dan karya-karya terakhir Derrida, juga menjadi contoh yang
jelas bagi kesulitan yang akan muncul, jika kita menyatakan bahwa “dekonstruksi
mengatakan ini” atau “dekonstruksi melarang itu”.
Namun, ada ciri tertentu dari dekonstruksi yang bisa kita
lihat. Misalnya, keseluruhan upaya Derrida dilandaskan pada keyakinannya
tentang adanya dualisme, yang hadir dan tak bisa dicabut lagi pada berbagai
pemikiran filsafat Barat.
Untuk mendeskripsikan dekonstruksi, Derrida (dalam
Al-Fayyadl, 2005:174-176) meringkasnya dalam tiga prinsip, yaitu sans
savoir, sans voir, dan sans avoir. Sans savoir (tidak
mengetahui) yaitu menggambarkan bahwa teks tidak selalu dapat ditangkap
kebenarannya oleh penafsir secara total. Penafsir dalam menginterpretasikan
sebuah teks harus mengakui bahwa teks terdapat perbedaan. Sans voir (tidak
melihat) menggambarkan keterbatasan indra dan penglihatan kita terhadap
kebenaran. Ada sikap yang ingin menghargai sebuah perbedaan atau respek akan
adanya makna terntunda. Sans avoir (tidak memiliki) menyatakan
bahwa kebenaran tidak menetap pada satu penafsir, tetapi bergerak menyebar ke
penafsir-penafsir berbeda.
Norris (2003) menjelaskan bahwa tujuan metode dekonstruksi
adalah menunjukkan ketidakberhasilan upaya penghadiran kebenaran absolut, dan
ingin menelanjangi agenda tersembunyi yang mengandung banyak kelemahan dan
ketimpangan di balik teks-teks.
2.6 Kajian Feminis
Dalam pengertian yang paling luas,
feminisme adalah gerakan kaum wanita untuk menolak segala sesuatu yang
dimarginalisasikan, disubordinasikan, dan direndahkan oleh kebudayaan maupun
kehidupan sosial pada umumnya. Dalam pengertian yang lebih sempit, yaitu dalam
sastra feminisme dikaitkan dengan cara-cara memahami karya sastra baik dalam
kaitannya dengan proses produksi maupun resepsi. Aspek dalam kaitanya dengan
persamaan hak. Dalam ilmu sosial kontemporer lebih dikenal sebagai gerakan
kesastraan gender. Dalam kenyaataannya hanya seks, sebagai mele-female yang ditentukan secara kodrati, secara biologis.
Sebaiknya, gender atau jenis kelamin, yaitu masculine-feminine
ditentukan secara cultural, sebagai
hasil pengaturan kembali intrastruktur material dan superstruktur ideologis.
Oleh karena itu, feminitas adalah pengertian psikologis cultural, seseorang tidak dilahirkan ‘sebagai’
perempuan, melainkan menjadi perempuan. Oleh karena itu pula, yang ditolak oleh
kelompok feminis adalah anggapan bahwa perempuan merupakan konstruksi negatif,
perempuan sebagai makhluk takluk, pertemuan yang terjerat ke dalam dikotomi
sentral marginal, superior infertor.
BAB 3
PEMBAHASAN
3.1 Analisis Novel
Kering Karya Iwan Simatupang
3.1.1 Sinopsis Novel
Matahari
Lohor tak kenal ampun, teriknya melecut langit. Embun segumpal tak ada. udara
bergetar, di sana-sini ia beruap. berkepul-kepul, dekat ke permukaan tanah. Dia
sampai di mata air kecil, sedikit di balik bukit kecil, batas utara
ladangnya. Kering! Mata air kecil ini pun akhirnya kering juga..."
(Iwan Simatupang, 1985:5)
Begitulah,
kekeringan yang amat panjang telah mengimpit perkampungan kecil para petani
transmigran. Satu-satunya mata air yang selama ini menjadi tumpuan penghidupan
mereka, kini kering sudah. Sementara permintaan bahan makananan kepada para
pejabat pemerintah yang berwenang, tak kunjung datanng juga. mereka mulai
dilanda ketakutan akan bahaya kelaparan yang berkepanjangan.
Kepala
desa berusaha menenangkan penduduk. Namun, satu persatu warganya meninggalkan
daerah itu. Tokoh Kita juga mencoba meyakinkan para penduduk agar tetap
bertahan di tempat perkampungan itu sambil mencari upaya menanggulangi masalah
yang sedang mereka hadapi, tetapi sia-sia. sampai akhirnya, hanya Tokoh Kita
yang tinggal.
Dengan
sisa-sisa makanan yang ditinggalkan penduduk, ia tetap bertahan. Hanya satu
pekerjaan yang setiap hari ia lakukan, yaitu menggali sumur; mencoba mencari
mata air. Dalam kesendiriannya itu, Tokoh Kita yang ternyata bekas mahasiswa
yang jenius, terpaksa mencoba berkawan dengan benda-benda dan alam di
sekitarnya. Pekerjaan menggali, masih tetap dilakukannya. sampai akhirnya
persediaan bahan makanan habis, dan lelaki itu pingsan entah berapa lama.
Beruntung,
ada petugas transmigran yang datang ke daerah tandus itu. Ia menemukan Tokoh Kita
dalam keadaan pingsan. Petugas itu kemudian membawanya ke rumah sakit dan ia
dirawat di sana untuk beberapa lamanya.
Merasa
dirinya tidak sakit, Tokoh Kita tak mau lagi dirawat di sana. Dalam perjalanan
yang entah kemana, Tokoh Kita bertemu dengan Si Gemuk Pendek, bekas transmigran
yang kini sudah kaya raya. Penyelundupan dan uang uang palsu telah membawa Si Gemuk
Pendek mempunyai segala-galanya. Tokoh Kita lalu dibawanya ke rumah mewahnya. Namun,
hanya sebentar saja karena diluar dugaan sahabatnya, Tokoh Kita tidak mau
beristirahat atau ikut menikmati kemewahannya. ia tetap bertekad untuk
meneruskan perjalanannya yang entah ke mana itu.
Di
sebuah perkampungan aneh, Tokoh Kita bertemu dengan orang tua aneh. Ternyata ia
adalah bekas pejuang yang jadi gerombolan. Belakangan, setelah ia membunuh
semua anak buahnya, lelaki tua itu pun menghentikan kegiatannya dan hidup
menyendiri. kini, kedua manusia yang sama-sama aneh itupun hidup bersahabat.
Pada
suatu hari, salah satu dari kedua mata air yang masih mengeluarkan air,
kering". (Iwan Simatupang, 1985:81). Keduanya kini sadar bahwa tak ada
lagi mata air di daerah itu. setelah terjadi serangkaian diskusi panjang, satu
kesimpulan akhirnya mereka peroleh; keduanya bersepakat untuk meninggalkan
daerah itu. "Pernah aku cerita padamu tentang kawanku si penyelundup,
bukan? bagaimana, bila kita cari pondokan padanya saja?" Si Janggut
setuju. Mereka ke sana. (Iwan Simatupang, 1985:93).
Sampai
di rumah Si Gemuk Pendek, mereka disambut perempuan simpanannya yang disebut
wanita VIP. Tokoh Kita dan Si Janggut diterima secara sangat istimewa. Bahkan
pada malamnya, di kamar masing-masing sudah tersedia wanita cantik yang siap
melayani mereka. Ternyata, apa yang dilakukan Tokoh Kita dan Si Janggut itu, diluar
dugaan kedua wanita cantik itu. Mereka sama sekali tak disentuhnya, bahkan
diberi berbagai wejangan dan nasihat. Bagi kedua wanita itu, ini merupakan
penghinaan sekaligus penghormatan. Sebuah pengalaman yang selama karirnya sebagai
wanita penghibur, baru pertama kali itu mereka rasakan. Hal itu membuat mereka
merasakan jatuh cinta.
Hujan
yang sudah lama ditunggu pun akhirnya turun juga. Namun, rupanya turunnya hujan
telah membawa bencana pula. beberapa orang disambar petir. Penduduk ketakutan.
mereka kemudian bermaksud mengungsi. Kota yang dibangun oleh Tokoh Kita dari
harta pemberian Si Gemuk Pendek yang telah mati ditembak pun ikut hancur. pada
saat iringan pengungsi itu mulai meninggalkan kota, Tokoh Kita segera
mencegatnya."kita bangun kembali...," begitu ajakan Tokoh Kita.
Dengan tekad itu, mereka tak jadi mengungsi. Kota yang sudah hancur akan segera
dibangun kembali dengan semangat dan tekad baru. Sejak saat itu gairah baru
telah merebut seluruh dirinya. (Iwan Simatupang, 1985:168)
3.1.2 Analisis Unsur
Intrinsik Novel Kering Karya Iwan Simatupang
3.1.2.1 Tema
Tema dalam novel Kering karya Iwan
Simatupang yaitu mengangkat tema kehidupan sosial.
3.1.2.2 Cerita
Pada novel Kering Karya Iwan
Simatupang ini menceritakan tentang perjalanan seseorang yang mencoba bertahan
hidup di tengah musim kemarau yang berkepanjangan. Dalam perjalanannya itu
berbagai peristiwa dilaluinya dari mulai bertahan di kampung transmigran dan
ditinggalkan penduduknya, membuat sumur sedalam-dalamnya sampai pingsan,
bertemu kawan sesama transmigran yang sudah kaya, berteman dengan bekas
pemimpin gerombolan penjahat, mendapatkan harta yang sangat banyak dari
pemberian kawannya yang meninggal karena ditembak petugas, hingga membangun
sebuah kota baru di suatu daerah bekas sarang gerombolan penjahat.
3.1.2.3 Plot
Plot dalam novel Kering karya Iwan
Simatupang ini yaitu menggunakan plot atau alur campuran, sebagaimana dalam
kutipan “tokoh kita pun berceritalah. Tentang sahamnya dalam revolusi
bersenjata dulu. Tentang berakhirnya revolusi bersenjata itu. Tentang keadaan
normal dan damai. Tentang gelisahnya di lingkungan yang serba normal dan serba
damai itu”. (Iwan
Simatupang, 1985:77)
3.1.2.4
Penokohan
1. Tokoh
Kita: baik, tegas, pekerja keras, cerdas, dan kritis.
2. Si
Gemuk Pendek: baik, penjudi, dan penyelundup.
3. Si
Kacamata: berwibawa dan berwatak keras.
4. Sang
Dukun: pembohong.
5. Seorang
Haji: baik.
6. Si
Janggut: baik dan tegas.
7. Si
Botak Kacamata: sombong dan suka sinis.
8. VIP:
baik dan setia.
3.1.2.5 Latar
Latar Waktu
1. Pagi:
Esoknya, papi-pagi benar, mereka lari kesana, untuk menemuinya masih saja air.
(Iwan Simatupang, 1985:5)
2. Siang:
Matahari lohor tak kenal ampun. (Iwan Simatupang, 1985:5)
3. Petang:
Hari sudah petang. (Iwan Simatupang, 1985:9)
4. Sore:
Menggali lagi sampai sore. (Iwan Simatupang, 1985:15)
5. Malam:
Dipermukaan bumi, hari telah larut malam. (Iwan Simatupang, 1985:41)
6. Subuh:
Bangun di kala masih subuh. (Iwan Simatupang, 1985:15)
Latar Suasana
1. Gembira:
Gembiralah mereka yang menang bertaruh. (Iwan Simatupang, 1985:5)
2. Sedih
dan Kecewa: Yang telah datang duluan ke mata air itu pagi tadi, menyatakan
sedih kecewanya tanpa tedeng aling-aling. (Iwan Simatupang, 1985:5)
3. Putus
asa: Bercerita tentang tak percaya mereka, tentang putus asanya mereka. (Iwan
Simatupang, 1985 :5)
4. Takut:
Dia lihat “takut, putus asa, bingung”. (Iwan Simatupang, 1985:7)
5. Bingung:
Dia lihat “takut, putus asa, bingung”. (Iwan Simatupang, 1985:7)
6. Kesepian:
Kesepian diperkampungan itu adalah kesepian dari neraka. (Iwan Simatupang,
1985:14)
7. Lengang:
Kelenganagan diperkampungan itu bagi perasaannyamalah jauh dari kekosongan.
(Iwan Simatupang, 1985:15)
8. Kesunyian:
Kepada kesunyian yang mengikat seluruh pemandangan alam ini (Iwan Simatupang,
1985:16)
9. Bahagia:
Kepada secuwil rasa bahagia yang mampu dikerahkannya bagi dirinya sendiri pada
saat itu.(Iwan Simatupang, 1985 : 16)
10. Marah:
“kata siapa saya setuju dengan penglihatan legalistis, maupun formalistis?”
sentak sekertaris fakultas sengit. (Iwan Simatupang, 1985:35)
11. Kesal:
Dekan mulai kesal. (Iwan Simatupang, 1985:35)
12. Menangis:
Wanita yang 1 menangis lagi. (Iwan Simatupang, 1985:100)
Latar Tempat
1. Ladang:
Ladang-ladang telah jadi diantara tanah retak. (Iwan Simatupang, 1985 : 5)
2. Mata
air kecil: Dia sampai di mata air kecil, sedikit dibalik bukit kecil, batas
utara ladangnya. (Iwan Simatupang, 1985 : 5)
3. Bukit
kecil: Dia sampai di mata air kecil, sedikit dibalik bukit kecil, batas utara
ladangnya. (Iwan Simatupang, 1985 : 5)
4. Perkampungan
kecil: Perkampungan kecil tani-tani transmigran itu rebut. (Iwan Simatupang,
1985 : 6)
5. Rumah
sakit: Serba putih bersih berbau kreolin ini, hanya bisa dimengerti: dia ada di
rumah sakit. (Iwan Simatupang, 1985 : 43)
6. Simpang
7: Hal yang demikian ini jugalah yang telah mengantar dia sekarang ke
persimpangan jalan ini simpang 7. (Iwan Simatupang, 1985 : 56)
3.1.2.6 Sudut Pandang
Sudut Pandang dalam novel Kering
karya Iwan Simatupang ini yaitu menggunakan sudut pandang orang ke tiga.
3.1.2.7 Bahasa
Bahasa dalam novel Kering karya
Iwan Simatupang banyak mengunakan bahasa ilmiah sehingga untuk pembaca awam
sulit dalam memahaminya.
3.1.2.8
Gaya
Bahasa
Pada novel Kering karya Iwan
Simatupang ini banyak terdapat gaya bahasa, di antaranya:
1.
Bayang
tubuhnya yang jangkung, menari-nari lebih jangkung lagi atas garis-garis retak
itu.
(Iwan Simatupang, 1985:5) gaya bahasa yang digunakan adalah majas
personifikasi.
2.
Matahari
lohor tak kenal ampun. Teriknya melecut langit.
(Iwan Simatupang, 1985:5) gaya basa yang digunakan adalah majas personifikasi.
3.
Udara
bergetar. Disana sini ia beruap. (Iwan Simatupang, 1985:5)
gaya bahasa yang digunakan adalah majas personifikasi.
4.
Sebuah
tongkat besar dari kayu, yang ditancapkan dalam lobang mata air itu, bercerita
tentang usaha sia-sia mereka merongrong air dari situ.
(Iwan Simatupang, 1985:5) gaya bahasa yang digunakan adalah majas
personifikasi.
5.
Langkah-langkahnya
telah mengantarnya kembali diantara retak itu.
(Iwan Simatupang, 1985:6) gaya bahasa yang digunakan adalah personifikasi.
6.
Garis
dari retak-retak tanah yang diinjaknya itu, rasanya seperti menari-nari dalam
tempurung kepalanya. (Iwan Simatupang, 1985:6). Gaya bahasa
yang digunakan adalah perumpamaan.
7.
Mereka
lihat kepala kampong terhormat mereka, lari seperti dikejar-kejar syaitan.
(Iwan Simatupang, 1985:6) gaya bahasa yang digunakan adalah perumpamaan.
8.
Daerah
ini, dengan keadaan yang begini kini, tidak berkenankan kita hidup.
(Iwan Simatupang, 1985:8) gaya bahasa yang digunakan adalah personifikasi.
9.
Keharusan
tak pantas muncul di dataran retak tandus begini.
(Iwan Simatupang, 1985:9) gaya bahasa yang digunakan adalah personifikasi.
10.
Tubuh
mereka seperti menancap disitu, menuding lurus-lurus kelangit kemarau.
(Iwan Simatupang, 1985:9) gaya bahasa yang digunakan adalah perumpamaan.
11.
Akhirnya,
tubuh kacamata yang dipotong-potong oleh garis-garis retak ditanah itu, hilang
di jauhan. (Iwan Simatupang, 1985:9) gaya bahasa yang
digunakan adalah personifikasi.
12.
Ditelan
oleh petang kemarau yang retak. (Iwan Simatupang,
1985:9) gaya bahasa yang digunakan adalah personifikasi.
13.
Sidang
menghadapi jalan buntu. (Iwan Simatupang, 1985:9) gaya
bahasa yang digunakan adalah personifikasi.
14.
Panas
kemarau menggitik kerongkongannya. (Iwan Simatupang,
1985:10) gaya bahasa yang digunakan adalah personifikasi.
15.
Berita
tentang si kacamata yang sudah berangkat duluan, merangsang beberapa mereka untuk
menabrak malam dan berangkat segera. (Iwan Simatupang,
1985:13) gaya bahasa yang digunakan adalah hiperbola.
16.
Kesepiannya
di perkampungan itu adalah kesepian dari neraka.
(Iwan Simatupang, 1985:14) gaya bahasa yang digunakan adalah hiperbola.
17.
Matahari
dari kemarau berkepanjangan tak terluaskan. (Iwan
Simatupang, 1985:14) gaya bahasa yang digunakan adalah hiperbola.
18.
Dia
akan menggali terus bila perlu, menembus bundaran bumi dan sampai misalnya di
kulit bumi Mexico atau Texas. (Iwan Simatupang,
1985:15) gaya bahasa yang digunakan adalah hiperbola.
19.
Otot-ototnya
membaja. (Iwan Simatupang, 1985:15) gaya bahasa yang
digunakan adalah hiperbola.
20.
Demikianlah,
pada suatu pagi, dia sehabis jalan-jalan berseru kepada matahari yang menyembul
di langit timur. (Iwan Simatupang, 1985:16) gaya bahasa
yang digunakan adalah personifikasi.
21.
Matahari
membalas ramah melalui burung-burung yang berkicau dan sinar-sinar pertama yang
dipantulkan kembali oleh lembung lensa matanya.
(Iwan Simatupang, 1985:16) gaya bahasa
yang digunakan adalah personifikasi.
22.
Kepada
guci tua yang mencari warna bagi dirinya antara lumut dekil yang menebal di
dindingnya sebelah dalam dan debu yang terlalu kelabu karena debunya menebal di
dindingnya sebelah luar. (Iwan Simatupang, 1985:16) gaya
bahasa yang digunakan adalah personifikasi.
23.
Kepada
kesunyian yang mengikat seluruh pemandangan ini menjadi suatu lukisan tentang
salah satu kemungkinan hidup di bawah kolong langit.
(Iwan Simatupang, 1985:16) gaya bahasa yang digunakan adalah personifikasi.
24.
Kepada
api yang menjilat biru di tungkunya tak lama kemudian..
(Iwan Simatupang, 1985:16) gaya bahasa yang digunakan adalah personifikasi.
25.
Alangkah
kagetnya dia, ketika suara batuknya menggaung bagaikan badai pusaran.
(Iwan Simatupang, 1985:17) gaya bahasa yang digunakan adalah perumpamaan.
26.
Dia
seperti mendengar 1000 raksasa dari dongeng batuk serempak.
(Iwan Simatupang, 1985:17) gaya bahasa yang digunakan adalah perumpamaan.
27.
Anak
telinganya serasa pecah. (Iwan Simatupang, 1985:18) gaya
bahasa yang digunakan adalah hiperbola.
28.
Suara-suara
itu didengarnya terus, seperti ikut lompat keluar sumur, dan mengejarnya.
(Iwan Simatupang, 1985:18) gaya bahasa yang digunakan adalah perumpamaan.
29.
Suara-suara
itu mengejarnya. (Iwan Simatupang, 1985:18) gaya bahasa
yang digunakan adalah personifikasi.
30.
Kaki
langit di jauhan menari-nari. (Iwan Simatupang,
1985:19) gaya bahasa yang digunakan adalah personifikasi.
31.
Kemarau
yang berkepanjangan, menyatakan dirinya dengan cara yang sangat tak kenal
ampun. (Iwan Simatupang, 1985:28) gaya bahasa yang
digunakan adalah personifikasi.
32.
Dahan-dahannya
gundul, menuding patah-patah keatas…. (Iwan Simatupang, 1985:28)
gaya bahasa yang digunakan adalah personifikasi.
33.
Dahan-dahannya
gundul, menuding patah-patah keatas, seperti mau-mau mendakwah langit saja
(Iwan Simatupang, 1985:28) gaya bahasa yang digunakan adalah perumpamaan.
34.
Kemarau
telah memberi selaput tertentu pada tiap benda.
(Iwan Simatupang, 1985:28) gaya bahasa yang digunakan adalah personifikasi.
35.
Dan
dalam neraka yang keburu datang ke perkampungan transmigran ini, hiduplah tokoh
kita. (Iwan Simatupang, 1985:28) gaya bahasa yang
digunakan adalah personifikasi.
36.
Hidupnya
dengan sendirinya adalah hidup di neraka juga.
(Iwan Simatupang, 1985:28) gaya bahasa yang digunakan adalah hiperbola.
37.
Teriak-teriak
rintih kesakitan mereka gegap gempita, diselang-seling gemeretak bunyi api.
(Iwan Simatupang, 1985:28) gaya bahasa yang digunakan adalah personifikasi.
38.
Seperti
manusia dengan panas di neraka…. (Iwan Simatupang,
1985:29) gaya bahasa yang digunakan adalah perumpamaan.
39.
Kerangka
hidup rutinnya hingga kin ditentukan oleh naluri dan fantasi liar yang
sewaktu-waktu datang menyergapnya. (Iwan Simatupang,
1985:30) gaya bahasa yang digunakan adalah personifikasi.
40.
Naluri
menentukan arah dari arus bawah hidupnya. (Iwan
Simatupang, 1985:30) gaya bahasa yang digunakan adalah personifikasi.
41.
Fantasi
liar menentukan arah arus atasnya. (Iwan Simatupang,
1985:30) gaya bahasa yang digunakan adalah personfikasi.
42.
Dari
garis-garis yang dapat mencipta titik silang dengan hidup sendiri.
(Iwan Simatupang, 1985:31) gaya bahasa yang digunakan adalah personifikasi.
43.
Senyumya
dari langit ke 7. (Iwan Simatupang, 1985:54) gaya bahasa
yang digunakan adalah hiperbola.
44.
Matahari
senja bertengger atas bukit-bukit berpunggung jingga.
(Iwan Simatupang, 1985:55) gaya bahasa yang digunakan adalah personifikasi.
45.
Kaki
langit masih saja manarikan kemarau. (Iwan Simatupang,
1985:56) gaya bahasa yang digunakan adalah personifikasi.
46.
Sunyi
kemarau sunggu berbeda. Dihisapnya segala hijau.
(Iwan Simatupang, 1985:57) gaya bahasa yang digunakan adalah personifikasi.
47.
Bukit-bukit
gundul dijauhkan seperti ikut terbang. (Iwan Simatupang,
1985:60) gaya bahasa yang digunakan adalah perumpamaan.
48.
Seperti
iring-iringan kereta api lain saja, yang lari di pasangan rel lain dijauhkan.
(Iwan Simatupang, 1985:60) gaya bahasa yang digunakan adalah perumpamaan.
49.
Lengang
yang dijumpainya selama menempuh jalan ini, membikin bimbangnya kini kembali,
keras seperti baja. (Iwan Simatupang, 1985:63) gaya bahasa
yang digunakan adalah perumpamaan.
50.
Dia
seperti mendengar runtuhnya langit saja. (Iwan Simatupang,
1985:65) gaya bahasa yang digunakan adalah perumpamaan.
51.
Kali
ini, teriaknya benar-benar menyayat. Menyayat gelap dan heningnya malam.
(Iwan Simatupang, 1985:67) gaya bahasa yang digunakan adalah hiperbola.
52.
Menyayat
hati manusia, disebabkan pilunya nada-nadanya.
(Iwan Simatupang, 1985:67) gaya bahasa yang digunakan adalah hiperbola.
53.
Persis
teriakan paling akhir seorang sebelum ditelan ombak atau jilatan api.
(Iwan Simatupang, 1985:67) gaya bahasa yang digunakan adalah personifikasi.
54.
Sunyi
dan gelap malam pecah berantakan, diobrak-abrik ledakan-ledakan tawa 2 manusia.
(Iwan Simatupang, 1985:68) gaya bahasa yang digunakan adalah hiperbola.
55.
Fajar
di ufuk memberi garis abu-abu putih pada sekeliling.
(Iwan Simatupang, 1985:69) gaya bahasa yang digunakan adalah personifikasi.
56.
Bagaikan
halilintar di tengah kemarau berkepanjangan. (Iwan
Simatupang, 1985:78) gaya bahasa yang digunakan adalah perumpamaan.
57.
Tawanya
itu menikam hening berahasia di sekitar situ. (Iwan
Simatupang, 1985:78) gaya bahasa yang digunakan adalah personifikasi.
58.
Sorak
mereka berdua menikam langit petang, dan menggema ke bukit-bukit gundul di
jauhan. (Iwan Simatupang, 1985:80) gaya bahasa yang
digunakan adalah hiperbola.
59.
Rasanya,
seperti dia baru saja mendarat di suatu planit asing, setelah sekian lama ia
meluncur di luar angkasa. (Iwan Simatupang, 1985:95) gaya
bahasa yang digunakan adalah perumpamaan.
60.
Langit
mempersiapkan pagi. (Iwan Simatupang, 1985:100) gaya bahasa
yang digunakan adalah personifikasi.
61.
Akhirnya,
bertenggerlah kuning mas pertama di langit timur.
(Iwan Simatupang, 1985:100) gaya bahasa yang digunakan adalah personifikasi.
62.
Sinar
pertama matahari yang bertengger di batang hidungnya, membuat pria yang satu
jaga dari lamunannya. (Iwan Simatupang, 1985:100) gaya bahasa
yang digunakan adalah personifikasi.
63.
Matahari
menancap tinggi di langit. (Iwan Simatupang, 1985:102) gaya
bahasa yang digunakan adalah personifikasi.
64.
Segar
pagi mengendap pergi. (Iwan Simatupang, 1985:102) gaya bahasa
yang digunakan adalah personifikasi.
65.
Masih
ada sekian ketentuan lainnya, sebanyak bintang di langit.
(Iwan Simatupang, 1985:108) gaya bahasa yang digunakan adalah hiperbola.
66.
Si
botak kacamata lari ke mobilnya, terbang kerumahnya, meyeret istrinya ke
gunung, “bercuti jabatan” tiga bulan. (Iwan Simatupang,
1985:113) gaya bahasa yang digunakan adalah hiperbola.
67.
Kau
berlagak seperti Socrates kesasar yang terdampar kemari dan mencoba jauh
tampang dengan percakapan-percakapan sok dalam.
(Iwan Simatupang, 1985:114) gaya bahasa yang digunakan adalah perumpamaan.
68.
Dan
sepotong langit kemarau yang dapat ditangkap oleh jendela mobil...
(Iwan Simatupang, 1985:114) gaya bahasa yang digunakan adalah personifikasi.
69.
Mobilnya
lari, seperti setan. (Iwan Simatupang, 1985:115) gaya bahasa
yang digunakan adalah personifikasi.
70.
Kemarau
telah masuk ke dalam sumsumnya. (Iwan Simatupang,
1985:118) gaya bahasa yang digunakan adalah personifikasi.
71.
Atap-atap
dengan tajamnya memotong langit. (Iwan Simatupang,
1985:118) gaya bahasa yang digunakan adalah personifikasi.
72.
Aneh!
Pikirnya, nasi rames sepiring bisa mengubah langit.
(Iwan Simatupang, 1985:118) gaya bahasa yang digunakan adalah hiperbola.
73.
Baru
setelah dia hilang di balik senja yang menyergap bagian terakhir jalan itu, dia
kembali ke Landrofernya. (Iwan Simatupang, 1985:122) gaya
bahasa yang digunakan adalah personifikasi.
74.
Beberapa
gumpal awan hitam datang kejar-kejaran dari utara.
(Iwan Simatupang, 1985:125) gaya bahasa yang digunakan adalah personifikasi.
75.
Awan
itu akhirnya menyibak dalam 2 kelompok. (Iwan Simatupang,
1985:125) gaya bahasa yang digunakan adalah personifikasi.
76.
Ketika
gerimis pertama turun, dunia serasa kiamat. (Iwan
Simatupang, 1985:126) gaya bahasa yang digunakan adalah personifikasi.
77.
Pelan-pelan,
tapi dengan kekuatan 1000 raksasa sekaligus di langit, tubuh tokoh kita
diangkatnya atas tubuhnya. (Iwan Simatupang, 1985:134) gaya
bahasa yang digunakan adalah hiperbola.
78.
Kelompok
awan putih besibak. (Iwan Simatupang, 1985:1134) gaya
bahasa yang digunakan adalah personifikasi.
79.
Dia
ditelan ibadah seluruhnya. (Iwan Simatupang, 1985:138) gaya
bahasa yang digunakan adalah personifikasi.
80.
Matahari
menungging di langit barat. Jingga kemarau bertebaran.
(Iwan Simatupang, 1985:140) gaya bahasa yang digunakan adalah majas
personifikasi.
81.
Lenggang
kota bersepuh emas. (Iwan Simatupang, 1985:140) gaya bahasa
yang digunakan adalah majas hiperbola.
82.
Angin
mendesah. Gersang. (Iwan Simatupang, 1985:140) gaya bahasa yang digunakan adalah
majas personifikasi.
83.
Pelan-pelan
matahari turun. (Iwan Simatupang, 1985:140) gaya bahasa
yang digunakan adalah majas personifikasi.
84.
Oleh
sebab perkawinan adalah lembaga formal dari naluri manusia yang bernama cinta,…
(Iwan
Simatupang, 1985:143) gaya bahasa yang digunakan adalah majas metafora.
85.
Sebab
di langit utara raksasa-raksasa kelabu dilihatnya datang.
(Iwan Simatupang, 1985:145) gaya bahasa yang digunakan adalah majas
personifikasi.
86.
Sebab
di langit utara raksasa-raksasa kelabu dilihatnya datang.
(Iwan Simatupang, 1985:145) gaya bahasa yang digunakan adalah majas hiperbola.
87.
Angin
menghembus (Iwan Simatupang, 1985:145) gaya bahasa yang
digunakan adalah majas personifikasi.
88.
Alam
gelisah. (Iwan Simatupang, 1985:145) gaya bahasa yang
digunakan adalah majas personifikasi.
89.
Pohon,
kerikil, debu semua mulai bergerak. (Iwan Simatupang,
1985:145) gaya bahasa yang digunakan adalah majas personifikasi.
90.
Kemarau
mulai bergerak. (Iwan Simatupang, 1985:145) gaya bahasa
yang digunakan adalah majas personifikasi.
91.
Dia
cakar tenggorokan kita dengan api dalam sekam….
(Iwan Simatupang, 1985:145) gaya bahasa yang digunakan adalah majas
personifikasi.
92.
Keringat
kita adalah keringat yang menguap di jangat kita.
(Iwan Simatupang, 1985:145) gaya bahasa yang digunakan adalah majas metafora.
93.
Keringat
yang mengucur, tak nyaman. Dia bikin kita lekas sekali tersinggung.
(Iwan Simatupang, 1985:145) gaya bahasa yang digunakan adalah majas hiperbola.
94.
Satu,
dua dibanting-banting angin. Beberapa atap dikuak-kuak angin.
(Iwan Simatupang, 1985:145) gaya bahasa yang digunakan adalah majas
personifikasi.
95.
Raksasa-raksasa
di langit bersatu. (Iwan Simatupang, 1985:148) gaya bahasa
yang digunakan adalah majas personifikasi.
96.
Raksasa-raksasa
di langit bersatu. (Iwan Simatupang, 1985:148) gaya bahasa
yang digunakan adalah majas hiperbola.
97.
Raksasa-raksasa
di langit bersibak, lari ke selatan. (Iwan Simatupang,
1985:148) gaya bahasa yang digunakan adalah majas personifikasi.
98.
Matahari
muncul lagi. (Iwan Simatupang, 1985:148) gaya bahasa
yang digunakan adalah majas personifikasi.
99.
Republik
diteriakkan bagi bentuk negara yang lebih totaliter daripada monarki dan
feodalisme.
(Iwan Simatupang, 1985:150) gaya bahasa yang digunakan adalah majas
ironi.
100. Demokrasi diteriakkan untuk jadi dalih
bagi penindasan dan penghisapan tak kenal batas.
(Iwan Simatupang, 1985:150) gaya bahasa yang digunakan adalah majas sinisme.
101. Satu gairah baru, dan asing baginya
selama ini, tiba-tiba merebut dirinya. (Iwan Simatupang,
1985:153) gaya bahasa yang digunakan adalah majas personifikasi.
102. Darahnya tersirap, kemudian
membadai membuih ke seluruh bagian tubuhnya. (Iwan
Simatupang, 1985:153) gaya bahasa yang digunakan adalah majas hiperbola.
103. Jantungnya bertam-tam perang
Afrika. (Iwan Simatupang, 1985:153) gaya bahasa yang
digunakan adalah majas hiperbola.
104. Kasih dan maaf adalah juga
tiang-tiang kokoh atas mana dia mendirikan dirinya.
(Iwan Simatupang, 1985:156) gaya bahasa yang digunakan adalah majas metafora.
105. Canangnya yang paling efisien
adalah perbuatan. (Iwan Simatupang, 1985:158) gaya bahasa
yang digunakan adalah majas metafora.
106. Kata VIP II, si gemuk pendek telah
tertembak mati. (Iwan Simatupang, 1985:159) gaya bahasa
yang digunakan adalah majas antonomasia.
107. Seluruh tubuhnya seperti kena tusuk
besi dingin. (Iwan Simatupang, 1985:159) gaya bahasa
yang digunakan adalah majas perumpamaan.
108. Bulu di kuduknya, di seluruh
janggutnya, tegak menyorakkan: si gemuk pendek telah tak ada lagi!
(Iwan Simatupang, 1985:159) gaya bahasa yang digunakan adalah majas
personifikasi.
109. Matanya melihat molekul-molekul
udara, menari-nari, berwarna-warni, meneriakan: Si gemuk pendek telah tak ada
lagi! (Iwan Simatupang, 1985:160) gaya bahasa yang
digunakan adalah majas personifikasi.
110. Seperti ular sanca yang menelan
celeng saja. (Iwan Simatupang, 1985:164) gaya bahasa
yang digunakan adalah majas perbandingan.
111. Hidung sebuah truk tiba-tiba muncul
di tikungan tajam. (Iwan Simatupang, 1985:164) gaya bahasa
yang digunakan adalah majas personifikasi.
112. Tokoh kita membanting setirnya.
(Iwan Simatupang, 1985:164) gaya bahasa yang digunakan adalah majas hiperbola.
113. Raksasa-raksasa hitam antri di
langit. (Iwan Simatupang, 1985:164) gaya bahasa yang
digunakan adalah majas personifikasi.
114. Angin melengking terus. Langit
menggelagak. (Iwan Simatupang, 1985:164) gaya bahasa
yang digunakan adalah majas personifikasi.
115. Masing-masing mencoba memperhatikan
apa yang dapat diperhatikan dalam alam mengamuk begitu.
(Iwan Simatupang, 1985:164) gaya bahasa yang digunakan adalah majas
personifikasi.
3.1.2.9 Moral
Moral
dalam novel Kering karya Iwan Simatupang di antaranya seperti dalam kutipan :
“siapa
dia? Tanya tokoh kita tak sabar. Nyonya rumah mencubit pipi tokoh kita dengan
genitnya. Saya telah menyediakan dua kamar buat tuan-tuan. Sekarang jelas apa
maksudnya wanita itu saya undang kemari malam ini? Tokoh kita bergidik. Oh!
Jadi itu maksudmu?
Apa
2 buat 2 kalian tidak cukup? mau 4 ah?
Nyonya rumah tertawa cekikikan” (Iwan Simatupang, 1985:98).
“malu,
sangat malu. Belum pernah aku diperlakukan laki-laki begini. Aku tak
disentuhnya sama sekali. “zus”, katanya hormat kepadaku, lalu dia tertawa hanya
itu” (Iwan
Simatupang, 1985:101).
3.1.3 Analisis Unsur
Ekstrinsik Novel Kering Karya Iwan Simatupang
3.1.3.1 Biografi
Pengarang
Iwan
Simatupang
Iwan
Martua Dongan Simatupang, yang lebih umum dikenal sebagai "Iwan
Simatupang" (lahir di Sibolga, 18 Januari 1928 – meninggal di Jakarta, 4
Agustus 1970 pada umur 42 tahun) adalah seorang novelis, penyair, dan esais
Indonesia. Ia belajar di HBS Medan, lalu melanjutkan ke sekolah kedokteran
(NIAS) di Surabaya tapi tidak selesai. Kemudian belajar antropologi di
Universitas Leiden (1954-56), drama di Amsterdam, dan filsafat di Universitas
Sorbonne, Paris, Perancis pada Prof. Jean Wahl pada 1958. Ia pernah menjadi
Komandan Pasukan TRIP dan ditangkap pada penyerangan kedua polisi Belanda di
Sumatera Utara (1949) setelah bebas, ia melanjutkan sekolahnya sehingga lulus
SMA di Medan. Ia pernah menjadi guru SMA di Surabaya, redaktur Siasat, dan
terakhir redaktur Warta Harian (1966-1970). Tulisan-tulisannya dimuat di
majalah Siasat dan Mimbar Indonesia mulai tahun 1952.
Pada
mulanya ia menulis sajak, tapi kemudian terutama menulis esai, cerita pendek,
drama, dan roman. Sebagai pengarang prosa ia menampilkan gaya baru, baik dalam
esainya, maupun dalam drama, cerita pendek dan terutama dalam romannya; dengan
meninggalkan cara-cara konvensional dan alam pikiran lama. Jalan cerita dan
penampilan watak dalam semua karangannya tidak lagi terikat oleh logika untuk
sampai kepada nilai-nilai baru yang lebih mendasar.
Karya
novel yang terkenal Merahnya Merah (1968) mendapat hadiah sastra
Nasional 1970, dan Ziarah (1970) mendapat hadiah roman ASEAN terbaik
1977. "Ziarah" merupakan novelnya yang pertama, ditulis dalam sebulan
pada tahun 1960; diterbitkan di Indonesia pada 1969. Pada 1972,
"Kering", novelnya yang ketiga diterbitkan. "Kooong" (1975)
mendapatkan Hadiah Yayasan Buku Utama Departemen P Dan K 1975. Pada tahun 1963,
ia mendapat hadiah kedua dari majalah Sastra untuk esainya "Kebebasan
Pengarang dan Masalah Tanah Air". Menurut Benedict Richard O'Gorman
Anderson, Iwan Simatupang dan Putu Wijaya merupakan dua orang penulis fiksi
yang berpengaruh dari Indonesia sejak kemerdekaan dan keduanya memiliki
kelekatan yang kuat dengan realisme gaib ("magical realism").
Daftar Karya
Berikut adalah karya-karya Iwan
Simatupang:
·
Bulan Bujur Sangkar - drama (1960)
·
Petang di Taman - drama sebabak (1966, judul asli Taman,
diubah penerbit menjadi Petang di Taman)
·
RT Nol /RW Nol - drama sebabak (1966)
·
Merahnja merah - novel (1968)
·
Ziarah - novel (1969)
- The Pilgrim - terjemahan bahasa Inggris oleh Harry Aveling (1975)
·
Kering - novel (1972)
- Drought - terjemahan bahasa Inggris oleh Harry Aveling (1978)
·
Kooong: kisah tentang seekor perkutut (1975)
·
Tegak lurus dengan langit: lima belas cerita pendek (1982,
penyunting: Dami N. Toda)
·
Surat-surat politik Iwan Simatupang, 1964-1966 (1986,
penyunting: Frans M. Parera)
·
Sejumlah Masalah Sastra - kumpulan esai (1982, penyunting:
Satyagraha Hoerip)
·
Ziarah - novel (1983)
- Ziarah - terjemahan bahasa Perancis (1989)
·
Poems - selections (1993)
·
Square moon, and three other short plays - terj. John H.
McGlynn (1997)
·
Ziarah malam: sajak-sajak 1952-1967 - penyunting: Oyon
Sofyan, S. Samsoerizal Dar, catatan penutup, Dami N. Toda (1993)
·
Kebebasan pengarang dan masalah tanah air: esai-esai Iwan
Simatupang, editor, Oyon Sofyan, Frans M. Parera (2004)
·
Iwan Simatupang Pembaharu Sastra Indonesia (Korrie Layun
Rampan, ed), Yayasan Arus, 1985
Studi
Studi terhadap karya-karya Iwan
Simatupang dilakukan oleh:
·
Dami N. Toda dalam Novel Baru Iwan Simatupang - sajak (1980)
·
Korrie Layun Rampan dalam Iwan Simatupang Pembaharu Sastra
Indonesia - kumpulan esai (1985)
·
Okke K. S. Zaimar dalam Menelusuri Makna Ziarah Karya Iwan Simatupang
- sajak (1991)
·
Kurnia J. R. dalam Inspirasi? Nonsen! Novel-novel Iwan
Simatupang - sajak 1999)
3.1.3.2 Psikologi
3.1.3.2.1 Psikologi
Pengarang
Terdapat hubungan antara karya
dengan psikologi pengarang. Bagaimana keaadaan emosional seorang Iwan
Simatupang begitu berpengaruh terhadap karya-karya yang dihasilkannya. Hal ini
bisa dilihat pada novel Kering karya Iwan Simatupang. Pengarang melalui
pengalaman kehidupan yang pernah dilaluinya kemudian mengaplikasikannya ke
dalam sebuah novel kering. Bagaimana ia begitu lincahnya memakai bahasa-bahasa
ilmiah di novelnya, karena dia pernah menempuh bangku kuliah. Ia juga sangat
kritis terhadap kehidupan di lingkungannya.
3.1.3.2.2 Psikologi
Pembaca
Setelah membaca novel Kering karya
Iwan Simatupang, pembaca dapat merasakan efek dari novel tersebut di antaranya
novel tersebut mengajarkan kepada kita untuk tidak putus asa dan tidak
bergantung kepada orang lain. Dalam novel tersebut juga dijelaskan betapa
tangguhnya tokoh kita dalam mengarungi kehidupan. Serta kita juga dituntut
untuk saling tolong menolong terhadap sesama.
3.1.3.3 Keadaan
Lingkungan Pengarang
3.1.3.3.1 Lingkungan
Ekonomi
keadaan
lingkungan di sekitar pengarang seperti ekonomi, dapat menjadi unsur ekstrinsik yang mendasari
penulisan suatu karya sastra. Dalam novel kering ini, pengarang mencoba
memberikan gambaran tentang kehidupan ekonomi yang terjadi ketika musim kemarau
yang berkepanjangan. Betapa sulitnya melalui kehidupan di tengah-tengah keadaan
musim kemarau yang tak kunjung berakhir.
3.1.3.3.2 Lingkungan
Politik
Keadaan politik yang terjadi di
lingkungan pengarang ketika novel itu dibuat turut mempengaruhi isi dari sebuah
karya sastra. Dalam novel Kering ini, pengarang mencoba menceritakan keadaan
politik setelah Indonesia merdeka, dimana masih ada pemberontakan dari
orang-orang yang tidak menyukai pemerintah. Bahkan pengarang pernah menjadi
komandan TRIP dan ditangkap pada penyerangan kedua polisi Belanda di Sumatera
Utara pada tahun 1949.
3.1.3.3.3 Lingkungan
Sosial
Lingkungan
sosial adalah tempat dimana masyarakat saling berinteraksi dan melakukan
sesuatu secara bersama-sama antar sesama maupun dengan lingkungannya. Pada
novel Kering ini, pengarang dengan kehidupan sosial yang pernah dilaluinya
menggambarkan begitu detail tentang keadaan yang terjadi di negeri Indonesia
ketika musim kemarau yang berkepanjangan tiba. Bagaimana kehidupan masyarakat
yang begitu kesusahan dalam mencari sumber air akibat keringnya mata air.
Bagaimana masyarakat nyaris tak bisa berbuat apa-apa karena efek yang
ditimbulkan dari kemarau yang terlalu apa. Bagaimana kehidupan begitu mencekam
dialami masyarakat yang harus mengalami keadaan kemarau. Bagaimana pemerintah
bertindak dalam mengatasi masa-masa yang sulit ini. Semua itu ia tuangkan dalam
novel Kering ini.
3.3 Kajian Dekonstruksi
Karya sastra menampilkan gambaran
kehidupan masyarakat. Gambaran kehidupan bisa berupa masalah sosial, seperti
pandangan hidup yang kontroversial dengan zamannya.
Untuk melihat karya sastra secara totalitas,
dibutuhkan kajian/pendekatan yang mendalam. Pendekatan dekontruksi adalah salah
satu pendekatan untuk menganalisis dan untuk memahami sastra, khususnya novel.
Novel yang kami analisis adalah novel Kering karya Iwan Simatupang yang
berjudul Kering. Analisis ini bertujuan
mendeskripsikan proses perubahan tokoh dalam novel Kering karya Iwan Simatupang
melalui Pendekatan Dekontruksi. Pendekatan Dekontrusi adalah penyangkalan atau
pemutarbalikan teks.
Sehingga dalam novel ini, mengalami proses
perubahan: tokoh protagonis menjadi tokoh antagonis, dan tokoh antagonis
berubah menjadi tokoh protagonis.
Tokoh Kita, bila dilihat dari struktural itu tokoh
yang baik, tegas, mempunyai wawasan yang luas, mandiri, dan pintar, serta
menghargai orang lain. Namun, dilihat dari pendekatan dekonstruksi, Tokoh Kita
dalam novel Kering ini kurang baik karena Tokoh Kita ini memberontak atas
kehendak sendiri meninggalkan bangku kuliah. Ia tidak puas dengan sistem dan
materi pendidikan yang diterimanya. Tokoh Kita juga pergi bertransmigrasi atas
kemauannya sendiri.
Sebaliknya dengan tokoh Si Gemuk Pendek. Dari
struktural Si Gemuk Pendek ini, ia adalah tokoh yang jahat, penyelundup barang-barang
yang bukan miliknya. Namun, dilihat dari pendekatan dekonstruksi, tokoh Si
Gemuk Pendek ini baik, peduli dengan orang lain. Seperti dalam kutipan ini,
“Jangan
kau terlalu bangga dengan semboyanmua “terus!” itu. Aku kenal benar tabiatmu
yang pantang mengemis itu. Tapi, cobalah saksikan dirimu sendiri. Kurus kering.
Jerangkong hidup dalam piama lurik. Tidakah maksudku untuk memberimu sedekah,
bila kini kutawarkan padamu beristirahatlah dahulu di sini sampai jasmanimu
kuat dan sehat kembali.” (Iwan Simatupang, 1985:52)
Setelah Si Gemuk Pendek meninggal, ia juga
mewariskan semua hartanya kepada tokoh Kita. Kemudian tokoh kita memanfaatkan
harta yang ia dapatkan dari warisan Si Gemuk Pendek untuk membangun sebuah kota
transmigrasi.
3.4 Kajian Feminis
Wanita VIP – gula-gula Si Gemuk
Pendek – menyambut hangat sekali kedatangan mereka.
-
Nah, lu! Bisik Si Janggut, menyenggol
Tokoh Kita.
Si Gemuk Pendek ternyata tak di
rumah. Sedang berpergian. Tugas. Tapi, sebelum dia pergi, sempat dia
instruksikan VIP untuk siap-siap menyambut kedatangan Tokoh Kita. (Iwan Simatupang, 1985:93)
Setelah segala tetek bengek yang
lazim dilakukan setelah itu, mereka segera berbincang tentang acara berikutnya
: tidur, dengan tangkasnya VIP mengingatkan kembali pesan tuannya- Si Gemuk
Pendek- yang menekankan agar kepada Tokoh Kita, kawannya, diberi segala sesuatu
yang menyenangkan dia. Dia tidak boleh kurang sesuatu! Demikianlah bunyi
perintahnya. Oleh sebab itu dia –nyonya rumah- ingin melaksanakan perintah itu
sebaik mungkin, demikianlah oceh VIP, dia sangat mengharapkan pula, agar segala
suguhannya hendak jangan ada yang ditolak. Selesai pidato ringkas pengantar ini
dengan cepat nyonya rumah memaklumkan susunan pasangan-pasangan: Si Janggut
dengan wanita asing yang baru datang itu, sedangkan selebihnya….aah! apa masih
belum jelas ?
Wanita pendatang baru itu –sudah
dalam pakaian tidur yang transparan- menantinya sudah di ambang pintu kamar
yang tersedia bagi mereka. Tanpa bu dan ba, Si Janggut kontan disekapnya dalam
pelukannya. Persis seperti ikan gurita raksaksa, dia kemudian menyeret korbanya
ke dalam kamar, yang daun pintunya disekapnya dengan sebelah kakinya
yang…telanjang. (Iwan
Simatupang, 1985:99)
Sinar pertama matahari yang
bertengger di batang hidungnya, membuat pria yang satu jaga dari lamunannya.
Dia melihat pria 1 lagi. Setelah sepakat saja, mereka masuk ke rumah. Mereka
mandi. Sesudah itu mereka mengenakan kembali pakaian dengan mana mereka semula
datang ke rumah itu. Sarapan yang dihidangkan pelayan, mereka makan. Selesai
itu, mereka saling berpandangan.
Akhirnya
bungkam sejak tadi itu pecah juga.
-
Malu. Sangat malu. Belum pernah aku
diperlakukan laki-laki begini. Aku tak disentuhnya sama sekali. “Zus”, katanya
hormat padaku, lalu dia tertawa. Hanya itu.
Isak yang dihempaskan oleh
kata-kata putus ini, membuat wanita yang 1 lagi tertegun sebentar. Air yang
menggerabak terus dari matanya, memaksanya untuk juga mengucapkan pengakuannya.
-
Dengan aku pun demikian….
-
Tapi aneh. Justru karena penghinaannya
yang tak disengaja itulah kukira aku justru telah jatuh cinta padanya. Belum
pernah aku bertemu laki-laki seperti dia.
Wanita yang 1 lagi takjub.
Dihapusnya air matanya. Pelan-pelan, hampir berbisik, diapun mengaku.
-
Akupun demikian. Dia laki-laki yang
benar-benar lain daripada yang lain. Kukira, akupun telah jatuh cinta padanya.
Dan toh, dia telah sangat menghina aku. Tak kusangka, aku masih bisa mencintai
laki-laki.
Wanita pertama takjub. Diapun lalu
menghapus air matanya. Sangat terharu, dia berbisik :
-
Akupun tak menyangka, wanita seperti aku
masih bisa jatuh cinta. Mencintai laki-laki. Padaku dia cerita panjang lebar
tentang acara berat-berat, seperti: arti wanita, adat kita orang Timur, dsb.
Tapi, aku sedikitpun tak disentuhnya. (Iwan Simatupang, 1985:102)
Dalam kutipan diatas menyatakan
bahwa wanita VIP itu melaksanakan amanat dari Si Gemuk Pendek dengan baik, akan
tetapi amanat yang diberikan oleh Si Gemuk Pendek itu tidak baik karena
menyuruh wanita VIP untuk menemani dan melayani nafsu syahwat dari Tokoh Kita
dan Si Janggut, tetapi ketika wanita VIP memberikan kamar masing-masing dengan
servis yang sangat bagus, kedua pria tersebut justru menolaknya. Akan tetapi
wanita VIP memaksa kedua pria tersebut. Dan akhirnya kedua pria itu pun menurut
saja. Kutipan di atas menceritakan kehidupan wanita VIP sebagai wanita pemuas
nafsu laki-laki.
Ketika wanita VIP dan temannya itu
akan menemani Tokoh Kita dan Si Janggut dalam semalam, Tokoh Kita dan Si
Janggut tersebut tak pernah menjamahnya atau tak sedikit pun ia sentuh tubuh
wanita-wanita tersebut. Karena mereka menganggap wanita itu mulia, sangat
menghormati wanita-wanita tersebut dan wanita bukan untuk dipermainkan. Dengan
sikap Tokoh Kita dan Si Janggut yang sangat menghormati wanita, kedua wanita
tersebut sangat terharu dan baru merasakan ada laki-laki yang sangat
menghormatinya. Rasa haru itu meluluhkan hati kedua wanita tersebut sehingga
kedua wanita tersebut jatuh hati kepada Tokoh Kita dan Si Janggut.
BAB 4
SIMPULAN DAN SARAN
4.1 Simpulan
Simpulan yang bisa diambil dari analisis
novel Kering karya Iwan Simatupang ini di antaranya adalah:
4.1.1 Unsur Intrinsik
Tema dalam novel Kering karya Iwan
Simatupang yaitu mengangkat tema kehidupan sosial,
Pada novel Kering Karya Iwan
Simatupang ini menceritakan tentang perjalanan seseorang yang mencoba bertahan
hidup di tengah musim kemarau yang berkepanjangan.
Plot dalam novel Kering karya Iwan
Simatupang ini yaitu menggunakan plot atau alur campuran.
Tokoh yang digambarkan pada novel
Kering karya Iwan Simatupang ini tidak menggunakan nama tokoh seperti lazimnya
kebanyakan novel, tetapi menggunakan nama tokoh sebutan seperti Tokoh Kita, Si
Gemuk Pendek, Si Janggut, Si Botak Kacamata, dan lain sebagainya dengan
berbagai karakter penokohan di dalamnya.
Pada Novel Kering karya Iwan Simatupang
ini terdapat latar waktu (subuh, pagi, siang, sore, dan malam), latar suasana
(gembira, sedih dan kecewa, putus asa, takut, bingung, kesepian, lengang,
kesunyian, bahagia, marah, kesal, dan menangis), dan latar tempat (ladang, mata
air kecil, bukit kecil, perkampungan kecil, rumah sakit, dan simpang 7)
Sudut Pandang dalam
novel Kering karya Iwan Simatupang ini yaitu menggunakan sudut pandang orang ke
tiga.
Bahasa dalam novel Kering karya
Iwan Simatupang ini banyak mengunakan bahasa ilmiah sehingga untuk pembaca awam
sulit dalam memahaminya.
Pada novel Kering karya Iwan
Simatupang ini banyak terdapat gaya bahasa, di antaranya majas personifikasi,
majas hiperbola, majas metafora, majas perumpamaan, dan sebagainya.
Moral dalam novel
Kering karya Iwan Simatupang ini di antaranya seperti 2 wanita yang mencoba
memberikan pelayanan kepada 2 orang pria, namun kedua pria tersebut justru
menolaknya dan bahkan tidak menyentuhnya sama sekali.
4.1.2 Unsur Ekstrinsik
Iwan Martua Dongan Simatupang, yang lebih umum dikenal sebagai
"Iwan Simatupang" (lahir di Sibolga, 18 Januari 1928 – meninggal di
Jakarta, 4 Agustus 1970 pada umur 42 tahun) adalah seorang novelis, penyair,
dan esais Indonesia.
Terdapat hubungan antara karya
dengan psikologi pengarang. Bagaimana keaadaan emosional seorang Iwan
Simatupang begitu berpengaruh terhadap karya-karya yang dihasilkannya.
Setelah membaca novel Kering karya
Iwan Simatupang, pembaca dapat merasakan efek dari novel tersebut di antaranya
novel tersebut mengajarkan kepada kita untuk tidak putus asa dan tidak
bergantung kepada orang lain.
keadaan
lingkungan di sekitar pengarang seperti ekonomi, politik, dan sosial dapat menjadi unsur ekstrinsik yang mendasari dan
berpengaruh terhadap penulisan suatu karya sastra.
4.1.3 Kajian
Dekonstruksi
Tokoh Kita, bila dilihat dari
struktural itu tokoh yang baik, tegas, mempunyai wawasan yang luas, mandiri,
dan pintar, serta menghargai orang lain. Namun, dilihat dari pendekatan
dekonstruksi, tokoh kita dalam novel Kering ini kurang baik karena Tokoh kita
ini memberontak atas kehendak sendiri meninggalkan bangku kuliah. Ia tidak puas
dengan sistem dan materi pendidikan yang diterimanya. Ia juga pergi
bertransmigrasi atas kemauannya sendiri.
Sebaliknya dengan tokoh Si Gemuk
Pendek. Dari struktural Si Gemuk Pendek ini, ia adalah tokoh yang jahat,
penyelundup barang-barang yang bukan miliknya. Namun, dilihat dari pendekatan
dekonstruksi tokoh Si Gemuk Pendek ini baik, peduli dengan orang lain.
4.1.4 Kajian Feminis
Tokoh Kita dan Si Janggut
menganggap wanita itu mulia, sangat menghormati wanita-wanita tersebut dan
wanita bukan untuk dipermainkan. Dengan sikap Tokoh Kita dan Si Janggut yang
sangat menghormati wanita, kedua wanita tersebut sangat terharu dan baru
merasakan ada laki-laki yang sangat menghormatinya. Rasa haru itu meluluhkan
hati kedua wanita tersebut sehingga kedua wanita tersebut jatuh hati kepada
Tokoh Kita dan Si Janggut.
4.2 Saran
Novel Kering karya Iwan Simatupang
ini sangat menguras emosional pembaca. Masukan yang bisa diberikan untuk novel
ini adalah bahwa novel ini terlalu banyak menggunakan kata-kata dan bahasa
ilmiah yang sulit dipahami oleh pembaca awam yang belum banyak mengenyam
pendidikan tinggi pada saat membaca novel ini.
DAFTAR PUSTAKA
Simatupang, Iwan. 1985. Kering. Jakarta: Gunung Agung.
Keraf, Gorys. 2010. Diksi dan Gaya
Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
0 Response to "Analisis Novel Kering karya Iwan Simatupang"
Posting Komentar