MAKALAH
Kajian Novel Salah
Pilih Karya Nur St. Iskandar
diajukan
untuk memenuhi tugas mata kuliah Apresiasi
Prosa Fiksi
pada
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
yang diampu oleh : Drs.
Rustam Effendi, M. Pd.
disusun
oleh :
Karniti
Luthfiani
Kuntari
Muhammad
Jammal Baligh
Semester
3A
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN
BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS WIRALODRA
INDRAMAYU
2014
KATA
PENGANTAR
Alhamdulillah puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT,
karena atas segala limpahan rahmat-Nya kami dapat menyusun tugas ini dengan
tepat waktu. Sholawat serta salam kami limpahkan kepada junjungan kita Nabi
Muhammad SAW, beserta keluarganya, sahabatnya dan seluruh umatnya sampai akhir
zaman.
Tugas
ini membahas tentang analisis novel Salah Pilih karya Nur St. Iskandar. Dalam
penyusunan tugas ini, kami banyak mendapatkan bimbingan, bantuan, dan dorongan
dari berbagai pihak. Oleh karena itu kami mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan tugas yang kami
buat. Terutama ucapan terima kasih ditujukan kepada
dosen mata kuliah Apresiasi Prosa Fiksi, Drs. Rustam Effendi, M.Pd.
Adapun
isi dari tugas ini jauh dari sempurna karena keterbatasan kemampuan kami, baik
kemampuan mengolah konsepsi ataupun kemampuan apersepsi. Sehingga
harap dimaklumi apabila isi tugas kami banyak kekurangan, itu sebabnya kritik dan saran sangat kami harapkan untuk perbaikan tugas ini.
Semoga
tugas ini dapat bermanfaat
bagi penulis maupun pembaca, dan menjadi tambahan bagi khazanah ilmiah kita
semua.
Indramayu,
11 Nopember
2014
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Fiksi yang terbagi atas
novel, cerpen, naskah drama dan dongeng merupakan salah satu genre dalam karya
sastra yang dipercaya mempunyai potensi yang cukup besar dalam rangka mendorong
arus perubahan budaya. Hal ini karena ternyata karya sastra aliran fiksi tidak
hanya dibaca oleh golongan tertentu seperti golongan elit atau kaum terpelajar
saja tetapi juga diminati oleh hampir seluruh lapisan masyarakat.
Novel Salah Pilih karya Nur Sutan
Iskandar adalah novel roman lama yang menjadi saksi sejarah dan perkembangan Bahasa Indonesia, sekaligus jejak
pemikiran modern Indonesia.
Novel ini mengisahkan tentang
perjalanan hidup tokoh yang bernama Asri dalam menentukan pasangan hidupnya.
Bermula dari Asri menjatuhkan pilihannya kepada seorang gadis cantik dari
keluarga kaya dan terpandang. Asri berharap dari pernikahannya itu ia bisa hidup
bahagia, namun ternyata nasib menentukan lain. Rumah tangganya tidak bahagia,
sampai akhirnya sebuah kejadian menimpa istrinya yang membuatnya meninggal
dalam sebuah kecelakaan. Akhirnya takdir bisa menyatukan Asri dan Asnah, adik
angkatnya. Asri bisa menikah juga dengan Asnah yang dicintainya dan mereka
hidup bahagia selamanya.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana
menentukan unsur-unsur intrinsik yang terdapat dalam novel berjudul Salah Pilih
karya Nur St. Iskandar?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui unsur intrinsik yang terdapat dalam
novel Salah Pilih
2. Mengetahui biografi pengarang novel Salah Pilih
1.4 Manfaat
1. Menambah pengetahuan mengenai budaya zaman dulu
2. Mengetahui hubungan karya sastra dengan keadaan
sosial
3. Mengetahui isi novel Salah Pilih
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1 Pengertian Novel
Dari sekian banyak bentuk sastra seperti esei, puisi,
novel, cerita pendek, drama, bentuk novel, cerita pendeklah yang paling banyak
dibaca oleh para pembaca. Karya-karya modern klasik dalam kesusasteraan,
kebanyakan juga berisi karya-karya novel.
Novel merupakan bentuk karya sastra yang paling
populer di dunia. Bentuk sastra ini paling banyak beredar, lantaran daya
komunikasinya yang luas pada masyarakat. Sebagai bahan bacaan, novel dapat
dibagi menjadi dua golongan yaitu karya serius dan karya hiburan. Pendapat
demikian memang benar tapi juga ada kelanjutannya. Yakni bahwa tidak semua yang
mampu memberikan hiburan bisa disebut sebagai karya sastra serius. Sebuah novel
serius bukan saja dituntut agar dia merupakan karya yang indah, menarik dan
dengan demikian juga memberikan hiburan pada kita, tetapi ia juga dituntut
lebih dari itu. Syarat utama novel yaitu mesti menarik, menghibur dan mendatangkan rasa
puas setelah orang selesai membacanya.
Novel yang baik dibaca untuk penyempurnaan diri.
Novel yang baik adalah novel yang isinya dapat memanusiakan para pembacanya. Sebaliknya
novel hiburan hanya dibaca untuk kepentingan santai belaka, yang penting
memberikan keasyikan pada pembacanya untuk menyelesaikannya. Tradisi novel
hiburan terikat dengan pola-pola. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa novel
serius punya fungsi sosial, sedang novel hiburan cuma berfungsi personal. Novel
berfungsi sosial lantaran novel yang baik ikut membina orang tua masyarakat
menjadi manusia. Sedang novel hiburan tidak memperdulikan apakah cerita yang
dihidangkan tidak membina manusia atau tidak, yang penting adalah bahwa novel
memikat dan orang mau cepat-cepat membacanya.
Pada dasarnya novel maupun roman menceritakan
hasil luar biasa yang terjadi dalam kehidupan manusia sehingga jalan hidup
tokoh cerita yang ditampilkan dapat berubah. Novel dapat dibedakan menjadi
novel kedaerahan, novel psikologi, novel sosial, novel gotik, novel sejarah,
dan novel populer. Cerita jenis lain yang mempunyai ciri utama seperti novel
adalah cerpen. Bedanya dengan novel, cerpen penceritaannya lebih ringkas. Masalahnya
lebih padu, plotnya tunggal dan terfokus pada akhir cerita. Sebuah cerita
panjang yang berjumlah ratusan halaman, jelas tidak dapat disebut dengan
cerpen.
2.2 Unsur
Intrinsik
Unsur
intrinsik ialah unsur yang membangun
karya sastra dari dalam. Yang termasuk unsur intrinsik adalah:
a. Tema
Tema
adalah sesuatu yang menjadi pokok masalah atau pokok pikiran dari pengarang
yang ditampilkan dalam karangan.
b. Tokoh
Tokoh
adalah pelaku dalam cerita.
c. Penokohan
Penokohan
adalah pengembangan pelaku atau tokoh dalam cerita.
d. Alur
Alur
adalah suatu rangkaian peristiwa yang menghubungkan sebab akibat dalam sebuah
novel, ada sebab akibat untuk mencapai klimaks cerita.
e. Latar atau Setting
Latar
atau setting adalah tempat peristiwa atau kejadian pada sebuah novel. Latar
pada novel terdiri dari latar tempat, waktu, dan suasana.
f. Sudut pandang
Sudut
pandang adalah cara pengarang untuk menentukan siapa yang mengisahkan
ceritanya.
g. Gaya bahasa
Gaya Bahasa Kiasan ialah
kemampuan dan keahlian untuk menulis atau mempergunakan kata-kata secara indah.
Gaya bahasa dituturkan dari sebuah karya tulis sastra agar dipergunakan dengan
memperindah tulisan pada sebuah karya sastra. Sastra tanpa gaya bahasa terasa
tidaklah sempurna apalagi digunakan dengan kata yang sebenarnya (denotasi),
rasanya seperti sayuran tanpa garam, terasa hambar. Oleh karena itu, pada
sebuah novel Salah Pilih ini banyak menggunakan makna konotasi yang membuat
karya sastra Nur St. Iskandar ini popular di kalangan para penikmat sastra.
BAB
III
PEMBAHASAN
3.1 Sinopsis
Di
sebuah tempat bernama Sungaibatang, Maninjau, Sumatera Barat, tinggal sebuah
keluarga yang terdiri atas seorang ibu, seorang anak laki-laki dan seorang lagi
perempuan, serta seorang pembantu. Ibu itu bernama Mariati, si lelaki bernama Asri,
dan yang perempuan bernama Asnah. Sementara pembantu itu bernama Sitti Maliah
dan dua anak itu biasa memanggilnya Mak Cik Lia. Keluarga itu saling mengasihi
satu sama lain sekalipun dengan si pembantu dan Asnah yang bukan anak kandung
Bu Mariati, mereka tidak peduli dengan hal tersebut. Asnah pun juga sayang pada
perempuan yang dianggap sebagai ibu kandung itu. Ia selalu sabar merawat Bu
Mariati yang tengah sakit.
Asri dan Asnah
semakin lama semakin dewasa dan semakin akrab sebagai saudara. Mereka terbiasa
jujur satu sama lain, bahkan Asnah mengetahui rahasia kakaknya yang tidak
diketahui sang bunda, begitu juga sebaliknya. Namun ada satu hal yang sangat
dirahasiakan Asnah, dia menyayangi Asri lebih dari seorang kakak, melainkan
rasa sayang seorang kekasih. Gadis itu sangat terpukul ketika sang ibu meminta
anak lelakinya untuk segera menikah, dia tahu bukan ia yang akan menjadi
pendamping Asri karena adat melarang pernikahan sesuku seperti mereka. Asri
menjatuhkan pilihan pada seorang putri bangsawan yang cantik, adik kandung
mantan kekasihnya. Gadis itu bernama Saniah. Mereka bertunangan lalu menikah
setelah melewati beberapa adat Minangkabau.
Pernikahan Asri
dengan Saniah sangat jauh dari kata bahagia. Keduanya memiliki perbedaan yang
sangat kuat dalam masalah adat. Saniah selalu disetir ibunya untuk mengikuti
adat yang sangat kaku dan kuno menurut Asri, karena Asri sudah terbiasa dengan
pendidikan luar yang bebas. Ia sangat menghormati adat, namun ia tidak suka
terlalu dikekang dan dipaksa-paksa seperti yang dilakukan Saniah padanya.
Selain itu, Saniah adalah wanita yang sombong, keras kepala, membedakan kelas
sosial masyarakat, dan tidak suka bergaul dengan tetangga. Saniah sangat
cemburu dengan keberadaan Asnah dan ia ingin menyingkirkan gadis itu dengan
berbagai cara, tentunya peran sang ibu tidak tertinggal.
Suatu
hari penyakit bu Mariati menjadi sangat parah. Asnah beserta Mak Cik Liah
bergantian menjaganya, tak lupa juga Asri lebih sering mengunjungi ibunya yang
telah diasingkan Saniah di bagian rumah mereka yang lain. Penyakit bu Mariati
tidak dapat disembuhkan dan nyawanya telah lepas dari raga. Sebelum meninggal,
ibu itu berpesan kepada anaknya, ia menyesal telah meminta Asri menikah,
apalagi dengan Saniah. Wanita itu juga menjelaskan adat Minang yang tidak
melarang Asri dan Asnah menikah karena mereka tidak sedarah. Wanita itu
berpesan agar anak lelakinya itu menikah dengan anak angkatnya, Asnah, yang
sifatnya sangat mulia di mata semua orang.
Setelah
kematian sang bunda, Asri selalu memikirkan petuah terakhir itu. Dan ia baru
menyadari perasaan sayangnya kepada Asnah yang lebih setelah teman lamanya, Hasan
Basri, datang kepadanya untuk meminta izin memperistri Asnah. Ia sangat cemburu
dan tidak bisa mengambil keputusan, sehingga segalanya ia serahkan kepada
Asnah. Asri sangat lega ketika Asnah menolak pinangan teman lamanya itu. Tanpa
saling bicara, keduanya bisa mengerti bahwa ada cinta di antara mereka. Saniah
menangkap keganjilan pada suaminya sehingga ia memaki-maki Asnah sebagai wanita
yang tidak tahu diri. Kejadian itu diketahui Asri sehingga ia sangat marah
kepada Saniah dan keduanya bertengkar hebat, sementara Asnah memilih pergi dari
rumah itu dan tinggal bersama bu Mariah, adik ibu Mariati. Semenjak kepergian
Asnah, Asri tetap sering bertengkar dengan Saniah hingga ia tidak betah lagi
berada di rumah gadang itu.
Suatu
ketika bu Saleah, ibu dari Saniah mendapat kabar bahwa anak lelakinya akan
menikah dengan gadis biasa di perantauan. Ibu itu merasa geram, ia tidak mau
mempunyai menantu miskin dan dari suku lain. Kemudian ia mengajak Saniah
beserta pembantu mereka pergi ke tempat putranya untuk menggagalkan pernikahan
itu. Saking geramnya, bu Saleah meminta sopir mobil yang ia sewa untuk mengebut
walaupun jalanan sangat sulit. Alhasil, mobil yang mereka tumpangi tidak terkendali
sehingga masuk jurang lalu Saniah dan ibunya meninggal dunia.
Semenjak Asri
menduda, banyak wanita yang datang menghampirinya. Namun, ia tidak pernah goyah
untuk mencintai Asnah, walaupun wanita-wanita yang menghampirinya lebih cantik.
Asri tidak bisa lagi menahan cintanya. Setelah berunding dengan bibinya yang
sekarang merawat Asnah, ia memutuskan menikah dengan Asnah dan meninggalkan
segala harta dan jabatannya untuk merantau ke pulau Jawa, karena jika tidak
pergi dari situ, maka keduanya akan dikeluarkan dari suku secara tidak hormat.
Perantauannya menghasilkan sesuatu yang baik. Asri punya kedudukan yang baik
dan keduanya mempunyai banyak teman di sana. Di tengah rutinitas mereka di
Jawa, tepatnya di Jakarta, tiba-tiba datang surat dari Maninjau meminta agar
keduanya kembali ke sana dan Asri diminta untuk menjadi kepala pemerintahan.
Tanpa pikir panjang mereka setuju untuk kembali ke Maninjau walaupun berat juga
meninggalkan kawan-kawannya di Jakarta. Mereka sangat rindu dengan kampung
kelahirannya itu.
Setibanya di
Maninjau, mereka disambut meriah oleh warga yang sangat menghormati Asri atas
jasa-jasanya sebelum ia merantau dulu dan atas kelembutan tabiat Asnah. Berawal
dari Asri yang salah pilih istri, ia menjadi tahu siapa orang yang sebenarnya
ia cintai dan dengan berusaha keras ia mampu hidup bersama sang kekasih dalam mahligai
rumah tangga yang penuh cinta di kampung halaman tercinta.
Novel tersebut
masih menggunakan gaya bahasa melayu sehingga sulit dipahami untuk pembaca
sekarang. Di situ digambarkan adat istiadat suku Minang yang ketat namun
seorang yang berpendidikan seperti Asri mampu meluruskan adat tersebut, jika
ada yang tidak logis, maka tidak perlu dipakai lagi. Kebaikan keluarga ibu
Mariati dan Asnah patut dijadikan contoh dalam kehidupan sehari-hari.
3.2 Analisis Novel
1. Tema
Tema
dalam Novel ini adalah tentang sosial, dimana menceritakan tentang kehidupan tokoh
Asri yang salah pilih dalam menentukan pasangan hidupnya.
2. Tokoh
dan Penokohan
2.1 Tokoh
Utama
Asnah :
sabar, baik, setia
seperti pada salah satu
kutipan: “Enak, Ibu? Bagus. Nanti saya minumkan sekali lagi. Mujarab… Sekarang
hendak saya gosok kaki Ibu yang sakit itu… Makcik, biar saya sendiri menjaga
Ibu, pekerjaan Makcik tentu banyak lagi yang lain-lain, bukan?” (Nur St.
Iskandar, 2006:5)
Asri : baik,
ramah, rendah hati
Seperti pada salah satu kutipan: senantiasa kalau Asri sudah pulang, maka ramailah rumah gedang itu. Anak muda-muda banyak turun naik, gelak, kelakar, dan olok-olok kedengaran dengan riangnya.
(Nur St. Iskandar, 2006:35)
Saniah : manja, sombong, pencemburu, pendendam,
Seperti pada salah satu kutipan: senantiasa kalau Asri sudah pulang, maka ramailah rumah gedang itu. Anak muda-muda banyak turun naik, gelak, kelakar, dan olok-olok kedengaran dengan riangnya.
(Nur St. Iskandar, 2006:35)
Saniah : manja, sombong, pencemburu, pendendam,
Seperti pada salah satu
kutipan: Saniah berkata dengan cemooh dan ejeknya. Ia tidak menaruh perasaan
baik dan tak suka kepada anak-anak. (Nur St. Iskandar, 2006:60)
Mariati : penyayang, lembut, baik
Seperti pada salah satu
kutipan: “kini pun obat itu sudah memberi berkat, Asri. Kalau aku telah melihat
wajahmu, aku sehat sudah. Biar terbang penyakit itu, dan aku sembuh sendiri
kelak.” (Nur St. Iskandar, 2006: 24)
Sitti Maliah : sabar, amanah, baik
Seperti pada salah satu
kutipan: “kalau tidak kakak minum, tentu takkan member faedah rebusan ini,”
jawab Sitti Maliah dengan sabar, sambil duduk bersimpuh di sisi kanan ibu
Mariati. (Nur St. Iskandar, 2006:1)
Rangkayo Saleah : tegas, keras, sombong, tamak
Seperti pada salah satu
kutipan: Rangkayo Saleah berkata kepada anaknya, “Saniah, sebagai telah
kukatakan juga kepadamu, engkau hendak kuperjodohkan. Dan niat itu sampai
sudah, yakni engkau telah bertunangan dengan Asri, yang kebetulan telah
diangkat jadi klerk di kantor Maninjau. Syukur! Akan tetapi awas Saniah!
Pengajaranku kepadamu jangan kau lupakan.” (Nur St. Iskandar, 2006:75)
Rusiah : baik, bijaksana
Seperti pada salah satu
kutipan: Coba kau camkan benar-benar, mengapa kita akan memuliakan seseorang
karena pangkatnya dan kekayaannya? Mengapa kita akan memandang hina akan orang
miskin, karena kemiskinannya itu? Ingat pepatah kita: yang tua dimuliakan, yang
kecil dikasihi... (Nur St. Iskandar, 2006:67)
Dt. Indomo : baik, bijaksana
Seperti pada salah satu kutipan:
Bermula Dt. Indomo berdiam diri saja! Ia tidak setuju dengan pendapat istrinya
itu, sebab pikirannya dan pemandangannya sendiri amat luas dalam hal nikah
kawin. Dengan siapa saja anaknya hendak kawin, diizinkannya, asal perempuan
yang disukainya sebanding umurnya dengan umur anaknya itu: terpelajar, sehat,
orang baik-baik, dan betertib sopan. Kaya, miskin, bangsawan, berlain negeri,
dan sebagainya, sekaliannya itu tidak dipandangnya penting jadi alasan. (Nur
St. Iskandar, 2006:198)
Kaharuddin : baik, gigih, tegas
Seperti pada salah satu
kutipan: Sebelum anakanda mengabarkan cita-cita dan niat maksud yang termateri
di dalam hati anakanda, lebih dahulu anakanda minta ampun dan maaf kepada Ayah
dan Bunda. Sebagaimana sudah Ayah dan Bunda ketahui jua agaknya, sebab anakanda
selalu berkirim surat pulang, kesehatan anakanda waktu ini insya Allah tiada
kurang apa-apa. Demikian jua tentang pekerjaan anakanda, tidak ada yang tak
menyenangkan hati. (Nur St. Iskandar, 2006:196)
Mariah : jujur, sabar
Seperti pada salah satu
kutipan: “Aku maklum, Anakku. Akan tetapi damai itu harus datang dari kedua
belah pihak. Barangkali akan datang waktunya kelak, orang di rumah gedang ini
berhajatkan hidup sentosa dan damai. Dalam hal itu hanya seperkara saja yang
dapat kau lakukan, yakni keluar dari sini… Dalam hal itu, pintu rumahku selalu
terbuka bagimu, Asnah! Engkau akan kuterima di sana dengan segala sukacita….
(Nur St. Iskandar,
2006:96)
2.1.Tokoh
Peripheral
Hasan Basri : baik,
beradab
Seperti pada salah satu
kutipan: …Sesunggunhnya ia sudah jatuh cinta kepada Hasan Basri, saudagar muda
di Kutaraja, yaitu kemenakan seorang-orang kaya. Ia elok dan beradab…. (Nur St.
Iskandar, 2006:63)
Ali : amanah
Seperti pada salah satu
kutipan: …Tentang orang-orang di kampung kita ini, biarlah si Ali saja
memanggilnya…. (Nur St. Iskandar, 2006:77)
Sutan
Alamsyah : amanah
Seperti pada salah satu kutipan:
“Sutan Alamsyah,” kata penghulu itu kepada wakil orang rumah gedang itu…. (Nur
St. Iskandar, 2006:82)
Datuk Maulana : baik
Seperti pada salah satu
kutipan: “Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun,” kata Datuk Maulana dan Baginda
Sati sekaligus… “kita mesti balik pulang, akan mengantarkan burung ini, sudah
itu kita pergi ke Kubu, melawat.” (Nur St. Iskandar, 2006:165)
Baginda Sati : baik
Seperti pada salah satu
kutipan: “Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun,” kata Datuk Maulana dan Baginda
Sati sekaligus… “kita mesti balik pulang, akan mengantarkan burung ini, sudah
itu kita pergi ke Kubu, melawat.” (Nur St. Iskandar, 2006:165)
Sidi Sutan : pembantu
baik
Seperti pada salah satu
kutipan: Sekalian “perintah” itu dilakukan oleh Sidi Sutan dengan
secepat-cepatnya…. (Nur St. Iskandar, 2006:200)
Dewi :
suka ngerumpi
Seperti pada salah satu
kutipan: “Oh Mak Sarinah,” kata Saodah dengan ramah-tamah, “naik, Mak,
kebetulan si Dewi ada pula di sini. Senang hati saya, Mak tandangi. Perempuan
itu disilakan duduk di atas tikar, lalu ketiga mereka itu pun bercakap-cakap dengan
riang sambil makan sirih sekapur seorang. (Nur St. Iskandar, 2006:225)
Saodah : suka
ngerumpi
Seperti pada salah satu
kutipan: “Oh Mak Sarinah,” kata Saodah dengan ramah-tamah, “naik, Mak,
kebetulan si Dewi ada pula di sini. Senang hati saya, Mak tandangi. Perempuan
itu disilakan duduk di atas tikar, lalu ketiga mereka itu pun bercakap-cakap
dengan riang sambil makan sirih sekapur seorang. (Nur St. Iskandar, 2006:225)
Mak Sarinah : suka
ngerumpi
Seperti pada salah satu kutipan:
“Oh Mak Sarinah,” kata Saodah dengan ramah-tamah, “naik, Mak, kebetulan si Dewi
ada pula di sini. Senang hati saya, Mak tandangi. Perempuan itu disilakan duduk
di atas tikar, lalu ketiga mereka itu pun bercakap-cakap dengan riang sambil
makan sirih sekapur seorang. (Nur St. Iskandar, 2006:225)
3. Sudut
Pandang
3.1 Novel
ini menggunakan sudut pandang orang ketiga, seperti pada salah satu kutipan:
demi dilihat Ibu Mariati hal sedemikian, ia pun tersenyum. (Nur Sutan Iskandar, 2006 : 2)
4. Alur
4.1 Novel
ini menggunakan alur campuran (alur maju dan mundur).
Alur maju, seperti pada
salah satu kutipan: Asnah menggosok matanya dengan jarinya yang halus sebagai
duri landak itu. Kemudian dilekapkannyalah pipinya kepada orang tua itu.
(Nur St. Iskandar,
2006:225)
Alur mundur, seperti
pada salah satu kutipan: “…Ketika umur Asri kira-kira tiga tahun, kami beroleh
seorang anak perempuan pula. Tapi tak beberapa hari sesudah lahir ke dunia,
iapun berpulang….”
(Nur St. Iskandar,
2006:13)
5. Seting
1. Waktu : -
pagi hari, seperti pada salah satu kutipan: Hari ahad pagi-
pagi, jam besar yang
tergantung di dinding ruang tengah rumah gedang itu sudah berbunyi lima kali…
(Nur St. Iskandar,
2006:76)
- siang hari, seperti pada salah satu
kutipan: Makin tinggi hari, makin lenganglah di pinggir danau itu…
(Nur St. Iskandar,
2006:77)
- petang hari, seperti pada salah satu
kutipan: Ketika sekalian perempuan itu
tiba di gerbang rumah gedang pula, hari sudah petang. (Nur St. Iskandar,
2006:87)
- malam
hari, seperti pada salah satu kutipan: Pada malam itu Rangkayo Saleah hampir
tidak dapat tidur…
(Nur St. Iskandar,
2006:206)
2. Tempat : -
Maninjau, seperti pada salah satu kutipan: Dari kantor pos
pembantu Maninjau,
surat-surat itu dikirim orang ke kantor kepala negeri… (Nur St. Iskandar,
2006:193)
- Sungaibatang,
seperti pada salah satu kutipan: Tiap-tiap hari Rabu di Sungaibatang diadakan
pekan, yaitu sebuah pasar… (Nur St.
Iskandar, 2006:193)
- Bayur,
seperti pada salah satu kutipan: …Apalagi Bayur hanya 5 tonggak jauhnya dari
Sungaibatang, atau 2 tonggak dari Maninjau… (Nur St. Iskandar, 2006:193)
- Bukittinggi,
seperti pada salah satu kutipan: Tak selang berapa lama, ketiga mereka itu pun
berangkat ke Bukittinggi dengan oto sedan. (Nur St. Iskandar, 2006:208)
- Padang,
seperti pada salah satu kutipan: Baru enam bulan anakanda tinggal di Padang,
anakanda sudah dapat berkenalan dengan Engku Sutan Suleman…
(Nur St. Iskandar,
2006:197)
- Jakarta,
seperti pada salah satu kutipan: Sekalian buah mulut orang kampung itu sampai
jua ke telinga kedua suami istri itu, meskipun mereka sudah jauh dari
negerinya, sudah ada di kota Jakarta yang besar itu…
(Nur St. Iskandar,
2006:250)
3. Suasana : - Pedih,
seperti pada salah satu kutipan: Mulutnya bergerak-
gerak,
sebab menahan pedih hatinya….
(Nur
St. Iskandar, 2006:21)
-
Tangis dan ratapan, seperti pada salah
satu kutipan: …ketika itu bukan buatan gelumat tangis dan ratap…
(Nur
St. Iskandar, 2006:165)
- Bahagia,
seperti pada salah satu kutipan: …Rupanya pertemuan ibu dengan anak yang
dicintai itu mendatangkan bahagia besar kepada kedua belah pihaknya. (Nur St.
Iskandar, 2006:23)
- Rindu,
seperti pada salah satu kutipan: …Memang hatinya terharu sangat. Sedih, sayu,
dan rindu…
(Nur St. Iskandar,
2006:209)
- Penyesalan,
seperti pada salah satu kutipan: “…Ampuni kesalahanku, dosaku, ya, Kakanda.”
(Nur St. Iskandar,
2006:210)
- Takut
dan gelisah, seperti pada salah satu kutipan: Saniah memandang sejenak kepada
bundanya dengan ketakutan dan gelisah, lalu menundukkan kepalanya.
(Nur St. Iskandar,
2006:210)
6. Bahasa
Bahasa
dalam novel Salah Pilih ini sebagian besar bergaya Melayu sehingga terkadang sedikit
sulit dipahami.
7. Gaya
Bahasa
1. Dan
di dalam mangkun itu ada rebusan daun jeruk tujuh macam, yang masih suam-suam
kuku, sedang uapnya naik keudara dengan
selesai. (Nur St. Iskandar, 2006:1)
Gaya bahasa yang
digunakan adalah majas personifikasi.
2. “tak
usah kakak cium, minum saja cepat-cepat! Obat ini sangat mujarab, sudah banyak orang yang sembuh
olehnya.” (Nur St. Iskandar, 2006:1)
Gaya bahasa yang
digunakan adalah majas hiperbola.
3. “Kepada permaidani takkan berapa jahatnya
dari kepada tubuhku.… (Nur St. Iskandar, 2006:2)
Gaya bahasa yang
digunakan adalah majas personifikasi.
4. Asnah!
Mana anakku itu? Mukanya akan jadi obat
bagiku, Liah, bukan parasmu yang buruk dan bengis ini.” (Nur St. Iskandar,
2006:2)
Gaya bahasa yang
digunakan adalah majas hiperbola.
5. “Ya,
kalau Kakak memandang kecermin itu…Tapi lihat, Kakak, bajuku sudah sembuh kena obat mujarab ini.” (Nur St. Iskandar, 2006:2)
Gaya bahasa yang
digunakan adalah majas ironi.
6. “Inilah
saya, ibu,” kata anak gadis itu dengan riang dan tersenyum, sehingga tampaklah
“lesung pipit” pada kedua belah pipinya yang sebagai payuh dilayang itu. (Nur St. Iskandar, 2006:4)
Gaya bahasa yang
digunakan adalah majas perumpamaan.
7. Giginya yang putih sebagai gading
itu kelihatan dua jajar dengan indahnya. (Nur St. Iskandar,
2006:4)
Gaya bahasa yang
digunakan adalah majas perumpamaan.
8. Muka orang tua pun berseri-seri
seperti matahari yang baru terbit. (Nur St. Iskandar,
2006:4)
Gaya bahasa yang
digunakan adalah majas perumpamaan.
9. Ngeri
sekali! Dan cahaya matahari pun menjadi
gangguan pula kepadaku. (Nur St. Iskandar, 2006:7)
Gaya bahasa yang
digunakan adalah majas personifikasi.
10. Demi
didengar Asnah perkataan yang akhir itu,
mukanya yang hening jernih itu pun seakan-akan disaputi oeh awan yang
mengandung hujan. (Nur St. Iskandar, 2006:11)
Gaya bahasa yang
digunakan adalah majas perbandingan.
11. Supaya
berhak atas sesuatunya, haruslah saya
bekerja membanting tulang. (Nur St. Iskandar, 2006:11)
Gaya bahasa yang
digunakan adalah majas hiperbola.
12. Engkau tak usah bermuram durja,
karena hal yang merawankan hati ini. (Nur St. Iskandar,
2006:13)
Gaya
bahasa yang digunakan adalah majas hiperbola.
13. Seperti
anaknya tidak laku kepada perempuan lain. Lebih panas lagi hatinya melihat St.
Penghulu sangat cinta kepada sabariah. Katanya, anaknya itu sudah termakan “cirit berendeng”. (Nur St. Iskandar,
2006:14)
Gaya bahasa yang
digunakan adalah majas perbandingan.
14. Asnah
berteriak karena terkejut, mukanya pucat
sebagai mayat. (Nur St. Iskandar, 2006:25)
Gaya bahasa yang
digunakan adalah majas perumpamaan.
15. Dadanya menjadi lapang rasanya,
sebagai terlepas daripada tekanan suatu benda yang berat.
(Nur St. Iskandar, 2006:32)
Gaya bahasa yang
digunakan adalah majas hiperbola.
16. Pemandangan, pendengaran, dan
perasaan bertukar, seakan-akan kita beroleh kehidupan baru.
(Nur St. Iskandar, 2006:36)
Gaya bahasa yang
digunakan adalah majas personifikasi.
17. Akan tetapi pikirannya
melayang-layang jua kemana-mana (Nur St. Iskandar,
2006:44)
Gaya bahasa yang
digunakan adalah majas personifikasi.
18. Menahan jerit sedih dan pilu, yang
menyesak-nyesak hendak keluar dari dadanya (Nur St.
Iskandar, 2006:49)
Gaya
bahasa yang digunakan adalah majas personifikasi.
19. Ketika masih kanak-kanak pun
hatinya sudah tersangkut pada Asri dengan kasih mesra yang tak terperikan
(Nur St. Iskandar, 2006:49)
Gaya bahasa yang
digunakan adalah majas personifikasi.
20. Dan perasaan yang teramat manis
bercampur sedih timbullah di dalam hatinya (Nur St.
Iskandar, 2006:49)
Gaya bahasa yang
digunakan adalah majas personifikasi.
21. Ia mengeluh sekali lagi, hatinya
remuk redam (Nur St. Iskandar, 2006:51)
Gaya bahasa yang
digunakan adalah majas hiperbola.
22. Alisnya yang seperti bentuk taji
dan bulu matanya yang hitam sebagai semut beriring
(Nur St. Iskandar, 2006:53)
Gaya bahasa yang
digunakan adalah majas perumpamaan.
23. Memang paras anak gadis itu tak
ubah sebagai sekuntum bunga yang baru kembang.
(Nur St. Iskandar, 2006:53)
Gaya bahasa yang
digunakan adalah majas perumpamaan.
24. Jam besar yang tergantung di
dinding ruang tengah rumah gedung itu sudah berbunyi lima kali, alamat hari
sudah pukul lima waktu subuh. (Nur St. Iskandar,
2006:76)
Gaya bahasa yang digunakan
adalah majas personifikasi.
25. Kelihatanlah panas matahari
menerangi puncak bukit Barisan. (Nur St. Iskandar,
2006:76)
Gaya bahasa yang
digunakan adalah majas personifikasi.
26. Panas itu turun ke bawah dengan
perlahan-lahan. (Nur St. Iskandar, 2006:76)
Gaya bahasa yang
digunakan adalah majas personifikasi.
27. Makin lama panas itu makin menjalar
masuk danau. (Nur St. Iskandar, 2006:76)
Gaya bahasa yang
digunakan adalah majas personifikasi.
28. Dan akhirnya sampailah panas itu ke
pinggir danau yang di sebelah timur. (Nur St. Iskandar,
2006:76)
Gaya bahasa yang
digunakan adalah majas personifikasi.
29. Waktu berjalan juga dengan
perlahan-lahan. (Nur St. Iskandar, 2006:78) Gaya bahasa
yang digunakan adalah majas personifikasi.
30. Ingatannya terbang kemana-mana.
(Nur St. Iskandar, 2006 :84)
Gaya bahasa yang
digunakan adalah majas personifikasi.
31. Matahari hampir terbenam, hilang di
bukit Barisan. (Nur St. Iskandar, 2006:87)
Gaya bahasa yang
digunakan adalah majas personifikasi.
32. Tidak silau lagi mata menentang
maharaja siang yang hendak masuk ke peraduannya itu.
(Nur St. Iskandar, 2006:87)
Gaya bahasa yang
digunakan adalah majas personifikasi.
33.
Pada
pemandangan Asri adalah dia sebagai seorang bidadari yang baru turun dari
kayangan. (Nur St. Iskandar, 2006:87)
Gaya
bahasa yang digunakan adalah majas perumpamaan.
34. Bencana Rangkayo Saleah yang sangat
hebat itu telah menyayat-nyayat hati jantungnya.
(Nur St. Iskandar, 2006:89)
Gaya bahasa yang digunakan
adalah majas personifikasi.
35. Bahwa cinta itu pada perempuan
biasanya mula-mula terbit di dalam hati, kemudian baru sampai ke mulut.
(Nur St. Iskandar, 2006:120)
Gaya bahasa yang digunakan
adalah majas personifikasi.
36. Ketika matahari terbit dan
cahayanya masuk ke kamar dari jendela, maka orang tua itu pun membeliakan
matanya serta memandang ke hadapan dengan tenang.
(Nur St. Iskandar, 2006:161)
Gaya bahasa yang
digunakan adalah majas personifikasi.
37. Dan tidak lama sesudah itu napasnya
pun hilang dengan selesai. (Nur St. Iskandar, 2006:163)
Gaya bahasa yang
digunakan adalah majas personifikasi.
38. Matahari sudah mulai naik dan
kebanyakan orang sudah pergi ke pekerjaannya masing-masing.
(Nur St. Iskandar, 2006:164)
Gaya bahasa yang
digunakan adalah majas personifikasi.
39. Sebentar antaranya terdengar pula
gemanya, yang berbalik dari bukit yang menahan bunyi itu.
(Nur St. Iskandar, 2006:164)
Gaya bahasa yang
digunakan adalah majas personifikasi.
40. Ia tidak tahu dan ingat, bahwa
perasaan itu sudah memberi bahagia kepadanya. (Nur St.
Iskandar, 2006:171)
Gaya bahasa yang
digunakan adalah majas personifikasi.
41. Akan tetapi ketika dipandanginya
muka Asri yang pucat sebagai mayat itu keheranannya itu pun bertukar dengan
takut dan khawatir. (Nur St. Iskandar, 2006:175)
Gaya bahasa yang
digunakan adalah majas perumpamaan
42. Badannya gemetar, dadanya turun
naik dengan kencang…. (Nur St. Iskandar, 2006:177)
Gaya bahasa yang
digunakan adalah majas hiperbola.
43. Awan berarak di atas air,
melindungi biduk-biduk yang bersimpang siur itu.
(Nur St. Iskandar, 2006:209)
Gaya bahasa yang digunakan
adalah majas personifikasi.
44. Sejurus lamanya mereka itu tengah
lurus-lurus, seperti matahari dengan bulan. (Nur St.
Iskandar, 2006:244)
Gaya bahasa yang
digunakan adalah majas perumpamaan.
8. Simpulan
8.1 Kelebihan
-
Ada
beberapa kata yang memakai gaya bahasa sehingga karya sastra lebih indah
dilihat dan dibaca.
-
Mengingatkan
kita janganlah lupa pada adat negeri sendiri
-
Mengingatkan kita janganlah menilai
seseorang dari rupa atau hartanya saja
-
Mengingatkan kita jangan membeda-bedakan
orang karena kaya atau miskinnya
-
Mengingatkan kita agar menurut pada
perintah dan nasihat orang tua itu wajib, tetapi jika perintah orang tua itu
salah, sebisa mungkin harus bisa menolaknya.
-
Mengingatkan kita bahwa sesuatu yang
menurut orang banyak itu salah, belum tentu merupakan suatu kesalahan.
8.2 Kekurangan/kelemahan
-
Menggunakan bahasa melayu sehingga
pembaca menemui kesulitan dalam memahami novel tersebut
8.3 Hal
yang bisa kita petik
Banyak amanat yang bisa kita dapatkan dari novel Salah Pilih
ini, diantaranya:
-
Walaupun
sudah berpendidikan tinggi, janganlah lupa pada adat negeri sendiri
-
Janganlah menilai seseorang dari rupa
atau hartanya saja
-
Jangan membeda-bedakan orang karena kaya
atau miskinnya
-
Menurut pada perintah dan nasihat orang
tua itu wajib, tetapi jika perintah orang tua itu salah, sebisa mungkin harus
bisa menolaknya
-
Sesuatu yang menurut orang banyak itu
salah, belum tentu merupakan suatu kesalahan
BAB
IV
PENUTUP
4.1
SIMPULAN
Dari berbagai macam
pengamatan terhadap karya novel dari angkatan Balai Pustaka tersebut, kami
menyimpulkan bahwa tidaklah mudah untuk melestarikan serta mengapresiasikan
sebuah karya sastra yang berupa novel, tentunya sangat memerlukan kejelian.
Tetapi dari mengapresiasi novel, kita dapat mengetahui isi novel melalui
unsur-unsur intrinsik dan mempelajari serta meneladani hal-hal yang terdapat
pada novel tersebut.
4.2
SARAN
Melihat
perkembangan zaman seperti sekarang ini, sebaiknya sebagai generasi penerus
kita harus melestarikan karya sastra lama. Karena sekarang sedikit orang yang
tertarik oleh karya sastra lama karena tergeser oleh karya modern yang lebih
menarik perhatian.
DAFTAR
PUSTAKA
Iskandar, Nur St. 2006. Salah Pilih. Jakarta: Balai Pustaka
punya ceritanya tapi bukan sinopsis ya?
BalasHapusiya benar :)
BalasHapusOoohh
BalasHapusKalo bu saedah penokohannya gimana ya ?
BalasHapus....
BalasHapus