Sejarah Desa Tugu - Menurut empunya cerita mengatakan
di sekitar
pada pertengahan abad 15 tepatnya tahun 1450 datanglah seorang Guru Agama dari
Cempa – Malaka – Malaysia ke
wilayah pantai Indramayu tepatnya desa Tinumpuk, Kecamatan Juntinyuat.
Dengan tujuan penyiaran Agama Islam. Beliau sampai ke tempat tujuannya
mengarungi lautan jawa bernama Syekh Gagang Aking, seorang yang khusyu 'wara'
beribadah.
Beliau menetap selama
bertahun-tahun di daerah Tinumpuk tersebut mengajarkan ilmu-ilmu agama, ilmu
bercocok tanam dan ilmu budaya. Karena ia orang yang berpengalaman sewaktu di
Malaka bercocok tanam. Kepada semua muridnya yang berdatangan dari luar daerah
yang sengaja menuntut ilmu kepada beliau.
Dari hasil perkawinannya dengan
seorang wanita dari putri seorang tokoh masyarakat Desa Tinumpuk yang bernama
"Nyi Tambak Ayu" selang beberapa tahun membina rumah tangga
dikaruniai 2 orang anak putra dan putri.
Kedua anaknya, yang putra bernama Raden Nampa Bhaya dan
yang putrinya bernama Nyi Ayu Lapda Kriya. Keduanya dididik oleh kedua orang
tuanya dengan berbagai kecakapan ilmu hingga tumbuh sampai dewasa. Keduanya
mempunyai cita-cita yang luhur dari semenjak kecil yakni menginginkan membuat
suatu wilayah pedesaan untuk dijadikan tempat tinggal. Kelak anak cucunya yang
betul-betul layak di sebuah desa. Karena kita maklumi pada abad 15 masih tampak
hutan di seputar wilayah Indramayu.
Pada waktu minta izin kepada kedua
orang tuanya ditunjukannya wilayah yang akan digarap itu, yakni di sebelah
barat tempat tinggal mereka untuk dijadikan pedesaan. Raden Nampa Bhaya
ditunjukan untuknya sebelah utara dan untuk Nyi Lapda Kriya ditunjukkan sebelah
selatannya.
Di sekitar tahun 1500 an
kesultanan Cirebon diperintah oleh Pangeran Surya Negara yang di wilayahnya
pada waktu itu meliputi wilayah daerah yang akan digarap oleh anaknya syekh
Gagang Aking. Keduanya disuruh minta izin dari kesultanan Cirebon. Dengan berat
hati kedua putranya berangkat menuju kesultanan Cirebon.
Perrmohonannya kepada Pangeran
Surya Negara dipuji dan diterima dengan senang hati, diberinya surat kuasa.
Karena Pangeran Sendiri pernah datang ke wilayah tersebut dan sampai sekarang
tempatnya diabadikan. Sepulang dari kesultana Cirebon keduanya mulai bekerja dengan
kesungguhan hati.
Wilayah yang
digarap oleh Raden Nampa Bhaya yang sekarang jadi Desa Sudimampir dan makam
dari Raden Nampa Bhaya sendiri masih utuh.
30 tahun lamanya Nyi Ayu Lapda Kriya membongkar hutan dan membenahinya sampai menjadi sebuah tegalan yang dianggap memenuhi syarat sebagai layaknya tempat tinggal masyarakat pada waktu itu yang sekarang jadi Desa Tugu Kecamatan Sliyeg Kabupaten Indramayu.
Adapun sejarah pembuatan tegalan
Tugu dan sejarah panjang lebar Nyi Lapda Kriya penulis cukupkan.
Keadaan penduduk masa itu kalau
dibayangkan masih bersifat sangat selektif memilih tempat tinggal untuk
dijadikan kediaman sampai tua. Masih memilih yang cocok dan jauh dari gangguan.
Adanya tegalan baru itu terdengar oleh luar daerah subur dan aman itu, maka berdatanganlah dari daerah-daerah luar ke daerah tersebut dan kumpulah menjadi satu masyarakat. Pada waktu itu penduduk kira-kira 60 kepala keluarga dan selanjutnya dibentuk satu kepemerintahan dengan cara demokrasi langsung dengan melalui persetujuan lisan.
Disekitar tahun 1530 M terbentuklah
kepemerintahan secara resmi dipimpin oleh seorang pendatang yang berasal dari
Kaliwungu, Jawa
Tengah dan secara konvensi wilayah tersebut dinamai Desa Tugu.
Dengan adanya kepemerintahan yang
kokoh dan dengan seorang pemimpin yang bertanggung jawab, kerja keras membangun
dan membenahi desa tersebut hingga terbentuk desa yang dari tahun ke tahun
membaik. Penduduk-penduduk dari luar pun berdatangan bertambah terutama dari
Jawa Tengah dan ada pula yang dari tetangga desa saja yakni dari desa Kaliwedi.
Dari pemerintahan itulah dibenahi
di bidang
pertanian. Pada masa itu pertanian masih sederhana sekali, walau demikian
dengan kerja keras penduduknya terbina dengan baik sehingga hasil dari bercocok
tanam padi, ubi dan lain-lain dapat mencukupi masyarakat.
Diperkirakan pada waktu itu
kebudayaan masih lekat dengan Hindu Budha /kejawen bahkan sampai penghitungan pun masih memakai bahasa jawa
kuno yang sampai sekarang masih ada dari warisan itu. Seperti kupat susur yang
artinya 35, kupat belah yang artinya 350, karo belah yang artinya 150.
Di bidang keorganisasian masyarakat pun pada waktu itu masih digunakan
istilah jawa kuno seperti durugan yang artinya membina kegotong royongan
masyarakat.
Akingan–akingan organisasi yang
membina kerja wajib masyarakat di bidang keamanan. Telitian yang artinya arisan. Kramanan yang
artinya organisasi kepemudaan, keenoman yang artinya kegiatan-kegiatan remaja, semua
kegiatan-kegiatan berada di tengah masyarakatnya.
Di bidang keagamaan pada
masa itu masyarakat Desa Tugu masih fanatik dengan kepercayaan kejawen yang tak tentu arah.
Walau demikian pada masa kepemerintahan Den Adi tersebut ada seorang tokoh
Agama Islam yang bernama kiyai Suleman, namun agama islam masih individu karena
tidak umum. Dalam tradisinya masyarakat Desa Tugu pada masa itu masih banyak
dipengaruhi Hindu
Budha.
Di bidang seni terutama di kalangan pemudi
dengan menabuh lesung atau siblon yang terbuat dari kayu jati, alat untuk menumbuk padi
dan sebagai tabuhnya alat penumbuk yang berupa alu yang terbuat dari kayu
bendara.
Dari berbagai sumber.
0 Response to "Sejarah Desa Tugu"
Posting Komentar