Sejarah Hari Raya Idul Adha (Hari Raya Kurban) - Hari
ini umat Islam khususnya di Indonesia sedang merayakan Hari Raya Idul Adha atau
biasa disebut Hari Raya Kurban, 10 Dzulhijjah 1435 H atau jatuh pada tanggal 5
Oktober 2014. Ada sebagian umat muslim yang hari raya dan melakukan sholat Idul
Adhanya kemarin, tapi perbedaan bukan jadi halangan bagi kita umat muslim untuk
mempermasalahkannya.
Hari
Raya Idul Adha atau Hari Raya Kurban, momen yang selalu ditunggu-tunggu oleh
umat muslim di seluruh dunia, khususnya di Indonesia. Karena pada hari ini umat
Islam yang memiliki kemampuan materi yang lebih bisa mengurbankan hartanya
melalui berkurban hewan, baik itu sapi maupun kambing. Tanpa mengurangi rasa
hormat, bagi yang kurang mampu bisa mendapatkan haknya, mendapatkan sebungkus
daging sapi atau kambing.
Sejarah
Hari Raya Idul Adha sendiri tidak terlepas dari kisah masa lalu, yaitu kisah
Nabi Ibrahim AS bersama putranya, Nabi Ismail AS. Langsung saja kita lihat
ceritanya. Semoga kita bisa mengambil hikmah dari kisah ini.
Pada
suatu hari, Nabi Ibrahim AS menyembelih kurban fisabilillah berupa 1.000 ekor
domba, 300 ekor sapi, dan 100 ekor unta. Banyak orang mengaguminya, bahkan para
malaikat pun terkagum-kagum atas kurbannya.
“Kurban
sejumlah itu bagiku belum apa-apa. Demi Allah! Seandainya aku memiliki anak
lelaki, pasti akan aku sembelih karena Allah dan aku kurbankan kepada-Nya,”
kata Nabi Ibrahim AS, sebagai ungkapan karena Sarah, istri Nabi Ibrahim belum
juga mengandung.
Kemudian
Sarah menyarankan Ibrahim agar menikahi Hajar, budaknya yang negro, yang
diperoleh dari Mesir. Ketika berada di daerah Baitul Maqdis, beliau berdoa
kepada Allah SWT agar dikaruniai seorang anak, dan doa beliau dikabulkan Allah
SWT. Ada yang mengatakan saat itu usia Ibrahim mencapai 99 tahun. Dan karena
demikian lamanya maka anak itu diberi nama Ismail, artinya "Allah telah
mendengar". Sebagai ungkapan kegembiraan karena akhirnya memiliki putra,
seolah Ibrahim berseru: "Allah mendengar doaku".
Ketika
usia Ismail menginjak kira-kira 7 tahun (ada pula yang berpendapat 13 tahun),
pada malam tarwiyah, hari ke-8 di bulan Dzulhijjah, Nabi Ibrahim AS bermimpi
ada seruan, “Hai Ibrahim! Penuhilah nazarmu (janjimu).”
Pagi
harinya, beliau pun berpikir dan merenungkan arti mimpinya semalam. Apakah
mimpi itu dari Allah SWT atau dari setan? Dari sinilah kemudian tanggal 8
Dzulhijah disebut sebagai hari tarwiyah
(artinya, berpikir/merenung).
Pada
malam ke-9 di bulan Dzulhijjah, beliau bermimpi sama dengan sebelumnya. Pagi
harinya, beliau tahu dengan yakin mimpinya itu berasal dari Allah SWT. Dari
sinilah hari ke-9 Dzulhijjah disebut dengan hari Arafah (artinya mengetahui), dan bertepatan pula waktu itu beliau
sedang berada di tanah Arafah.
Malam
berikutnya lagi, beliau mimpi lagi dengan mimpi yang serupa. Maka, keesokan
harinya, beliau bertekad untuk melaksanakan nazarnya (janjinya) itu. Karena
itulah, hari itu disebut denga hari menyembelih kurban (yaumun nahr).
Dalam riwayat lain dijelaskan, ketika Nabi Ibrahim AS bermimpi untuk yang
pertama kalinya, maka beliau memilih domba-domba gemuk, sejumlah 100 ekor untuk
disembelih sebagai kurban. Tiba-tiba api datang menyantapnya. Beliau mengira
bahwa perintah dalam mimpi sudah terpenuhi. Untuk mimpi yang kedua kalinya,
beliau memilih unta-unta gemuk sejumlah 100 ekor untuk disembelih sebagai
kurban. Tiba-tiba api datang menyantapnya, dan beliau mengira perintah dalam
mimpinya itu telah terpenuhi.
Pada
mimpi untuk ketiga kalinya, seolah-olah ada yang menyeru, “Sesungguhnya Allah
SWT memerintahkanmu agar menyembelih putramu, Ismail.” Beliau terbangun
seketika, langsung memeluk Ismail dan menangis hingga waktu Shubuh tiba. Untuk
melaksanakan perintah Allah SWT tersebut, beliau menemui istrinya terlebih
dahulu, Hajar (ibu Ismail). Beliau berkata, “Dandanilah putramu dengan pakaian
yang paling bagus, sebab ia akan kuajak untuk bertamu kepada Allah.” Hajar pun
segera mendandani Ismail dengan pakaian paling bagus serta meminyaki dan
menyisir rambutnya.
Kemudian
beliau bersama putranya berangkat menuju ke suatu lembah di daerah Mina dengan
membawa tali dan sebilah pedang. Pada saat itu, Iblis terkutuk sangat luar
biasa sibuknya dan belum pernah sesibuk itu. Mondar-mandir ke sana ke mari.
Ismail yang melihatnya segera mendekati ayahnya.
“Hai
Ibrahim! Tidakkah kau perhatikan anakmu yang tampan dan lucu itu?” seru Iblis.
“Benar,
namun aku diperintahkan untuk itu (menyembelihnya),” jawab Nabi Ibrahim AS.
Setelah
gagal membujuk ayahnya, Iblis pun datang menemui ibunya, Hajar. “Mengapa kau
hanya duduk-duduk tenang saja, padahal suamimu membawa anakmu untuk
disembelih?” goda Iblis.
“Kau
jangan berdusta padaku, mana mungkin seorang ayah membunuh anaknya?” jawab
Hajar.
“Mengapa
ia membawa tali dan sebilah pedang, kalau bukan untuk menyembelih putranya?”
rayu Iblis lagi.
“Untuk
apa seorang ayah membunuh anaknya?” jawab Hajar balik bertanya
“Ia
menyangka bahwa Allah memerintahkannya untuk itu”, goda Iblis meyakinkannya.
“Seorang
Nabi tidak akan ditugasi untuk berbuat kebatilan. Seandainya itu benar, nyawaku
sendiri pun siap dikorbankan demi tugasnya yang mulia itu, apalagi hanya dengan
mengurbankan nyawa anaku, hal itu belum berarti apa-apa!” jawab Hajar dengan
mantap.
Iblis
gagal untuk kedua kalinya, namun ia tetap berusaha untuk menggagalkan upaya
penyembelihan Ismail itu. Maka, ia pun menghampiri Ismail seraya membujuknya,
“Hai Ismail! Mengapa kau hanya bermain-main dan bersenang-senang saja, padahal
ayahmu mengajakmu ke tempat ini hanya untuk menyembelihmu. Lihat, ia membawa
tali dan sebilah pedang,”
“Kau
dusta, memangnya kenapa ayah harus menyembelih diriku?” jawab Ismail dengan
heran. “Ayahmu menyangka bahwa Allah memerintahkannya untuk itu” kata Iblis
meyakinkannya.
“Demi
perintah Allah! Aku siap mendengar, patuh, dan melaksanakan dengan sepenuh jiwa
ragaku,” jawab Ismail dengan mantap.
Ketika
Iblis hendak merayu dan menggodanya dengan kata-kata lain, mendadak Ismail
memungut sejumlah kerikil di tanah, dan langsung melemparkannya ke arah Iblis
hingga butalah matanya sebelah kiri. Maka, Iblis pun pergi dengan tangan hampa.
Dari sinilah kemudian dikenal dengan kewajiban untuk melempar kerikil (jumrah) dalam ritual ibadah haji.
Sesampainya
di Mina, Nabi Ibrahim AS berterus terang kepada putranya, “Wahai anakku!
Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah
apa pendapatmu?…” (QS. Ash-Shâffât, [37]: 102).
“Ia
(Ismail) menjawab, ‘Hai bapakku! Kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu,
Insya Allah! Kamu mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar” (QS.
Ash-Shâffât, [37]: 102).
Mendengar
jawaban putranya, legalah Nabi Ibrahim AS dan langsung ber-tahmid (mengucapkan
Alhamdulillah) sebanyak-banyaknya.
Untuk
melaksanakan tugas ayahnya itu Ismail berpesan kepada ayahnya, “Wahai ayahanda!
Ikatlah tanganku agar aku tidak bergerak-gerak sehingga merepotkan.
Telungkupkanlah wajahku agar tidak terlihat oleh ayah, sehingga tidak timbul
rasa iba. Singsingkanlah lengan baju ayah agar tidak terkena percikan darah
sedikitpun sehingga bisa mengurangi pahalaku, dan jika ibu melihatnya tentu
akan turut berduka.”
“Tajamkanlah
pedang dan goreskan segera dileherku ini agar lebih mudah dan cepat proses
mautnya. Lalu bawalah pulang bajuku dan serahkan kepada ibu agar menjadi kenangan baginya, serta
sampaikan pula salamku kepadanya dengan berkata, ‘Wahai ibu! Bersabarlah dalam
melaksanakan perintah Allah.’ Terakhir, janganlah ayah mengajak anak-anak lain
ke rumah ibu sehingga ibu semakin menambah belasungkawa padaku, dan ketika ayah
melihat anak lain yang sebaya denganku, janganlah dipandang seksama sehingga
menimbulkan rasa sedih di hati ayah,” sambung Isma'il.
Setelah
mendengar pesan-pesan putranya itu, Nabi Ibrahim AS menjawab, “Sebaik-baik
kawan dalam melaksanakan perintah Allah SWT adalah kau, wahai putraku
tercinta!”
Kemudian
Nabi Ibrahim as menggoreskan pedangnya sekuat tenaga ke bagian leher putranya
yang telah diikat tangan dan kakinya, namun beliau tak mampu menggoresnya.
Ismail
berkata, “Wahai ayahanda! Lepaskan tali pengikat tangan dan kakiku ini agar aku
tidak dinilai terpaksa dalam menjalankan perintah-Nya. Goreskan lagi ke leherku
agar para malaikat megetahui bahwa diriku taat kepada Allah SWT dalam menjalankan
perintah semata-mata karena-Nya.”
Nabi
Ibrahim AS melepaskan ikatan tangan dan kaki putranya, lalu beliau hadapkan wajah
anaknya ke bumi dan langsung menggoreskan pedangnya ke leher putranya dengan
sekuat tenaganya, namun beliau masih juga tak mampu melakukannya karena
pedangnya selalu terpental. Tak puas dengan kemampuanya, beliau menghujamkan
pedangnya ke arah sebuah batu, dan batu itu pun terbelah menjadi dua bagian.
“Hai pedang! Kau dapat membelah batu, tapi mengapa kau tak mampu menembus
daging?” gerutu beliau.
Atas
izin Allah SWT, pedang menjawab, “Hai Ibrahim! Kau menghendaki untuk
menyembelih, sedangkan Allah penguasa semesta alam berfirman, ‘jangan
disembelih’. Jika begitu, kenapa aku harus menentang perintah Allah?”
Allah
SWT berfirman, “Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata (bagimu).
Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.” (QS. Ash-Shâffât,
[37]: 106)
Menurut
satu riwayat, bahwa Ismail diganti dengan seekor domba kibas yang dulu pernah
dikurbankan oleh Habil dan selama itu domba itu hidup di surga. Malaikat Jibril
datang membawa domba kibas itu dan ia masih sempat melihat Nabi Ibrahim AS
menggoreskan pedangnya ke leher putranya. Dan pada saat itu juga semesta alam
beserta seluruh isinya ber-takbir (Allâhu Akbar) mengagungkan kebesaran Allah
SWT atas kesabaran kedua umat-Nya dalam menjalankan perintahnya. Melihat itu,
malaikat Jibril terkagum-kagum lantas mengagungkan asma Allah, “Allahu Akbar,
Allahu Akbar, Allahu Akbar”. Nabi Ibrahim AS menyahut, “La Ilaha Illallahu
wallahu Akbar”. Ismail mengikutinya, “Allahu Akbar wa lillahil hamd”. Kemudian
bacaan-bacaan tersebut dibaca pada setiap hari raya kurban (Idul Adha).
Dari
berbagai sumber.
0 Response to "Sejarah Hari Raya Idul Adha (Hari Raya Kurban)"
Posting Komentar