Sejarah Desa Sumuradem - Cerita
ini berawal dari kehidupan masyarakat yang tinggal di sekitar pesisir pantai
utara Jawa. Sebuah pantai yang terletak di perbatasan wilayah Kabupaten
Indramayu dan Kabupaten Subang. Layaknya penduduk yang tinggal di sekitar pesisir
pantai yang berprofesi sebagai nelayan, sebagian besar penduduk yang tinggal di
daerah tersebut pun berprofesi sebagai nelayan.
Di
sekitar pantai terdapat sebuah sungai yang terkenal dengan sebutan sungai
saluran pembuangan air kotor karena memang dialokasikan sebagai pusat
pembuangan air kotor dari beberapa daerah di sekitarnya. Air tersebut dianggap
tidak layak konsumsi, dan dibiarkan tergenang tanpa tindak lanjut pemanfaatan.
Oleh karena itu, sungai saluran pembuangan air kotor tersebut dijadikan tempat
bersandar perahu para nelayan.
Suatu
hari, ada seorang nelayan yang sengaja bermalam di sekitar sungai saluran
pembuangan air kotor dan membuat
sebuah tempat tinggal. Kemudian, para
nelayan lain mengikuti hal tersebut. Satu demi satu nelayan membangun rumah di
sekitar sungai saluran pembuangan air kotor, hingga akhirnya kumpulan rumah itu
melahirkan sebuah perkampungan yang belum memiliki nama dengan segala kekurangan
yang ada di dalamnya. Kondisi yang mengharuskan penduduk sekitar saluran
pembuangan air kotor hidup dengan segala kesederhanaan, tak membuat mereka
terlepas dari sifat lahiriah seorang manusia yang memerlukan hiburan.
Penduduk
sekitar sungai saluran pembuangan air kotor akhirnya menciptakan sebuah hiburan
yang terkenal dengan sebutan “Dongbret”.
Sebuah pertunjukan seni berupa tari-tarian yang dipentaskan oleh beberapa
wanita untuk menggaet para pria agar ikut menari bersamanya. Pertunjukan Dongbret biasanya dipentaskan ketika
musim panen tiba, malam terang bulan atau ketika malam bulan purnama.
Pertunjukan Dongbret juga dipentaskan
ketika ada salah seorang warga yang sedang mengadakan hajat. Pertunjukan
tersebut digelar tak jauh dari perumahan warga atau sekitar sungai saluran
pembuangan air kotor. Tujuan dari diadakannya Dongbret pada musim panen,
malam terang bulan, malam bulan purnama, maupun pelaksanaan hajat seseorang
sebenarnya sama, yakni sebagai media hiburan bagi penduduk sekitar.
Sekalipun
dilaksanakan pada acara-acara tertentu, seperti musim panen atau peringatan
bulan purnama, hiburan Dongbret
dilaksanakan tanpa ritual atau sesajen khusus seperti halnya tradisi yang
berkembang di masyarakat. Ritual tersebut hanya dipentaskan dan dinikmati
begitu saja oleh warga sekitar, tanpa tradisi ritual yang mengikat. Keyakinan
manusia tentang makhluk halus seringkali muncul dan berkembang dalam doktrin
masyarakat pada umumnya. Kenyataan tersebut sulit dipisahkan dari sugesti yang
menjamur dalam benak masyarakat (khususnya masyarakat pedalaman). Keyakinan
mengenai penunggu (setan) yang selalu ada di setiap tempat, juga diyakini oleh
penduduk sekitar saluran pembuangan air kotor. Mereka beranggapan bahwa ada
penunggu di sungai saluran pembuangan air kotor tersebut.
Penduduk
sekitar meyakini bahwa penunggu tersebut ialah setan. Pementasan Dongbret yang digelar oleh warga sekitar
saluran pembuangan air kotor nyatanya disukai oleh setan penunggu sungai
tersebut. Sehingga setiap pementasan Dongbret
digelar, setan penunggu saluran pembuangan air kotor selalu mengikuti acara
tersebut dengan berbagai cara. Salah satu cara yang dilakukan para setan adalah
dengan menyamar atau merubah wujud menjadi wanita yang menjadi penari Dongbret. Jika malam semakin larut aksi
jahil para setan dimulai. Mereka menggaet para pemuda untuk diajak menari
hingga kemudian diseret ke pinggir laut atau sungai yang lokasinya jauh dari
acara pementasan. Pemuda yang berhasil digaet oleh para Dongbret palsu (setan) akan menyadari hal tersebut jika keesokan
harinya mereka tersadar, bahwa ternyata mereka berada di pinggir laut atau
sungai yang lokasinya dirasa jauh dari acara pementasan semalam.
Kebiasaan
setan penunggu sungai saluran pembuangan air kotor yang menggangu hiburan rakyat (pementasan Dongbret), akhirnya diketahui oleh warga
dari tanda-tanda yang muncul. Tanda yang muncul tersebut ialah berupa
bertambahnya personil Dongbret yang
awalnya hanya berjumlah puluhan kemudian jumlahnya menjadi ratusan. Jumlah
tersebut, diyakini bahwa setanlah yang merubah wujud sebagai personil Dongbret hingga jumlahnya menjadi jauh
lebih banyak.
Kemudian
bukti selanjutnya ialah tergeletaknya para pemuda yang ikut menari dengan para
penari Dongbret, pada pagi hari di pinggiran
pantai maupun tempat-tempat yang berjarak agak jauh dari pementasan Dongbret semalam. Bukti-bukti tersebut membuat penduduk akhirnya merasa
takut, gelisah, dan terganggu dengan kejahilan setan penunggu sungai saluran
pembuangan air kotor yang menyamar sebagai penari Dongbret. Penduduk sekitar sungai saluran pembuangan air kotor
berpikir bahwa hal tersebut hanya mungkin dilakukan oleh mahluk halus (setan).
Tanda berupa kejadian tersebut akhirnya membuat penduduk sekitar memutuskan
untuk membubarkan Dongbret sebagai
hiburan rakyat. Keputusan tersebut diambil karena penduduk sekitar sudah sangat
takut, gelisah, dan terganggu dengan kejahilan yang dilakukan para setan
penunggu sungai saluran pembuangan air kotor tersebut.
Keputusan
untuk membubarkan Dongbret nyatanya
membuat setan marah, karena jenis hiburan yang mereka senangi dimusnahkan.
Akibatnya setan tidak bisa lagi menikmati hiburan tersebut. Keputusan
membubarkan Dongbret dianggap oleh
setan telah merugikan kaumnya. Akhirnya setan berinisiatif membalas tindakan
penduduk sekitar sungai saluran pembuangan air kotor, yang dianggap telah
merugikannya.
Tindak
pembalasan yang direncanakan setan penunggu sungai saluran pembuangan air kotor
berbuah nyata. Pada suatu malam setan penunggu sungai saluran pembuangan air
kotor sengaja menampakkan diri di hadapan penduduk yang sedang asik berbincang
ringan di sekitar sungai tersebut. Salah satu penduduk yang melihat wujud
menyeramkan setan penunggu sungai saluran pembuangan air kotor tersebut seketika
berteriak pada seorang laki-laki dewasa yang sedang duduk tepat di depan setan
yang sedang berdiri menampakkan wujudnya. Penduduk yang melihat wujud setan
tersebut, seketika berteriak sekencang-kencangnya.
“Pak,
setan ! … Pak, Setan! … Pak, setan!”.
Tindakan
mengganggu penduduk sekitar sungai saluran pembuangan air kotor yang dilakukan
oleh setan penunggu sungai tersebut, dan membuat salah satu penduduk yang
menyaksikan wujud setan berteriak histeris, memunculkan filosofi nama Kali
Mangsetan. Kata ‘kali’ dalam bahasa Indonesia berarti ‘sungai’ yang diambil
dari filosofi seting tempat kejadian. Dan kata ‘Mangsetan’ dalam bahasa
Indonesia berarti ‘Pak setan’ (untuk mempersingkat kata, dua kata tersebut
sengaja ditulis menjadi satu kata), diambil dari filosofi teriakan seorang
warga saat melihat wujud setan yang menakutkan. Sejak kejadian tersebut sungai
saluran pembuangan air kotor terkenal dengan nama Kali Mangsetan.
Setelah
kejadian tersebut, penduduk Kali Mangsetan semakin resah akibat ulah setan yang
semakin sering mengganggu penduduk sekitar. Selain itu, masalah lama yang
tengah dihadapi penduduk Kali Mangsetan,
yakni langkanya sumber air kehidupan yang layak pakai menguak kembali. Air yang
ada di daerah Kali Mangsetan dan sekitarnya memiliki rasa asin karena sumber
air di daerah tersebut berdekatan bahkan bercampur dengan air laut. Jarak
antara perkampungan Kali Mangsetan dan laut hanya 100 sampai 200 meter saja.
Jadi, tidak mengherankan jika air yang berkali-kali digali dengan cara membuat
sumur selalu asin (tidak tawar). Air sungai yang menggenang di daerah Kali
Mangsetan pun tidak bisa digunakan karena sungai tersebut merupakan sungai
saluran pembuangan air kotor dari beberapa desa yang mengelilingi wilayah Kali
Mangsetan. Jadi, air yang menggenang pun secara otomatis kotor dan tidak layak
pakai.
Keadaan
tersebut membuat penduduk Kali Mangsetan menghadapi berbagai masalah yang harus
segera diselesaikan. Kesulitan mendapat air bersih membuat penduduk Kali
Mangsetan akhirnya berkumpul dan memusyawarahkan masalah tersebut. Dalam
musyawarah tersebut penduduk Kali Mangsetan membicarakan hal-hal apa saja yang
akan ditempuh agar air bersih dan tawar (tidak asin) memancar di daerah mereka.
Berbagai cara telah ditempuh, mulai dari pembuatan sumur sederhana, menyaring
air laut dengan alat sederhana agar menetralisasi rasa asin yang terkandung
dalam air, dan berbagai cara lain namun air yang dihasilkan tetap saja asin
(tidak tawar). Kegagalan yang sering dihadapi penduduk Kali Mangsetan membuat
mereka tidak berputus asa. Penduduk Kali Mangsetan merumuskan kembali cara yang
akan ditempuh demi menghasilkan air bersih dan tawar.
Kemudian
penduduk Kali Mangsetan sepakat untuk menunjuk salah satu penduduk yang
dianggap sebagai tokoh masyarakat untuk bertapa (bersemedi) agar mendapat
petunjuk, hal atau cara apa yang seharusnya dilakukan untuk menghasilkan air
bersih dan tawar (tidak asin) di daerah tersebut. Tokoh masyarakat yang
ditunjuk untuk melakukan semedi langsung melaksanakan tugasnya untuk bersemedi.
Selama berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan, tokoh masyarakat melakukan
semedi di sebuah ruangan tanpa apapun atau siapapun. Ia fokus bersemedi di
dalam ruangan tersebut. Konsentrasi pada saat semedi, kemudian menghasilkan
sebuah titik terang bagi tokoh masyarakat. Di suatu malam dalam tidurnya ia
bermimpi, dalam mimpi tersebut ia diwasiatkan untuk berjalan ke arah selatan
dengan jarak sekitar 2 km. Dalam mimpi tersebut, tidak disebutkan hal apa yang
seharusnya dilakukan oleh tokoh masyarakat setelah sampai di tempat tujuan.
Walaupun
dalam mimpi semalam petunjuk yang didapat tokoh masyarakat tidak sepenuhnya
memberi gambaran jelas, pada pagi harinya tokoh masyarakat tetap melaksanakan
apa yang wasiatkan padanya yakni berjalan ke arah selatan dengan jarak sekitar
2 km. Setelah yakin bahwa dirinya telah melewati jarak sekitar 2 km, tokoh tersebut
sampai di sebuah hutan belantara tak berpenghuni. Di tempat itu, ia hanya
melihat seorang kakek tua yang sedang duduk dengan memegang sebuah tongkat di
tangan kananya. Kakek tua itu tampak seperti orang gila, namun tidak sepenuhnya
seperti orang gila, tampak seperti orang normal.
Walaupun
demikian, tokoh masyarakat tetap beranggapan bahwa kakek tua yang sedang duduk
dengan sebuah tongkat itu bisa memberikan petunjuk lebih dari mimpi yang
didapat semalam. Anggapan tersebut segera direalisasikannya dengan langsung
menyapa kakek tua. Namun harapan agar kakek tua itu bisa memberinya petunjuk
lebih dari mimpi semalam, ternyata sia-sia. Kakek tua itu justru diam tak
menjawab sapaan tokoh masyarakat. Ia tetap terdiam dalam duduknya, seolah tidak
pernah melihat sosok tokoh masyarakat dihadapannya dan tidak mendengar apa yang
dikatakan .
Tokoh masyarakat semakin bingung
dengan diamnya kakek tua. Wajahnya tampak kebingungan, apa yang seharusnya
dilakukan setelah sampai di tempat yang ditujukan dalam mimpi. Dalam kebingungannya
itu ia hanya mondar-mandir di depan kakek tua yang sedang terduduk diam dengan
tongkat di tangan kananya. Ia tidak bisa menanyakan hal lebih banyak lagi, jika
sebuah sapaan saja tidak dijawab oleh si kakek tua.
Ketika
tokoh masyarakat sedang sibuk dengan kebingungannya, kakek tua itu justru
mengejutkan tokoh masyarakat dengan mulai membuka mulut dan menanyakan perihal
maksud kedatangan tokoh masyarakat ke tempat itu. Tindakan kakek tua yang
menanyakan perihal maksud kedatangan tokoh masyarakat membuat tokoh masyarakat
terkejut, namun tak ingin menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Dimulai dengan
memperkenalkan diri, tokoh masyarakat lantas menjelaskan maksud kedatangannya
ke tempat tersebut yakni kondisi kelangkaan air bersih dan tawar di daerah Kali
Mangsetan. Tidak hanya kondisi yang dialami penduduk Kali Mangsetan yang
diceritakan tokoh masyarakat pada kakek tua. Proses pertapaan hingga mendapat
petunjuk itupun diceritakan oleh tokoh masyarakat pada kakek tua. Tujuannya
agar kakek tua dapat memahami dan bisa memberinya sebuah pencerahan tambahan
setelah pencerahan dari sebuah mimpi yang ia dapat sebelumnya. Tujuan yang
hendak dicapai tokoh masyarakat agar kakek tua bisa memberinya pencerahan
direalisasikan dengan menanyakan apa
yang seharusnya diperbuat oleh tokoh masyarakat di tempat tersebut pada kakek
tua.
Setelah
tokoh masyarakat menceritakan panjang lebar mengenai maksud kedatangannya pada
kakek tua, sebuah perintah dari si kakek tua membuatnya bingung. Kakek tua itu menyuruh
tokoh masyarakat menggali tanah yang ada dihadapan mereka. Walaupun tokoh
masyarakat merasa aneh dengan perintah kakek tua, tapi perintah tersebut tetap
dilakukannya. Karena tak ada alat apapun yang bisa digunakan untuk menggali,
lalu tokoh masyarakat menggali tanah yang ada di hadapannya dengan menggunakan
tongkat milik kakek tua.
Setelah
bersusah payah akhirnya tanah tersebut tergali dengan kedalaman 3 cm saja.
Tanah yang berhasil digali tokoh masyarakat seketika memancarkan air dengan
sangat deras. Tanpa membuang waktu lama tokoh masyarakat langsung merasakan air
yang memancar tersebut, dan alangkah terkejutnya tokoh masyarakat setelah
merasakan bahwa air yang memancar tersebut ternyata tawar (tidak asin). Tanpa
pikir panjang tokoh masyarakat langsung berteriak dan mengabarkan pada penduduk
Kali Mangsetan untuk datang dan membawa benda apapun yang bisa digunakan untuk
mewadahi air bersih dan tawar yang baru saja memancar berkat hasil galiannya
menggunakan tongkat milik kakek tua itu.
Penduduk
Kali Mangsetan yang sedang sibuk beraktifitas seketika terkejut mendengar kabar
yang dibawa tokoh masyarakat dan langsung bergegas menuju tempat (hutan) yang
dikabarkan memancarkan air tawar untuk sumber kehidupan. Mereka
berbondong-bondong membawa benda-benda yang dianggap bisa menggambil air tawar
tersebut. Ketika warga Kali Mangsetan sedang sibuk mewadahi air, tiba-tiba
terlintas dalam pikiran tokoh masyarakat ingin berterima kasih pada kakek tua.
Ketika tokoh masyarakat menengok ke belakang, ternyata kakek tua itu sudah
tidak ada di tempatnya. Sebenarnya tokoh masyarakat merasa kecewa karena ia
tidak sempat mengucapkan rasa terima kasih pada kakek tua, namun kenyataan
sudah terlanjur terjadi dan tak bisa ditolak lagi.
Kemudian
berdasarkan kesepakatan bersama penduduk Kali Mangsetan akhirnya membuat sumur
untuk mewadahi pancaran air tawar yang terus memancar tersebut. Setelah
kejadian itu, penduduk Kali Mangsetan menjadi semakin sering bolak-balik ke
tempat pancaran air tersebut untuk mengambil air sebagai sumber kehidupan.
Seiring berjalannya waktu, penduduk Kali Mangsetan merasa lelah jika harus
bolak-balik mengambil air dengan jarak tempuh yang cukup jauh, sehingga seluruh
penduduk Kali Mangsetan sepakat untuk bermigrasi ke tempat tersebut untuk
memudahkan mengambil air tawar sebagai sumber kehidupan mereka.
Mengambil
filosofi kata ‘sumur’ yang berisi air ‘tawar’ (dalam bahasa Jawa; adem), penduduk sekitar menjuluki desa
tersebut dengan sebutan desa Sumuradem, kecamatan Sukra. Hingga saat ini, sumur tersebut masih
berdiri kokoh dan terawat dengan baik di dalam sebuah bangunan berbentuk rumah
satu ruangan (hanya berisi sumur). Bahkan sumur tersebut kini dikeramatkan oleh
penduduk desa Sumuradem. Bangunan yang melindungi sumur tersebut hanya dibuka
saat bulan ‘Rabiul Awal’, tepatnya pada malam jumat kliwon atau malam maulid
nabi saja. Pada malam tersebut ritual pun dilakukan oleh warga Sumuradem demi
kesakralan sumur keramat, Ritual tersebut diantaranya: bermalam bersama
menemani sumur keramat dengan pembacaan tahlil atau mantra secara bersama-sama yang pimpin oleh penjaga (kemit) sumur keramat. Acara tersebut berlangsung
dari malam hingga keesokan harinya.
Dari berbagai sumber
Kesuwun info-e Kang....
BalasHapussama-sama kang
BalasHapus