Antara Aku, Kau,
dan Dia
Karya: Muhammad Jamal Baligh
Karya: Muhammad Jamal Baligh
Matahari sudah tinggi
di atas kepala. Sinar
panasnya membuat mahasiswa
Universitas Wiralodra Indramayu
jarang yang berlalu lalang.
Mereka Lebih banyak
menghabiskan waktu istirahat
di taman atau
pergi ke kantin.
Tidak terkecuali dengan
Alvin dan ketiga
temannya, Panji, jamal,
dan Aplest. Keempat teman
satu kelas Prodi
Bahasa dan Sastra
Indonesia itu berada
di salah satu
kantin untuk menikmati
makan siang. Setelah
menghabiskan sepiring nasi
lengkoh dan segelas
es tea, mereka menuju
ke taman FKIP. Di sinilah mereka
biasa nongkrong menghabiskan
waktu ketika menunggu
mata kuliah berikutnya.
Seperti kebanyakan wanita
ketika sedang kumpul bersama temannya,
mereka berempat juga
tak pernah jauh
dari yang namanya
ngerumpi, terutama tentang
lawan jenis. Bahkan
bisa dibilang cowok
lebih seru ngerumpinya
daripada cewek.
Mereka mencari tempat
yang kosong di
taman FKIP tersebut,
duduk saling berhadapan.
“Aku lagi suka
sama cewek di
kelas kita....” Alvin
membuka obrolan.
“Siapa?” Jamal terkejut,
berhenti memainkan handphonenya.
“Widi....” jawab Alvin.
“Apa? Ngga salah??” Jamal seperti
tidak percaya. Dia melihat kearah
Panji, yang jadi
lebih banyak diam
daripada ketika sedang
berada di kantin tadi.
“Bener... Masa bohong,”
jawab Alvin.
“Tapi, kamu kan....”
ungkap Jamal.
“Iya aku tahu,
aku sudah punya
cewek. Tapi itu
kan di rumah.
Aku ingin ada
semangat kalau lagi
kuliah....” potong Alvin.
“Terserah kamulah Vin....”
Panji ikut bicara.
“Paling tidak, aku
akan berani mendekati
Widi,” jawab Alvin
tidak mau kalah.
“Sudah-sudah. Kalian ini,
cewek melulu yang
diomongin,” kata Aplest.
“Kamu kan jomblo
Plest, mau ngomongin
cewek yang mana?
Hahaha,” Jamal ikut
nyeletuk. Semua ikut
tertawa terbahak. Momen
seperti inilah yang
selalu mereka ciptakan
bila sedang berkumpul.
Tertawa bersama dalam
keceriaan.
Tanpa terasa waktu
sudah menunjukkan pukul 1 siang.
Keempat anak itu
pun berjalan menuju
ke ruangan A6c,
siap menerima mata
kuliah Menulis dari
dosennya.
“Widi, kamu beda
banget hari ini.
Terlihat makin cantik,”
kata Alvin tersenyum.
“Ah kamu bisa
aja Vin,” kata
Widi.
“Ecie cie... suit suit....” celetuk Jamal
yang duduk di
belakang Alvin dan
Widi.
“Apa sih Mal?
Huuu....” balas Widi tersenyum.
“Jhahhh, ngga apa-apa
Wid....” jawab Jamal
dengan tersenyum. Sesekali
dia melihat ke
arah Panji yang
hanya diam melihat
kebersamaan Alvin dan
Widi. Entah apa
yang ada di
pikiran anak itu,
terlihat tidak seperti
biasanya.
Jam kuliah telah
selesai. Keempat anak itu langsung
pulang. Melepas lelah.
Sibuk dengan pikiran
masing-masing....
***
Handphone Nokia 5300
Express Music yang
ditaruh di atas
meja belajar bergetar.
Tidak lama kemudian,
terdengar alunan lagu Buka
Hatimu dari grup
band Armada. Alvin yang
sedang memainkan gitarnya
langsung berhenti dan
secepat kilat menyambar
handphone
merahnya itu. Alvin
tersenyum begitu mengetahui
Widi yang mengirim
SMS tersebut. Widi
menanyakan maksud perkataan
Alvin siang tadi
di kelas. Alvin
membalas kalau itu
memang benar adanya,
pujian dari hatinya.
Setelah itu, komunikasi
mereka berlanjut dengan
obrolan-obrolan seru di
SMS. Alvin merasa
senang bisa mengenal
Widi lebih dekat.
Sementara di
sudut kamar lain
di tempat yang
berbeda, Panji sedang
merenung. Bingung memikirkan
sikap Alvin yang
juga ikut-ikutan menyukai
Widi. Panji tidak
menyangka, temannya sendiri
tega melakukan hal
itu. Tidak menghargai
perasaannya sama sekali.
Sesuatu yang membuatnya
lebih banyak diam....
***
“Mal, yang lain
pada kemana?” tanya
Alvin mengagetkan Jamal
yang sedang asik memainkan game
di handphonenya di salah
satu kantin.
“Eh, iya nggak
tau. Iya ya, tumben cuma
kita berdua saja,”
jawab Jamal sambil
tengok kanan kiri
melihat keadaan sekitar.
“kalau berduanya sama
Widi sih nggak
apa-apa. Lah ini
sama kamu....” ujar
Alvin.
“Et dah, sial.
Sana sama Widi, ngapain
sama aku. Maho
kamu, hahaha,” ujar
Jamal tidak mau
kalah. Di sudut
kantin itu, mereka
berdua tertawa bersama.
“Eh, kamu benar
Vin mau mendekati
Widi? Nggak sayang
sama pacar kamu,
Deby?” tanya Jamal.
“Aku sayang sama
Deby, tapi aku
ingin mencari suasana
baru,” jawab Alvin
datar.
“Terus si Deby
nanti bagaimana?” tanya
Jamal.
“Ya lihat nanti
saja....” jawab Alvin
sambil tersenyum.
“Hati-hati, jaga perasaan
Bro....” Jamal mengingatkan.
“Iya, ke Senat
FKIP yuk. Ketemu
Widi,” ajak Alvin.
Setelah membayar
makanan dan minuman
yang mereka pesan,
kemudian langsung bergegas
menuju ke Senat
FKIP.
Di bangku
yang ada di
depan Senat FKIP
itu, Alvin dan
Widi duduk berhadapan.
Alvin, yang memakai
kemeja biru dan
celana Levi’s hitam, duduk
menghadap ke ruang
Senat. Dengan potongan
rambut gaya spike dan
badan yang tinggi
berisi, terlihat semakin
elegant. Sementara Widi,
yang memakai atasan
baju biru bermotif
bunga dan celana
panjang hitam, serta
kerudung biru, terlihat
cantik. Kulit putihnya
membuatnya terlihat semakin
cantik. Widi lebih
memilih duduk menghadap
ke taman FKIP.
“Aku sudah putus
dengan Deby....” Alvin
membuka percakapan.
“Kok bisa, kenapa?”
tanya Widi kaget.
“Aku ingin merasakan
kebebasan....” jawab Alvin
terus menatap mata
Widi.
”Kamu nggak kasihan
sama dia?” tanya
Widi. Tatapannya beralih
ke tempat lain,
tidak ingin terlalu
lama bertemu kontak
mata dengan Alvin.
“Aku ingin memulai
hidup baru, bersamamu
Widi....” jawab Alvin.
“Oh jadi ini
yang namanya teman
menusuk dari belakang?”
tiba-tiba Panji datang,
tidak tahu dari
mana datangnya, dengan
wajah yang memerah
menahan amarah.
“Maksud kamu apa
ngomong kayak gitu?”
Tanya Alvin mulai
terpancing emosinya.
“Kamu kan tahu
kalau aku ada
rasa sama dia....!”
jawab Panji tidak
kalah emosinya. Panji
melirik ke arah
Widi. Widi hanya
bisa diam, menunduk.
“Suruh siapa kamu
nggak berani bilang?
Gentle dong
jadi cowok!” Alvin
beralasan.
“Sialan kamu jadi
teman. Berantem saja
yuk di luar sana!!” ajak Panji
dengan suara makin
keras.
“Ayo!!!” jawab Alvin
tidak kalah kerasnya.
Jamal yang
sejak tadi hanya
melihat Alvin dan
Panji saling adu
argumen, mulai beraksi.
Melerai Panji dan Alvin yang sama-sama dibutakan
emosi.
“Heh! Kalian ini
apa-apaan sih? Nggak
malu banyak yang
lihat?!” hardik Jamal.
Suasana sekitar
sudah terlihat ramai.
Banyak anak-anak lain
yang melihat keributan
tersebut. Melihat hal
ini, Widi tiba-tiba
berlari menuju ke dalam
ruangan kelas yang terletak di samping senat. Banyak hal
yang harus diungkapkan
di dalam pikirannya,
cepat atau lambat.
Tak lama
kemudian, Panji mengikuti
Widi menuju ruangan
kelas. Alvin pun
ingin mengikuti mereka,
tapi Jamal mencegahnya.
“Biarkan mereka menyelesaikan
urusan mereka berdua dulu,” kata
Jamal.
“Tapi Mal....” Alvin ragu.
“Biarkan! Kamu nanti
hanya akan memperkeruh
suasana,” Jamal menerangkan.
Alvin diam.
Amarahnya perlahan surut.
Redup tenggelam seperti
senja di sore hari. Sementara
itu, di sudut
ruangan lain, Panji
dan Widi terlibat
percakapan serius.
“Kamu tahu nggak
Wid, kalau aku
ada rasa sama
kamu?” tanya Panji.
“Itulah masalahnya Ji.
Aku nggak pernah
tahu kalau kamu
ada rasa....” jawab
Widi.
“Tapi kenapa harus
Alvin yang ikut
suka sama kamu?
Kenapa nggak orang
lain?” tanya Panji
lagi masih belum
menerima kenyataan.
“Aku juga nggak
tahu Ji, dan bukannya
kamu sendiri sudah
punya pacar?” Widi
balik bertanya.
“Oh jadi begitu...
Bukannya Alvin juga
sudah punya pacar?”
tanya Panji lagi.
“Iya aku tahu,
tapi itu kemarin.
Sekarang dia sudah
sendiri....” jawab Widi.
Mendengar jawaban
Widi yang terakhir,
Panji terdiam. Dia menyadari memang
benar apa yang
telah diucapkan oleh
Widi. Baginya sulit
mendapatkan Widi, karena
dia masih mempunyai
pacar. Dia tidak
bisa memutuskan begitu
saja pacarnya. Itulah
yang menyebabkan Panji
tidak berani mengungkapkan
perasaannya dari dulu.
Sebelum Panji
pergi meninggalkan ruangan
kelas itu,
Widi sempat mengingatkannya.
“Apapun yang terjadi,
Alvin tetap temanmu.
Masalah yang timbul
hanyalah bagian dari perjalanan hidup. Jagalah
hubungan baik kalian....”
Panji pergi
meninggalkan widi, menuju
ke masjid yang
ada di tengah kampus tersebut.
Entah apa yang
sudah dibuatnya tadi,
sehingga bisa melakukan perbuatan bodoh seperti itu dan mengalihkan perhatian banyak
orang. Yang pasti
dia merasa lega
sudah mengungkapkan perasaannya
selama ini ke
Widi.
***
Sehari setelah
kejadian tersebut, Alvin
masih bisa jalan
bersama Deby. Meskipun
Alvin sudah mengucapkan
kata putus dan
ingin sendiri, tapi
dia masih tetap
menjaga hubungan baik
dengan Deby.
Sore itu
di halaman sekolah
SMA yang berada
dekat dengan tempat tinggal
mereka, Alvin memarkirkan
sepeda motornya. Alvin
bergegas menuju ke
lapangan voli. Di sana teman-teman
yang lainnya sudah
menunggu, siap menghabiskan
sore itu dengan
bermain voli.
Sementara itu,
Deby lebih memilih
menonton Alvin bermain
voli dari parkiran,
duduk di atas motor
Alvin. Deby, yang
statusnya kini sudah
tidak berhubungan lagi
dengan Alvin, sangat
penasaran dengan sikap
Alvin yang tiba-tiba
memutuskan hubungan dengannya
tanpa sebab yang
jelas.
Ketika sedang
melamun memikirkan hal
tersebut, tanpa sengaja
Deby melihat kunci
motor Alvin masih
tergantung di kontak
motornya. Timbul dalam
pikiran Deby untuk
meminjam handphonenya Alvin yang
disimpan di bagasi
motornya. Tanpa perlu
waktu yang lama dan tanpa sepengetahuan Alvin, handphonenya Alvin sudah berada
di tangannya. Hati
nuraninya yang kuat
sebagai seorang wanita
makin membuatnya penasaran
tentang apa yang
sebenarnya terjadi. Perlahan-lahan inbox SMS di handphone Alvin
dibuka satu per
satu. Betapa kagetnya
Deby melihat banyak
sekali SMS dari
Widi. Ternyata Alvin
selama ini telah
berbohong kepadanya. Deby
tidak menyangka Alvin
tega berbuat seperti
ini. Dia sedih,
lalu amarahnya muncul.
Gadis hitam manis
berambut ikal panjang
ini, berjalan cepat
menuju lapangan voli.
Meminta penjelasan ke
Alvin.
“Ini apa? Siapa
Widi?? Tega ya
kamu berbuat kayak
gini!” labrak Deby
menunjukkan isi SMS ke
Alvin.
“Maksud Ade apa?”
tanya Alvin tidak
mengerti.
“Widi... Siapa Widi? SMS-nya
dekat banget sama
Aa....” tanya Deby.
“Itu cuma teman,
De....” jawab Alvin.
“Bohong! Tadinya Ade
bisa menerima alasan
Aa yang minta
putus karena pengen
sendiri. Tapi setelah
melihat SMS itu,
Ade jadi berpikir kalau
Aa minta putus
karena ingin mendapatkan
dia. Dan Ade
nggak terima!!” Deby
marah dan merasa
kecewa.
“Emang Aa lagi
pengen sendiri kok
De....” jawab Alvin
datar.
“Aa bohong sama Ade....”
tangis Deby pecah.
“Aa, Ade kurang
baik apalagi sih
sama Aa? Selama
ini Ade selalu
ada buat Aa... Ade
nggak mau berpisah
dengan Aa. Ade
pengen balikan sama
Aa. Ade sayang
Aa....” Deby merintih,
suaranya datar, begitu menyayat
perasaan. Teman-temannya yang melihat
kejadian itu merasa
iba. Tangis Deby
semakin menjadi dan... Gubrak....!!!
Tiba-tiba tubuh
Deby jatuh ke
tanah. Dia pingsan.
Alvin dan teman-temannya kaget,
langsung mengangkat tubuh
Deby menuju UKS
di sekolah SMA
tersebut. Lima menit
lamanya Deby baru
tersadar dari pingsannya.
Alvin yang sejak
tadi berada di
samping Deby, tangan
kirinya mengelus-ngelus kening
dan rambut Deby
dengan lembut. Sementara
jemari tangan kanan
Alvin dipegang erat
sama Deby, seakan
tak mau melepas
Alvin pergi dari
kehidupannya.
Dengan sedikit
tangis yang masih
tersisa, Deby memohon
kepada Alvin untuk
balikan lagi dengannya.
Alvin yang merasa
bersalah dan prihatin
melihat keadaan Deby,
serta atas saran
dari teman-temannya, akhirnya
mengabulkan keinginan Deby.
Satu kecupan lembut
dari Alvin di
kening Deby sebagai
pertanda kalau mereka
sudah balikan lagi. Kecupan
yang bisa membawa
semangat baru di
kehidupan Deby, kecupan
yang bisa membuat
rasa nyaman di
hati Deby, kecupan
yang bisa meluluhkan
rasa kecewa di
dalam diri Deby.
Satu kecupan yang
bermakna banyak bagi
Deby. Sore itu
jadi sore yang
tak akan terlupakan
pada diri Deby
dan Alvin. Senja jingga sore itu turut jadi saksi akan
menyatu kembalinya hubungan kisah cinta mereka.
***
Hari ini adalah
UTS yang terakhir.
Bagi sebagian mahasiswa
FKIP Sastra, ini
adalah hari yang
sangat menyenangkan. Karena
setelah UTS ini,
mereka akan libur
panjang, 11 hari
lamanya. Tetapi kesenangan
yang dirasakan anak-anak
itu tidak berlaku
buat Alvin. Meskipun
masalah dengan Panji
sudah diselesaikan mereka
berdua secara baik-baik,
namun hati kecil
Alvin masih merasakan
bimbang dalam memilih.
Di satu sisi,
Alvin masih mengharapkan
Widi. Di sisi
lain, Alvin tidak
ingin membuat Deby
kembali bersedih dengan
ulahnya.
Selesai UTS,
Alvin menuju ke Senat. Menghabiskan
waktu dengan memetik
gitar, menyanyikan lagu
galau, menyalurkan suasana
hatinya....
Sementara di
teras ruangan kelas yang lain,
Widi dan Jamal
sedang duduk bersama
menghadap ke Taman
FKIP. Widi sedang
curhat tentang hubungannya
dengan Alvin. Widi
merasa bersalah tentang
kejadian yang sudah
menimpa Deby kemarin.
Dia merasa jadi
penyebab masalah mereka
berdua. Dia merasa
jadi orang ke-3
di kehidupan mereka.
Widi meluapkan semua
perasaannya, melepaskan semua
unek-uneknya, tentang kehidupan
asmaranya yang tidak
pernah bahagia selama
ini. Tentang hubungan
LDR yang masih
dijalaninya dengan teman
semasa SMA, yang
kini tinggal di
Bandung. Tentang apa yang
harus dilakukan kedepannya,
semua dia ceritakan
kepada Jamal.
Jamal yang
sedari tadi hanya
mendengarkan dengan seksama,
mencoba memberi masukan
ke Widi. Dengan
penuh perhatian, Widi
memahami setiap saran-saran
yang keluar dari
mulut temannya itu. Widi mengangguk-angguk, tanda
mengerti dengan apa
yang diutarakan oleh
Jamal. Widi siap
menjalankannya, apapun resikonya,
jika ini demi
kebaikan bersama.
“Aku galau....!!!” teriak
Alvin tiba-tiba. Tak
tahu dari mana
datangnya, langsung berada
di depan Jamal
dan Widi, mengagetkan
mereka yang sedang
bertukar pikiran.
“Kayak orang aja
bisa galau,” kata
Widi.
“Dia kan memang
bukan orang....” kata
Jamal. Jamal dan
Widi pun tertawa.
“Temannya lagi galau
malah diketawain,” kata
Alvin dengan lemas.
“Iya galau kenapa?
Bukannya kamu udah
balikan sama Deby?”
tanya Widi.
“Emang balikan sih,
tapi aku masih
bingung....” kata Alvin.
Pandangannya mengarah ke
tempat lain. Kosong.
“Bingung apalagi sih
bro?” tanya Jamal.
“Aku balikan sama
Deby hanya karena
bersimpati dengannya, tak
lebih dari itu.”
Kata Alvin. Matanya
menatap kearah Widi.
Mata Widi yang
bertatapan dengannya langsung
mengalihkan pandangannya ke
arah lain.
“Aku masih mengharapkanmu Widi....”
lanjut Alvin.
“Maaf aku nggak bisa Vin,
aku nggak mau
berbahagia diatas kesedihan
Deby,” kata Widi.
“Tapi aku sudah
nggak ada
rasa seperti dulu
lagi sama Deby....”
kata Alvin.
“Karena kamu belum
mencobanya. Kalian masih
punya kesempatan kedua.
Manfaatkanlah dengan baik,”
Kata Widi meyakinkan
Alvin.
“Tapi Wid, aku
sayang kamu....” kata
Alvin masih ragu.
“Kalau kamu memang
sayang aku, turutin
apa kata aku.
Bahagiakan Deby. Aku
ngga mau jadi
penyebab keretakan hubungan
kalian,” kata Widi.
“Tapi Wid....”
kata Alvin lagi.
Baginya, ini adalah
pilihan yang sangat sulit.
“Aku rasa sudah
jelas. Kamu pasti
tahu kan Vin,
begitu sayang bangetnya
Deby sama kamu. Kamu
seharusnya bersyukur mempunyai
pacar yang baik,
setia, dan pengertian
kayak dia. Bukan
malah menyia-nyiakannya. Cobalah
kamu mengulang dari
awal, seperti saat
pertama kali kamu
mendapatkannya. Maka semuanya
akan terasa begitu
menyenangkan, begitu indah,
penuh dengan kebahagiaan.
Kalian pasti bisa....”
Widi memberi saran
dengan panjang lebar.
“Baiklah. Jika itu
memang terbaik, aku
akan mencobanya....” kata
Alvin dengan tersenyum.
Kemudian Alvin menjabat
tangan Widi. Widi
membalasnya.
Kisah kedekatan
Alvin dan Widi
harus berakhir sampai
disini. Berakhir dengan
cara baik-baik, seperti
tak pernah ada
apa-apa diantara mereka.
Alvin kini akan
memantapkan hatinya untuk
lebih menyayangi Deby.
Sedangkan Widi masih
akan setia menjalani
hubungan LDR dengan
pacarnya yang tinggal
di Bandung. Sementara
itu, Panji juga
tetap berkomitmen dengan
pacarnya.
Semua berjalan
seperti biasa. Semua
kembali seperti sedia
kala. Tak ada kebencian
lagi. Tak ada
pertikaian lagi. Tak
ada hati yang
akan tersakiti lagi....
Indramayu,
27 Nopember 2013
0 Response to "Cerpen Antara Aku, Kau, dan Dia"
Posting Komentar