Contoh Puisi Naratif
Puisi
Naratif adalah puisi yang mengandung suatu cerita menjadi pelaku, perwatakan,
setting, maupun rangkaian peristiwa tertentu yang menjalin suatu cerita. Di
bawah ini terdapat beberapa contoh puisi naratif.
Jenazah
Karya: Mansur Sarmin
Mataku terkapar ke
tengah pintu dekat mimbar
Sorot lampu
samping pilar
Dan aula yang
tenang
Di tengah
terbaring jenazah
Berpagar beranda
bunga
Dan panji-panji
Mahajaya
Malam makin tenang
saja
Di benakku suara:
hingar sekretariat negara
Sejenak tenang,
langkah riuh berderap
Silang siur dengan
kapal terbang
Gardu dan
pagar-pagar besi gempar sekali
Kegaduhan dan
sepatu duri berlari
Kemudian mataku
hinggap ke jenazah
dekat kesamaran
gerombol mahasiswa
terpacak bendera
Di ujung bangku
tegak pekur para mahasiswa
di lengannya pita
hitam dan selampai
Dari celah-celah
mereka, kulirik kertas putih,
tertulis nama :
Arief Rahman Hakim
Malam tambah jauh
dan makin tua
Tiba-tiba di
belakangku muncul mahasiswa
dengan ragu
bertanya : “Bapak siapa?”
Wartawan atau alat
negara?
Dengan sigap
kujawab : “Saya penyair yang turut ambil bagian dalam demonstrasi tadi pagi!”
Di jalan pulang ke
Timur,
desah gerimis
mulai turun
Aku tunduk
melangkah dan melangkah
Lama baru sadar
kemeja telah basah
Kutatap belakang
jauhan tampak gedung-gedung salemba
Nun aula
Universitas Indonesia
Tempat upacara
duka
Terbaring putra
tanah air
Menanti kupahat
dalam puisi
Narasi di suatu Pagi
Karya: W.S. Rendra
Dan
bukan karna,hujan,angin ataupun kemarau
Pada peta perjalanan masa jahiliyah…
Saat khilafah perjuangkan rakyat jelata
Dan bukan karna,asa,siksa,ataupun jera
Malaikat memjelma bagai seorang peminta
Pada peta perjalanan masa jahiliyah…
Saat khilafah perjuangkan rakyat jelata
Dan bukan karna,asa,siksa,ataupun jera
Malaikat memjelma bagai seorang peminta
Pagi,
yang menghujamkan seribu bahasa
Dimulai
saat ejaan kata tak lagi mengisyaratkan wacana
Tercucur
sudah darah-darah mengalir di kediaman angan
Menghela
nafas…
Embun
terasa di kulit tangan..
Menyelinap
butiran-butiran harapan
Pandanganku
hanya tertuju pada langit
Tentang
keteguhan, moral yang seakan dapat dibayar
Nadiku
seakan merasuk otakku
Teduh
dalam kiasan..
Sendu
dalam lamunan..
Embun
itu merasuk hatiku…
Apakah
ini… bukan sekedar narasi
Ataukah
persepsi..
Dari
asa yang tertinggal…
Dari
hati yang berbekal…
Pagi
itu.. hanya aku yang tau
Bunga
mekar menakjubkan…
Angin
riang menyanyikan..
Embun
datang menyerukan
Kar’na
aku masih ada di suatu pagi
Kar’na
aku masih bisa bermimpi…
Dongeng Sebelum Tidur
Karya: Goenawan Mohamad
“Cicak itu,
cintaku, berbicara tentang kita.
Yaitu nonsens.”
Yaitu nonsens.”
Itulah yang dikatakan
baginda kepada permaisurinya, pada malam itu. Nafsu di ranjang telah jadi teduh
dan senyap merayap antara sendi dan sprei.
“Mengapakah tak
percaya? Mimpi akan meyakinkan seperti matahari pagi.”
Perempuan itu
terisak, ketika Anglingdarma menutupkan kembali kain ke dadanya dengan napas
yang dingin, meskipun ia mengecup rambutnya.
Esok harinya
permaisuri membunuh diri dalam api.
Dan baginda pun
mendapatkan akal bagaimana ia harus melarikan diri - dengan pertolongan
dewa-dewa entah dari mana - untuk tidak setia.
“Batik Madrim,
Batik Madrim, mengapa harus, patihku? Mengapa harus seorang mencintai kesetiaan
lebih dari kehidupan dan sebagainya dan sebagainya?’
Perahu Kertas
Karya:
Sapardi DJoko Damono
Waktu masih kanak-kanak kau membuat perahu kertas dan kau layarkan di tepi
kali; alirnya Sangat tenang, dan perahumu bergoyang menuju lautan.
“Ia akan singgah di bandar-bandar besar,” kata seorang lelaki tua. Kau
sangat gembira, pulang dengan berbagai gambar warna-warni di kepala.
Sejak itu kau pun menunggu kalau-kalau ada kabar dari perahu yang tak pernah
lepas dari rindu-mu itu.
Akhirnya kau dengar juga pesan si tua itu, Nuh, katanya,
“Telah kupergunakan perahumu itu dalam sebuah banjir besar dan kini
terdampar di sebuah bukit.”
Asmaradana
Karya:
Goenawan Mohamad
Ia dengar
kepak sayap kelelawar dan guyur sisa hujan dari daun, karena angin pada
kemuning. Ia dengar resah kuda serta langkah pedati ketika langit bersih
menampakkan bimasakti yang jauh. Tapi di antara mereka berdua, tidak ada yang
berkata-kata.
Lalu ia ucapkan perpisahan itu, kematian itu. Ia melihat peta nasib, perjalanan dan sebuah peperangan yang tidak semuanya disebutkan.
Lalu ia tahu
perempuan itu tak akan menangis. Sebab bila esok pagi pada rumput halaman ada
tapak yang menjauh ke utara, ia takkan mencatat
yang telah lewat dan yang akan tiba karena ia takkan berani lagi.
Anjasmara,
adikku, tinggallah, seperti dulu.
Bulan pun lamban dalam angin, abai dalam waktu.
Lewat remang dan kunang-kunang, kaulupakan wajahku, kulupakan wajahmu.
Bulan pun lamban dalam angin, abai dalam waktu.
Lewat remang dan kunang-kunang, kaulupakan wajahku, kulupakan wajahmu.
0 Response to "Contoh Puisi Naratif"
Posting Komentar