Contoh Puisi
Balada
Puisi
Balada adalah puisi yang objektif, menggambarkan perilaku seseorang, baik lewat
dialog maupun monolog sehingga mengandung suatu gambaran kisah tertentu. Di
bawah ini terdapat beberapa contoh puisi balada.
Balada
Terbunuhnya Atmo Karpo
Karya: WS Rendra
Dengan
kuku-kuku besi kuda menebah perut bumi
Bulan
berkhianat gosok-gosokkan tubuhnya di pucuk-pucuk para
Mengepit
kuat-kuat lutut menunggang perampok yang diburu
Surai bau
keringat basah, jenawi pun telanjang
Segenap
warga desa mengepung hutan itu
Dalam
satu pusaran pulang balik Atmo Karpo
Mengutuki
bulan betina dan nasibnya yang malang
Berpancaran
bunga api, anak panah di bahu kiri
Satu demi
satu yang maju terhadap darahnya
Penunggang
baja dan kuda mengangkat kaki muka.
Nyawamu
barang pasar, hai orang-orang bebal!
Tombakmu
pucuk daun dan matiku jauh orang papa.
Majulah
Joko Pandan! Di mana ia?
Majulah
ia kerna padanya seorang kukandung dosa.
Anak
panah empat arah dan musuh tiga silang
Atmo
Karpo tegak, luka tujuh liang.
Joko
Pandan! Di mana ia!
Hanya
padanya seorang kukandung dosa.
Bedah
perutnya tapi masih setan ia
Menggertak
kuda, di tiap ayun menungging kepala
Joko
Pandan! Di manakah ia!
Hanya
padanya seorang kukandung dosa.
Berberita
ringkik kuda muncullah Joko Pandan
Segala
menyibak bagi derapnya kuda hitam
Ridla
dada bagi derunya dendam yang tiba.
Pada
langkah pertama keduanya sama baja.
Pada
langkah ketiga rubuhlah Atmo Karpo
Panas
luka-luka, terbuka daging kelopak-kelopak angsoka.
Malam
bagai kedok hutan bopeng oleh luka
Pesta
bulan, sorak sorai, anggur darah.
Joko
Pandan menegak, menjilat darah di pedang
Ia telah
membunuh bapaknya.
Balada
Orang-orang Tercinta
Karya: W.S. Rendra
Kita bergantian menghirup asam
Batuk dan lemas terceruk
Marah dan terbaret-baret
Cinta membuat kita bertahan
dengan secuil redup harapan
Kita berjalan terseok-seok
Mengira lelah akan hilang
di ujung terowongan yang terang
Namun cinta tidak membawa kita
memahami satu sama lain
Kadang kita merasa beruntung
Namun harusnya kita merenung
Akankah kita sampai di altar
Dengan berlari terpatah-patah
Mengapa cinta tak mengajari kita
Untuk berhenti berpura-pura?
Kita meleleh dan tergerus
Serut-serut sinar matahari
Sementara kita sudah lupa
rasanya mengalir bersama kehidupan
Melupakan hal-hal kecil
yang dulu termaafkan
Mengapa kita saling menyembunyikan
Mengapa marah dengan keadaan?
Mengapa lari ketika sesuatu
membengkak jika dibiarkan?
Kita percaya pada cinta
Yang borok dan tak sederhana
Kita tertangkap jatuh terperangkap
Dalam balada orang-orang tercinta
Balada
Ibu yang dibunuh
Karya: W.S. Rendra
Ibu musang di
lindung pohon tua meliang
Bayinya dua
ditinggal mati lakinya.
Bualan sabit
terkait malam memberita datangnya
Waktu makan
bayi-bayinya mungil sayang.
Matanya berkata
pamitan, bertolaklah ia
Dirasukinya
dusun-dusun, semak-semak, taruhan harian atas nyawa.
Burung kolik
menyanyikan berita panas dendam warga desa
Menggetari
ujung bulu-bulunya tapi dikibaskannya juga.
Membubung juga
nyanyi kolik sampai mati tiba-tiba
Oleh lengking
pekik yang lebih menggigitkan pucuk-pucuk daun
Tertangkap
musang betina dibunuh esok harinya.
Tiada pulang ia
yang mesti rampas rejeki hariannya
Ibu yang baik,
matinya baik, pada bangkainya gugur pula dedaun tua.
Tiada tahu akan
meraplah kolik meratap juga
Dan
bayi-bayinya bertanya akan bunda pada angin tenggara
Lalu satu
ketika di pohon tua meliang
Matilah
anak-anak musang, mati dua-duanya.
Dan jalannya
semua peristiwa
Tanpa dukungan
satu dosa, tanpa.
Balada Pembungkus Tempe
Karya:
W.S. Rendra
Fermentasi
asa
Mengharap
sempurna
Bentuk
utuh nan konyol
Rasa,
karsa tempe
Pembungkus
yang berjasa
Penuh
kisah bertulis duka lara
Dibuang
tanpa dibaca
Pembungkus
tempe
Bukan
plastik tapi kertas usang tak terpakai
Masihkah
ada yang membelai sebelum membuangnya?
Jante Arkidam
Karya:
Ajip Rosidi
Sepasang mata biji saga
Tajam tangannya lelancip gobang
Berebahan tubuh-tubuh lalang dia tebang
Arkidam, Jante Arkidam
Dinding tembok hanyalah tabir embun
Lunak besi dilengkungkannya
Tubuhnya lolos di tiap liang sinar
Arkidam, Jante Arkidam
Di penjudian di peralatan
Hanyalah satu jagoan
Arkidam, Jante Arkidam
Malam berudara tuba
Jante merajai kegelapan
Disibaknya ruji besi pegadean
Malam berudara lembut
Jante merajai kalangan ronggeng
Ia menari, ia ketawa
'Mantri polisi lihat kemari!
Bakar meja judi dengan uangku sepenuh saku
Wedana jangan ketawa sendiri!
Tangkaplah satu ronggeng berpantat padat
Bersama Jante Arkidam menari
Telah kusibak ruji besi’
Berpandangan wedana dan mantri polisi
Jante, jante Arkidam!
Telah dibongkarnya pegadaean malam tadi
Dan kini ia menari
'Aku, akulah Jante Arkidam
Siapa berani melangkah kutigas tubuhnya batang pisang
Tajam tanganku lelancip gobang
Telah kulipat rujibesi'
Diam ketakutan seluruh kalangan
Memandang kepada Jante bermata kembang sepatu
'Mengapa kalian memandang begitu?
Menarilah, malam senyampang lalu!'
Hidup kembali kalangan, hidup kembali perjudian
Jante masih menari berselempang selendang
Diteguknya sloki ke sembilan likur
Waktu mentari bangun, Jante tertidur
Kala terbangun dari mabuknya
Mantri polisi berdiri di sisi kiri:
'Jante, Jante Arkidam, Nusa Kambangan!'
Digisiknya mata yang sidik
'Mantri polisi, tindakanmu betina punya!
Membokong orang yang nyenyak'
Arkidam diam dirante kedua belah tangan
Dendamnya merah lidah ular tanah
Sebelum habis hari pertama
Jante pilin ruji penjara
Dia minggat meniti cahya
Sebelum tiba malam pertama
Terbenam tubuh mantri polisi di
dasar kali
'Siapa lelaki menuntut bela?
Datanglah kala aku jaga!'
Teriaknya gaung dilunas malam
Dan Jante di atas jembatan
'Siapa lelaki menuntut bela?
Datanglah kala aku jaga!'
Teriaknya gaung dilunas malam
Dan Jante di atas jembatan
Tak ada orang yang datang
Jante hincit menikam kelam
Janda yang lakinya terbunuh di dasar kali
Jante datang ke pangkuannya
Mulut mana yang tak direguknya
Dada mana tak diperasnya?
Bidang riap berbulu hitam
Ruas tulangnya panjang-panjang
Telah terbenam beratus perempuan
Di wajahnya yang tegap
Betina mana yang tak ditaklukannya?
Mulutnya manis jeruk garut
Lidahnya serbuk kelapa puan
Kumisnya tajam sapu ijuk
Arkidam, Jante Arkidam
Teng tiga di tangsi polisi
Jante terbangun ketiga kali
Diremasnya rambut hitam janda bawahnya
Teng kelima di tangsi polisi
Jante terbangun dari lelapnya
Perempuan berkhianat, tak ada di sisinya
Berdegap langkah mengepung rumah
Didengarnya lelaki menantang:
'Jante, bangun! Kami datang jika kau jaga!'
'Datang saja yang jantan
Kutunggu di atas ranjang'
'Mana Jante yang berani
Hingga tak keluar menemui kami?'
‘Tubuh kalian batang pisang
Tajam tanganku lelancip pedang'
Menembus genteng kaca Jante berdiri di atas atap
Memandang hina pada orang yang banyak
Dipejamkan matanya dan ia sudah berdiri di atas tanah
'He, lelaki mata badak lihatlah yang tegas
Jante Arkidam ada di mana?'
Berpaling seluruh mata ke belakang
Jante Arkidam lolos dari kepungan
Dan masuk ke kebun tebu
‘Kejar jahanam yang lari!'
Jante dikepung lelaki satu kampung
Di lingkung kebun tebu mulai berbunga
Jante sembunyi di lorong dalamnya
'Keluar Jante yang sakti!'
Digelengkannya kepala yang angkuh
Sekejap Jante telah bersanggul
'Alangkah cantik perempuan yang lewat
Adakah ketemu Jante di dalam kebun?'
'Jante? Tak kusua barang seorang
Masih samar dilorong dalam'
'Alangkah eneng bergegas
Adakah yang diburu?'
'Jangan hadang jalanku
Pasar kan segera usai!'
Sesudah jauh Jante dari mereka
Kembali dijelmakan dirinya
'He, lelaki sekampung bermata dadu
Apa kerja kalian mengantuk di situ?'
Berpalingan lelaki ke arah Jante
Ia telah lolos dari kepungan
Kembali Jante diburu
Lari dalam gelap
Meniti muka air kali
Tiba di persembunyiannya
assalamu alaikum, saya mau bertanya. bagaimana sih cara membuat puisi balada yang kebanyakn dialognya
BalasHapusWaalaikumsalam. Kalau puisi balada lebih menekankan kepada gambaran kisah seseorang lewat dialog. kalau buat puisinya jujur saya masih belum mahir :)
BalasHapus